• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. sekarang sangat panjang. Disebagian bangsa lain mengganggap perempuan tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. sekarang sangat panjang. Disebagian bangsa lain mengganggap perempuan tidak"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1   

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perbincangan mengenai perempuan jika diuraikan dari akarnya sampai sekarang sangat panjang. Disebagian bangsa lain mengganggap perempuan tidak mempunyai ruh, dia hanya hidup dibawah bayang-bayang laki-laki dan tidak dapat melakukan sesuai keinginannya. Perempuan pun tidak pantas untuk mencari ilmu pengetahuan atau membaca kitab suci sekalipun. Dalam masyarakat Yunani, perempuan menduduki strata terakhir yaitu kelas para budak. Dimana dalam kelas ini orang-orang didalamnya tidak memiliki hak apapun. Begitu juga dengan perempuan, perempuan tidak memiliki hak apapun dan harus tunduk dengan laki-laki secara total. Bahkan seorang filosof Yunani, Aristoteles, membenarkan hal itu,

bahwa alam tidak membekali perempuan dengan kemampuan berpikir.1

Setelah panjang perdebatan isu tentang perempuan, memasuki era globalisasi mulailah dihangatkan dengan isu feminisme yaitu tidak lain mengenai pemikiran gerakan feminisme, pemikiran yang lebih memusatkan pada “masalah

perempuan”. 2 Munculnya permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh

rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki dalam pembangunan. Dengan mulainya banyak perdebatan mengenai feminisme,        1  Dr. Muhammad Anis Qasim Ja’far, “Perempuan dan kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan  Persoalan Gender dalam Islam”, hlm 13.  2  Julia Cleves Mosse, “ Gender dan Pembangunan”, hal v (sebuah pengantar). 

(2)

isu perempuan mulai diangkat secara mengglobal. Feminis dibicarakan dalam banyak hal dari politik, sosial, budaya, serta ekonomi pembangunan. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi perempuan juga semakin mengglobal sehingga perempuan menjadi sorotan utama yang menjadi topik penting. Masalah utama feminis di Indonesia yakni masih kentalnya budaya patriakhi dan ini juga tidak beda jauh dengan permasalahan yang dihadapi dunia barat.

Dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi perempuan, perempuan mendapati perlakuan khusus pada era globalisasi ini. Sudah banyak teori-teori yang bermunculan mengenai feminisme dan gender yang tujuannya tidak lain untuk mengatasi masalah keseteraan gender dan gerakan feminis. Di Indonesia sendiri, negara sudah mulai memperhatikan perempuan sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama, Soekarno. Pada masa pemerintahan Soekarno, perempuan sudah diakui hak-haknya dalam politik dan mampu bergerak dalam bidang sosial lainnya. Lalu muncul pula undang-undang yang menangani keadilan gender. Dimana dalam undang-undang tersebut menyebutkan kesetaraan pembayaran untuk pekerjaan yang sama. Dapat dikatakan bahwa, laki-laki dan perempuan mempunyai jatah yang sama dalam memperoleh penghasilan kerja.

Pada masa Soeharto pun demikian, perempuan telah mengalami kemajuan ditandai dengan dijadikannya masalah perempuan sebagai masalah publik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Isu tentang perempuan sudah menjadi pusat perhatian dunia dan telah banyak lembaga-lembaga internasional yang sudah memperhatikan perempuan. Masalah perempuan sudah tidak dianggap

(3)

sebelah mata lagi, melainkan telah menjadi salah satu tugas dunia untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu juga, yang menunjukkan bahwa perempuan mendapati perlakuan khusus dengan berdirinya Pusat Studi Wanita dalam lembaga akademik. Banyak manfaat dengan beradanya PSW di lembaga

akademik, salah satu diantaranya yakni PSW sebagai think tank bagi pembuatan

kebijakan dan program yang apllicable bagi pembangunan di pusat maupun

daerah tempat PSW itu berada.3 Dengan adanya PSW ini dapat membantu upaya

untuk pemberdayaan perempuan.

