• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pengertian berat sebelah yang dimaksud dalam skripsi ini adalah memahami teks, realitas kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 Pengertian berat sebelah yang dimaksud dalam skripsi ini adalah memahami teks, realitas kehidupan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

I.1 Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, dunia dikejutkan dengan fenomena teroris. Semua orang merasa terancam dan diselimuti ketakutan. Bukan saja karena dampak dari serangan pihak teroris bisa melukai dan membinasakan siapa saja, tetapi juga karena ideologi yang para pelaku teror usung tidak jarang sangat ekstrim sehingga mengancam stabilitas keamanan suatu bangsa. Namun yang lebih takut dan merasa “kebakaran jenggot” adalah pihak-pihak yang sering disebut secara terang-terangan oleh pelaku teror sebagai musuh utama yang harus dilumpuhkan dalam berbagai media, dan terbukti serangan yang direncanakan oleh mereka sejauh ini belum banyak yang berhasil digagalkan. Tema utama yang diusung adalah seputar agama, penindasan dan keadilan. Terlepas dari apakah tindakan dan pemahaman mereka atas semua tema itu benar atau tidak, tentu membutuhkan perhatian khusus untuk memahami hal ini

Di samping itu, hal lain yang patut mendapat perhatian adalah tanggapan atau reaksi yang diberikan terhadap para pelaku teror. Hal yang paling menonjol di antara semuanya adalah mereka diklaim keliru, berat sebelah1 memahami ajaran agama yang mereka dengung-dengungkan. Lalu muncul perdebatan apakah sifat berat sebelah dalam menafsir teks merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari? Atau justru sikap demikian yang memang dikehendaki oleh para pengusung tafsir itu sendiri? Nampaknya yang disebut terakhir inilah yang lebih sesuai. Artinya hasil tafsir yang dihasilkan berat sebelah karena memilih menafsir teks dengan penekanan pada hal-hal dianut dan mendukung ideologi sang penafsir. Dengan perkataan lain, hasil tafsir memiliki kaitan erat dengan kepentingan sang penafsir.

Seiring dengan pemahaman tentang realita dan teks seperti dikemukakan di atas, dalam dunia tafsir muncul pertanyaan benarkah hanya para pelaku teror di zaman kita ini yang memahami Firman TUHAN berat sebelah? Kalau kita telusuri lebih jauh, secara tidak sadar kita pun diantar kepada pemahaman bahwa teks-teks dari Kitab Suci ada juga yang berat sebelah dan mungkin keliru dalam melihat realitas. Yesaya 40: 1–11 misalnya,

1

Pengertian berat sebelah yang dimaksud dalam skripsi ini adalah memahami teks, realitas kehidupan dengan kecenderungan terfokus pada satu wilayah atau bidang tertentu, yang secara tidak langsung berdampak mengesampingkan bidang lain (seperti kehidupan sosial, ekonomi dan politik).

(2)

sekaligus yang menjadi fokus penelitian penulis dalam skripsi ini. Di ayat 2 secara khusus dikatakan bahwa perhambaan Yerusalem (Israel) telah usai. Lebih aneh lagi yang mengatakan perhambaan Israel telah usai adalah TUHAN sendiri melalui perantaraan nabi. Apakah arti dari semua ini? Mungkinkah TUHAN berbohong sehingga menyampaikan sesuatu yang justru bertentangan dengan fakta sejarah? Hampir semua para ahli sejarah Israel mengakui bahwa sejak peristiwa besar yang “melanda” Israel seperti: pembuangan, kepulangan ke Palestina, maka sejak saat itu pula Israel diakui tidak pernah lepas dari penguasaan bangsa lain.2 Dapatkah pernyataan ini dipahami semata-mata pergumulan teologis orang Israel pada saat itu sehingga kita perlu melihat ungkapan itu sendiri dalam bingkai “pemikiran” teologis dan tidak perlu menafsirkannya dari kaca mata sejarah saja.

