• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP

TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI

(Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)

MISBAHUL MUNIR A14204001

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

MISBAHUL MUNIR. PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO).

Penelitian ini menggunakan konsep tentang konversi lahan dan tingkat kesejahteraan sebagai bahan analisisnya. Konversi lahan pertanian dalam hal ini erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Berangkat dari pandangan umum bahwa konversi lahan pertanian akan menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Penelitian ini mencoba mengungkap kebenaran dari hal tersebut atau minimal sebagai pembanding dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lebih dalam mengenai: (1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan pertanian, (2) Pengaruh konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Berkaitan dengan tujuan penelitian, studi ini juga berusaha menganalisis secara singkat mengenai dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut baik dilihat dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Pilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja yaitu di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2008. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa kajian atas lokasi penelitian dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara lebih spesifik.

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan didukung data kualitatif. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan penyebaran kuesioner kepada 30 responden, cara wawancara mendalam dan pengamatan selama penelitian berjalan. Data sekunder diperoleh dari dokumen, baik dokumen pemerintah desa maupun tokoh dan lembaga desa yang ada.

Mayoritas penduduk Desa Candimulyo adalah petani dan buruh tani yaitu 2353 jiwa (70.4 %). Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa pertanian masih merupakan mata pencaharian yang utama bagi penduduk di sini selain menjadi pedagang dan wiraswasta. Mayoritas petani yang menjadi responden adalah petani yang tidak mengkonversikan lahannya yang rata-rata kepemilikan lahannya antara 0.25-0.5 hektar. Hal ini didasarkan pada proporsi dari populasi.

Konversi lahan yang terjadi di desa penelitian telah terjadi sejak tujuh tahun silam. Konversi lahan tersebut adalah konversi lahan pertanian menjadi pertambangan pasir dan batu. Hal ini berawal dari jatuhnya harga komoditas pertanian mereka di samping kelangkaan saprotan. Tiap tahun, terdapat pengurangan luas lahan pertanian di desa ini secara progresif. Lahan pertanian dikepres habis pasir dan batunya sehingga kini tampak seperti bukit berongga.

Faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan di Desa Candimulyo sebenarnya berawal dari keinginan para petani untuk mempertahankan hidupnya karena penghasilan dari bercocok tanam dirasa tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi ini memacu petani untuk mengkonversikan lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu dengan

(3)

dukungan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal meliputi umur petani, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas kepemilikan lahan, dan tingkat ketergantungan pada lahan. Tingkat ketergantungan pada lahan dalam hal ini tidak berhubungan dengan konversi lahan yang terjadi di sini. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi pengaruh tetangga, pengaruh investor, dan kebijakan pemerintah daerah. Dalam hal ini, faktor eksternal yang berhubungan dengan konversi lahan di desa ini adalah kebijakan pemerintah daerah.

Petani yang mengkonversikan lahan pada umumnya berumur antara 30-40 tahun, memiliki lebih dari empat orang tanggungan keluarga, tidak sekolah atau berpendidikan rendah, dan memiliki lahan sempit atau di bawah 0.25 hektar. Selain itu, petani-petani ini biasanya belum pernah menerima bantuan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian misalnya pupuk dan bibit.

Perhitungan statistik menunjukkan bahwa konversi lahan dalam kasus ini berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Dalam hal ini, sebuah rumahtangga petani akan lebih sejahtera ketika mengkonversikan lahannya menjadi pertambangan pasir dan batu. Hal ini dapat terjadi karena hasil pertambangan tersebut dapat dinikmati setiap hari sedangkan untuk hasil pertanian harus menunggu sampai musim panen yang paling tidak tiga sampai empat bulan.

Dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut dapat dilihat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Antara lain dampak positif dan negatif. Dampak positif yang kini dirasakan masyarakat adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan rumahtangga petani, tingkat keamanan yang meningkat, serta bekurangnya tingkat pengangguran karena kebanyakan masyarakat yang pada awalnya menganggur kini ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat adalah perubahan sikap sebagian masyarakat yang selalu ingin mengambil keuntungan dari orang lain dan dampak bagi lingkungan. Akibat penambangan tersebut, lahan pertanian menjadi rusak sehingga akan rawan banjir dan tanah longsor.

(4)

PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP

TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI

(Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)

Oleh

MISBAHUL MUNIR A142004001

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama : Misbahul Munir

No. Pokok : A14204001

Judul : Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA NIP. 131 610 288

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019

(6)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI (KASUS DESA CANDIMULYO, KECAMATAN KERTEK, KABUPATEN WONOSOBO, PROPINSI JAWA TENGAH)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN DALAM TULISAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.

Bogor, Agustus 2008

Misbahul Munir NRP. A 14204001

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala Puji dan Syukur hanya dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada:

1. Keluarga besarku tercinta, Mama yang telah memberikan kasih dan doanya, adikku (Almi, Ilma), serta saudara-saudara, yang senantiasa memberikan aku semangat. Karya kecil ini kepersembahkan bagi kalian. Selamanya kalian hal yang paling indah yang pernah kumiliki.

2. Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA., selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam prilaku dan ucapan selama masa bimbingan yang kurang berkenan di hati Bapak.

3. Bapak Dr. Satyawan Sunito sebagai dosen penguji utama yang telah bersedia meluangkan waktu dan kritikan untuk memperbaiki skripsi ini. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam prilaku dan ucapan yang kurang berkenan.

4. Bapak Martua Sihaloho, SP. MSi., selaku penguji dari Departemen KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubbeis, MS., selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan bimbingan dan nasehat.

(8)

6. Yunda Pramuchtia yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan semangat selama penelitian yang penuh suka dan duka.

