• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyaknya faktor-faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyaknya faktor-faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyaknya faktor-faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang, seperti tingginya tingkat polusi, perubahan gaya hidup dan pola makan, banyaknya wabah penyakit, dan perubahan cuaca meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan (Suhirman & Winarti, 2010). Tidak hanya faktor-faktor tersebut, banyaknya unsur patogen, seperti bakteri, virus, fungi, protozoa, dan parasit di lingkungan sekitar dapat memicu terjadinya infeksi pada tubuh manusia. Makhluk hidup di bumi berevolusi dan berkembang menghasilkan berbagai macam sistem pertahanan tubuh untuk menghindari serangan dari berbagai macam agen penginfeksi, seperti bakteri, fungi, protozoa, dan virus (Shen & Louie, 2005). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu mekanisme pertahanan tubuh yang mampu melawan agen penginfeksi dengan suatu sistem imun (Roitt, 2001).

Sistem imun tubuh berfungsi sebagai pertahanan saat menghindar dari serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Selain itu, sistem imun juga mampu mengenali dan mengeliminasi berbagai sel dan molekul yang dianggap asing bagi tubuh. Secara umum, sistem imun bekerja dengan dua cara, yaitu mengenali dan merespon. Setelah mengenali senyawa atau mikroorganisme asing yang masuk ke dalam tubuh, sistem imun akan mengeliminasi sel dan molekul yang sesuai untuk

(2)

merespon yang disebut respon efektor. Respon efektor berfungsi untuk mengenali dan memusnahkan senyawa atau mikroorganisme asing tersebut (Kindt dkk., 2006). Obat yang dapat mempengaruhi sistem imun tubuh digunakan sebagai terapi penyakit imunologi, seperti alergi, defisiensi imun, dan transplantasi (Shen & Louie, 2005).

Indonesia merupakan negara megabiodiversitas kedua setelah Brazil. Keanekaragaman hayati bisa dimanfaatkan sebagai sumber obat-obatan, terutama pengobatan tradisional. Suatu tanaman terdiri atas berbagai macam senyawa kimia yang belum ataupun telah diketahui khasiatnya. Senyawa kimia tersebut merupakan dasar dalam komposisi suatu obat yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan peningkatan kesehatan (Suhirman & Winarti, 2010).

Di antara berbagai macam tumbuhan yang terdapat di Indonesia, umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan meniran (Phyllanthus niruri L.) berpotensi sebagai senyawa imunomodulator. Umbi keladi tikus mengandung flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan (Farkas, 2014; Sukardi, 2011). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap ekstrak umbi keladi tikus dengan penggunaan obat kemoterapi cyclophosphamide (CPA) pada tikus menunjukkan bahwa ekstrak keladi tikus mampu meningkatkan proliferasi limfosit, meningkatkan jumlah makrofag, dan meningkatkan aktivitas makrofag dalam memfagositasi lateks (Nurrochmad dkk., 2015).

(3)

Tumbuhan meniran mengandung senyawa fenolik yang berperan penting dalam menghambat invasi, migrasi, dan adhesi sel kanker bersama dengan induksi apoptosis sehingga meniran berpotensi sebagai agen imunomodulator (Lee dkk., 2011). Pengaruh meniran pada respon imun nonspesifik, yaitu mampu meningkatkan kemotaksis makrofag (Barbour dkk., 2004). Pada penelitian yang menguji pengaruh pemberian meniran pada mencit Balb/c yang diinfeksi

Salmonella typhimurium,dapat diketahui bahwa pada hewan uji yang dipejankan dengan meniran memiliki indeks fagositosis yang lebih tinggi daripada yang tidak dipejankan meniran (Galuh, 2008). Pemberian meniran mampu meningkatkan respon imunitas seluler, yaitu meningkatkan sekresi IL-2 dan IL-10 sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel limfosit. Pada respon imunitas humoral, meniran mampu meningkatkan produksi IgM dan IgG (Sunarno, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Aldi dkk. (2013) dengan parameter uji kecepatan fagositosis, peningkatan jumlah sel limfosit, dan peningkatan bobot limpa, diketahui bahwa meniran pada dosis 100 mg/kg BB memiliki aktivitas imunostimulan yang tinggi.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah kombinasi ekstrak umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan meniran (Phyllanthus niruri L.) dapat memberikan efek imunomodulator dengan parameter fagositosis makrofag, proliferasi limfosit, dan titer antibodi?