I.2 Permasalahan

Bagaimana mempertemukan dua sisi pemahaman yang berbeda? Teks Yes ayat 2 mengemukakan perhambaan telah usai, sementara dilihat dari pemahaman sejarah justru Israel tidak pernah lepas dari dominasi bangsa lain. Menjadi lebih sulit memang ketika teks secara terang-terangan mengatakan bahwa perhambaan Israel telah berakhir. Namun tidak berarti apa yang ada dalam teks perlu diikuti begitu saja. Perlu dipahami dan dianalisis teks Yes 40: 1–11 dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, politik dan keagamaan yang seperti apakah pernyataan ini muncul dan berlaku sehingga makna perhambaan dapat dimengerti dalam bingkai pemikiran konteks teks itu sendiri. Hal ini dilakukan terutama karena dalam teks yang kelihatan hanyalah sisi keagamaan dari berita itu sendiri. Perhambaan Israel berakhir karena dosanya telah dilunasinya dan karena telah menerima hukumannya dari Tuhan.

I.3 Batasan Masalah

Penulis membatasi penelusuran pada Yesaya 40: 1–11, alasannya adalah sebagai berikut: pertama, Deutero Yesaya (DY) yang terdiri dari Yesaya 40–55 merupakan satu kesatuan dalam gaya bahasa dan menuturkan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 540 SZB.3 Keseluruhan bagian ini muncul ketika Israel berada di bawah kekuasaan kerajaan Persia,

2

Lih. John Bright, A History of Israel, Philadelphia: WJK Press, 1981, 3rd ed: Martin Noth, The History

of Israel, 1960, 2nd ed. Juga Norman K. Gottwald, Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, Philadelphia: Fortress Press, 1987. Perhatikan kata-kata yang dipakai dalam menjelaskan posisi Israel sejak penghujung abad ke 8 SZB (= sebelum zaman bersama terjemahan dari Before Coming Era, pengganti istilah Sebelum Masehi (SM) yang lebih memberi corak kekristenan) sampai awal abad ZB (zaman bersama), antara lain: “Israel under great-powers,” “Israel in the Hands of the great Powers,” “Israel under the rule of the great Powers.” Bahkan Noth menggambarkan bahwa di bawah kekaisaran Romalah berakhir pula masa eksistensi Israel setelah penghancuran Bait Allah (selanjutnya disingkat BA saja) II melalui peperangan dengan pasukan Romawi sekitar tahun 70 ZB.

3

(3)

yang telah berhasil mengalahkan dan “menelantarkan” kekaisaran Babilonia.4 Oleh karena itu penulisan perlu dibatasi pada Yesaya 40: 1–11, terutama karena bagian ini memberikan landasan dan alasan bebasnya Israel dari pembuangan.5 Selain itu, bagian ini merupakan prolog atau “pengantar dari seluruh DY dengan merincikan kesempatan nubuat-pembebasan orang Israel dari pembuangan Babel,”6 dan karena Yesaya 40: 1–11 ini merupakan suatu “intisari” atau kesimpulan dari seluruh bagian DY, atau dalam istilahnya Melugin, “… from a formal perspective the prologue reflects the structure of chapters 40 – 55 in miniature,”7 maka bertitik tolak dari pemahaman Melugin di atas, maka penelitian dalam penulisan dibatasi pada bagian Yesaya 40: 1–11 ini. Kedua, karena teks ini yang secara terang-terangan menyebut perhambaan Israel telah usai.

I.4 Judul

Skripsi ini berjudul:

MAKNA PERNYATAAN PERHAMBAAN ISRAEL TELAH USAI DALAM YESAYA 40: 1–11

Dalam mendefinisikan pengertian ideologi, G.A. Yee dengan tegas mengatakan bahwa ideologi bukanlah suatu kumpulan doktrin atau gagasan yang sederhana, meskipun doktrin dan gagasan terkandung di dalam ideologi.8 Sebaliknya bagi Yee, ideologi adalah suatu sistem yang kompleks dari tatanan nilai-nilai, gagasan-gagasan, gambaran-gambaran, kesan-kesan (image) dan persepsi-persepsi yang mendorong baik pria maupun wanita dalam “melihat” tempat khusus mereka dalam tatanan sosial sebagai sesuatu yang sifatnya wajar (alamiah), penting dan tak terelakkan. Selengkapnya Yee mendefinisikan ideologi sebagai berikut, “as a complex system of values, ideas, pictures, images, and perceptions, ideology

4

Sda, p. 3. Sementara nubuat-nubuat yang ada dalam Proto Yesaya terjadi dalam konteks kekuasaan Asyur antara tahun 742 dan 701 dan Trito Yesaya terjadi sekitar tahun 520 ketika orang-orang buangan kembali dari pembuangan.