Selain berdirinya PSW, juga mulai berdirinya organisasi-organisasi perempuan lainnya yang sama-sama dengan tujuan untuk mensetarakan gender dan juga sebagai wadah perlindungan perempuan itu sendiri. Organisasi perempuan di Indonesia pertama kali yakni Poetri Mardika yang dibentuk atas bantuan Boedi Oetomo. Organisasi perempuan Poetri Mardika ini merupakan organisasi yang memperjuangkan emansipasi, nasionalisme, dan kebebasan dari kolonialisme (Soryochondro, 2000). Kemudian, terus berkembang dengan bermunculan organisasi perempuan selanjutnya dimulai dari Jong Java Meiskering yang merupakan organisasi perempuan prakemerdekaan sampai kemerdekaan dengan berdirinya berbagai LSM perempuan. Di Indonesia sendiri banyak sekali LSM perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan juga kesetaraan gender. Organisasi perempuan juga tidak kalah pentingnya dalam pembangunan gender.

       3

(4)

Serikat Perempuan Independen (SPI) Kulon Progo merupakan salah satu dari banyaknya organisasi perempuan yang berjuang untuk memenuhi hak-hak perempuan. SPI Kulon Progo termasuk organisasi tingkat kabupaten yang diasuh oleh HAPSARI. HAPSARI merupakan organisasi hasil dari pemberontakan seorang perempuan desa di Sumatra Utara. HAPSARI sudah masuk menjadi organisasi nasional dan sudah banyak mendirikan organisasi serikat perempuan independen dalam tingkat kabupaten di Indonesia. SPI Kulon Progo merupakan sayap yang dikembangkan oleh HAPSARI untuk bisa terus membantu perempuan khususnya yang tinggal di pedesaan dengan pemberdayaan perempuan.

Melalui SPI Kulon Progo ini, pemberdayaan perempuan dilakukan dengan maksimal sehingga hasil yang didapat dari organisasi kelihatan nyata. Perempuan desa di Kulon Progo sudah banyak bergabung dengan organisasi dan mereka bergerak aktif untuk pemberdayaan mereka sendiri. Mereka juga lambat laun menyadari bahwa perempuan tidak seharusnya hanya menerima perintah dari laki-laki dan mengurusi rumah tangga, tetapi perempuan juga berhak ikut andil dalam membangun. Menumbuhkan kesadaran kritis pada perempuan menjadi tantangan tersendiri bagi SPI untuk bisa membimbing mereka mengubah keadaan yang selama ini mengungkung dan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang. Melalui sebuah pendekatan kelembagaan inilah, perempuan desa bisa mengekspresikan kemampuannya serta mengasah lebih dalam sehingga mereka tidak lagi dipandang sebelah mata baik oleh laki-laki maupun masyarakat luas. Bergabung dengan organisasi juga menjadi ajang belajar bersama bagi perempuan untuk bergerak bersama mengubah nasib mereka.

(5)

1.2. Rumusan Masalah

Dari banyaknya masalah perempuan yang belum juga bisa terselesaikan sampai saat ini, sehingga bermunculan juga berbagai LSM yang bergerak memajukan perempuan serta organisasi perempuan yang menguatkan perempuan dari kelas sosial yang paling bawah. HAPSARI merupakan salah satu jawaban dari permasalahan tersebut yang sedang bekerja untuk mengembangkan kiprahnya dalam pemberdayaan perempuan desa. Melalui SPI Kulon Progo yang merupakan anggota HAPSARI tingkat kabupaten di Provinsi DIY, telah banyak melakukan program-program pemberdayaan perempuan. Perempuan desa di Kulon Progo sebagian besar menjadi anggota organisasi dan mempunyai kesibukkan untuk dirinya.

Penelitian ini peneliti lakukan dengan mengambil rumusan masalah yang dilihat dari perspektif perempuan. Akan tetapi, walaupun penelitian ini berperspektif perempuan tidak selalu memakai konsep-konsep feminis karena didalamnya juga terdapat pemberdayaan pada perempuan. Menurut akademisi perempuan di barat, berkembangnya riset yang berperspektif perempuan tidak semuanya dampak masalah yang dihadapi laki-laki maupun perempuan sama,

pengalaman perempuan dan laki-laki dapat berbeda. 4 Sehingga timbullah

keyakinan pada kaum feminis yang berada dalam lingkup akademisi bahwa berbagai masalah yang dinilai sebagai masalah perempuan perlu dipahami berdasarkan kondisi dan situasi perempuan.