(4)

2. Berapa dosis optimum yang dibutuhkan kombinasi ekstrak umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan meniran (Phyllanthus niruri L.) agar memberikan hasil maksimal terhadap fagositosis makrofag, proliferasi limfosit, dan titer antibodi?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Mengevaluasi efek imunomodulator yang dihasilkan dari kombinasi ekstrak keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap proliferasi limfosit, fagositosis makrofag, dan titer antibodi.

2. Tujuan Khusus

Mengetahui dosis optimum yang dihasilkan dari kombinasi ekstrak umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap proliferasi limfosit, fagositosis makrofag, dan titer antibodi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efek imunomodulator yang dihasilkan dari kombinasi ekstrak keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) dan ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap proliferasi limfosit,

(5)

fagositosis makrofag, dan titer antibodi. Selain itu, dengan penelitian ini diharapkan akan diketahui dosis yang dapat menghasilkan efek imunomodulator secara optimal dari kombinasi ekstrak keladi tikus dan ekstrak meniran.

E. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Imun

Tubuh dilindungi dari berbagai agen infeksi dan senyawa berbahaya lainnya seperti toksin oleh berbagai sel efektor dan molekul yang bekerja bersama-sama dalam suatu sistem yang disebut sistem imun (Murphy, 2011). Sistem imun mampu menghasilkan berbagai sel dan molekul yang mampu mengenali dan mengeliminasi mikroorganisme dan senyawa asing dalam jumlah yang tak terbatas (Kindt dkk., 2006).

Sistem imun terdiri atas sistem imun nonspesifik/alami/nonadaptif/innate dan sistem imun spesifik/adaptif/acquired. Mekanisme imunitas spesifik bekerja lebih lambat dibandingkan dengan imunitas nonspesifik.

a. Sistem imun nonspesifik

Sistem imun nonspesifik adalah komponen normal yang dimiliki oleh tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan pertama untuk mencegah mikroba masuk ke dalam tubuh serta dengan cepat menyingkirkannya. Semakin tinggi infeksi yang

(6)

menyerang, maka jumlahnya akan semakin meningkat, misalnya selama fase akut suatu penyakit akan meningkatkan jumlah sel darah putih. Sistem imun nonspesifik telah dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak memiliki spesifisitas terhadap mikroba tertentu. Sistem imun nonspesifik terdiri atas pertahanan fisik/mekanik serta kimia, sel fagositik (sel makrofag, monosit, sel NK, dan neutrofil), sel-sel yang melepaskan mediator inflamasi (basofil, sel mast, dan eosinofil), dan sistem komplemen serta sitokin (Abbas dkk., 2012).

b. Sistem imun spesifik

Sistem imun spesifik merupakan suatu sistem dimana hospes bereaksi terhadap benda asing yang mencakup rangkaian interaksi seluler yang diekspresikan dengan penyebaran produk-produk sel spesifik. Hal yang membedakannya dari sistem imun nonspesifik adalah spesifisitas, heterogenitas, dan memori (Flaherty, 2012). Sistem imun spesifik mampu mengenali objek yang dianggap asing saat pertama kali masuk ke dalam tubuh. Masuknya objek yang dianggap asing tersebut akan memicu sensitisasi, sehingga ketika antigen yang sama masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya akan dikenal lebih cepat dan dihancurkan.

Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Sistem imun spesifik humoral diperantarai produksi sel limfosit B dan antibodi, yaitu protein yang disekresi oleh sel B saat antigen berikatan dengan reseptor sel B. Antibodi merupakan campuran heterogen globulin serum yang bekerja sama dalam mengikat antigen spesifik. Semua globulin serum yang memiliki aktivitas antibodi

(7)

disebut immunoglobulin. Strukur immunoglobulin yang mampu mengenal serta mengikat antigen secara spesifik dinamakan epitop (Baratwidjaja & Rengganis, 2010).

Gambar 1. Fase respon imun spesifik

Respon imun spesifik terdiri atas fase pengenalan antigen, aktivasi limfosit (limfosit mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel efektor), eliminasi antigen, fase homeostatis (sistem imun

dikembalikan seperti kondisi sebelum terinduksi), dan fase memori (Abbas dkk., 2012).

