• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUNGKAP PATOGENESIS XEROSTOMIA AKIBAT TERAPI RADIASI. (To express the pathogenesis of xerostomia on radiation. therapy)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGUNGKAP PATOGENESIS XEROSTOMIA AKIBAT TERAPI RADIASI. (To express the pathogenesis of xerostomia on radiation. therapy)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUNGKAP PATOGENESIS XEROSTOMIA AKIBAT

TERAPI RADIASI

(To express the pathogenesis of xerostomia on radiation

therapy)

Sarianoferni, Emy Khoironi

Laboratorium Radiologi Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah

ABSTRACT Background:

Radiation therapy plays an important role in the treatment of head and neck malignancies. Many patient whose salivary glands are irradiated during treatment for their cancer often results in-long severe xerostomia. Reduction in salivary flow can impact on their quality of their life, because salivary changes predispose the irradiated patient to variety of problems. Unfortunately, although extensively studied, the target of ionizing radiation within salivary gland tissue is still unknown.

Objectives: The aim of this study was to investigate the effect of ionizing radiation to

acini cells of submandibular gland in male rats (rattus norvegicus var.wistar).

For this study, an experimental laboratory technique was done. Twenty one male wistar rats (250-300 g) were irradiated with fractionated dose ( 10 Gy in 5 fraction of

(2)

Gy/day). Control animal were not exposed to radiation. After irradiation, submandibular gland were carefully extirpated. Apoptosis were examined at 24 hours after exposure. Examination of apoptosis was by TUNEL assay.

Result: All data in this study were analyzed by one way ANOVA showed that

ionizing radiation can cause significant differences of apoptosis between control and treatment groups at 24 hours after irradiation ends.

Conclusion: Ionizing radiation in fractionated dose ( 10 Gy in 5 fraction of

Gy/day) can give effect, result in higher number of apoptotic acini cells of submandibular gland.

Key Words : ionizing radiation, xerostomia, submandibular gland

Korespondensi : Laboratorium Radiologi Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah, Jl. Arif Rahman Hakim No. 150, Telp. (031) 5945864, 5912191

PENDAHULUAN

Penurunan sekresi saliva atau xerostomia merupakan efek samping terapi radiasi untuk kasus keganasan kepala dan leher yang tidak bisa dielakkan hingga kini. Xerostomia merupakan keluhan terbesar dari seluruh pasien yang mendapatkan terapi radiasi di daerah kepala dan leher. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa xerostomia merupakan keluhan sebesar 90% dari seluruh pasien dengan terapi radiasi kepala dan leher 1,2. Aliran saliva pasien yang mendapat terapi radiasi untuk kepala dan

(3)

leher menunjukkan penurunan sampai dengan sekitar 50% 3. Dalam rangka

mendapatkan cara penanganan yang tepat, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengungkap mekanisme penurunan sekresi saliva tersebut, namun sampai sekarang mekanisme xerostomia pada terapi radiasi masih belum terungkap dengan jelas 2,4.

Xerostomia berakibat adanya penurunan kualitas hidup pasien setelah radiasi. Penurunan sekresi saliva yang irreversible sebagai efek samping dari terapi radiasi menyebabkan berbagai kerusakan struktur rongga mulut dan meningkatkan intensitas rasa sakit 6,7,8. Perubahan kualitas maupun kuantitas saliva menimbulkan masalah

antara lain penurunan fungsi rongga mulut yaitu fungsi bicara, pengunyahan, penelanan dan penggunaan gigitiruan yang diakibatkan oleh berkurangnya pembasahan, pelumasan dan peluncuran permukaan mukosa. Fungsi yang lain yaitu menjaga keasaman rongga mulut, perlindungan elemen gigi oleh protein saliva, sebagai enzim tahap awal pencernaan makanan, dan pengendali bakteri dalam rongga mulut. Dengan demikian xerostomia seringkali menimbulkan berbagai komplikasi pada rongga mulut antara lain peradangan jaringan lunak rongga mulut (mukositis), jamur pada mukosa mulut (kandidiasis), peradangan jaringan periodonsium (periodontitis), dan peningkatan karies gigi sehingga membuat kerusakan jangka panjang pada kualitas hidup pasien xerostomia akibat radiasi 1, 5, 9.