       4

(6)

Rumusan masalah dari penelitian ini yakni, bagaimana keberhasilan yang hendak dicapai oleh SPI Kulon Progo melalui program-program pemberdayaan organisasinya, serta melihat sejauh mana perempuan desa bisa memanfaatkan pemberdayaan yang diberikan dan bisa menciptakan kemandirian pada perempuan tersebut?

1.3. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pemberdayaan perempuan ini mengkonsentrasikan pada perspektif perempuan itu sendiri. Dimana dilihat dampak pada perempuan itu sendiri, sampai sejauh manakah dia dapat diberdayakan, diberdayakan secara mandiri atau ditunjang dengan sebuah organisasi. Pemberdayaan perempuan ini memfokuskan pada perempuan desa. Beberapa para ahli yang mengkaji mengenai pemberdayaan masyarakat pedesaan, antara lain dilakukan oleh Kartasasmita, menurut hasil penelitiannya memberdayakan masyarakat adalah upaya memperkuat unsur-unsur keberdayaan itu untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1997:74).

Putri (2015) dalam skripsinya membahas tentang pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh LSM bernama Yasanti kepada buruh gendong melalui program penguatan kapasitas dengan bentuk sekolah kepemimpinan berkelanjutan. Penelitian ini mengkaji dampak yang terlihat dari perilaku buruh

(7)

gendong peserta sekolah (leader) pasca mengikuti sekolah kepemimpinan terkait dengan kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan maupun pekerja. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan sekolah

yang partisipatif baik kegiatan in class maupun out class, serta materi yang

disesuaikan dengan kebutuhan buruh gendong mampu mengubah perilaku buruh gendong menjadi aktif, kritis, dan responsif terhadap permasalahan yang menyangkut kedudukannya sebagai perempuan dan pekerja. Berdasarkan dari hasil penelitian ini bahwa Yasanti mampu memberdayakan buruh gendong perempuan tersebut melalui sekolah kepemimpinan yang merupakan program dari Yasanti.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Herliawati (2009) tentang LSM perempuan pada komunitas Suara Ibu Peduli (SIP) di Cilandak. Penelitian ini menganalisis bagaimana pemberdayaan ekonomi perempuan SIP beserta manfaat yang diperoleh anggota SIP dari program pemberdayaannya. Penelitian ini juga menekankan bahwa modal sosial menjadi alat dan media yang kontributif bagi program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh SIP. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bentuk kegiatan pemberdayaan yang dilakukan SIP yaitu kegiatan Simpan Pinjam, Penjalinan Relasi, Pendampingan dan Konsultasi, Monitoring dan Evaluasi. Manfaat yang dicapai dari penelitian ini yaitu bertambahnya pengetahuan, meningkatkan rasa diperoleh anggota komunitas tersebut adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap kritis, serta solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, membantu pendapatan keluarga.

(8)

Zubaedi (2007) dalam bukunya yang melakukan penelitian pada LSM perempuan sebagai subyek penelitiannya, memaparkan hasil penelitiannya terhadap LSM Yasanti dan Rifka Annisa. Fokus penelitiannya pada bentuk program, pelaksanaan dan sasaran pemberdayaan LSM tersebut. Zubaedi menjelaskan segmentasi dan fokus kegiatan masing-masing LSM. Pertama LSM Yasanti yang memfokuskan kegiatannya pada pemberdayaan kaum buruh dan remaja putus sekolah, dan kedua Rifka Annisa yang memfokuskan pada kegiatan penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan, pemukulan atau penganiayaan suami terhadap istri dan pelecehan seksual. Program-program tersebut dimaksud untuk memperkuat kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki (Zubaedi, 2005:272).

