• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan SDM Partai Politik: Rekrutmen dan Kaderisasi di Partai Golkar * )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengembangan SDM Partai Politik: Rekrutmen dan Kaderisasi di Partai Golkar * )"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

Pengembangan SDM Partai Politik:

Rekrutmen dan Kaderisasi di Partai Golkar

*

)

Oleh

Ir. Rully Chairul Azwar, M. Si**) I. Pendahuluan

Pasca reformasi tahun 1998, Partai Politik (Parpol) memiliki kedudukan yang semakin penting dalam sistem politik Indonesia. Dari sisi rekrutmen jabatan-jabatan politik misalnya, hasil Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 mengamanatkan, setiap rekrutmen yang dilakukan untuk mengisi jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan (eksekutif), perwakilan (legislatif), dan peradilan (yudikatif) baik di tingkat pusat maupun daerah mekanismenya harus melalui partai politik. Amanat konstitusi ini menunjukkan bahwa fungsi dan keberadaan partai politik menjadi sangat penting dalam relasi pengisian pos-pos kenegaraan melalui mekanisme politik yang demokratis.

Dalam konteks implementasi kedaulatan rakyat, mekanisme demokratis yang lebih luas adalah pelaksanaan pemilihan umum, baik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). Pasal 6A Ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan: "Pasangan calon Presiden dan Wakil

Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Sedangkan Pasal 18 Ayat 4

Perubahan Kedua UUD 1945 menegaskan: "Gubernur, Bupati, dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Dalam konsiderans huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa partai politik merupakan sarana

partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.

(2)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

Mencermati ketentuan di atas dapat diketahui bahwa partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Partai politik memainkan peran sebagai penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Banyak kalangan berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Artinya, semakin tinggi peran dan fungsi partai politik, akan semakin berkualitaslah demokrasi. Partai politik sebagai alat perjuangan bangsa akan berjalan baik seiring dengan optimalisasi peran-peran partai politik, baik sebagai sarana komunikasi politik (political communication), sosialisasi politik (political socialization), rekrutmen politik (political recruitment), dan pengatur konflik (conflict management).

Sayangnya, berdasarkan temuan survei Lembaga Survei Indonesia tahun 2007 dan 2008, mayoritas publik menolak monopoli sumber rekrutmen politik oleh parpol. Sumber penolakan tersebut terkait dengan rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai akibat dari kinerjanya yang selama ini dianggap buruk. Publik, menurut survei tersebut, umumnya tidak percaya bahwa parpol mampu menjalankan fungsi representasi, intermediasi dan artikulasi kepentingan pemilih mereka. Survei menunjukkan, 50,9 persen responden menyatakan, cara memilih anggota DPR yang ada sekarang mendorong wakil rakyat lebih mewakili kepentingan parpol dari kepentingan pemilih. Padahal, 61,3 persen responden meyakini bahwa keinginan partai belum tentu mewakili kepentingan pemilih. Hanya 11 persen responden yang menyatakan bahwa Parpol adalah lembaga yang paling bisa menyuarakan kepentingan rakyat, kalah dari media massa yang dipercaya oleh 31 persen responden. Selanjutnya, 52 persen responden yakin parpol hanya mewakili

kelompok tertentu, bukan mewakili pemilihnya.1

Menurut Sparingga (dalam Tandjung, 2007; xxiv), alih-alih menjadi bagian produktif dari transisi demokrasi di Indonesia, kebanyakan parpol berubah menjadi alat kekuasaan bagi sekelompok kecil pengurusnya dan menjadi hanya sebagai *

Pokok-pokok pikiran disampaikan pada seminar nasional "Pembaharuan Partai Politik" yang diselenggarakan oleh PUSKAPOL FISIP UI, Jakarta, 18 September 2008.

** Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golongan Karya. Alumni Program Magister Manajemen Komunikasi Politik, Pasca Sarjana Komurukasi FISIP UI tahun 2008.

