• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan tambahan pangan (BTP)

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi di tambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan, seperti; pewarna, pengawet, penyedap rasa, pemanis, antioksidan, antikempal, dan pemutih (Cahyadi, 2006).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/Menkes/PER/X/1999 pengertian bahan tambahan pangan (BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan. Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan agar dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan agar lebih menarik untuk dihidangkan (Cahyadi, 2006).

Dalam penggunaan bahan tambahan pangan, para produsen harus mematuhi Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun yang dinyatakan terlarang sebagai bahan tambahan pangan, dan wajib

▸ Baca selengkapnya: bumbu adalah bahan tambahan makanan yang sengaja ditambahkan untuk memperbaiki rasa pada masakan. klasifikasi bumbu berdasarkan akar/umbi adalah

(2)

menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mencantumkan bahan tambahan pangan yang dilarang untuk ditambahkan di dalam makanan, seperti; formalin, natrium tetraborat (boraks), minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils), kloramfenikol (chlorampenicol), dan kalium klorat (pottasium chlorate) (Cahyadi, 2006).

2.1.1 Fungsi bahan tambahan pangan

Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu;

- mengembangkan nilai gizi suatu makanan, biasanya untuk makanan diet dengan jumlah secukupnya. Di banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan peraturan masing-masing negara

- mengawetkan dan memproduksi makanan demi kesehatan kita dan mencegah penggunaan bumbu dengan masa singkat dan faktor harga, sangatlah penting makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam jangka waktu selama mungkin

- menolong produksi, fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin bahwa makanan di proses seefisien mungkin dan juga dapat menjaga keadaan makanan selama penyimpanan

- memodifikasi pandangan konsumen, bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap, mencium, merasa dan bahkan mendengar

(3)

bunyi makanan yang kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa menggunakan bahan tambahan ini, pertama karena ekonomi, misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih berkualitas. Kedua, adalah karena permintaan publik, misalnya dalam masakan modern dimana bahan makanan dasar dimodifikasi (Norman, 2008).

2.2 Bahan pengawet

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasanya bahan tambahan pangan ini ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur, misalnya pada produk olahan daging, dan buah-buahan (Cahyadi, 2008).

Zat pengawet terdiri dari senyawa anorganik dan organik dalam bentuk asam dan garamnya. Contoh zat pengawet anorganik yang masih sering digunakan adalah sulfit, nitrit dan nitrat, sedangkan zat pengawet organik yang sering digunakan sebagai pengawet adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, dan asam asetat. Zat pengawet organik lebih banyak digunakan dibandingkan pengawet anorganik karena bahan ini lebih mudah diperoleh (Cahyadi, 2008). Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, Generally Recognized as Safe (GRAS) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun. Kedua, Acceptable Daily Intake (ADI), yang telah

(4)

ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen. Ketiga, zat pengawet yang tidak layak dikonsumsi karena tidak diizinkan penggunaannya pada makanan alias berbahaya seperti boraks dan formalin (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Bahan pengawet yang diperbolehkan untuk dikonsumsi mempunyai karateristik sebagai berikut;

1. tidak spesifik, artinya sifat antimikrobanya berspektrum luas 2. termasuk golongan bahan pengawet GRAS

3. ekonomis (murah dan mudah diperoleh) 4. tidak berpengaruh terhadap citarasa

5. tidak berkurang aktivitasnya selama penyimpanan 6. tidak menimbulkan strain (galur) yang resisten

7. pengawet yang bersifat mematikan (lethal/mikosidal) lebih efektif dibandingkan pengawet yang hanya menghambat pertumbuhan (non-lethal/mikostatik) (Nurwantoro dan Djarijah, 1997).

Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena setiap pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda (Cahyadi, 2008).

Pemakaian bahan pengawet akan menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya

(5)

maupun mikrobial yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan (Cahyadi, 2006).

Tanpa bahan tambahan pangan khususnya bahan pengawet, bahan yang tersedia di pasar atau di swalayan menjadi kurang menarik, tidak dapat dinikmati secara layak, dan tidak awet. Bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan pengawet pangan yang pada dasarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkannya sangat rendah (Cahyadi, 2006).

Jumlah zat pengawet yang ditambahkan kedalam bahan pangan tidak berpengaruh pada pernyataan bahwa zat pengawet kimia telah ditambahkan dan standard identitasnya ditetapkan untuk produk bahan pangan tersebut. Bila penambahan zat pengawet kimia tidak terdaftar sebagai suatu bahan campuran yang ada, zat kimia tersebut tidak boleh ditambahkan pada bahan pangan yang dipasarkan (Norman, 2008).