Sistem imun spesifik selular berperan dalam pertahanan melawan bakteri yang hidup secara intrasel, virus, jamur, dan parasit dengan perantara sel T. Sel T mengekspresikan T-cell receptor (TCR), yaitu reseptor antigen yang identik dan bersirkulasi di sisi aktif antigen. Sel T terdiri atas beberapa subset sel yang memiliki fungsi yang berbeda, diantaranya adalah sel CD4+ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan sel CD8+ untuk memusnahkan sel yang terinfeksi (Abbas dkk., 2012).

(8)

2. Makrofag

Makrofag merupakan fagosit yang terpenting dan mampu merespon mikroba yang masuk dengan cepat. Sel ini diproduksi di sumsum tulang dari sel induk myeloid melalui stadium promonosit. Sel yang matang akan masuk ke dalam aliran darah sebagai monosit dan apabila sel tersebut meninggalkan sirkulasi dan sampai di jaringan, maka akan mengalami berbagai perubahan tambahan kemudian menetap di jaringan sebagai makrofag. Sel-sel tersebut terdapat di paru-paru sebagai makrofag alveolar, di hati sebagai sel Kupfer, sel mikroglia di otak, dan osteoklas di dalam tulang. Masa hidup makrofag dapat mencapai beberapa bulan bahkan tahun (Flaherty, 2012).

Makrofag berfungsi sebagai sel efektor, yaitu menghancurkan mikroorganisme serta sel-sel ganas dan benda asing. Fungsi ini dimungkinkan karena sel ini mempunyai lisosom di dalam sitoplasma yang mengandung hidrolase dan peroksidase yang merupakan enzim perusak. Makrofag juga mempunyai reseptor terhadap fragmen IgG1 dan IgG3 serta IgE dan reseptor terhadap komplemen. Dengan adanya reseptor tersebut, maka dapat meningkatkan kemampuan sel untuk menghancurkan benda asing yang dilapisi antibodi atau komplemen (Flaherty, 2012).

Makrofag mengekspresikan MHC kelas II pada permukaannya dan apabila makrofag diaktivasi, maka ekspresi MHC II meningkat. Hal ini dikarenakan makrofag berfungsi untuk menyajikan antigen kepada sel T yang dilakukannya bersama ekspresi MHC kelas II (Kresno, 2001). Makrofag diaktifkan oleh berbagai

(9)

rangsangan, dapat menangkap, memakan, dan mencerna antigen eksogen, seluruh mikroorganisme, partikel tidak larut, dan bahan endogen. Aktivasi makrofag diawali dengan proses fagositosis, yaitu proses memakan (fagositasi) antigen (Flaherty, 2012). Fagositosis merupakan salah satu mekanisme utama dalam sistem imun nonspesifik (Abbas dkk., 2012)

Makrofag dapat diaktivasi oleh lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri, IFN- yang diproduksi sel NK, dan TLR oleh ligan yang dinamakan PAMPs (Pathogen Associated Molecular Patterns). Makrofag yang aktif akan menghasilkan NO (Nitric Oxide), TNF (Tumor Necrosis Factor), dan IL-12 yang mampu menangkap, mencerna, dan membunuh mikroba, antigen eksogen, dan partikel tak larut (Abbas, dkk,2012; Flaherty, 2012).

Proses fagositosis diawali dengan adanya partikel asing, seperti sel bakteria yang diperantarai interaksi spesifik atau nonspesifik terikat di membran fagosit. Selanjutnya, interaksi antara permukaan partikel dan fagosit menginduksi terbentuknya pseudopods di sekitar partikel. Peleburan pseudopods mencakup pembentukan phagosome dari partikel di sitoplasma fagosit. Phagosome bermigrasi ke perinuclear region dari fagosit dan berfusi dengan lisozim untuk membentuk

phagolysosome. Di dalam phagolysosome, partikel akan dibunuh oleh oksigen reaktif, NO, dan enzim proteolitik (Shen & Louie, 2005; Abbas dkk., 2012). Aktivitas fagositosis makrofag dapat diuji dengan menentukan indeks fagositosis dan kapasitas fagositosis sehingga dapat diketahui seberapa responsif sistem imun

(10)

nonspesifik. Indeks fagositosis adalah jumlah rata-rata partikel yang difagositasi tiap 100 makrofag dan kapasitas fagositosis adalah persentase makrofag yang memfagosit partikel tiap 100 makrofag (Lu dkk., 2007; Kusmardi dkk., 2007).