7. Ilham, Leonard, Adi, Nceq, Sani, Ami, Mira, Oline, Yoyo, Wulan, Mei, Artha, Nani, Eno, Pangkau, Tyas. Terima kasih untuk semangat dan doanya.

8. Teman-teman seperjuangan KPM 41, yang telah banyak membantu merasa sepenanggungan. Yulia, Ubi, Hadim, Bangjay, Yudi, Bayu, Udin, Depu, Ayu, Elin, Andini, Ina, Dini, Lala, Ani, Ria, Uma, Dewi, Qori, Dessy, Tutc, Nessa. 9. Pak Dede, Ibu Neni, Deni, Kiki, serta seluruh penghuni Pondok Girma, Aida,

Gigit, Mela, Takur, Tile, Amaw, Aryo, Skum, Yuda, Viki, Wahid, Iyan, Anto, Aan, A’ Fahad, terima kasih telah menjadi keluarga bagiku.

10. Agria Swara IPB, terima kasih atas pengalaman luar biasa yang telah kau berikan padaku.

11. Tim dosen KPM SOSEK IPB, terimakasih telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga untuk seluruh staff KPM yang telah membantu selama perkuliahan.

12. Pak Ashuri, Pak Warsidi, dan segenap masyarakat Desa Candimulyo. Terima kasih atas sambutan dan dukungan selama penelitian.

13. Angke Tiande Putri, semangat dan doamu selalu mengiringiku walau kau berada jauh di sana.

14. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian Skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008 Penulis

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirrohim.

Alhamdulliah segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi atas ridho, kasih sayang, izin dan hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Pengaruh Konversi Lahan terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani dengan studi kasus Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk memahami sekaligus mengkaji kaitan antara kegiatan pengalihfungsian lahan pertanian dengan kondisi kesejahteraan masyarakat khususnya petani secara sosial, ekonomi dan ekologis.

Penulisan skripsi terselesaikan dengan bimbingan, saran dan sumbangan pemikiran yang menarik dari berbagai pihak. Dengan rasa kekaguman dan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubbeis, MS sebagai pembimbing akademik dan Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai pembimbing studi pustaka sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati Penulis menerima kritikan dan saran yang membangun untuk penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi dikemudian hari. Akhirnya, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Wonosobo, 26 Juni 1985 sebagai anak tunggal dari pasangan suami istri Moch. Mukmin dan Siti Aisyah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah Kebangsaan Pogoh, Segamat, Johor, Malaysia pada tahun 1997. Pada awal tahun 1998, penulis melanjutkan lagi ke Sekolah Menengah Kebangsaan Dato’ Bentara Dalam, Segamat, Johor, Malaysia. Selanjutnya pertengahan tahun 2001, penulis melanjutkan lagi ke SMU Muhammadiyah Wonosobo dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah, Penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi, baik di dalam maupun luar kampus. Penulis pernah menjabat sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa di Badan Eksekutif Mahasiswa Faperta, staf Divisi Infokom di Keluarga Muslim Sosek, dan staf Divisi Musik di Ladang Seni Faperta. Prestasi yang pernah penulis raih yaitu juara I MTQ tingkat IPB pada tahun 2005 serta menjadi staf terbaik pada bulan Februari 2005 di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas pertanian. Prestasi terbaik yang pernah penulis peroleh yaitu mengikuti “The 11th International Choir Competition and Festival Hungary 2007” 2-5 April, dengan memperoleh dua predikat emas untuk kategori “Mix Choir” dan “Folklor” dan The Winner dalam kategori “Mix Choir”.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Fungsi Utama Lahan ... 9

2.2 Tata Guna: Penggunaa dan Penguasaan Lahan 2.2.1 Penggunaan Lahan ... 10

2.2.2 Penguasaan Lahan... 14

2.3 Konversi Lahan dan Faktor Penyebab 2.3.1 Konversi Lahan ... 18

2.3.2 Faktor Penyebab... 20

2.4 Konsep Petani ... 25

2.5 Tingkat Kesejahteraan... 30

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian ke Penggunaan Non Pertanian ... 35

2.7 Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga ... 36

2.8 Kerangka Pemikiran Operasional ... 36

2.9 Hipotesis Penelitian... 38

2.10 Definisi Operasional ... 40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.2 Teknik Pemilihan Responden ... 44

3.3 Pendekatan Penelitian ... 45

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 46

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CANDIMULYO 4.1 Letak Geografis Desa Candimulyo ... 48

4.2 Kependudukan, Sarana, dan Prasarana ... 48

4.3 Ekonomi dan Potensi Desa... 50

(12)

4.5 Ikhtisar ... 53

BAB V PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP LAHAN 5.1 Lahan Sebagai Fungsi Ekonomi ... 55

5.2 Lahan Sebagai Fungsi Sosial ... 56

5.3 Keterkaitan Antara Fungsi Ekonomi dan Sosial Lahan ... 58

5.4 Ikhtisar ... 60

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONVERSI LAHAN 6.1 Kondisi Konversi Lahan di Desa Candimulyo ... 62

6.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan... 65

6.2.1 Karakteristik Petani 6.2.1.1 Umur Petani ... 67

6.2.1.2 Tingkat Pendidikan ... 69

6.2.1.3 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 71

6.2.1.4 Luas Kepemilikan Lahan ... 73

6.2.1.5 Tingkat Ketergantungan pada Lahan ... 76

6.2.2 Faktor Eksternal 6.2.2.1 Pengaruh Tetangga... 78

6.2.2.2 Pengaruh Investor ... 81

6.2.2.3 Kebijakan Pemerintah Daerah... 83

6.3 Ikhtisar ... 86

BAB VII PENGAUH KONVERSI LAHAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI 7.1 Hubungan Antara Konversi Lahan dengan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani ... 88