Sejumlah pendapat mengenai mekanisme xerostomia akibat terapi radiasi antara lain, apoptosis dan nekrosis sel asinar kelenjar saliva 9, penurunan sel yang meliputi

perubahan signal transduction dan penurunan kapasitas sel asinar dalam mengikat air

10

, ketidakseimbangan antara apoptosis dan proliferasi sel asinar kelenjar saliva 5, dan

(4)

saliva diharapkan menjadi relatif radioresisten 4, namun perubahan kuantitas dan

komposisi saliva yang terjadi pada fase awal setelah radioterapi menunjukkan bahwa sel-sel kelenjar saliva merupakan sel-sel yang sangat responsif. Manifestasinya berupa apoptosis yang selanjutnya bertanggung jawab atas terjadinya penurunan sekresi saliva. Apoptosis diduga sebagai salah satu penyebab utama kerusakan akut yang disebabkan oleh radiasi 2, 5,11.

Studi eksperimental laboratoris ini dilakukan sebagai upaya untuk mengungkap permasalahan di atas dengan pendekatan patobiologi. Penelitian tidak mungkin dilakukan terhadap manusia karena penelitian merusak unit eksperimen, maka digunakan binatang coba tikus jantan yang dipajan radiasi photon dan elektron dengan dosis fraksinasi dan dosis total yang sama kemudian dilakukan pengamatan terhadap jumlah apoptosis sel-sel asinar kelenjar submandibularis tikus pada waktu pengamatan 24 jam setelah iradiasi berakhir.

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka timbul pemikiran untuk melihat pengaruh pemberian radiasi terhadap sel-sel asinar kelenjar submandibularis tikus pada waktu pengamatan 24 jam setelah iradiasi berakhir. Hasil penelitian ini dapat diambil manfaat sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme penurunan sekresi saliva pada terapi radiasi dan juga sebagai dasar untuk perawatan bagi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh penurunan sekresi saliva setelah terapi radiasi.

(5)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris karena ada kelompok yang mendapatkan perlakuan, dengan menggunakan rancangan penelitian

post only control group design 12. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Universitas Airlangga, Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya dan Laboratorium Patobiologi-GRAMIK Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Unit analisis untuk pemeriksaan variabel adalah organ kelenjar submandibularis, sedangkan bahan yang digunakan adalah sinar photon 6 MV dan sinar elektron 6 MeV, larutan formalin, Kit dari Intergen yaitu: S7101 Apoptag® Plus Peroxidase In Situ Apoptosis Detection Kit dengan metode TUNEL assay yang digunakan untuk menghitung jumlah sel apoptosis. Alat untuk pembuatan preparat histopatologi metode parafin dengan pewarnaannya adalah mikrotom putar, pot kecil untuk dehidrasi, clearing dan infiltrasi, blok dari timah berbentuk L untuk embedding, lampu spirtus, water bath, pinset, gelas obyek, dan staining jar.

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah ( Rattus Norvegicus) galur Wistar, berumur tiga bulan, sehat dengan berat badan berkisar 250-300 gram yang dibagi dalam 3 (tiga) kelompok secara random dan masing-masing terdiri dari 7 ekor. Satu kelompok sebagai kontrol dan sisanya masing-masing diberikan iradiasi pada daerah leher permukaan ventral dengan sinar photon dan elektron dengan dosis 2 Gy perhari selama 5 hari. Sebelum dilakukan pemajanan radiasi, tikus difiksasi pada alat fiksasi yang didesain khusus untuk keperluan penelitian ini. Tikus yang telah difiksir ditempatkan pada alat radioterapi. Kelompok tikus yang di iradiasi sinar Photon dengan

(6)

dosis 2 Gy perhari selama 5 hari dan dikorbankan 24 jam setelah pemajanan. Kelompok tikus yang di iradiasi sinar Elektron dengan dosis 2 Gy perhari selama 5 hari dan dikorbankan 24 jam setelah pemajanan. Kelompok kontrol dikorbankan bersamaan dengan kelompok P dan E.

Dosis radiasi diatur dengan dosiometer digital yang berada di ruang operator dan tersambung ke alat radioterapi. Dengan melihat luas permukaan penyinaran, kedalaman penyinaran, energi serta dosis yang dikehendaki didapatkan waktu yang diperlukan untuk penyinaran, yaitu masing-masing selama 30 detik.

Tikus dikorbankan dengan menggunakan eter. Proses pembedahan dan pengangkatan kelenjar submandibularis dilakukan dengan hati-hati, dan selanjutnya sampel jaringan dari tiap-tiap tikus dibersihkan dari jaringan ikat dan lemak, kemudian dimasukkan dalam larutan buffer formalin 10%.