Widianto (2014) pada tesisnya yang juga menjadikan LSM perempuan sebagai objek penelitiannya yaitu LSM dan Pemberdayaan Perempuan pada LSM Yayasan Sahabat Ibu (YSI) di Yogyakarta. Pada penelitian ini memunculkan permasalahan yang dihadapi perempuan dan juga mengaitkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya sehingga menggerakkan upaya pemberdayaan oleh LSM. YSI melakukan pemberdayaan perempuan melalui program-programnya, namun disisi lain setiap LSM memiliki strategi berbeda yang juga mempengaruhi hasil pemberdayaannya. Selain itu juga pengurus YSI terlibat aktif dalam politik praktis sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hasil dari penelitian ini yang mengambil teori analisis oleh Longwe, pemberdayaan YSI mampu meningkatkan pendapatan perempuan, membuka akses perempuan pada sumber daya produktif, membentuk kesadaran kritis perempuan pada peran

(9)

gender, namun kurang membuka ruang partisipasi dalam perumusan, pelaksanaan dan monitoring program, kontrol perempuan atas pendapatan menguat namun kurang memperngaruhi pengambilan keputusan dalam keluarga karena masih dipengaruhi pola pikir patriarkhis.

Dari beberapa penelitian di atas terlihat berbagai LSM Pemberdayaan Perempuan telah bekerja membantu perempuan untuk lebih maju. Berbagai LSM tersebut mencoba untuk memberdayakan perempuan menggunakan berbagai program andalan mereka dan tidak jarang hasil yang mereka lakukan membuat kehidupan para perempuan tersebut semakin membaik. Permasalahan yang ada juga beragam walaupun dirasa masalah perempuan tidak akan pernah habis jika masih ada paradigma bahwa perempuan itu makhluk lemah. Sementara fokus penelitian pada tulisan ini pendekatan kelembagaan pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Organisasi Perempuan HAPSARI dimana penelitian ini mengambil dari segi perspektif perempuannya. Penelitiaan ini juga mengukur keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan oleh HAPSARI. Penelitian ini dirasa penting karena pada penelitian pemberdayaan perempuan sebelumnya belum ada yang membahas dampak pada perempuan yang diberdayakan itu sendiri.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami strategi pemberdayaan perempuan yang diterapkan SPI Kulon Progo. Secara khusus penelitian ini akan

(10)

menjelaskan bagaimana paradigma organisasi dalam memandang permasalahan perempuan.

Penelitian ini memberi manfaat baik bagi penulis dan juga organisasi pemberdayaan tersebut khususnya bagi perempuan, yakni dapat menyumbang pengetahuan tentang strategi, pendekatan, dan hasil pemberdayaan perempuan yang dimotori lembaga pemberdayaan. Dan dapat dijadikan sebagai bahan

masukan dan pertimbangan kebijakan bagi stakeholder tentang strategi dan

pendekatan pemberdayaan perempuan. Serta dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi untuk memperbaiki program pemberdayaan yang telah dilakukan.

1.5. Kerangka Teori

Pemberdayaan sangat sering kita dengar dengan kaitannya pembangunan, bahkan keduanya tidak dapat dipisahkan. Namun, tidak banyak yang benar-benar mengerti makna dari kedua kata tersebut bahkan bisa mempersalinggantikan kedua kata tersebut. Wrihatnolo dan Dwidjowijoto mengatakan, Pemberdayaan “tidak hanya sekedar daya”. Pemberdayaan berasal dari penerjamahan Bahasa

Inggris “empowerment” yang juga dapat bermakna “pemberian kekuasaan”

karena power buka sekedar “daya”, tetapi juga “kekuasaan”, sehingga kata “daya”

tidak saja bermakna “mampu”, tetapi juga “mempunyai kuasa” (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007: 01). Akan tetapi, kekuasaan tersebut bukan dalam artian kekuasaan politik, melainkan kekuasaan seseorang atas beberapa hal berikut seperti pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup, pendefinisian kebutuhan,

(11)

ide atau gagasan, lembaga-lembaga, sumber-sumber, aktivitas ekonomi, dan reproduksi (Ife, 1995:61-64).

Salah satu strategi dalam pembangunan yakni pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan menjadi penting karena untuk meningkatkan kemandirian dan potensi sumber daya yang dimiliki. Sebagai suatu strategi pembangunan, Payne (1997:266) mengartikan pemberdayaan sebagai kegiatan membantu masyarakat untuk memperoleh daya guna, mengambil keputusan, dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya (Tutut, 2014: 17-18).