Penggunaan bahan pengawet kimia pada bahan pangan bagi keuntungan konsumen dapat dibenarkan secara teknologis apabila bahan pengawet tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut;

1. menjaga kualitas gizi bahan pangan 2. meningkatkan stabilitas penyimpanan

3. menjadikan bahan pangan lebih menarik namun tidak mengarah kepada penipuan terhadap konsumen

(6)

Penambahan bahan pengawet kimia pada bahan pangan yang tidak memperhatikan kepentingan konsumen tidak diperkenankan pemakaiannya apabila; menutupi adanya teknik pengolahan yang salah, merugikan konsumen, dan menyebabkan pengurangan nilai gizi makanan (Norman, 2008).

2.3 Boraks

Boraks yang berasal dari bahasa Arab yaitu Bouraq merupakan kristal lunak yang mengandung mineral boron yang memiliki senyawa kimia yang kompleks. Senyawa ini dipercaya dapat memperbaiki tekstur makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus, misalnya bakso dan ketupat yang jika digigit akan terasa lebih kenyal, atau kerupuk yang bila digigit akan lebih rapuh dan renyah (Efendi, 2012).

Boraks yang dijual dipasaran biasanya berbentuk kristal putih seperti gula pasir. Di Jawa Barat, larutan boraks dikenal dengan dengan sebutan “bleng”. Hanya saja orang mendapatkannya dari sejenis tanah liat yang mengandung mineral boron yang kemudian disaring (Effendi, 2012).

2.3.1 Karakteristik boraks

Boraks mempunyai rumus bangun seperti yang tertera pada Gambar 2.1.

(7)

Boraks mempunyai rumus molekul Na2B4O7 yang setara dengan tidak

kurang 99,0% dan tidak lebih dari 105,0% Na2B4O7.10H2O. Larutan boraks

bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut dalam air mendidih dan dalam gliserin, tidak larut dalam etanol (Depkes RI, 1984).

Boraks jika terlarut dalam air akan membentuk natrium hidroksida dan asam borat. Boraks berupa serbuk kristal putih, tidak berbau, rasa asin dan basa, mudah larut dalam air, dan tidak dapat larut dalam alkohol. Daya pengawet yang kuat dari boraks berasal dari kandungan asam borat didalamnya. Dengan demikian bahaya boraks identik dengan bahaya asam borat (Depkes RI, 1984).

2.3.2 Asam borat

Asam borat mempunyai rumus molekul H3BO3 yang setara dan tidak

kurang dari 99,5%. Asam borat berupa serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna, kasar, tidak berbau, dan rasanya sedikit asam dan pahit kemudian manis. Asam borat larut dalam 20 bagian air dingin, 3 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol pekat, dan 16 bagian etanol 95% (Depkes RI, 1984).

Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat atau asam tartrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 1000oC yang secara perlahan berubah menjadi asam metaborat (HBO2) (Khamid, 1993).

2.3.3 Identifikasi boraks dan asam borat

Identifikasi boraks atau natrium tetraborat dan asam borat dapat dilakukan dengan membasahkan kertas kurkuma ke dalam larutan 5% yang telah diasamkan dengan asam klorida encer yang kemudian dikeringkan akan terjadi perubahan

(8)

warna pada kertas kurkuma menjadi warna merah kecoklatan. Jika dikeringkan warna coklat akan menjadi intensif dan jika dibasakan dengan amonia encer akan berubah menjadi hitam kehijauan (Depkes RI, 1984).

Boraks dan asam borat juga dapat diidentifikasi dengan reaksi nyala api, yaitu dengan memanaskan sejumlah zat di dalam cawan porselen hingga melebur, lalu ditambahkan asam sulfat pekat dan metanol pekat kemudian dibakar dengan api langsung, adanya boraks ditandai dengan nyala api yang berwana hijau. 2.3.4 Fungsi boraks dan asam borat

Boraks dan asam borat memiliki khasiat sebagai antiseptika, yaitu zat yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Boraks digunakan sebagai bahan pembersih, pengawet kayu dan antiseptik kayu. Di bidang farmasi, boraks digunakan sebagai antimikroba dan bahan emulsi pada sediaan kosmetik seperti; krim dan salep (Depkes RI, 1995).