(3)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

kendaraan politik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok perorangan yang bergabung di parpol dengan tujuan yang kadang jauh melenceng dari tujuan-tujuan reformasi. Implikasi dari kondisi itu sebenarnya berat bagi parpol sendiri. Pertama, fungsi representasi parpol dan para wakilnya menurun drastis justru ketika pemilihan umum berlangsung lebih demokratis dan dilaksanakan secara langsung. Kedua, yang sangat serius, adalah meningkatnya ketidakpercayaan publik pada institusi yang bernama parpol sebagaimana tercermin dalam hasil temuan survei LSI di atas.

Wujud paling nyata ketidakpercayaan publik terhadap parpol adalah tingginya fenomena Golongan Putih (Golput) atau orang yang tidak memilih dalam pemilihan-pemilihan politik. Menurut Lingkaran Survei Indonesia, jika dibuat rata-rata, tingkat golput dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung mencapai angka 27, 9 persen. Jumlah ini relatif lebih besar dibanding dengan angka Golput dalam pemilu legislatif (15, 9 persen) atau pemilihan presiden tahap I (21, 5 persen) dan

pemilihan presiden tahap II (23, 3 persen).2 Tingginya angka golput ini senyatanya

terkait dengan ketidakpercayaan publik terhadap parpol atau kandidat yang diajukan parpol. Hal ini bisa didekati dengan dua teori voting behaviour yaitu teori psikologis dan teori ekonomi politik. Dalam teori psikologis, putusan untuk memilih atau tidak memilih tergantung pada sejauhmana seseorang itu dekat atau tidak dengan parpol atau kandidat yang bertarung. Sedang menurut teori ekonomi politik, keputusan memilih atau tidak ditentukan oleh pertimbangan rasional seperti ketidakpercayaan memilih satu parpol atau kandidat bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Kenyataan-kenyataan empirik semacam ini tentu saja meresahkan, khususnya bagi kalangan parpol sendiri. Karenanya, instropeksi menjadi satu hal yang harus dilakukan. Parpol tentu saja harus mengidentifikasi masalah-masalah apa yang berkontribusi pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadapnya. Saya sendiri berpandangan, salah satu masalah paling krusial mengenai hal ini terkait dengan masalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) partai, dalam hal ini pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi di tubuh partai. Pola rekrutmen dan mekanisme kaderisasi meliputi segala aktifitas partai dari mulai penerimaan anggota, pembinaan kualitas kader sampai dengan penempatan/penugasan kader-kader

(4)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

partai dalam jabatan-jabatan strategis (rekrutmen). Logikanya sederhana. Dalam sebuah political market, kader merupakan salah satu "product" yang menentukan daya jual partai di publik. Makin baik pola rekrutmen dan kaderisasi dalam tubuh sebuah partai, maka makin baik pula mutu "product" yang akan dihasilkan dan ditawarkan ke publik. Makin baik mutu product yang diajukan, maka makin tinggi juga daya jual partai tersebut dalam pemilu karena makin tingginya keyakinan bahwa figur-figur yang akan dipilih merupakan kader-kader partai terbaik yang akan mampu mewakili kepentingan rakyat dan mengubah keadaan. Jadi kinerja sebuah partai politik, sangat ditentukan oleh kualitas dan sepak terjang kader-kadernya.

Makalah ini akan menjelaskan secara ringkas mengenai strategi pembinaan SDM, dalam hal ini soal rekrutmen anggota dan proses kaderisasi di Partai Golkar. Akan dibahas juga mengenai problema-problema empirik-politis yang saya nilai menjadi kendala bagi penerapan konsep-konsep pengkaderan itu secara ideal.

Partai Kader

Penegasan Golkar sebagai partai kader mulai diperkenalkan sejak tahun 1983 di era kepemimpinan Sudharmono. Golkar menerapkan prinsip-prinsip organisasi modern. Di bawah Sudharmono, sistem keanggotaan Golkar diubah menjadi stelsel

aktif. Untuk bisa diakui sebagai anggota Golkar, orang harus pro aktif mendaftar

secara resmi. Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem sebelumnya dimana anggota organisasi-organisasi yang mendirikan dan berafiliasi ke Golkar dianggap otomatis sebagai anggota Golkar. Dari sisi rekrutmen, banyak kalangan profesional dan fungsional bergabung ke Golkar, seperti kelompok pengusaha, tani dan nelayan guru, pekerja, cendekiawan, seniman, budayawan, pemuda serta wanita, kemudian mendaftar di Golkar. Memang sesuai hakekat berdirinya Golkar tahun 1964, yang ditopang oleh seluruh kekuatan profesi dan fungsional, non partai politik, termasuk ABRI dan PNS.