5

Dalam Yesaya 40: 2 dikemukakan alasan atau penyebab bebasnya Israel dari perbudakan Babilonia, yakni Israel (Yehuda) telah menerima hukuman dari TUHAN dan bahkan Israel telah menerima hukuman berlipat kali dari yang seharusnya ia terima.

6

John J. Collins, “Yesaya,” dalam Bergant, Dianne, CSA dan Karris Robert J. OFM, eds., Tafsir Alkitab

Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Biblika Indonesia, 2002, p. 535.

7

Sebagimana dikutip oleh B. S. Childs, Isaiah, A Commentary, OTL, p. 302. Childs selanjutnya menguraikan bahwa pasal 40: 1–8 merupakan gambaran atau microcosm dari pasal 41-48 sedangkan 40: 9–11 merupakan gambaran dari pasal 49 – 55.

8

G. A. Yee, “Ideology Criticism: Judges 17 – 21 and the Dismembered Body,” dalam G. A. Yee, ed.,

(4)

motivates men and women to "see" their particular place in the social order as natural, inevitable and neccessary.”9

Senada dengan pandangan Yee di atas, Setio menegaskan bahwa ”ideologi berarti pola pemikiran atau cara pandang yang datang dari keyakinan pribadi, komunitas atau masyarakat tertentu.”10 Dengan mendasarkan diri pada pemahaman bahwa setiap masyarakat memiliki ideologi tertentu termasuk dalam teks-teks yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat itu, maka dari judul ini, jelas mau mengakui bahwa keberbedaan pesan DY dengan nabi-nabi sebelum pembuangan mengandung ideologi tertentu, yang membentuk teks Yesaya 40: 1–11.11

Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam skripsi ini, penulis memahami ideologi dalam pengertian yang lebih positif.12 Dalam pengertian ideologi sebagai sebuah worldview. Hal itu berarti ideologi perhambaan Israel telah usai yang terdapat dalam Yes 40: 1–11 merupakan ide, nilai, gambaran, kesan, persepasali yang dipahami dan dipegang oleh kelompok tertentu sebagaimana ditulis oleh penulis teks Yes 40: 1–11. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ideologi perhambaan Israel telah usai yang terdapat dalam teks merefleksikan suatu posisi (kebutuhan dan kepentingan) kelompok tertentu dalam suatu tatanan sosial dalam ruang dan waktu tertentu pula.

I.5 Tujuan Penulisan

Berdasarkan judul skripsi seperti tertera di atas, maka penulis bertujuan mengkaji dan meneliti beberapa hal berikut ini, antara lain:

1. Benarkah perhambaan Israel telah usai?

Yesaya 40: 2 menegaskan bahwa, “Tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya bahwa perhambaannya telah berakhir ...” Pernyataan ini memberi kesan

9

G. A. Yee, “Ideology Criticism: Judges 17 – 21 and Dismembered Body,” dalam Gale A. Yee, (ed.),

Judges & Method: New Approaches in Biblical Studies, Minneapolis: Fortress Press, 1995, p. 148.

10

Robert Setio, “Kritik Ideologi: Hermeneutik Perjanjian Pertama II (Catatan Dosen),” Semester Gasal 2006/2007, p. 1 (naskah tidak dipublikasikan).

11

Dalam teks ini nabi tidak hanya memberitakan memberitakan pembebasan saja, tetapi juga kaitannya dengan masa lalu (dosa) Israel. Barangkali istilah yang lebih sesuai untuk hal ini adalah menghadirkan masa lalu dalam kaitannya dengan masa kini untuk menyongsong masa depan.