3. Limfosit

Limfosit merupakan salah satu dari tipe sel darah putih yang diproduksi di sumsum tulang belakang melalui proses hematopoiesis. Limfosit meninggalkan sumsum tulang belakang melalui sirkulasi darah dan sistem limfatik hingga akhirnya tersimpan di organ limfoid. Sel limfosit bertanggungjawab dalam mengenal dan merespon antigen asing secara spesifik dan sebagai mediator respon imun. Limfosit terdiri atas sel T, sel B, dan sel NK (Flaherty, 2012).

Sel NK berperan penting dalam melawan bakteri dan virus intrasel. Sel NK mampu membunuh berbagai sel tanpa memerlukan bantuan untuk diaktivasi. Apabila sel NK diaktifkan, maka akan berkembang menjadi sel limfosit dengan granul besar. Sel NK merupakan sumber IFN- yang mengaktifkan makrofag dan berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).

Sel B diproduksi di sumsum tulang belakang serta bertugas menghasilkan antibodi yang dapat mengenali epitop dari antigen. Antibodi adalah suatu glikoprotein yang dapat berikatan dengan antigen dengan spesifisitas dan afinitas tertentu. Ketika sel B naïve (sel B yang belum bertemu dengan antigen) bertemu

(11)

pertama kali dengan antigen yang cocok dengan membran antibodi, ikatan antigen dengan antibodi akan mengakibatkan sel terbagi dan berdiferensiasi menjadi sel B memori dan sel B efektor yang disebut sel plasma. Sel B memori memiliki jangka waktu umur yang lebih panjang daripada sel B naïve dan akan mengekspresikan membran antibodi yang sama dengan parent B cell (Flaherty, 2012).

Sel T diproduksi di sumsum tulang belakang yang kemudian akan bermigrasi ke timus untuk proses maturasi. Selama proses maturasi di dalam timus, sel T mengekspresikan TCR pada bagian membran sebagai bagian yang akan berikatan dengan antigen. Dalam proses pengenalannya dengan antigen, sel T reseptor tidak dapat bekerja seperti sel B yang mampu mengenali antigen tanpa bantuan sel lain. Sel T reseptor hanya mampu mengenali antigen yang berikatan dengan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Molekul MHC terdiri atas dua tipe utama, yaitu molekul MHC kelas 1 dan molekul MHC kelas 2. Molekul MHC kelas 1 terdiri atas rantai berat yang terhubung dengan 2-mikroglobulin. Sedangkan, molekul MHC kelas 2 terdiri atas rantai glikoprotein alfa dan beta serta hanya diekspresikan oleh Antigen-Presenting Cells (APC).

Ketika sel T naïve bersama-sama molekul MHC bertemu dengan antigen, sel T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan sel T efektor. Sel T terdiri atas sel T helper (TH) dan sel T sitotoksik (TC). Keduanya bisa dibedakan dengan adanya membran glikoprotein CD4+ atau CD8+ pada bagian permukaannya. Sel T dengan CD4+ berfungsi sebagai sel TH dan sel T dengan CD8+ sebagai sel TC. Setelah sel TH mengenali dan berinteraksi dengan molekul kompleks antigen-MHC

(12)

kelas 2, sel akan diaktivasi dan menjadi sel efektor yang mensekresi sitokin yang berperan penting dalam aktivasi sel B, sel TC, makrofag, dan sel lainnya yang terlibat dalam respon imun (Kindt dkk., 2006).

Perubahan respon imun dengan menguji daya proliferasi limfosit dapat menggunakan MTT assay. MTT assay merupakan uji laboratorium menggunakan prinsip kolorimetri yang mampu mengukur pertumbuhan sel sebagai manifestasi respon adanya mitogen, stimulasi antigen, growth factor, dan reagen lain yang digunakan untuk studi sitotoksisitas dan kurva pertumbuhan sel. Pelarut yang biasanya digunakan dalam MTT assay adalah DMSO. Sel hidup yang terdapat di dalam mitokondria memiliki enzim suksinat dehidrogenase yang mampu memotong cincin tetrazolium pada MTT ( 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetra-zolium bromide) sehingga menghasilkan perubahan warna dari kuning menjadi kristal ungu formazan yang tidak larut dalam larutan. Absorbansi warna ungu diukur pada panjang gelombang 500-600 nm (Coligan, 2008; Kronek dkk., 2013).