7.2 Dampak Konversi Lahan di Desa Candimulyo... 94

7.3 Ikhtisar ... 97 PENUTUP Kesimpulan ... 99 Saran... 99 DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN... 103

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Teks

1. Total Produksi Pertanian di Wonosobo Menurut Jenis Tanaman

Pada Tahun 2006... 4 2. Perubahan Luas Lahan Sayuran Utama di Kabupaten Wonosobo

Periode 2004-2007 ... 4 3. Jumlah Penduduk Lima Tahun ke Atas Dirinci Menurut Tingkat

Pendidikan... 49 4. Penduduk Desa Candimulyo Menurut Jenis Mata Pencaharian ... 50 5. Jumlah Responden Menurut Umur dan Konversi Lahandi Desa

Candimulyo Tahun 2008... 68 6. Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan Konversi Lahan

di Desa Candimulyo Tahun 2008 ... 69 7. Jumlah Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga dan

Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008... 72 8. Jumlah Responden Menurut Luas Kepemilikan Lahan dan Konversi

Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008... 74 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Ketergantungan pada Lahan

dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008 ... 77 10. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Tetangga dan Konversi Lahan

di Desa Candimulyo Tahun 2008... 79 11. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Investor dan Konversi Lahan

di Desa Candimulyo Tahun 2008 ... 82 12. Jumlah Responden Menurut Penerimaan Dukungan Pemerintah di

Bidang Pertanian dan Konversi Lahandi Desa Candimulyo Tahun

2008... 85 13. Analisis Chi Square dari Faktor-faktor yang Diduga Berhubungan

dengan Konversi Lahan di Desa Candimulyo... 86 14. Jumlah Responden Menurut Petani yang Mengkonversi Lahan dan

Tingkat Kesejahteraan... 92 15. Contoh Hasil Survei terhadap Responden tentang Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Konversi Lahan dan Tingkat Kesejahteraan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian... 104

2. Gambar Komoditas Utama Petani di Desa Candimulyo... 105

3. Gambar Kondisi Konversi Lahan di Desa Candimulyo... 106

4. Kuesioner ... 108

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan bagi penduduk Indonesia adalah sumber daya yang paling penting (Tjondronegoro, 1999). Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk, keberadaan lahan terutama lahan pertanian menjadi semakin terancam dikarenakan kebutuhan yang lebih penting yaitu untuk tempat tinggal. Fenomena ini memacu terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian baik itu untuk kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, bahkan sarana publik. Menurut Utomo (1992), alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Agus (2004) mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta hektar di Jawa dan 0,62 juta hektar di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta hektar di Jawa dan sekitar 2,7 juta hektar di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan

(17)

ketergantungan Indonesia terhadap beras impor1. Suman (2007) menambahkan bahwa pada rentang tahun 1992 sampai 2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Angka itu melonjak pada empat tahun terakhir menjadi 145.000 hektar. Kini, ada permohonan dari pemerintah daerah kepada Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk mengalihkan lahan pertanian seluas 3,099 juta hektar. Dari jumlah itu 1,6 juta hektar atau 53,8 persen adalah lahan subur yang berada di Jawa dan Bali.

Kebutuhan pangan dalam hal ini beras terus mengalami peningkatan akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita yang dirangsang oleh kenaikan pendapatan rumahtangga. Untuk mengimbangi peningkatan tersebut, produksi beras nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Namun, berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini justru semakin melambat. Pada kondisi di mana produktivitas usahatani padi sulit ditingkatkan, peningkatan luas panen padi merupakan upaya yang terpaksa dilakukan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Namun demikian, keterbatasan sumber daya lahan dan anggaran pembangunan menyebabkan upaya tersebut semakin sulit diwujudkan. Pada situasi di mana produksi padi sulit ditingkatkan akibat meningkatknya kendala perluasan sawah dan stagnasi teknologi usahatani, konversi lahan sawah akan memperbesar masalah pangan (Irawan, 2004).

1 Fahmudin Agus. 2004. Konversi dan Hilangnya Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com [diakses tanggal 2 November 2007].

(18)

Konversi lahan pertanian merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan pertanian yang telah dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan pertanian. Demikian pula upaya untuk membangun lahan pertanian baru di luar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun lahan pertanian dengan tingkat produktivitas yang tinggi2.

Keberadaan lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian dapat menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Salah satu dampak konversi lahan yang sering mendapat sorotan masyarakat adalah terganggunya ketahanan pangan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional (Irawan, 2004). Hal yang sangat disesalkan adalah ketika konversi lahan tersebut dilakukan pada lahan-lahan produktif atau bahkan ada yang telah dilengkapi dengan saluran irigasi.

Kabupaten Wonosobo sebagian besar wilayahnya berada di dataran tinggi yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Dengan topografi demikian serta didukung oleh kesuburan tanah dan iklim yang sejuk, pertanian terutama jenis palawija dan sayuran menjadi mata pencaharian utama penduduk Wonosobo. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini menjadi penghasil utama sayur-mayur di Jawa Tengah. Di Wonosobo, sektor pertanian memberi kontribusi terbesar bagi

2 E. Pasandaran. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di

Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor. http//pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com. [diakses tanggal 2 Desember 2007].

(19)

kegiatan ekonomi daerah ini dari tahun ke tahun. Tahun 1999, kontribusinya mencapai 56,61 persen3. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat produksi pertanian bagi daerah Wonosobo menurut jenis tanaman.