Astuti (2012) menyebutkan bahwa pemberdayaan merupakan pendekatan pembangunan yang muncul sebagai jawaban atas kegagalan pendekatan pembangunan sebelumnya. Dengan harapan pendekatan ini dapat menjawab kegagalan pendekatan pembangunan yang telah ada sebelumnya. Ife (1995) dengan pendapatnya mengemukakan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka (Tutut, 2014: 18). Secara sederhana penulis berpendapat bahwa pemberdayaan merupakan alat bantu sekaligus juga alat ukur untuk mengetahui seberapa besar kemampuan masyarakat untuk bisa mandiri dan ikut serta dalam pembangunan.

(12)

Moebyarto (1985) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses serta kontrol atas sumber hidup yang penting. Pemberdayaan juga merupakan proses perubahan sosial yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga kemampuan individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif. Masyarakat juga harus memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya yang lebih baik.

Pemberdayaan pada penelitian ini bisa dilihat dari konteks gender, dimana subjek pada penelitian ini seorang perempuan desa yang menyadari ketidakmampuan, ketidakberdayaan, tidak adanya kekuatan sekaligus disertai dengan kesadaran akan perlunya memperoleh daya, kemampuan, dan kekuatan. Pemberdayaan dalam konteks gender dipandang oleh Moose sebagai pembangunan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal, serta menekankan kesataraan antara laki-laki dan perempuan (Anwar, 2007: 191 dalam Astuti, 2012:15). Astuti (2012) mengatakan pendekatan yang sangat menonjol dari pemberdayaan berbasis gender adalah menyoroti masalah marginalisasi kaum perempuan dalam relasi sosial, ekonomi dan politik dan kehidupan berkesetaraan menjadi tujuan utamanya.

Penelitian pemberdayaan perempuan ini mengambil dari sudut pandang atau perspketif dari perempuan. Sebagai landasan dari kerja penelitian ini, penulis mengambil metode penelitian berperspektif perempuan, yang sebelumnya telah banyak dilakukan oleh para ahli sebelumnya. Metode penelitian berperspektif

(13)

perempuan berawal dari penelitian yang biasanya bersifat sexist atau menempatkan satu kategori jenis kelamin di atas yang lainnya (Eichler, 1991),

gejalanya adalah Androsentrisme, yaitu memahami suatu gejala terpusat pada

kepentingan kaum laki-laki. Pada lingkungan akademik Barat sebelumnya, ilmu pengetahuan dinilai bersifat androsentris. Karena ilmu pengetahuan pada umumnya menyusun konsep atau teori dengan cara mengasumsikan perempuan sebagai obyek pasif, membuat perempuan tidak “kelihatan”, atau malah menjadi “misogyny” (sikap tidak menyukai perempuan).

Di dalam keluarga, laki-laki yang selalu memegang otoritas karena sebuah keluarga memerlukan seorang pemimpin, sehingga perempuan kehilangan otoritasnya terhadap laki-laki. Ollenburger (1995) menyebutkan otoritas yang meliputi kontrol atas sumber-sumber ekonomi dan suatu pembagian kerja secara

seksual di dalam keluarga yang menurunkan derajat perempuan menjadi inferior,

anak buah serta peran-peran sosial yang berlandaskan pada perbedaan inheren

dalam kemampuan dan moralitas sosial. Dalam budaya Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang bisa mematuhi suami, menjadi pengurus rumah tangga, dan mampu melahirkan dan mendidik anak. Dalam pernyataan yang demikian, semakin menjelaskan bahwa perempuan berada dalam posisi yang lemah. Adapun

ungkapan dalam Bahasa Jawa swargo nunut neraka katut yang berarti

kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada suami, yang mengartikan pula dimana perempuan dianggap tidak berperan dalam kehidupannya sendiri.

(14)

Selanjutnya, Umar (1999) mengatakan kesetaraan gender ini dapat diwujudkan dengan persaingan peran secara sehat yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Dalam era globalisasi yang penuh dengan berbagai persaingan, peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan keterampilan.