Pemeriksaan sel apoptosis terdiri dari dua prosedur yaitu prosedur pemrosesan jaringan dengan teknik rutin untuk pembuatan parafin embeded tissue (blok parafin) dan prosedur pemrosesan sediaan dengan S7101 Apoptag plus peroksidase in situ apoptosis detection kit. Setelah jaringan diproses menjadi sediaan yang berbentuk blok parafin, kemudian dibuat banyak potongan dengan mikrotom setebal 4-6 mikron. Hasil potongan ditempatkan dalam beberapa object glass yang telah polylisine untuk selanjutnya dilakukan pemrosesan untuk pemeriksaan apoptosis.

Pemeriksaan apoptosis dilakukan dengan metode TUNEL assay. Prinsip kerja metode ini adalah memberi label pada ujung 3’OH fragmen DNA yang sangat banyak ditemukan pada sel yang mengalami apoptosis maupun pada apoptotic bodies. Dasar teknologi, prinsip dan prosedur pemrosesan sediaan dengan TUNEL assay lebih lanjut

(7)

diuraikan dalam lampiran 4. Kit yang digunakan adalah Kit dari Intergen yaitu: S7101 Apoptag® Plus Peroxidase In Situ Apoptosis Detection Kit 13.

Slide yang telah diwarnai diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Canon Alphaphot Ys yang dilengkapi kamera dengan pembesaran 1000 kali. Penghitungan sel yang positif terwarnai dilakukan dengan bantuan hasil foto dimana setiap slide dihitung lima area hitung yang berbeda. Pengamatan dilakukan oleh orang yang berbeda. Hasil perhitungan sel apoptosis disajikan diambil rata-rata dan dianalisis.

HASIL

Pemeriksaan terhadap jumlah sel asinar kelenjar submandibularis tikus rattus norvegicus galur wistar jantan yang mengalami apoptosis dilakukan dengan mengamati dan menghitung sel asinar kelenjar submandibularis yang apoptosis. Sel asinar yang diamati adalah sel asinar yang dianggap representatif (sel asinar lengkap, tidak terlipat atau terpotong, irisan setempat tidak tebal, tidak ada sel yang bertumpuk-tumpuk, dan sebaran sel merata tidak berkelompok-kelompok).

Pengamatan dan perhitungan sel apoptosis di bawah mikroskop cahaya binokuler merk Canon Alphapot Ys yang dilengkapi kamera dengan pembesaran 1000 kali. Sel yang mengalami apoptosis akan berwarna coklat sedangkan sel normal lainnya hanya akan menyerap warna dari counterstain yang diberikan. Counterstain yang digunakan untuk pemeriksaan apoptosis yaitu methyl green. Sel yang positif menyerap warna dari reagen (coklat) dihitung pada tiap lapangan pandang, masing-masing sebanyak lima area hitung yang berbeda. Perhitungan sel yang positif terwarnai

(8)

dilakukan dengan bantuan hasil foto untuk menjaga agar sel yang telah dihitung tidak dihitung kembali.

Data yang diperoleh sebelum dianalisis dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu agar hasil analisis dapat diyakini kebenarannya sehingga kesimpulan yang diambil tidak keliru. Untuk menguji normalitas data digunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan hasil uji didapatkan bahwa data pemeriksaan apoptosis pada masing-masing kelompok yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diiradiasi sinar Photon (P), dan kelompok yang diiradiasi sinar Elektron (E) mempunyai nilai signifikansi > 0.05. hal ini dapat diartikan bahwa distribusi data dari seluruh kelompok adalah normal, sehingga layak untuk dianalisis.

Data hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa rerata jumlah sel asinar kelenjar submandibularis tikus rattus norvegicus galur wistar jantan yang mengalami apoptosis tampak pada kelompok yang diiradiasi photon (11.114 ± 2.2327) maupun elektron (13.600 ± 3.6969), dan yang terendah tampak pada kelompok kontrol (5.257 ± 1.7386)seperti yang disajikan pada tabel 1.

Kelompok N Mean SD

Kontrol 7 5.257 1.7386

Photon 7 11.114 2.2327

Elektron 7 13.600 3.6969

Tabel 1 Rerata jumlah sel asinar kelenjar submandibularis tikus rattus norvegicus galur wistar jantan yang mengalami apoptosis.

(9)

PEMBAHASAN

Radiasi merupakan agen kuat yang dapat menimbulkan kerusakan sampai dengan kematian pada sel 13,14. Penelitian ini telah berhasil mengungkap perbedaan

jumlah apoptosis sel asinar kelenjar submandibularis sebelum dan sesudah iradiasi. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis varian (Anova), dimana dalam penelitian ini diperoleh hasil yang bermakna.