12

Penulis memberi penekanan pada pengertian yang lebih positif karena ada pengertian yang negatif sebagaimana dikemukakan oleh Brueggemann, “ideology adalah sebuah kesadaran palsu”, G.A. Yee, “Ideology Criticism,” dalam John H. Hayes, (Gen. ed.), Dictionary of Biblical Interpretation, Vol. I, A – J, Nashville: Abingdon Press, 1999, p. 534. Sedangkan pengertian yang bercorak marxis sebagaimana berkembang dalam ilmu-ilmu sosial mengakui bahwa sesuatu pemikiran dinamakan ideologis kalau pemikiran tersebut tidak mencerminkan situasi konkret yang coba dijelaskan olehnya, tetapi pada saat yang bersamaan pemikiran ini dapat diintegrasikan secara harmonis dengan kehidupan umum yang terdapat dalam situasi tersebut. Lih. Ignas Kleden, Menulis Politik:

(5)

terhadap pembaca masa kini bahwa Yerusalem sebagai personifikasi dari umat Israel yang berada di pembuangan Babel. Pernyataan tersebut juga dapat dimaknai sebagai kelepasan dari belenggu penawanan penguasa Babel. Kekaisaran Babel sendiri berkuasa atas Israel sejak tahun 597 Sebelum Zaman Bersama (SZB) yang ditandai dengan penawanan raja Israel Yoyakhin beserta para pegawainya. Selanjutnya penaklukkan (Bait Allah) BA pada tahun 587 SZB yang juga disertai dengan penawanan sejumlah orang Israel, serta penawanan terakhir dilakukan pada tahun 582 SZB. Tetapi pada tahun 539 SZB Babel takluk di bawah kekuasaan penguasa baru yaitu kekaisaran Persia. Para ahli menduga bahwa pada masa kekuasaan kekaisaran Persia inilah, nabi menyatakan telah berakhirnya perhambaan Israel terhadap bangsa-bangsa lain.13 Persia sedang berjaya, lantas kekuasaannya dipahami dalam konteks yang seperti apa kalau demikian. Sebuah kekaisaran membebaskan komunitas Israel dari Babel, tetapi bukan berarti peranan Persia hilang begitu saja atas Israel.

2. Apa makna teologis dari pernyataan yang menekankan pada perhambaan yang telah usai ini?

Setelah memperoleh jawaban apakah perhambaan Israel benar berakhir secara faktual historis atau justru sebaliknya yang terjadi terutama setelah nabi mengumandangkan pesannya, maka penulis melanjutkan dengan pencarian makna teologis dari ungkapan itu. Termasuk apa dan bagaimana fungsi dan peran penting dari ungkapan perhambaan yang telah berakhir tersebut dalam konteks kehidupan sejumlah orang Israel yang hendak kembali ke tanah Palestina.

Dengan demikian skripsi ini bertujuan untuk memeriksa (berbagai) aspek politik yang terdapat dalam pernyataan pembebasan Israel dari pembuangan di Babilonia. Namun demikian, penelitian tidak berhenti pada pencarian ideologi teks dan pengarang saja. Penelitian dilanjutkan dengan penelusuran ideologi penafsir. Dalam hal ini termasuk bagaimana usaha memahami nuansa dan kepentingan penulis teks, juga manfaat dan dampak terkait dengan kesadaran dimaksud.14 Setelah mengetahui berbagai ideologi tersebut, pembaca masa kini berhak menentukan sikap terhadap teks Alkitab, apakah

13

Martin Noth, The History of Israel, New York: Harper & Brother Publishers, 1960, p. 253 dyb, 289 dan 300 dst. Juga John Bright, A History of Israel, Philadelphia: Westminster Press, 1981, 3rd edition, p. 324 dan 343 dyb. Peter R. Ackroyd, Israel Under Babylon and Persia, London: Oxford University Press, 1970, p. 1 dyb.

14

(6)

meneruskan pemahaman dalam arti menerima ideologi teks, menolak15 atau memunculkan alternatif pemikiran terhadap ideologi teks.16

I.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian literatur dengan metode pendekatan kritik ideologi terhadap teks Yesaya 40: 1–11. Dalam menafsir, penulis melakukan tafsir ideologi terhadap tiga variabel yaitu; ideologi teks, ideologi penulis dan ideologi pembaca. Untuk menganalisis ketiga variabel tersebut, maka dilakukan dua langkah penting, yaitu: analisis ekstrinsik dan analisis intrinsik.

Kedua langkah tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:

Analisis ekstrinsik: menelusuri teks dengan menggunakan ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Analisis ini bertujuan untuk merekonstruksi kategori-kategori kekuasaan yang berkembang hingga terbentuknya teks dan kondisi-kondisi ideologi yang menghasilkan teks itu. Termasuk tipe struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat pada masa teks dihasilkan. Fokusnya adalah bagaimana kondisi masyarakat yang menghasilkan teks, misalnya jalinan hubungan sosial yang terjadi pada saat itu.