Tabel 1. Total Produksi Pertanian di Kabupaten Wonosobo Menurut Jenis Tanaman Pada Tahun 2006.

Jenis Tanaman Total Produksi (ton) Persentase (%) Tanaman pangan utama (padi

sawah, padi gogo) 151.370 26,45

Palawija (jagung, ubi kayu, ubi

jalar, kacang tanah, kacang kedelai) 259.862 45,41

Sayuran (kentang, kobis, sawi ketimun, kangkung, wortel, buncis, kacang merah, kacang panjang, cabe, tomat, bawang daun, bawang putih, bawang merah,)

160.999 28,14

Jumlah 572.231 100

Sumber: Dinas Pertanian Wonosobo, diolah.

Belakangan ini fenomena konversi lahan pertanian marak terjadi di sejumlah daerah di Wonosobo. Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan luas lahan sayuran utama selama empat tahun terakhir. Tabel 2 menunjukkan penurunan luas lahan pertanian sayuran utama selama periode 2004-2007 di Kabupaten Wonosobo.

Tabel 2. Perubahan Luas Lahan Sayuran Utama di Kabupaten Wonosobo Periode 2004-2007.

Luas lahan sayuran (ha) Tahun

Kentang Sawi Kubis

2004 3.418 1196 3.920

2005 3.144 934 3.789

2006 3.045 928 3.615

2007 3.000 862 3.600

Sumber: Dinas Pertanian Wonosobo, diolah.

3 Dikutip dari Retno Setyowati, Koran Kompas 6 Februari 2001, diakses melalui http://bankdata.depkes.go.id/kompas/Kabupaten%20Wonosobo.

(20)

Fenomena konversi lahan yang sedang marak terjadi di Wonosobo adalah berubahnya lahan sayuran menjadi lahan untuk pertambangan pasir dan batu. Salah satu daerah di Wonosobo terkait fenomena ini adalah di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek. Para petani di sana lebih memilih mengkonversikan lahan mereka karena penghasilan dari bercocok tanam dirasa sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Banyak juga yang merelakan lahan mereka kepada investor karena tergiur dengan iming-iming harga lahan yang tinggi. Belum lagi petani yang melakukan bagi hasil dari pertambangan pasir dan batu itu. Melihat kondisi tersebut, logikanya konversi lahan pertanian artinya mengkonversi sumber penghasilan petani atau bahkan menghilangkan pekerjaan petani. Oleh karena itu, fenomena menarik yang dapat diteliti di sini adalah faktor-faktor pemicu petani untuk mengkonversikan lahan pertaniannya serta hubungan antara konversi lahan pertanian tersebut dengan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.

1.2 Perumusan Masalah

Lahan merupakan wadah faktor produksi yang strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Akan tetapi perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri. Pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan.

(21)

Konversi lahan pada dasarnya tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan pembangunan. Kebutuhan konversi lahan tersebut terjadi karena dua hal pokok, yaitu pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya, dan yang kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Permintaan efektif terhadap lahan juga menentukan konversi lahan. Pertambahan penduduk di suatu wilayah akan meningkatkan kepadatan penduduk di wilayah yang bersangkutan. Hal ini secara langsung meningkatkan permintaan efektif terhadap lahan di wilayah tersebut. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan yang lebih luas untuk perluasan pemukiman dan kegiatan-kegiatan perekonomian guna menunjang kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya tersebut. Sedangkan peningkatan tuntutan mutu hidup yang lebih baik pada dasarnya merupakan dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan.

Peningkatan kebutuhan lahan di beberapa wilayah berarti pengurangan terhadap luas lahan-lahan pertanian. Inti permasalahannya selain pengurangan luas lahan pertanian adalah, konversi lahan sering terjadi pada wilayah-wilayah yang subur dan pada tempat-tempat di mana telah dilaksanakan investasi untuk pembangunan irigasi.

Desa Candimulyo merupakan daerah yang subur untuk pertanian. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan pertanian letaknya berada dekat dengan sumber pertumbuhan ekonomi seperti perkotaan, maka akan menggeser penggunaan lahan pertanian ke bentuk lain seperti perumahan, lokasi pabrik, dan lain-lain. Hal lain yang terjadi adalah

(22)

adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Ketika ada pandangan bahwa kegiatan di bidang nonpertanian lebih baik dari bidang pertanian, maka secara tidak langsung mendorong petani untuk mengkonversikan lahannya.

Fenomena konversi lahan tersebut akhirnya dapat menyebabkan berkurangnya lahan pertanian, hilangnya pekerjaan dari sebagian petani, berkurangnya produksi pertanian, serta berkurangnya pendapatan sebagian masyarakat yang terkait dalam sektor pertanian tersebut.

Dari uraian di atas, maka permasalahan penelitian yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan pertanian?

2. Bagaimana pengaruh konversi lahan pertanian tersebut terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan petani untuk mengkonversi lahan pertanian.