Apoptosis ditandai dengan adanya fragmentasi DNA yang menghasilkan gugus 3’-OH sebagai ujungnya dalam jumlah yang cukup besar untuk diwarnai dengan

Apoptag detection kit. Teknik pewarnaan ini menggunakan cara TUNEL assay (Terminal Deoxyuridine Nucleotide End Labelling) yang prinsipnya adalah menyambung trifosfat nukleotida dengan ujung 3’-OH dari fragmen DNA yang dikatalis dengan enzim Tdt (Terminal Deoxynukleotidyl Transferase). Sebelumnya nukleotida yang menyambung gugus 3’-OH ini dilabel secara acak oleh digoxigenin. Pelabelan secara acak ini dimaksudkan untuk memicu ikatan yang optimal antara digoxigenin dengan anti digoxigenin 15.

Radiasi adalah salah satu agen pencetus yang poten 11, 15, 16. Pada penelitian ini

didapatkan perbedaan yang nyata antara jumlah apoptosis sel-sel kelenjar submandibularis yang terjadi pada kelompok kontrol, dan kelompok yang diiradiasi sinar photon dan elektron. Hal ini terjadi sesuai dengan teori bahwa radiasi menyebabkan apoptosis. Radiasi menyebabkan apoptosis yang diawali dengan cederanya DNA sehingga mengaktivasi gen p53. Ekspresi p53 akan mengaktivasi p21 yang merupakan inhibitor cyclin dependent kinase yang kemudian menghambat mitosis dengan jalan memblok siklus sel pada fase G1. p53 juga akan membantu proses dengan cara

(10)

mengaktivasi GADD45 untuk perbaikan DNA. Bila reparasi berhasil maka sel akan kembali normal, tetapi bila gagal maka p53 akan mengaktivasi gen BAX yang merupakan gen proapoptosis dan menekan Bcl2. Kondisi ini menyebabkan pt-pore membran mitokondria terbuka yang mengakibatkan sitokrom keluar ke sitosol kemudian berikatan dengan apoptosis-inducing factor (Apaf-1), ikatan ini menyebabkan kaskade kaspase aktif dan terjadi peningkatan apoptosis. Peningkatan apoptosis tersebut menyebabkan terjadinya penurunan sekresi saliva 17,18.

Proses apoptosis tidak disertai dengan keradangan dan berjalan sangat cepat. Kerusakan yang terjadi biasanya tunggal atau beberapa sel tanpa keradangan pada jaringan sekitarnya 14. Beberapa hal di atas menyebabkan sel atau jaringan yang

mengalami apoptosis sangat sulit ditemukan meskipun proses apoptosis terjadi sangat hebat. Hasil penelitian yang dilakukan O’Connell, 2000, menunjukkan penurunan pada berat basah kelenjar, sel asinar menempati ruang yang lebih sedikit dan intercalated duct serta striated duct menempati ruang yang relatif lebih besar. Beberapa fakta tersebut mendukung dugaan apoptosis pada sel asinar kelenjar saliva yang menyebabkan xerostomia pada terapi radiasi, meskipun masih diperlukan penelitian yang dapat membuktikan hal tersebut secara klinis.

Perbedaan dalam radiosensitivitas sel disertai dengan fase siklus sel yang dikombinasikan dengan penundaan pembelahan yang diinduksi oleh radiasi berperan sebagai suatu faktor utama fraksinasi dalam radiasi. Fraksinasi juga memungkinkan sel melakukan proses repair atau proses perbaikan kerusakan DNA dalam beberapa jam setelah terpapar radiasi. Kebanyakan tumor ganas terdapat gangguan melakukan proses ini, sehingga iradiasi akan mengakibatkan kematian atau kerusakan sel lebih

(11)

banyak bila dibandingkan sel normal, namun tidak demikian dengan radiasi dosis tunggal. Dosis tunggal di dalam bidang kesehatan umumnya hanya digunakan untuk keperluan penelitian, sedangkan fraksinasi digunakan untuk terapi radiasi dan penelitian 19, 20.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guggenheimer J, Moore PA, 2003. Xerostomia. Etiology, recognition and treatment. J Am Dent Assoc, vol 134, No.1. Pp 61-9.

2. Urek M. Muhvic, Bralic M, 2006. Imbalance between Apotosis and Proliferation Causes Late Radiation Damage of Salivary Gland in Mouse. Physiol. Res. 55: 89-95.

3. Epstein JB, Chin EA, Jacobsion JJ, Rishiraj B, Nhu Le, 1998. relationship between fluoride, cariogenic oral flora and salivary flow during radiation therapy for head and neck cancer. Head Neck Jan; 21 (1) : 1-11.