Perbedaan dan perubahan peran tidak menjadi masalah asal telah terjadi kesepakatan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam teori struktural fungsional, perempuan Jawa akan dapat melakukan perkembangan terhadap dirinya dan keluarganya agar menjadi perempuan yang lebih berkembang dengan tetap melaksanakan fungsinya sebagai perempuan secara kodrati (melahirkan dan menyusui). Akan tetapi, dalam pelaksanaannya untuk memperoleh kekuasaan, perempuan tidak bisa lepas dari proses sosial budaya masyarakat setempat sehingga terjadinya pembagian peran tergantung kepada pengaruh kondisi sosial budaya yang ada.

Dalam penelitian berperspektif perempuan, perempuan tidak hanya sekedar diteliti atau sekedar sebagai obyek akademisi saja, bukan pula hanya untuk kepentingan pembuat kebijakan atau untuk membagi kepedulian pada masyarakat tentang nasib perempuan. Tetapi lebih dari itu, penelitian berperspektif perempuan harus memberi manfaat dan bermaksud untuk membantu memperbaiki nasib perempuan, terutama yang disebabkan karena hubungan gender yang timpang (Trisakti&Sugiarti: 2001:63). Ciri-ciri penelitian berperspektif perempuan adalah: merupakan masalah yang dialami perempuan,

(15)

bermaksud untuk membantu perempuan dan yang dapat bermanfaat bagi perempuan. Jadi, penelitian berperspektif perempuan adalah penelitian yang menempatkan perempuan sebagai objek dan subjek dengan maksud agar dapat bermanfaat bagi perempuan untuk memperbaiki nasibnya (Trisakti&Sugiarti: 2001:64).

Untuk menjadi tolak ukur keberhasilan program pemberdayaan perempuan, Longwe (1999) mengenalkan kerangka kerja terkait pemberdayaan perempuan

yang kemudian dikenal dengan sebutan Women Empowerment Equity Frame

Work. Menurut Longwe, pemberdayaan dapat dilihat dari lima aspek yakni

kesejahteraan, akses, konsentasi/penyadaran, partisipasi dan kontrol. Aspek tertinggi dari kelima aspek tersebut adalah kontrol dan dalam upaya pemberdayaan perempuan harus memenuhi kesemua aspek tersebut (Widianto, 2014:41). Secara lebih rinci, Longwe menguraikan poin yang harus dipenuhi terhadap keberhasilan pemberdayaan perempuan. Poin-poin tersebut kesemuanya dikutip dari Widianto (2014):

Welfare / Kesejahteraan

kesejahteraan adalah unsur material pada level dasar yang harus dipenuhi dalam pemberdayaan perempuan. Asumsinya adalah perempuan selama ini dipandang sebagai penerima pasif dari kesejahteraan yang diusahakan laki-laki tanpa melihat kemampuan perempuan. Oleh karena itu, level pemberdayaan ini menekankan perempuan harus menjadi kreator aktif dan produser untuk mencukupi kebutuhan materialnya. Kesejahteraan dapat

(16)

diukur melalui tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Untuk memperbaiki kesejahteraan diperlukan peningkatan akses perempuan terhadap sumber daya dan keterlibatan dalam proses pemberdayaan.

Access / Akses

Akses menurut Longwe adalah kemampuan perempuan untuk memperoleh peluang terhadap sumberdaya produktif seperti tanah, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran, tenaga kerja dan semua pelayanan publik. Argumen utama level pemberdayaan ini adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya. Dengan kata lain, Rendahnya produktifitas perempuan disebabkan oleh minimnya akses perempuan terhadap sumber daya produktif seperti peluang, permodalan, informasi, pendidikan, pelatihan dll. Sumber daya menurut ICRW (2011:5) tidak hanya terkait

finansial melainkan mencakup human capital (pendidikan, skill, dan

pelatihan), financial capital (modal, tabungan), social capital (jaringan

sosial, mentor), physical capital (tanah, mesin).

Dengan memberikan akses terhadap permodalan dan pelatihan serta keuangan mikro dapat membantu meningkatkan kapasitas perempuan (Maholtra, 2002). Begitu juga dengan akses yang besar terhadap informasi akan membantu perempuan memperoleh akses pada kekuasaan (Narayan, 2002:18). Untuk meningkatkan akses perlu melakukan penyadaran

(17)

terhadap perempuan agar dapat mencari akar penyebab kesenjangan akses yang mereka alami. Menurut Winati (2002) akses dapat dilihat dari (1) sumberdaya yang diperoleh individu, (2) kegiatan yang dikerjakan individu dalam usaha memperoleh beragam sumber daya. Dalam hal ini metode alokasi waktu dapat dipakai untuk mengukur kegiatan tersebut, (3) siapa yang menikmati hasil kegiatan.