Asam borat dapat dibuat dengan menambahkan asam sulfat atau asam klorida pada boraks. Asam borat bila dilarutkan dalam air dapat digunakan sebagai obat pencuci mata yang dikenal sebagai boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, semprot hidung. Tetapi larutan ini tidak boleh diminum atau diusapkan pada bekas luka luas, karena bersifat racun jika terserap oleh tubuh (Winarno, 1994).

2.3.5 Penyalahgunaan boraks

Boraks bukan merupakan pengawet makanan, namun beberapa produsen makanan masih ada yang menggunakan boraks sebagai pengawet makanan.

(9)

Boraks sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat, dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan. Akan tetapi boraks telah dinyatakan sebagai bahan yang dilarang penggunaannya dalam makanan sesuai Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 karena sangat berbahaya bagi kesehatan (Effendi, 2012).

Dengan adanya boraks adonan dapat lebih liat dan elastis sehingga tetap menarik. Boraks banyak digunakan pada industri kecil atau industri rumah tangga. Kasus keracunan boraks terjadi karena absorpsi yang berlangsung dengan segera dari saluran pencernaan makanan, kulit yang terluka, lecet, atau terbakar yang mendapat pengobatan secara berulang-ulang dengan serbuk atau larutan asam borat. Selain itu, eksresi boraks yang lambat juga memperbesar terjadinya akumulasi akibat penggunaan berulang (Winarno, 1994).

Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks secara terus menerus dalam jumlah banyak akan menyebabkan keracunan dan merusak sistem organ tubuh seperti; susunan syaraf pusat (SSP), ginjal, dan hati dan berujung pada kematian (Nasution, 2009).

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan hal-hal berikut;

a. sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret b. sakit kepala, gelisah

(10)

c. penyakit kulit berat

d. muka pucat dan kulit kebiruan

e. sesak nafas dan terganggunya sirkulasi darah f. hilangnya cairan dalam tubuh

g. degenerasi lemak hati dan ginjal

h. otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-kejang i. tidak bisa buang air kecil

j. tidak memiliki nafsu makan

k. kematian (Saparinto dan Hidayati, 2006).

Gejala keracunan muncul antara 3-5 hari yaitu rasa mual, muntah, diare berlendir dan berdarah, kejang, bercak-bercak pada kulit/selaput lendir terkelupas dan kerusakan ginjal. Penggunaan boraks sering kali tidak disengaja karena tanpa diketahui terkandung di dalam bahan makanan seperti pijer atau bleng yang sering digunakan dalam pembuatan krupuk, bakso, mie basah, lontong, dan ketupat (Effendi, 2012).

Pada bayi dan anak- anak keracunan lebih mudah terjadi dibanding orang dewasa, dan kematian dapat terjadi setelah penggunaan topikal dari serbuk boraks untuk mengobati ruam. Keracunan dapat bersifat akut ataupun kronis dengan gejala yang utama adalah kulit mengelupas, demam, dan anuria (Winarno, 1994).

2.4 Bakso

Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang digiling dengan bahan tambahan berupa garam dapur, tepung tapioka, dan bumbu

(11)

yang kemudian dibentuk bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 gram per butir, dan selanjutnya direbus. Kualitas bakso bervariasi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung, dan proses pembuatannya (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Bahan yang biasanya digunakan dalam pembuatan bakso dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bahan yang digunakan pada pembuatan bakso

Bahan Persen (%) Jumlah (gram)

Daging 100 1000

Tepung tapioka 10 – 20 100 - 200

Sodium Tri Poli Phospat (STPP) 0,25 2,5

Garam 4 4,0

Merica bubuk 0,25 2,5

Bawang putih 1,5 15

Es 20-30 200 - 300

Proses pembuatan bakso ada beberapa tahapan, yaitu; 1. pemotongan daging

2. penggilingan

3. pencampuran bahan 4. pencetakan bakso 5. perebusan

(12)

Gambar 2.2 Bagan pembuatan bakso (Widayat, 2011).