2. Menganalisis pengaruh konversi lahan pertanian terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.

(23)

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi peneliti untuk memahami permasalahan yang menjadi topik kajian dan mencari penguatan teori yang telah didapat di perkuliahan. Selain itu juga memberikan manfaat terhadap perkembangan literatur tentang penelitian agraria bagi para akademisi, peneliti lain, pihak penyelenggara proyek, dan institusi pemerintah yang berkaitan dengan proyek pembangunan pertanian. Secara praktis dapat memberikan informasi pada masyarakat, pihak swasta maupun pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan dalam membantu masyarakat untuk menyokong kebutuhan masyarakat khususnya petani.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lahan dan Fungsi Utama Lahan

Lahan adalah suatu wilayah daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup semua tanda pengenal (attributes) atmosfer, lahan, geologi, timbulan (relief), hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, sejauh hal-hal tadi berpengaruh murad (significant ) atas penggunaan lahan pada masa kini dan masa mendatang4. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya. Menurut Notohadikusumo (2005), lahan adalah jabaran operasional kawasan. Lahan (land) ialah hamparan darat yang merupakan suatu keterpaduan sejumlah sumberdaya alam dan budaya. Lahan mengandung sejumlah ekosistem dan sekaligus juga menjadi bagian dari ekosistem-ekosistem yang dikandungnya5.

Menurut Utomo dkk. (1992), lahan memiliki ciri-ciri yang unik dibanding sumber daya lainnya, yakni lahan merupakan sumber daya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan. Sebagaimana dipaparkan oleh Jayadinata (1999), tanah berarti bumi (earth), sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umum ada pemiliknya, baik perseorangan atau lembaga. Membahas mengenai keterkaitan lahan dengan agraria, Sitorus (2004) mengulas kembali isi UUPA 1960 pasal 1

4 Tejoyuwono Notohadiprawiro. 1996. Lahan Kritis dan Bincangan Pelestarian Lingkungan Hidup. Seminar Nasional Penanganan Lahan Kritis di Indonesia tanggal 7-8 November. INAGRO

(PT. Intidaya Agrolestari), Desa Cibeuteung Udik, Parung, Bogor. http://www.FORUM.co.id [diakses tanggal 28 Desember 2007].

5 Tejoyuwono Notohadikusumo. 2005. Implikasi Etika dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan. http://www.FORUM.co.id [diakses tanggal 28 Desember 2007].

(25)

(ayat 2,4,5,6) di mana tanah atau lahan merupakan salah satu sumber atau objek agraria yang memiliki posisi sentral yang mewadahi semua kekayaan alami dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan.

Lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, menurut Utomo (1992) memiliki dua fungsi dasar, yakni fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi, dan lain-lain. Fungsi yang kedua adalah fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

2.2 Tata Guna: Penggunaan Lahan dan Penguasaan 2.2.1 Penggunaan lahan

Penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah pengaturan penggunaan lahan itu sendiri. Hal yang dibicarakan dalam tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil, air, iklim, dan sebagainya) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilan tata guna lahan, terdapat dua unsur penting, antara lain:

(26)

a) Tata guna lahan yang berarti penataan/pengaturan penggunaan (merujuk kepada Sumber Daya Manusia), dan

b) Lahan (merupakan Sumber Daya Alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain, seperti air, iklim, tubuh lahan, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya.

Faktor geografi budaya (faktor geografi sosial) dan faktor geografi alam serta relasi antara manusia dengan alam perlu diperhitungkan dalam membahas tata guna lahan Penggunaan permukaan bumi di daratan dan di lautan, yaitu terutama penggunaan lahan dan permukaan air di suatu wilayah tertentu merupakan kegiatan penduduk yang berhubungan dengan ruang. Tata guna lahan dapat juga ditinjau menurut suatu wilayah dalam keseluruhan. Wilayah dalam pengertian geografi merupakan kesatuan alam, yaitu alam yang serba sama atau homogen dan kesatuan manusia (yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri khas), sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dengan wilayah lain (Jayadinata, 1999).

Pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda, yakni bergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan tergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi, dan pemanfaatan/pengaturan estetika. Sehubungan dengan hal itu, Chapin (1995)

(27)

seperti dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yakni:

1) Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli lahan di pasaran bebas.

2) Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

3) Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Utomo dkk (1992) kemudian menjelaskan bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yakni:

1) Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapatnya endapan bahan galian di bawah permukaannya.

2) Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, di mana tidak memanfatkan potensi alaminya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan pengunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya.

Terkait hal tersebut, Utomo dkk (1992) menjelaskan tentang faktor-faktor yang menentukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain:

1) Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan

(28)

kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan, seperti sumber ekonomi, akses transportasi, akses layanan kesehatan, rekreasi, dan lain-lain.

2) Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangan, transmigrasi, perhubungan, dan pariwisata.

3) Faktor penggunaan teknologi; faktor ini dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut bersifat menurunkan potensi lahan. Misalnya penggunaan pestisida dengan dosis yang terlalu tinggi di suatu kawasan dapat menyebabkan kerusakan lahan tersebut sehingga perlu untuk dialih fungsi.

4) Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Misalnya kebijakan makro yang memicu terjadinya transformasi struktur penguasaan lahan (struktur agraria) sebagaimana diungkapkan oleh Fauzi (1999) seperti revolusi hijau, program agro-industri, dan eksploitasi hutan.

Penggunaan lahan yang merupakan tuntutan bagi manusia sebagai penopang hidup, menjelaskan bahwa alih fungsi lahan merupakan hal yang lazim dan harus terjadi. Hal tersebut didukung dengan kegagalan institusional, di mana pelaksanaan peraturan-peraturan atas sumber agraria masih lemah, serta kurang jelas batasan-batasan peruntukan lahan. Faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi konversi lahan.

(29)

2.2.2 Penguasaan Lahan

Aspek penguasaan lahan seperti yang dikutip oleh Syahyuti (2005) tertuang dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek ‘penguasaan dan pemilikan’ dan aspek ‘penggunaan dan pemanfaatan’. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek ‘penguasaan dan pemilikan’ jelas berbeda dengan aspek ‘penggunaan dan pemanfaatan’, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan lahan, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana lahan (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi6.