Conscientisation / Menumbuhkan Kesadaran Kritis Perempuan

Longwe mendefinisikan konsientasi sebagai kesadaran dalam memahami perbedaan peran berdasarkan pembagian seks dan gender. Pada level ini, pemberdayaan dituntut mampu menumbuhkan sikap kritis perempuan terhadap berbagai akar permasalahan yang menimpanya seperti diskriminasi, subordinasi, stereotipe sehingga menciptakan kesetaraan gender di segala aspek kehidupan. Dengan kesadaran kritis individu mampu melihat ke dalam diri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dialami untuk memahami apa yang terjadi dilingkungannya. Kesadaran hendaknya dimulai dari individu, kelompok hingga komunitas (Freire, 2000). Kesadaran kritis dapat dicapai melalui proses dialog untuk mendefinisikan dan memecahkan permasalahan bersama (Freire 2000:81).

Participation / Partisipasi

Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan keputusan,. Dalam konteks pemberdayaan, perempuan harus terlibat dalam penetapan kebutuhan, perumusan, implementasi, monitoring

(18)

dan evaluasi. Sejalan dengan pemikiran Longwe, Menurut Craig dan Mayo, partisipasi pada dasarnya merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Individu-individu harus terlibat dalam proses pemberdayaan sehingga mereka dapat menumbuhkan rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2001:3). McArdle (1989) bahkan menyatakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan (dalam hikmat, 2001:6). Partisipasi dapat dilihat dari peran serta perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara.

Control / Kontrol

Pada level puncak pemberdayaan ini, perempuan perempuan harus memiliki kontrol setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan sehingga tidak ada lagi dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Pentingnya kontrol sebagai salah satu unsur analisis pemberdayaan perempuan adalah perempuan mempunyai kekuasaan untuk mengubah kondisi dan posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Konsep kontrol berhubungan dengan aspek kekuasaan seseorang untuk menentukan segala sesuatu yang menyangkut pelbagai kepentingan termasuk memperoleh beragam sumberdaya bagi dirinya (Winati, 2002). Konsep kontrol menurut Winati dapat dianalisis melalui bagaimana pengambilan keputusan yang

(19)

dilakukan oleh individu untuk melakukan sesuatu baik dalam rumah tangga maupun masyarakat luas.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Serikat Perempuan Independen (SPI) Kulon Progo, sebuah organisasi perempuan yang berbentuk serikat yang berkedudukan di Kulon Progo. SPI Kulon Progo beralamat di Banjararum, Semaken II Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. Penelitian ini memfokuskan pada anggota SPI yang khususnya pada perempuan desa di Dusun Keceme, Suroloyo, Kulon Progo.

SPI Kulon Progo dipilih menjadi lokasi penelitian dikarenakan sebelumnya peneliti telah melakukan kerjasama dalam acara penting HAPSARI yang bekerjasama juga dengan PSW UGM yang merupakan tempat magang peneliti sebelumnya. SPI Kulon Progo ini sudah banyak melalui berbagai proses perjalanan yang panjang sejak awal tahun 2010. Mulai dari sosialisasi gagasan tentang pentingnya berorganisasi bagi kaum perempuan, serta mempelajari bagaimana tata cara membangun organisasi perempuan yang independen dan juga membentuk kepengurusan-kepengurusan di tingkat kecamatan.

1.6.2. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, penulis menempuh kerja lapangan yang terlibat langsung dengan informan dan melihat langsung kenyataan sosial perempuan di

(20)

kehidupannya serta ikut terlibat aktif dalam peran informan. Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipasi dimana yang wajib dilakukan oleh seorang peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif untuk pengumpulan datanya. Kegiatan observasi ini dapat terlaksana secara intensif karena penulis terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari informan, sehingga dalam pengumpulan data dengan observasi partisipasi dapat berjalan dengan baik.