An extrinsic analysis of a biblical text is particularly concerned with the category of power. It tries to determine the types of social, political, and economic structures wielding power when the text was written; and it clarifies the kinds of power these structures exhibit, i.e., formal and informal, legal, cultic or religious.17

Analisis intrinsik: menelusuri teks dengan menggunakan kritik sastra untuk merekonstruksi-kan bagaimana teks mengasimilasimerekonstruksi-kan kondisi-kondisi sosial, politik dan ekonomi yang menghasilkan ideologi tertentu, lalu menyandikannya dalam bentuk retorik. Fokusnya adalah segala sesuatu yang mendasari dan mendorong orang untuk berpikir, bertindak dan berharap tentang segala sesuatu sehingga terbentuknya suatu teks. Lebih jelasnya Yee menegaskan, “In an intrinsic analisys, the ideological critic takes up literary critical methods to examine how the text assimilates or “encodes” socioeconomic conditions to reproduce a particular ideology in its rhetoric.”18

15

Norman K. Gottwald, “Social Class and Ideologi in Isaiah 40 – 55: A Eagletonian Reading,” SEMEIA 59, p. 44.Gottwald mengutip Eagleton menegaskan bahwa: “The function of criticism is to refuse the spontaneous presence of the work – to deny that ‘naturalnes’ in order to make its real determinants appear.”

16

Robert Setio, “Manfaat Kritik Ideologi bagi Pelayanan Gereja,” dalam Jurnal Teologi dan Gereja

PENUNTUN, Vol. 5 No.20, GKI Jabar, p. 401, Setio menegaskan perlunya suatu alternatif pemikiran terutama

kalau ideologi yang ada dalam teks membawa pada tindakan yang melawan nilai-nilai etis. 17

G. A. Yee, “Ideology Criticism,” dalam John H. Hayes, (Gen. ed.), Dictionary of Biblical

Interpretation, London: SCM Press Ltd, 1999, p. 535.

18

(7)

Setelah mengetahui kedua ideologi di atas, maka pada bagian selanjutnya (bab IV) dilakukan analisis terhadap pembaca masa kini (penafsir atau penulis). Berkaitan dengan kritik terhadap pembaca masa kini, Carroll menegaskan bahwa pembaca masa kini pun terikat oleh situasi dan kondisi tertentu, yang melahirkan pemahaman dan ideologi yang tertentu pula dari pembacaan teks.19 Fokusnya adalah analisis terhadap sejauh mana penafsir memahami dan menyadari nuansa dan kepentingan penulis teks. Dengan kata lain, pembaca masa kini mencoba meletakkan diri pada posisi penulis teks untuk menangkap nuansa dan kepentingan penulis atau kelompok yang menghasilkan teks. Dalam bagian analisa ini sekaligus coba memunculkan paham teologis dari teks Yes 40: 1 – 11. Dengan demikian, nilai dari teks ini sendiri memiliki tempat tersendiri dalam paham teologi Alkitab.

I.7 Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan,

Dalam bab ini penulis memaparkan beberapa hal berkaitan dengan: Latar belakang, permasalahan, batasan masalah, judul, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Analisis Ekstrinsik atas Yesaya 40: 1 – 11.

Dalam bab ini penulis melakukan analisis di seputar konteks sosial- historis pada masa sekitar penawanan sejumlah orang Israel ke Babel dan juga setelah kepulangan ke tanah Palestina.

Bab III : Analisis Intrinsik atas Yesaya 40: 1 – 11.

Dalam bab ini penulis melakukan analisis terhadap teks berdasarkan metode pendekatan literer.

Bab IV : Makna Pernyataan Perhambaan Israel telah Usai

Dalam bab ini penulis melakukan analisis terhadap makna pernyataan perhambaan Israel telah usai dalam bingkai DY sendiri dan teks-teks yang lain.

Bab V : Penutup, yang memuat: V.1 Kesimpulan

V.2 Relevansi

19

Robert P. Carroll, “On Representation in the Bible: An Ideologiekritik Approach,” JNSL 20/2, 1994, p. 13

Referensi

Dokumen terkait