Selain itu, untuk mewujudkan Golkar sebagai Partai Kader, maka Sistem perkaderan Golkar disempurnakan, yang terdiri dari Sistem Perkaderan Teritorial dan Sistem Perkaderan Fungsional. Konsep semacam ini, digagas oleh AE Manihuruk yang saat itu menjabat sebagai Koordinator Bidang (Korbid) Pemenangan Pemilu

(5)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

dan Organisasi, Keanggotaan, Kaderisasi (PP/OKK). Sistem Perkaderan Teritorial, ditujukan untuk membentuk basis kader di tingkat desa atau kader penggerak teritorial tingkat desa, yang dikenal dengan istilah "karakterdes". Di kawasan pedesaan, di setiap desa Golkar mentargetkan terwujudnya 100 kader. Diharapkan, dengan target kader per desa 100 orang, maka dari keseluruhan desa akan bisa direkrut sebanyak 6,5 juta kader Golkar, di luar 48 juta pemilih Golkar yang diraih dalam Pemilu 1982. Selain itu, dilaksanakan juga Sistem Perkaderan Fungsional. Perkaderan fungsional lebih ditujukan untuk membentuk kader-kader fungsional Golkar, yang nantinya dapat berkiprah secara aktif pada kelompok-kelompok strategis nya masing-masing, yaitu kelompok-kelompok profesi dan fungsional, seperti HKTI, HNSI, KNPI, KOWANI, KADIN, SPSI, KORPRI, KBA dan lain-lain. Karena itu, keberadaan tokoh-tokoh Golkar pada kepemimpinan ORMAS-ORMAS pada saat itu, memang dirancang dalam upaya melaksanakan tugas penggalangan fungsional Golkar.

Materi pokok yang disampaikan dalam diklat-diklat perkaderan teritorial maupun fungsional Golkar, pada umumnya memuat tiga hal pokok, yaitu pertama, Materi kenegaraan, bertujuan menanamkan pemahaman serta militansi sebagai Warga negara RI Materinya meliputi, Pancasila, UUD 1945, Wawasan Kebangsaan, NKRI, serta Sistem Ketatanegaraan. Kedua, materi Ke-Golkar-an, meliputi, sejarah, doktrin, AD/ART, Program Umum, dan Kebijakan Organisasi. Materi ini bertujuan menanamkan pemahaman dan millitansi sebagai Anggota dan Kader Golkar. Ketiga, materi umum, ketrampilan, bertujuan untuk memberikan ketrampilan-ketrampilan praktis bagi seorang kader, seperti kepemimpinan, kemampuan berbicara, pengambilan keputusan, teknik persuasi - dan lain-lain. Khusus untuk perkaderan fungsional, materi ketiga ini diperluas, sesuai dengan profesi atau fungsi yang bersangkutan, seperti misal untuk perkaderan fungsional pengusaha, maka ditambahkan materi lain yang berkaitan dengan kemampuan menjadi pebisnis, serta ilmu manajemen dan keuangan.

Pada saat Golkar menjadi partai hegemonik, 1971-1998, pola penugasan kader serta rekrutmen jabatan-jabatan politik, sangat ditentukan oleh mekanisme "

(6)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

caleg, pengusulan calon Gubernur, Bupati, Walikota, Menteri, Pejabat-pejabat eselon 1, serta jabatan-jabatan strategis dilingkungan kemasyarakatan, seperti Ketua Umum KADIN, KNPI, PGRI, dan lain-lain, harus dibahas bersama oleh Ketua Umum Golkar, Menteri Dalam Negeri dan Panglima ABRI, yang kemudian disampaikan/diputuskan oleh Ketua Dewan Pembina Golkar, yaitu Soeharto.