4. Imunomodulator

Imunomodulator adalah senyawa, baik biologis maupun sintetis, yang dapat menstimulasi, menekan, atau memodulasi komponen sistem imun, mencakup respon imun nonspesifik dan spesifik (Agarwal & Singh, 1999). Imunomodulator bekerja dengan dua cara, yaitu memacu fungsi sistem imun (imunostimulasi) dan menekan respon imun (imunosupresi) (Shen & Louie, 2005).

(13)

Imunostimulan terdiri atas dua golongan, yaitu imunostimulan biologi dan sintetik. Contoh imunostimulan biologi adalah sitokin, antibodi monoklonal, jamur, dan tanaman obat (herbal). Sedangkan, contoh imunostimulan sintetik terdiri atas levamisol, isoprinosin, dan muramil peptidase (Suhirman & Winarti, 2010). Imunostimulator bekerja dengan mempengaruhi aktivitas sel T, sel NK, makrofag, dan melepaskan interferon serta interleukin (Tan & Rahardja, 2007). Agen imunostimulator digunakan untuk pengobatan infeksi, kanker, dan penyakit imunodefisiensi (Abbas dkk., 2012).

Agen imunosupresan terdiri atas lima kelompok, yaitu agen alkilasi, tiopurin, antimetabolit, produk fungi (misalnya, siklosporin), dan golongan kortikosteroid. Imunosupresan dapat bekerja dengan menghambat transkripsi sitokin dan memusnahkan sel T (Tan & Rahardja, 2007).. Agen imunosupresan dapat dimanfaatkan untuk pengobatan transplantasi dan penyakit autoimun sehingga tidak terjadi penolakan terhadap organ yang ditransplantasi, terutama apabila organ tersebut tidak berasal dari individu sendiri (Abbas dkk., 2012).

(14)

5. Meniran (Phyllanthus niruri L.)

(a) (b)

Gambar 2. Contoh senyawa polifenol

Keterangan: (a) adalah quercetin dan (b) adalah katekin

Meniran mengandung senyawa flavonoid dan polifenol, seperti quercetin,

rutin, dan katekin (Anuar dkk., 2012; Colpo dkk., 2014). Senyawa flavonoid diduga memiliki efek imunostimulan terhadap respon imun spesifik dan nonspesifik karena berdasarkan penelitian yang dilakukan terdahulu pada ekstrak buah mahkota dewa, senyawa flavonoid meningkatkan fagositosis makrofag melalui peningkatan aktivitas IL-2 dan proliferasi limfosit (Nopitasari, 2006). Quercetin merupakan senyawa yang berpotensi sebagai antikanker dan antioksidan (Alia dkk., 2006; Anuar dkk., 2012). Meniran mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit melalui sekresi IL-2 dan IL-10 dan meningkatkan produksi IgM serta IgG (Sunarno, 2009). Meniran mampu meningkatkan kemotaksis, fagositasi makrofag, dan sitotoksis sel (Radityawan, 2005). Ekstrak etanolik meniran menunjukkan adanya aktivitas imunomodulator dan anti HIV (Narendra et al., 2012).

(15)

6. Keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume)

Keladi tikus mengandung senyawa flavonoid. Aktivitas antioksidan umbi keladi tikus dipengaruhi oleh gugus hidroksil yang terdapat pada flavonoid (Farkas, 2014; Sukardi, 2011). Ekstrak umbi keladi tikus berperan sebagai imunomodulator terhadap IL-10 dan menaikkan TNF- pada tikus dengan dosis 250 mg/kgBB (Daulay, 2012). Pada dosis 250 mg/kg BB, ekstrak umbi keladi tikus mampu meningkatkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag secara optimal dibandingkan dengan dosis lain yang diteliti (Sriyanti, 2012). Selain itu, ekstrak umbi keladi tikus dengan dosis 250 mg/kg BB juga memiliki proliferasi limfosit tertinggi dibandingkan dosis uji lain (Handayani, 2012).

Tumbuhan keladi tikus diketahui bersifat antivirus dan antibakteri serta dapat mengobati ambeien, sakit kulit, kanker payudara, dan kanker rahim. Keladi tikus juga dikenal mampu menekan efek negatif kemoterapi, seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, rasa mual, dan nyeri di tubuh (Hariana, 2008).

