• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. LATAR BELAKANG MASALAH

Seiring berkembangannya kehidupan, manusia selalu dihadapkan pada perubahan-perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis. Perkembangan hidup manusia dibagi kedalam beberapa tahap atau periode perkembangan, dari masa bayi, anak-anak, periode akhir anak-anak, remaja, dewasa, dan sampai saatnya tiba seseorang mencapai usia matang atau sering disebut dengan usia madya atau usia lanjut.

Masa dewasa madya dimulai dari umur 40 tahun sampai dengan 60 tahun, yang mana pada usia ini kemampuan fisik dan psikologis sudah mulai menurun(Wicaksana, 2008). Pada usia 40 tahun ke atas, individu biasanya telah mencapai kestabilan dalam karier, telah berhasil mengatasi dan menguasai kelemahan-kelemahan sebelumnya. Hal ini menjadi bekal untuk belajar menjadi orang dewasa di kehidupan yang akan dijalaninya sebagai orang dewasa usia tengah baya (Desmita, 2006).

Masih ada satu perkembangan yang harus dilalui oleh seseorang yang sudah masuk pada dewasa akhir yaitu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan signifikan seperti adanya perubahan fisik, sosial, psikologis, perubahan pola keluarga hingga perubahan pekerjaan (Maryam &Ekasari, 2008). Pada hakikatnya, dalam

(2)

kehidupan manusia selalu terjadi berbagai macam aktivitas. Salah satu aktivitas yang biasa dilakukan adalah bekerja Wexley (dalam Djali,2007) mengatakan bahwa seseorang bekerja karena hal itu merupakan kondisi bawaan seperti bermain, istirahat, dan melakukan sesuatu.

Dalam sebuah survei disebutkan bahwa hampir 70% dari pegawai mengemukakan sebelum pensiun mereka hanya bekerja untuk uang saja, namun seiring berjalannya waktu, mereka dapat menikmati pekerjaan sebagai aktivitas yang sudah biasa dilakukan (Santrock,2006). Bekerja merupakan hal penting bukan hanya karena kecukupan materi yang ingin dicapai, tetapi dengan bekerja dapat memberi seseorang penghargaan diri dan pengakuan sosial, yaitu suatu perasaan diterima sebagai bagian dari masyarakat (Poespodiharjo, 2010). Dengan demikian, bekerja merupakan suatu tujuan sekaligus sarana bagi individu.

Di Indonesia ada berbagai macam profesi dan jenis pekerjaan yang biasa digeluti oleh individu, salah satunya adalah Pegawai Negeri Sipil atau biasa disebut dengan PNS. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan (pasal; 1 ayat 3 UU Nomor 5/2014) (Hartini, Kadarsih, & Sudrajat, 2014). Sebagai Pegawai Negeri Sipil, berbagai macam tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan selama masa kerjanya secara psikologis akan menimbulkan identitas, status, ataupun fungsi sosial pada diri individu (Rio, 2013). Salah satu perubahan yang terjadi dalam siklus kehidupan seorang dan tidak terkecuali pada Pegawai Negeri Sipil adalah berakhirnya masa

(3)

bekerja dan pengabdian sebagai Pegawai Negeri Sipil dikarenakan telah memasuki usia pensiun.

Saat ini banyak instansi, lembaga dan perusahaan secara khusus memfasilitasi pegawainya untuk mengikuti pelatihan persiapan pensiun, namun Thoha (2015) dalam bukunya mengatakan pelatihan keterampilan untuk pegawai yang akan menghadapi pensiun tidak didukung oleh permodalan seutuhnya. Masa persiapan pensiun diadakan tentunya dengan pertimbangan agar para pegawai yang akan pensiun dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga ketika masa pensiun datang pegawai tersebut telah memiliki kesiapan dari berbagai hal (Widiyarso, 2010).

Semestinya pensiun adalah dambaan semua orang, karena semakin lama bekerja akan semakin lelah dan jenuh sehingga membutuhkan istirahat. Selain itu masa pensiun dapat meningkatkan kesehatan karena individu sudah mencapai puncak karier, berkurangnya beban tekanan hidup yang dihadapi serta akan ada banyak waktu dan kesempatan bersama keluarga atau pasangan. Pada kenyataannya, masih banyak Pegawai Negeri Sipil yang merasa khawatir dan resah saat menghadapi pensiun Thoha (2015) mengatakan bahwa masih banyak Pegawai Negeri yang belum siap menghadapi pensium, karena sesungguhnya banyak pegawai yang masih mampu bekerja namun peraturan menetapkan demikian.