Sejak reformasi tahun 1998, Golkar tidak lagi sebagai partai hegemonik, dan posisi Golkar sebagai partai harus berorientasi pada pasar, bukan lagi pada kekuasaan. Karena itu, Golkar yang kemudian menjadi Partai GOLKAR, melakukan beberapa perubahan dan penyesuaian, baik yang berkaitan dengan mekanisme pengambilan keputusan, yang tidak lagi tergantung dari Ketua Dewan Pembina, serta Tiga Jalur, melainkan melalui forum-forum pengambilan keputusan Partai, yaitu MUNAS, RAPIM, atau Rapat Pleno. Sejak kepemimpinan Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla, Partai Golkar sebagai "Market Oriented Party". Tidak ada pilihan bagi Partai GOLKAR, untuk dapat tetap memiliki eksistensi, maka kinerja partai harus positif dimata rakyat. Kinerja partai sangat ditentukan oleh beberapa hal pokok, yaitu

pertama, kesiapan mesin partai, meliputi infra struktur kepengurusan dari tingkat

pusat sampai tingkat desa/kelurahan. Bahkan Partai Golkar memiliki unit organisasi disetiap lingkungan TPS, yang disebut kelompok Kader (POKKAR). Disamping infra struktur, mesin politik sangat dipengaruhi juga oleh dukungan logistik dan fasilitas kesekretariatan yang memadai. Kedua, kader-kader yang handal. Mutu dan penampilan kader-kader partai sangat menentukan citra partai. Selain bagaimana menempatkan/menugaskan kader-kader pada jabatan-jabatan politik, jabatan publik yang strategis, namun yang lebih penting adalah bagaimana menjaga tingkat keberhasilan kader-kader tersebut dalam melaksanakan tugas jabatannya. Ketiga, program dan isu yang dinilai sangat bermanfaat bagi rakyat, merupakan produk jualan partai juga.

Sistem keanggotaan dan perkaderan partai Golkar sejak era reformasi, tidak mengalami terlalu banyak perubahan, kecuali pada Sistem Perkaderan, ditambahkan Pelatihan Kader Profesi Masyarakat (PKPM), yang bertujuan untuk melatih para simpatisan dan anggota yang berada pada sektor Usaha Kecil Masyarakat (UKM), sehingga dapat memberi dukungan ketrampilan, akses permodalan, manajemen,

(7)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

pemasaran dan lain-lain. Partai Golkar secara tidak langsung, ingin memberikan perhatian sebagai perwujudan doktrin partai, yaitu Karya dan Kekaryaan, tentang bagaimana ikut mengatasi persoalan kesempatan kerja.

Penugasan Kader

Penugasan kader, sebagai bagian dari Program pengelolaan kader partai, yang meliputi, 1) Rekrutmen Anggota, 2) Diklat perkaderan, 3) Penugasan kader/ Rekrutmen dalam jabatan politik, 4) Penilaian Kader, merupakan program penting yang sangat menentukan sejauh mana penampilan partai dapat terlihat oleh publik. Oleh karena itu, dalam hal penugasan kader-kader partai Golkar untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, partai Golkar menetapkan mekanisme yang demokratis dan terbuka, sehingga dapat menghindari sejauh mengkin praktik-praktik KKN. Dalam hal penugasan kader untuk mengisi jabatan-jabatan strategis seperti anggota Iegislatif di semua tingkatan dan kepala pemerintahan di semua tingkatan, Partai Golkar juga memiliki sejumlah mekanisme untuk menjamin terselenggaranya

merit system dan suasana demokratis di internal partai. Untuk meningkatkan mutu

anggota legislatif, Partai Golkar memiliki Keputusan Nomor 143/ DPP/GoIkar/II/2007 yang berisikan pemantapan orientasi dan perbaikan kriteria, prosedur dan tatacara rekrutmen anggota DPR. Dalam SK DPP Partai Golkar tersebut, disusun sejumlah kriteria calon anggota legislatif yang akan diajukan sebagai calon anggota legislatif dari Partai Golkar.