Wiradi (1984) juga menjelaskan batasan pola-pola penguasaan lahan dengan menelaah istilah pemilikan, penguasasan, dan pengusahaan lahan. Kata ‘pemilikan’ merujuk kepada penguasaan formal, sedangkan ‘penguasaan’ menunjuk kepada penguasaan efektif, dalam artian mengusahakan lahan secara efektif. ‘Pengusahaan’ menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang lahan diusahakan secara produktif.

6 Syahyuti. 2005. Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Bogor: Pusat

Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http//pse.litbang.deptan.go.id/publikasi.com. [diakses tanggal 10 Januari 2008].

(30)

Planck (1990) menyebutkan bahwa untuk menguasai lahan dapat dilakukan dengan sewa, gadai, bagi hasil, dan sebagainya. Pemilik lahan sempit dapat menggarap lahan orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya sendiri. Berdasarkan cara penguasaan tersebut, maka terdapat penggolongan penduduk pedesaan sebagai berikut:

1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang menggarap lahannya sendiri. 2) Pemilik dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan

tetapi memiliki garapan melalui sewa atau bagi hasil. Golongan ini termasuk ke dalam kelompok tunakisma, tetapi jika dilihat dari garapan, maka mereka termasuk pengusaha lahan efektif.

3) Pemilik penyewa dan atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri, juga menggarap lahan milik orang lain.

4) Pemilik bukan penggarap, umumnya pemilik lahan luas.

5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai lahan garapan. Sebagian besar mereka adalah buruh tani.

Terkait dengan pola hubungan agraria (lahan), Sihaloho (2004) menggolongkan penguasaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1) Masyarakat yang memiliki lahan luas dan menggarap lahannya kepada orang lain; pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun bagi hasil. Bagi hasil yang umum disepakati adalah maro dan mertelu.

2) Pemilik lahan sempit yang melakukan pekerjaan usahatani dengan tenaga kerja keluarga. Pola ini umumnya tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh

(31)

tani karena seluruh kegiatan usahatani dilakukan sendiri sehubungan luas lahan yang dimiliki juga sempit.

3) Pemilik lahan yang melakukan usahatani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani. Petani yang dimaksud di sini adalah petani berlahan sempit maupun berlahan luas.

Fenomena pemilikan lahan terkait erat dengan pertumbuhan penduduk. Makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin bertambah (tunakisma). Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja (Rusli, 1995).

Melihat kondisi di atas, terkait dengan perencanaan penggunaan lahan, satu hal yang sering dilupakan adalah hak atas lahan. Pengaturan mengenai hak atas lahan tersebut merupakan jaminan bagi anggota masyarakat tentang penguasaannya atas sebidang lahan dan merupakan penghalang bagi anggota masyarakat yang satu untuk mengambil lahan orang lain tanpa persetujuan atau persyaratan yang bersangkutan.

Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi, demografi, hukum politik, dan sosial. Hubungan penguasaan lahan bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam kaitannya hubungan antara manusia dengan lahan sebagai benda, hanya mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini aktivitas itu adalah penggarapan dan

(32)

pengusahaannya. Misalnya jika seseorang memiliki sebidang lahan tertentu, ini mengandung implikasi bahwa orang lain tidak boleh memilikinya, atau boleh menggarapnya dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi selanjutnya adalah bahwa hal itu mencakup hubungan antara pemilik dan buruhnya, antara sesama buruh tani dan antara orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi di mana lahan merupakan salah satu faktornya (Wiradi, 1984)

Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa pola penguasaan dapat diketahui pertama dari pemilikan lahan dan bagaimana lahan tersebut diakses oleh orang lain. Menurutnya, penguasaan dapat dibagi dua yaitu, pertama, pemilik sekaligus penggarap. Pemilik penggarap umumnya dilakukan oleh petani berlahan sempit, karena ketergantungan ekonomi dan kebutuhan akan rumahtangga maka pemilik sekaligus menggarap lahannya dengan menggunakan tenaga kerja keluarga dan atau memanfaatkan tenaga buruh tani. Kedua adalah pemilik yang mempercayakan kepada penggarap. Seperti ungkapan Scheltema (1985) yang dikutip oleh Sihaloho (2004), pola ini merupakan pola yang khas terjadi di Indonesia sejak tahun 1931 dan telah ditemukan di 19 daerah hukum adat. Hal ini menunjukkan ketimpangan struktur agraria telah terjadi sejak lama dan sistem bagi hasil dan atau sewa menjadi solusi ketimpangan ini khususnya dalam hal penguasaan dan atau akses terhadap lahan. Secara umum, konversi lahan menyebabkan perubahan struktur agraria. Perubahan ini dilihat dari pemilikan lahan yang makin sempit bagi masyarakat setempat. Konversi juga menyebabkan hilangnya akses terhadap lahan bagi petani penggarap dan buruh tani.

(33)

2.3 Konversi Lahan dan Faktor Penyebab 2.3.1 Konversi Lahan

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya.

Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan berternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.

Utomo dkk. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

(34)

Irawan (2004) mengungkapkan bahwa konversi lahan berawal dari permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan yang kurang elastis terhadap pendapatan dibanding permintaan komoditas non pertanian. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju lebih tinggi dibanding permintaan komoditas pertanian. Konsekuensi lebih lanjut adalah, karena kebutuhan lahan untuk memproduksi setiap komoditas merupakan turunan dari permintaan komoditas yang bersangkutan, maka pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibanding kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

Kuantitas atau ketersediaan lahan di setiap daerah relatif tetap atau terbatas walaupun secara kualitas sumberdaya lahan dapat ditingkatkan. Pada kondisi keterbatasan tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk memproduksi komoditas tertentu akan mengurangi ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi komoditas lainnya. Oleh karena pembangunan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dibanding permintaan lahan di sektor pertanian, maka pertumbuhan ekonomi cenderung mengurangi kuantitas lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian. Pengurangan kuantitas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan pertanian, yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan seterusnya (Irawan 2004).