Kondisi psikologis yang terjadi pada Pegawai Negeri Sipil yang akan mengalami pensiun bisa saja berbeda. Perbedaan itu terletak pada kesiapan mental dan sikap individu menghadapi pensiun. Individu yang menghadapi masa pensiun biasanya akan bertindak seorang diri, merasa tidak ada lagi yang mempedulikan

(4)

dirinya, tidak ada yang memberikan pujian atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik, tidak berguna dan tidak ada imbalan keuangan sebanyak ketika individu bekerja atau menduduki suatu jabatan tertentu (Poespodiharjo, 2010).

Bagi usia madya yang tidak siap menghadapi masa pensiun, hal itu akan menjadi suatu stressor atau suatu kehilangan yang dapat menyebabkan konflik, perubahan harga diri, gangguan interaksi sosial dan timbulnya kecemasan (Tamher & Noorkasiani, 2009). Hal ini terbukti pada beberapa penelitian dan survei yang sudah dilakukan oleh Edwards (2014) bahwa individu yang berusia lebih dari 50 tahun lebih merasa cemas mengenai kesejahteraan keluarga dan hal yang harus dilakukan ketika masa pensiun datang.

Para PNS yang telah habis masa kerjanya dapat mengalami mental shock. Salah satu faktornya adalah berbagai tunjangan yang biasanya mereka dapatkan akan terhenti, mereka tampak tidak beraktivitas, dan kebanyakan dari mereka memiliki ketakutan mengenai apa yang harus dihadapi kelak karena terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Utomo dan Sekarni (2012) mengenai “Gambaran Tingkat Kecemasan Lansia Pegawai Negeri Sipil dalam Menghadapi Masa Persiapan Pensiun” menunjukkan bahwa pada 34 PNS yang berusia 56-59 tahun menunjukkan adanya kecemasan PNS dalam menghadapi pensiun. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan 26 lansia atau 76,46% mengalami kecemasan ringan, 6 lansia atau 17,64% tidak mengalami kecemasan, dan 2 lansia

(5)

atau 5,88% mengalami kecemasan sedang. Dengan demikian banyak dari mereka mengahadapi usia tua sebagai salah satu periode hidup yang paling mengecewakan.

Kecemasan diakui sebagai salah satu masalah kesehatan mental umum yang sering terjadi (Edwards,2014). Pada dasarnya tiap individu memiliki rasa cemas dalam dirinya dan ini merupakan hal yang biasa terjadi. Kecemasan merupakan suasana hati yang ditandai oleh efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani saat seseorang mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akandatang dengan perasaan khawatir (Durand & Barlow, 2006). Biasanya orang yang mengalami kecemasan memiliki gejala-gejala seperti tidak bisa tidur, sakit kepala, perasaan gelisah danhal itu dapat menyebabkan sifat mudah marah (Edwards,2014). Kecemasan ini awalnya hanyalah bisikan akankekawatiran, namun apabila semakin lama, maka akan menimbulkan banyak penyakit kejiwaan dan penyakit fisik (Az-Zahrani, 2005).

Kecemasan yang terjadi saat menghadapi masa pensiun merupakan permasalahan yang tidak main-main dan butuh penangan yang cukup serius.Pendapat yang dikemukakan oleh Sutarto dan Cokro (2008) bahwa pensiun merupakan stressor paling berat yang dialami oleh pegawai atau karyawan, selain kehilangan orang yang dicintai. Kecemasan yang berlebihan pada seseorang menghadapi masa pensiun dapat mengganggu keseimbangan hidup, individu tersebut akan menjadi mudah marah, produktivitas kerja menurun dan hal tersebut perlu adanya upaya dan antisipasi agar

(6)

kecemasan yang mengarah pada penurunan kualitas hidup seseorang menjelang pensiun dapat dikurangi (Hernilawati, 2013).

Banyak penelitian yang sudah dilakukan mengatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kecemasan adalah dukungan sosial (Sekarsari & Susilawati,2015; Wulandari, 2016; Casale dkk., 2001, Roohafza & Afshar, 2014). Peranan orang lain dalam kehidupan sangatlah penting karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup. Pendapat yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) bahwa dukungan sosial dapat membantu seseorang dalam menghadapi masa pensiun, karena dukungan sosial dapat memfasilitasi perilaku kesehatan yang lebih baik dan mengurangi jumlah stres.Dukungan sosial juga dapat langsung memotivasi individu untuk terlibat dalam perilaku yang lebih sehat. Memiliki dukungan sosial yang memadai membuat invidu yang akan menghadapi masa pensiun mengetahui fakta bahwa individu tersebut dicintai sehingga dapat membuat dirinya merasa lebih baik (Desiningrum, 2010).

Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti dengan menurunnya moralitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif terjaga, kesehatan emosi, dan sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik dan psikologis (Ozbay, Charney, & Southwick, 2007). Ramirez (2016) juga menemukan bahwa bahwa kurangnya dukungan sosial cenderung menimbulkan lebih banyak stereotip negatif dan kecemasan mengenai aging pada orang dewasa.

(7)

Dukungan sosial bisa didapat dari siapapun, akan tetapi, keluarga merupakan tempat yang paling dasar. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sekarsari dan Susilawati (2015) menunjukan bahwa PNS yang akan memasuki masa pensiun membutuhkan dukungan baik dari keluarga, rekan kerja, serta instansi, namun dukungan yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang paling utama yang dibutuhkan oleh PNS untuk menghadapi masa pensiun.

Margaret (dalam Ihromi, 2004) mengatakan keluarga adalah suatu lembaga yang paling kuat daya tahannya yang individu miliki. Keluarga juga merupakan suatu aspek yang tidak dapat ditemukan pada lembaga yang lain, yaitu mengenai kemampuan mengendalikan individu secara terus menerus. Hanya melalui keluarga seseorang dapat memperoleh dukungan yang diperlukan oleh pribadi secara terus menerus (Ihromi, 2004).

Dukungan sosial yang diterima seseorang menjelang pensiun merupakan suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya. Dukungan keluarga merupakan basis utama dan terakhir ketika seseorang menjalani masa pensiun sebagai tempat untuk kemudian menghabiskan kesehariannya setelah keluar dari dunia kerja (Wulandari, 2016). Disamping itu, terdapat pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stres (Hermilawati, 2013).

Berdasarkan keseluruhan uraian yang terdapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi masa pensiun merupakan suatu keadaan atau perasaan

(8)

yang tidak menyenangkan dan bersifat subjektif yang dialami oleh individu yang akan memasukimasa berhenti bekerja. Dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan menghadapi pensiun.

Sejauh penelusuran peneliti, masih jarang ditemukan penelitian mengenai hubungan dukungan sosial keluarga dan kecemasan menghadapi pensiun pada Pegawai Negeri Sipil, sehingga hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti permasaahan tersebut. Dari pemaparan yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin rendah kecemasan menghadapi masa pensiun pada PNS. Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi kecemasan menghadapi masa pensiun pada PNS.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara dukungan sosial keluarga dan kecemasan menghadapi pensiun pada Pegawai Negeri Sipil.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara dukungan sosial keluarga terhadap kecemasan menghadapi masa pensiun pada Pegawai Negeri Sipil.

(9)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembanganilmu psikologi di bidang klinis. Terutama pada kajian yang berhubungan dengan dukungan sosial dan kecemasan dalam menghadapi masa pensiun.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan informasi serta menjadi pertimbangan bagi instansi pemerintahan terkait dengan kesiapan Pegawai Negeri Sipil, khususnya mengenai dukungan sosial keluarga dan kecemasan dalam menghadapi pensiun.

Referensi

Dokumen terkait

Konseling Islam dengan Terapi Realitas dalam Menangani Perilaku Fiksasi pada Anak (studi kasus; anak yang selalu bergantung pada orang lain di desa sarangan kanor

Dari hal tersebut muncul pemikiran penulis untuk mebuat suatu Design untuk Simulasi Lowpass yang mampu meloloskan yang masuk kedalam spektrum frekuensi L-Band

Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Berbasis Masyarakat (PKPBM) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Handbook Sekilas Informasi Program

Aspek yang diukur dalam pelaksanaan penyuluhan adalah efektifitas penyuluhan, pengetahuan, sikap dan keterampilan petani terhadap pemanfaatan mikroorganisme lokal keong

Optical density ratios (ODP/ODN) obtained by ELISA: (A) for human sera from the West Bekaa and Zahle districts, (B) from Akkar district, (C) of horse sera, and (D) of chicken sera

Dari pengembangan skenario yang telah dilakukan, didapatkan simpulan bahwa akan lebih baik jika produsen memperhitungkan hasil dari pengembangan skenario garansi terlebih

memberikan penilaian setuju, sedangkan penilaian rata-rata responden paling terendah yakni 1.6% responden memberikan penilaian tidak setuju. Indikator tanggung jawab,

Penelitian ini berjudul “Makna Hanabi dalam Lagu Jepang”. Judul ini dipilih sebagai topik penelitian karena dalam lagu-lagu Jepang sering ditemukan penggambaran