Sejumlah kriteria itu yaitu; (a) aspek pengabdian (minimal 10 tahun bagi DPR RI dan 5 tahun bagi DPRD); (b) aspek mutunya menjalankan tugas-tugas partai di daerah binaannya sebagai fungsionaris partai; (c) aspek prestasi, pengalaman dan pengaruh (dikenal dengan PD2LT-Prestasi, Dedikasi, Disiplin, Loyalitas dan Tidak Tercela); (d) aspek pendidikan formal; (e) aspek kesinambungan dan regenerasi dimana komposisi calon adalah 40 persen calon lama dan 60 persen calon baru; dan (f) aspek usia. Untuk meneliti aspek-aspek ini, DPP Golkar membentuk Tim Tujuh dengan supervisi Ketua Umum. Masing-masing aspek memiliki bobot nilai tersendiri. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah yang akan diajukan oleh Partai Golkar, DPP Partai Golkar memiliki Keputusan Nomor-145/DPP/Golkar/II/2007 tentang

(8)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

penyempurnaan Juklak-5/DPP/Golkar/ IX/ 2005 tentang Tatacara Pemilihan Kepala Daerah dari Partai Golkar. Untuk menjarnin bahwa penentuan calon kepala daerah berlangsung demokratis, diatur soal hak suara untuk DPP, DPD Partai Golkar Provinsi, DPD Partai Golkar Kabupaten/ Kota dan Ormas serta organisasi sayap.

Selain itu, untuk menjaring calon yang benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat, maka dalam proses penentuan calon kepala daerah, Partai Golkar selalu melakukan survei Pilkada yang dilakukan oleh DPP Partai Golkar. Hasil survei itulah, yang akan dijadikan sebagai satu-satunya pedoman bagi DPP Partai Golkar dalam menyusun rekomendasi calon kepala daerah yang diprioritaskan untuk menjadi nominasi calon yang akan dipilih dan ditetapkan dalam Rapat Tim Pilkada Partai Golkar. Juklak-5 juga mengatur sejumlah persyaratan khusus bagi calon kepala daerah yang mendaftarkan diri untuk mengikuti proses rekrutmen kepala daerah dari Partai Golkar.

Selanjutnya, tatacara rekrutmen bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Golkar ditetapkan dalam Keputusan Rapimnas III Partai Golkar tahun 2007 Nomor 02/Rapirnnas-III/ Golkar/ XI/ 2007 tentang Rekomendasi Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golongan Karya tentang Bappilu, Tatacara Rekrutmen Calon Presiden/ Wakil presiden, Pilkada dan Peran Anggota Legislatif. Di situ disebutkan bahwa "Proses rekrutmen bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Golkar Tahun 2009, harus dilaksanakan secara Demokratis dan Terbuka berdasarkan AD/ ART Partai Golkar. Mekanisme yang diatur dalam rekomendasi itu merupakan "penyempurnaan" dari mekanisme Konvensi Nasional Partai Golkar tahun 2004 yang meski terbukti mampu meningkatkan citra partai, namun juga memiliki sejumlah kelemahan.

Salah satu kritik menyatakan bahwa calon yang dihasilkan dari Konvensi Nasional tahun 2004 gagal dalam pemilihan presiden dikarenakan calon yang bersangkutan hanya dipilih oleh internal Partai Golkar. Untuk itu, penjaringan dan penjaringan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Golkar pada Pemilu 2009 akan diintegrasikan dengan survei nasional yang dilakukan beberapa kali oleh lembaga survei yang dinilai kredibel Hasil survei itu lantas akan dibawa ke Rapimnas

(9)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

Khusus yang diadakan setelah Pemilu Legislatif untuk memilih dan menetapkan calon tersebut sebagai calon resmi Golkar.

Nama-nama yang diusulkan dalam penjaringan dan penyaringan (yang akan masuk daftar survei), berasal dari tokoh-tokoh masyarakat yang dinilai memiliki peluang untuk menjadi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dan dapat diusulkan oleh DPD Partai Golkar Provinsi maupun DPD Partai Golkar Kabupaten/Kota. Dengan demikian, penetapan kader terbaik yang akan diajukan Partai Golkar dalam Pilpres, mengkombinasikan antara pilihan internal partai (seperti dalam Konvensi 2004 dengan modifikasi) dengan pilihan populer rakyat seperti yang tercermin dalam hasil survei-survei yang dilakukan oleh DPP Partai Golkar. Mekanisme ini, saya nilai cukup demokratis karena ada upaya Partai Golkar memberi peluang bagi rakyat untuk menentukan pilihan yang akan diambil Partai Golkar. Dilibatkannya kader-kader internal partai dalam penentuan keputusan dalam Rapimnas, saya nilai juga menutup peluang bagi figur-figur yang "tidak berkeringat" untuk maju dalam pencalonan.