(35)

Pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di negara-negara yang sedang berkembang konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).

2.3.2 Faktor Penyebab

Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang produktif. Berdasarkan hal tersebut, Pakpahan (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh

(36)

pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.

Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota. Alih fungsi lahan menjadi isu penting karena sebagian besar terjadi pada lahan pertanian produktif dan adanya indikasi pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses fragmentasi lahan di pihak lain (Pakpahan, 1993).

Konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).

(37)

Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Dari hasil penelitiannya yang dilakukan di Kelurahan Mulaharja, dia memaparkan bahwa konversi lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni (1) faktor pada arus makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan ‘marjinalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi. (2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumahtangga (struktur ekonomi rumahtangga), kesejahteraan rumahtangga (orientasi nilai ekonomi rumahtangga) dan strategi bertahan hidup rumahtangga (tindakan ekonomi rumahtangga). Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan, Sihaloho (2004) membagi konversi lahan ke dalam tujuh pola atau tipologi yaitu:

1) Konversi Gradual-Berpola Sporadis; pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama (lahan yang kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi).

2) Konversi Sistematik Berpola ‘enclave’; pola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk ‘sehamparan lahan’ secara serentak dalam waktu yang relatif sama.

3) Konversi Adaptasi Demografi (Population growth driven land conversion); pola konbersi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal atau pemukiman akibat pertumbuhan penduduk.

4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (Social Problem driven land conversion); pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk

(38)

berubah dari masyarakat meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian (utama).

5) Konversi ‘Tanpa Beban’; pola konversi yang dilakukan oleh pelaku (baik warga lokal) untuk melakukan aktivitas menjual lahan kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain.

6) Konversi Adaptasi Agraris; pola konversi yang terjadi karena keinginan meningkatkan hasil pertanian dan juga minat untuk bertani di suatu tempat tertentu sehingga lahan dijual dan membeli lahan baru di tempat lain yang lebih bernilai produktif dan merupakan tempat yang ‘dipandang tepat’ untuk berusaha.

7) Konversi Multi Bentuk atau Tanpa Pola; konversi yang diakibatkan oleh berbagai faktor khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak spesifik dijelaskan dalam konversi adaptasi demografi.

Konversi lahan erat kaitannya pula dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio manusia-lahan menjadi semakin besar, sekalipun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin bertambah. Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang

(39)

menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja.

Kemiskinan sangat bertalian dengan kesempatan kerja. Penduduk yang lebih padat dan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat menghendaki jumlah dan tingkat pertumbuhan kesempatan kerja yang cepat pula. Dalam keadaan kurang berkembangnya kesempatan kerja non-pertanian, dan persedian lahan pertanian rata-rata per orang sudah semakin terbatas, tidak saja sebagian dari angkatan kerja bertambah sulit memperoleh pekerjaan, tetapi juga banyak yang terlibat dalam pengangguran terselubung dilihat dari jumlah jam kerja maupun dari sangat rendahnya tingkat penghasilan yang diterima. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan meluasnya kemiskinan di daerah-daerah tertentu. Tidak heran, melihat kondisi ini, masyarakat yang memiliki lahan sekecil apapun sangat memungkinkan untuk dikonversi atau dijual demi mempertahankan hidupnya (Rusli 1995).

2.4 Konsep Petani

Hingga kini, belum ada kesepakatan antara para ahli sosial pedesaan dalam mendefinisikan petani, sebagaimana diungkapkan Barrington Moore Jr, yang menyatakan bahwa: Tak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasnya memang kabur pada batasan kenyataan sosial itu sendiri. Pengakuan adanya sejarah subordinasi kelas atas tuan tanah yang diperkuat dengan hukum kekhususan kultural serta kepemilikan lahan secara de facto, semua itu merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan petani dengan yang

(40)

lainnya7. Bahari (2002) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Lahan bagi petani bukan hanya memiliki arti materil-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki lahan adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya8.

Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis sepeti upeti, pajak, atau pasar bebas. Persoalan tidak hanya pemilikan lahan secara de facto, tetapi lebih berfokus pada lepasnya penguasaan produksi dan tenaga kerja kepada pihak lain9. Dia kemudian membedakan antara petani pedesaan atau petani tradisional (peasant) dengan petani pengusaha pertanian atau petani modern (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara petani peasant dengan pecocok tanam primitif terletak pada orientasi dan distribusi hasil, di mana pada pecocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi digunakan untuk penghasilannya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain yang tidak dihasilkan sendiri. Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam mengelola usahataninya. Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung pada alam dan menggunakan pengetahuan

7 Syaiful Bahari. 2002. Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi dalam

Menuju Keadilan Agraria: 70 Gunawan Wiradi Hal. 161.

8 Ibid.

(41)

serta teknologi tradisional dalam pengembangan produksinya. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk mencari keuntungan. Sebaliknya farmer adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan usaha modern dan menanam jenis tanaman yang laku di pasar.

Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan lahan dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan lahan. Kategori ini dengan demikian meliputi para penyewa dan pemanen bagi hasilnya sebagaimana kategori untuk pemilik-pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan10. Petani peasant tidaklah melakukan usahatani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan surplus produksi dipergunakan untuk dana pengganti, dana seremonial, dan dana untuk sewa lahan. Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi mereka11.

Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip Subali (2005), terdapat empat karakterisitik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai

10 Agus Subali. 2005. Pengaruh Konversi Lahan terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Hal. 6

dikutip dari Eric Wolf dalam 2004. Perang Petani. Yogyakarta.

11 Redfileld (1982) dalam bukunya menyatakan bahwa masyarakat tani sebagai masyarakat

yang terbelah (part society). Agusta {Dinamika Pembangunan Desa} memberi penjelasan tentang masyarakat terbelah yaitu mereka sebenarnya sudah mengembangkan kelembagaan ekonomi, pendidikan dan agama. Akan tetapi mereka senantiasa membandingkan dan mencari orientasi kemajuan dari warga kota.

(42)

sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Kedua rumusan oleh kedua ahli (Shanin dan Wolf) di atas dapat dirangkum bahwa secara umum petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni (i) petani tidak dilihat sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis di bidang pertanian, (ii) usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani, (iii) rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama. Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan dengan keputusan dari anggota keluarga, (iv) fungsi produksi dan konsumsi tidak dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan petani berproduksi sekaligus untuk kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar, (v) petani dalam berproduksi tidak selalu didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk mengurangi resiko, dan (vi) adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam hubungan yang asimetris12.

12 Satyawan Sunito {Dinamika Pembangunan Desa} dalam Subali (2005), Rangkuman dari

Theodore Shanin, Eric R Wolf, Hayami dan Kikuchi. Asimetris berarti hubungan yang tidak setara antara petani dengan dunia luar (hubungan eksploitasi).

(43)

Melihat kondisi petani di Indonesia, maka pola hidup petani dapat digolongkan cenderung subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini bukan berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Berdasarkan hal tersebut, tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani dirumuskan oleh Suhender dan Yohana (1998) yaitu:

1) Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yakni lahan dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap lahan dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya (sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial.

2) Besar kecilnya skala usaha petani, sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar (mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai petani komersial. Sebaliknya, pada umumnya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha yang terbatas tergolong petani subsisten karena dalam usahanya itu tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan produksi karena keterbatasan tersebut.

3) Jenis komoditas yang dibudidayakan petani, walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hasil produksi tersebut hanya digunakan untuk

(44)

kebutuhan sendiri, maka ia tetap disebut sebagai petani subsisten. Sebaliknya jika usaha komoditas komersial tersebut walaupun diusahakan di lahan sempit, namun orientasinya untuk memperoleh surplus, tidak dapat dikatakan sebagai petani subsisten melainkan petani komersial. Hampir tidak ada petani yang melakukan usahataninya dengan pola subsisten mutlak jika pola subsistensi tersebut diterapkan dengan kondisi petani di Indonesia saat ini. Akan tetapi jika digunakan indikator besar kecilnya skala usaha, jelas bahwa sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten.

Kesimpulannya, ciri petani Indonesia saat ini berbeda dengan ciri-ciri petani seperti yang dikemukakan Shanin ataupun Wolf. Perbedaan tersebut antara lain: (i) mengusahakan lahan yang sempit, (ii) produk yang dihasilkan cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (iii) penerapan teknologi modern sudah dilakukan di dalam usahataninya, (iv) berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya di sektor pertanian saja), (v) fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu-satunya sebagaimana dicirikan Shanin (1971) yang dikutip Subali (2005).

2.5 Tingkat Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan (welfare) merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Menurut Yosep seperti yang dikutip Maharani (2006), kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan

(45)

kecil misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.

Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.

Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (BPS, 1995).

Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendekatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita

(46)

per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun (BPS, 1995).

Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar propinsi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995), antara lain:

1) Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Di samping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

(47)

2) Kesehatan dan Gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.

3) Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Dengan itu, dapat diasumsikan bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera.

4) Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

5) Taraf dan Pola Konsumsi

Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteaan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut diredistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distrubusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan

(48)

tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

6) Perumahan dan Lingkungan

Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumahtangga dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).

7) Sosial dan Budaya

Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

BPS (2008) kemudian memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumahtangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumahtangga. Pola konsumsi rumahtangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumahtangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumahtangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan

Gambar

Tabel                                                                                                            Halaman  Teks
Tabel 1. Total Produksi Pertanian di Kabupaten  Wonosobo  Menurut  Jenis      Tanaman Pada Tahun 2006
Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional  Keterangan :
Tabel 3. Jumlah Penduduk 5 Tahun ke Atas Dirinci Menurut Tingkat Pendidikan  No.  Tingkat Pendidikan  Jumlah (orang)  Persentase (%)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengendalian proyek konstruksi dilakukan agar pelaksanaan proyek dapat sesuai dengan waktu dan biaya yang telah direncan kan sebelum proyek dilaksanakan,

Kabupaten Penukal Abab Lematang

Persentase Sikap Responden tentang Pernyataan Orang yang Belum Mengalami Gangguan Pendengaran Perlu Mengurangi Volume Ketika Mendengarkan Musik Menggunakan Piranti Dengar

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pembelajaran seni tari dengan pendekatan tari pendidikan untuk meningkatkan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Landak tentang Penetapan Standar Pelayanan Perizinan

Allhamdulillah, penulis panjatkan segala puji syukur hanya kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan

1) Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dilakukan kepada mahasiswa UNSRAT, bahwa sebagian mahasiswa.. UNSRAT belum mengenal semua lokasi di UNSRAT yaitu 79,8% dan

Jika ternyata perolehan nilai swelling dari hasil pengolahan data agregat tempurung kelapa lebih kecil dari rata-rata nilai swelling lempung pada umumnya, maka dapat