4. Vissink A et al, 2003. Oral sequelae of head and neck radiotherapy. International and American Association for Dental Research. Crit Rev Oral Biol Med 14(3); 199-212.

5. Bralic M, Urek M, 2005. Cell Death and Cell Proliferation in Mouse Submandibular Gland during Early Post-irradiation Phase. Acta Med, Vol. 59, No. 4, pp. 153-9. 6. Astuti ER, 2005. Disertasi: Efek iradiasi sinar gamma terhadap ekspresi mRNA

aquaporin-5, ekspresi protein aquaporin-5 dan kadar MDA kelenjar submandibularis rattus novergicus galur wistar jantan. Hal 13-14

(12)

7. Someya Masanori, Sakata Koh-ichi, 2003. The Changes in Irradiated Salivary Gland Function of Patiens with Head and Neck Tumors Treated with Radiotherapy. Japanese Journal of Clinical Oncology, 33:336-340.

8. Sandow PL, Yazdi MH, Heft MW, 2006. Taste Loss and Recovery Following Radiation Therapy. J Dent 85 (7): 608-611

9. Berk LB et al, 2005. Pathophysiology and Management of radiation-induced xerostomia. J Support Oncol 2005; 3: 191-200.

10. Coppes RP, Vissink A, Konings AW. 2002. Comparison of radiosensitivity of rat parotid and submandibularis glands after different radiation schedules. Radiother Oncol 63 ( 3): 321-8.

11. Boraks G, Tampelini FS, 2008. Effect of ionizing radiation on parotid gland. Braz. Dent. J. Vol.19 no. 1 Ribeirao Preto.

12. Zainuddin M, 1999. Metodologi Penelitian. Hand out. Hlm. 38-57.

13. Sudiana IK, 2005. Teknologi ilmu jaringan dan immunohistokimia. Jakarta: Sagung Seto, hlm 36-46.

14. Cotran RS, Kumar V, Collins T, 2005. Robbins pathologic basis of disease,7th ed. Philadelphia: WB Saunder Company. Pp 28-33.

15. Sudiana IK, 2008. Patobiologi molekuler kanker. Jakarta: Salemba Medika, hlm 45-60.

16. Suk Heo M, Moon CH, 2001. Apoptosis in the craniofacial tissues of irradiated growing rats. Korean Journal of Oral and Maxillofacial Radiology; 31:227-33.

17. Langlois NEI, Eremin O, 2000. Apoptosis and prognosis in cancer: rationale and relevance. J R Coll Surg Edinb., 45, August. Pp 211-9.

(13)

18. Mitchell Richard NM, 2007. Pemulihan jaringan: regenerasi dan fibrosis sel. Buku Ajar Patologi Robbins, alih bahasa Prasetyo A, Ed. 7. EGC. Jakarta. hlm. 65, 80-82. 19. Erawati, D, 2006. Prinsip dasar onkologi radiasi. Pelatihan radiografer radioterapi

RSU Dr. Sutomo Surabaya.

20. Susworo R, 2006. Dasar-dasar radioterapi. Tata laksana radioterapi penyakit kanker. Penebit Universitas Indonesia. Jakarta. hlm 1, 6-12.

Gambar

Tabel 1 Rerata jumlah sel asinar kelenjar submandibularis tikus rattus norvegicus galur  wistar jantan yang mengalami apoptosis

Referensi

Dokumen terkait

an dan kesatuan bangsa. Inilah hak-hak dan kewajiban guru yang diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, dimana hak tersebut merupakan hak yang dilindungi oleh

Sebagai contoh, Anshori (2014) dalam penelitiannya berjudul “Aplikasi “AR-Gamelan” Sebagai Media Pembelajaran Mengenal Gamelan Jawa Berbasis Augmented Reality Pada Perangkat

Dari desain Sistem Informasi Geografis Daerah Rawan Banjir Kabupaten Jember telah dibuat aplikasi dalam bentuk web sehinga dapat memberikan data dan informasi bagi

Sebagai tambahan dari berbagai tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah limbah ini, proses gasifikasi memberikan kesempatan untuk mengonversi

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Dosen ITS memiliki rata-rata dokumen dalam Bahasa Indonesia yang dipublikasi

Wir sind zuversichtlich, dass – ohne einen solchen, letztlich nicht nachhaltigen Angebotsdruck – Sie als unsere alten und neuen Aktionäre wieder Freude an der Wertsteigerung

Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan misalnya, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan (Koentjaraningrat,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio antara tepung kacang hijau dengan bubur wortel dalam pembuatan bubur bayi memberikan pengaruh yang berbeda nyata