7. Susut Pengeringan

Susut pengeringan adalah pengurangan berat bahan setelah dikeringkan dengan cara yang telah ditetapkan. Suhu pengeringan yang digunakan adalah 105oC (Anonim, 2008). Susut pengeringan digunakan untuk penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah menguap dan hilang pada kondisi tertentu (Anonim, 1995).

(16)

F. Landasan Teori

Terapi dengan agen imunomodulator mampu menstimulasi, menekan, atau memodulasi komponen sistem imun, mencakup respon imun nonspesifik dan spesifik (Agarwal & Singh, 1999). Keladi tikus dan meniran terbukti dapat digunakan sebagai agen imunomodulator (Nurrochmad, 2015; Sunarno, 2009).

Kandungan antioksidan yang terdapat pada keladi tikus juga diduga berpotensi dalam menyembuhkan penyakit kanker (Syahid, 2007). Efek imunosupresan yang diinduksi oleh CPA dapat dikurangi dengan pemberian ekstrak umbi keladi tikus (Nurrochmad dkk., 2015). Ekstrak umbi keladi tikus dengan dosis 250 mg/kg BB mampu meningkatkan indeks fagositosis, kapasitas fagositosis, dan proliferasi limfosit (Handayani, 2012; Sriyanti, 2012).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ekstrak meniran dengan dosis 100 mg/kg BB dapat meningkatkan aktivitas imunostimulan pada mencit jantan dengan parameter uji kecepatan fagositosis dan peningkatan jumlah sel limfosit (Aldi dkk., 2013). Pada mencit Balb/c yang diinfeksi Salmonella typhii, meniran juga mampu meningkatkan produksi nitrit oksida dan aktivitas fagositosis (Ash, 2012). Nitrit oksida diproduksi oleh makrofag saat makrofag teraktivasi. Nitrit oksida merupakan agen mikrobisidal kuat terhadap mikroorganisme sehingga mampu menghancurkan mikroba (Abbas dkk., 2012). Meniran mampu meningkatkan produksi antibodi IgG (Sunarno, 2009).

(17)

Kombinasi dari ekstrak yang berpotensi sebagai agen imunomodulator mampu mengoptimalkan fungsi sistem imun. Berdasarkan penelitian yang terdahulu, Alliums dan Ipomoea batata masing-masing berperan sebagai agen imunomodulator dan kombinasi dari kedua ekstrak mampu meningkatkan respon imun nonspesifik dan spesifik (Hanieh dkk., 2011).

G. Hipotesis

Pemberian kombinasi ekstrak umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme

(Lodd.) Blume) dan ekstrak meniran (Phyllanthus niruri L.) akan memberikan efek imunomodulator pada subjek uji tikus galur Sprague-Dawley dengan parameter proliferasi limfosit, fagositosis makrofag, dan titer antibodi.

(18)

Gambar

Gambar 1. Fase respon imun spesifik
Gambar 2. Contoh senyawa polifenol  Keterangan: (a) adalah quercetin dan (b) adalah katekin

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk melaksanakan maksud pada huruf a, b dan c tersebut diatas pengaturan tentang Retribusi Ijin Usaha Pertambangan Bahan Tambang Galian Golongan C Dalam Wilayah

Penelitian yang dilakukan oleh Maddu et al , nilai absorbansi dye antosianin ekstrak kol merah dapat menangkap spektrum cahaya pada rentang 450 nm-570 nm dengan

faktor kualitas layanan yang meliputi tangibles , reliability , responsiveness , assurance dan emphaty , secara bersama- sama atau simultan mempunyai pengaruh yang

Variasi kode lengkap menggunakan konsep hierarki yang lengkap, sedangkan kode terbatas memiliki sifat yang sangat berbeda dengan kode lengkap, misalnya sering meng- gunakan kalimat

Rentang kenyamanan termal statis yang lebih tinggi pada musim hujan, respon termal penghuni berada pada rentang suhu nyaman yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya pada

Bagian dari penduduk kota anak dapat : (1) ikut serta dalam pembuatan kebijakan yang dapat merubah kotanya, (2) Menggambarkan sekaligus menunjukan ungkapan mereka

Untuk merancang dan membangun aplikasi sistem pendukung keputusan berawal dari tahapan analisis perencanaan sistem kemudian dilanjutkan dengan tahapan desain

Hal ini disebabkan karena pada korelasi data eksperimen menggunakan persamaan NRTL maupun UNIQUAC, deviasi antara komposisi kesetimbangan hasil eksperimen