Selain menggunakan teknik observasi, penulis juga melakukan wawancara secara mendalam. Wawancara mendalam ini dilakukan guna untuk mendapatkan data yang lebih mendalam untuk menggali keterangan dan gagasan dari sudut pandang para informan. Wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa informan guna untuk mendapatkan banyak informasi dan juga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Wawancara dilakukan dengan dua cara yakni wawancara yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu pertanyaan secara struktur yang merupakan bahan acuan dari penulis dan wawancara saat mengobrol dengan informan karena pada saat mengobrol ringan para informan lebih lugas menceritakan apa adanya.

Data sekunder juga menunjang dalam pengumpulan data penelitian ini, yakni berupa catatan dan beberapa data tertulis yang merupakan arsip dari HAPSARI dan SPI didapat atas perijinan pihak terkait. Studi pustaka berupa buku, jurnal, dan sumber informasi yang berasal dari internet juga menjadi acuan penulis yang tentunya juga berkaitan dengan fokus yang diteliti oleh penulis sehingga lebih mudah mengarahkan dan memperjelas arah penulisan karya ini.

(21)

1.6.3. Pemilihan Informan

Penulis melibatkan semua pihak yang terkait untuk menggali informasi, yakni melalui Ketua Dewan Eksekutif HAPSARI secara langsung Ibu Lely Zailani, Dewan Pengurus Serikat (DPS) melalui sekretaris 1 Mbak Ari Purjantati, kader aktif SPI Kulon Progo dari Dusun Keceme Ibu Kartinah yang juga merupakan informan kunci, dan juga anggota SPI Kulon Progo Bu Umini (60 tahun) dan Bu Ukini (52 tahun). Dari kesemua informan tersebut merupakan perempuan desa yang menjadi objek penulis untuk penelitian ini. Dan juga informan tersebut dipilih melalui kriteria perempuan desa yang mempunyai kesadaran atas ketidakmampuannya sehingga menganggap penting untuk melakukan pemberdayaan agar bertindak setara dengan laki-laki.

1.6.4. Sistematika Penulisan

Pada penulisan penelitian ini, berisi lima bab yang masing-masing bab membahas masalah secara struktural. Bab pertama berisi tentang latar belakang permasalahan yang menjadi acuan penelitian ini, rumasan masalah yang akan mengarahkan penulisan penelitian ini, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan metode penelitian. Bab kedua berbicara tentang deskripsi Sosial, Demografi, dan Ekonomi lokasi penelitian yang membahas lebih dalam lokasi dan keadaan wilayah serta aspek kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Dan juga bercerita mengenai potret perempuan Suroloyo yang mencakup, keadaan kehidupan sosial, potensi yang dimiliki perempuan, serta problematika yang dihadapi oleh perempuan Suroloyo.

(22)

Bab ketiga berisi tentang sejarah kelahiran SPI Kulon Progo yang mencakup struktur organisasi dan program utama organisasi. Langkah awal pemberdayaan yang dilakukan SPI, kinerja dalam pemberdayaan, strategi pendekatan pemberdayaan, serta keberhasilan dan tantangan pemberdayaan oleh SPI.

Selanjutnya pada bab keempat, mengevaluasi hasil pemberdayaan

perempuan oleh SPI mencakup goal yang dicapai hendak dicapai. Pada goal

tersebut ada beberapa aspek yang berhasil dan belum berhasil dalam pemberdayaan, faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan, serta hambatan dari tidak berhasilnya pemberdayaan. Pada bab keempat ini dilakukan analisis pengukuran keberhasilan dari pemberdayaan perempuan yang dilakukan dengan mengacu pada level analisis pemberdayaan Sarah Longwe. Penulisan ditutup dengan bab kelima yang berisi kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor- faktor yang berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap tingkat adopsi teknologi usahatani padi sawah adalah pengetahuan, sedangkan

Pada persamaan (25),

“Kalo yang mongilalo tetap saja masih menggunakan karena tahapan ini artinya memperhatikan jadi memang masih ada ini tahap mongilalo, berikut tahap mohabari sama

Kerangka penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi perilaku perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dimana perilaku perawat terdiri pengetahuan, sikap, keterampilan, dan

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf i yaitu pemanfaatan kawasan peruntukan lain