Penutup

Berdasarkan pengalaman saya, kadang tidak semua konsep yang dirumuskan berjalan sesuai rencana di lapangan. Ada sejumlah kendala, kebanyakan bersifat politis, yang membuat konsep pengembangan merit system dalam proses pengkaderan di partai menghadapi tantangan tersendiri yang harus direnungkan dalam pertemuan ini.

Pertama, partai politik merupakan sebuah organisasi yang bersifat relatif

longgar dalam penjenjangan karir. Organisasi politik tidaklah bisa menerapkan merit system seketat organisasi birokrasi atau militer dimana jenjang karir sudah ditentukan mekanismenya secara jelas. Ada banyak variabel yang menentukan "karir" seseorang di parpol tidak seperti tour of duty di birokrasi atau militer seperti aspek momentum politik, kedekatan dengan kekuatan politik yang berkuasa saat itu, senioritas, kebutuhan politik atau bisa juga faktor "x" lainnya.

Kedua, di parpol berlangsung sebuah hal yang terkesan umum terjadi yaitu

(10)

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

dalam Musyawarah Nasional, Muktamar atau Kongres. Penguasa baru di parpol, kadang suka memutus hubungan dengan orang lama" dan merekrut "orang-orang baru" dengan tidak terlalu mempertimbangkan merit system. Yang kerap terjadi adalah, perekrutan orang-orang baru ini kadang lebih bernuansa kolutif (menghargai yang berjasa) dan nepotis (berdasar kedekatan).

Ketiga, keberadaan dan kelangsungan hidup' partai politik, sebagai akibat

tidak dibolehkannya partai membuka usaha, sangat ditentukan oleh sumbangan segelintir orang. Karena itu, siapapun yang memiliki dana besar, punya peluang untuk menentukan berbagai kebijakan partai, termasuk dalam soal rekrutmen politik. Partai menjadi sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh subyektif, bukan pada sistem yang coba dibangun.

Karena itu, saya merekomendasikan bahwa aturan-aturan merit system haruslah dilembagakan dalam ketentuan tertinggi organisasi, dalam hal ini Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai sehingga tertutup peluang bagi penguasa partai untuk menabrak rambu-rambu tersebut Ketentuan-ketentuan terkait masalah pengkaderan yang harus masuk AD/ART antara lain, ketentuan mengenai perlunya melakukan rekruitmen kepengurusan baru harus tetap memperhatikan merit system dan penyegaran kader. Paling tidak, komposisi sekurang-kurangnya 50 persen kader lama bisa menjamin sistem yang dibangun di partai tidak terganggu. Dari sisi lamanya waktu pengabdian, perlu diatur bahwa yang berhak menjadi pengurus adalah kader yang paling sedikit sudah mengabdi lima tahun di partai.

Jakarta, 17 September 2008.

1

Legitimasi Demokratik Wakil Rakyat: Partai, DPR dan DPD, Sebuah Legitimasi Temuan Survei 2007 dan 2008 Lembaga Survei Indonesia.

2

Referensi

Dokumen terkait

Anak panah oranye = Angiogenesis; Anak panah hitam= pendarahan; Anak panah pink = blastema; Anak panah biru tua= pendarahan akibat ikan terjatuh; Anak panah biru muda = pembuluh

Uji t dilakaukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan nilai dengan perlakuan yang berbeda, dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel atau menggunakan

Dari delapan ketrampilan di atas, yang paling penting bagi seorang guru adalah bagaimana guru menerapkan keterampilan tersebut sehingga proses pembelajaran dapat berjalan

Otonomi pendidikan tinggi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, meningkatnya kompetisi antar perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri, berkembangnya

Guru memberikan kesimpulan atau jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan. Pedoman penilaian hasil belajar aspek kognitif

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2008 tentang

Dengan demikian, hasil dari penelitian ini adalah memperoleh solusi umum persamaan Laplace dimensi tiga pada koordinat bola dengan menggunakan metode pemisahan

Pada langkah ini guru diharapkan unutk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang akan diajarkan. Dengan