Tahap pertama daging segar yang telah dipilih, dipotong-potong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es dimasukkan pada waktu penggilingan untuk menjaga elastisitas daging. Daging yang sudah lumat kemudian dicampur dengan tapioka dan bumbu yang telah dihaluskan. Adonan tersebut kemudian dituang kedalam wadah dan dicetak berbentuk bulatan kecil. Bulatan-bulatan bakso yang telah terbentuk kemudian langsung direbus di dalam panci yang berisi air mendidih. Perebusan dilakukan sampai bakso matang yang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan. Bakso yang telah matang ditiriskan, setelah dingin bakso dapat dikemas atau dipasarkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Kualitas bakso yang disukai konsumen dilihat dari tekstur, warna, dan rasa. Tekstur yang biasanya disukai adalah yang halus, kompak, kenyal, dan empuk. Halus dimana permukaan irisannya rata, seragam, dan serat dagingnya tidak tampak. Kekenyalan bakso dapat ditentukan dengan melempar bakso ke permukaan meja dan lantai, dimana bakso yang kenyal akan memantul, sedangkan

(13)

keempukan diketahui saat menggigitnya, dimana bakso yang empuk akan mudan pecah (Effendi, 2012).

Bakso yang beredar dipasaran ada beberapa jenis antara lain bakso ikan, bakso ayam, dan bakso sapi. Selain itu dikenal juga bakso daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, misalnya daging penutup, dengan penambahan tepung lebih sedikit dibandingkan berat daging yang digunakan (Effendi, 2012).

Bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung jaringan ikat atau urat, misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan. Bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan tepungnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah daging yang digunakan (Effendi, 2012).

Komponen daging yang terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein. Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak, dan kenyal (Effendi, 2012).

Tekstur dan keempukan bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air dingin atau es bertujuan agar suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian daging, memudahkan ekstraksi protein dari daging dan membantu dalam pembentukan emulsi (Effendi, 2012).

(14)

Dalam penyajiannya, bakso umumnya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mi bihun, tauge, tahu, lalu ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan dapat ditemukan di seluruh Indonesia; dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran. Berbagai jenis bakso sekarang banyak di tawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasar swalayan dan mall-mall. Irisan bakso dapat juga dijadikan pelengkap jenis makanan lain seperti; mi goreng, nasi goreng, dan cap cai.

Bahan pengawet yang biasa digunakan pada pembuatan bakso adalah asam benzoat. Penambahan asam benzoat dilakukan dengan cara mencampurkannya ke dalam adonan bakso, sebanyak 0,1-0,5% dari berat adonan (Effendi, 2012).

Boraks sering digunakan oleh pengolah bakso dengan maksud menghasilkan produk yang kering (kesat dan tidak lengket). Tetapi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, boraks termasuk salah satu bahan kimia yang dilarang penggunaannya dalam produk pangan (Effendi, 2012).

Bakso yang mengandung boraks cenderung lebih kenyal, bila digigit akan kembali kebentuk semula. Ciri lain dari bakso yang menggunakan boraks adalah warnanya yang tampah lebih putih. Ini berbeda dengan bakso yang baik, yang biasanya berwarna abu-abu segar merata di semua bagian, baik di pinggir maupun tengah. Untuk bakso yang berwarna abu-abu tua, kemungkinan bakso tersebut dibuat dengan tambahan “obat bakso” yang berlebihan (Widyaningsih dan Martini, 2006).

Gambar

Gambar 2.1 Rumus bangun boraks (Widayat, 2011).
Tabel 2.1 Bahan yang digunakan pada pembuatan bakso
Gambar 2.2 Bagan pembuatan bakso (Widayat, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, proses klasifikasi hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi yang menghasilkan nilai akurasi terbesar pada proses analisis

Demikian surat pengumuman ini disampaikan untuk diketahui dan bagi peserta yang termasuk dalam Daftar Pendek Konsultan (shortlist) dapat mengikiuti proses seleksi tahap

Berita Acara Pemberian Penjelasan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari. Dokumen Pengadaan, Apabila dalam Berita Acara Pemberian Penjelasan ini

Dari proses validasi, data hasil penelitian dengan pendekatan CFD memiliki kesesuaian hasil dengan data hasil penelitian dengan analisa numerik, yaitu kemudi

Dengan melihat kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan oleh pelanggan maka penulis dapat menganalisa kebutuhan proses yang dapat diterapkan dalam sistem ini. Adapun

Penggunaan kondisi udara vakum (dibawah tekanan 1 atm) bertujuan untuk menurunkan titik didih dari uap air, sehingga proses pengeringan dapat dilakukan pada suhu

Sebelum memasukkan perintah transparent proxy pada squid, maka kita harus melakukan perintah iptable agar dapat meredirect port yang ada pada komputer client.. Maksudnya jika

Mulyaningtias (2010) mengemukakan bahwa perangkat penilaian kinerja pada materi pokok meliputi sifat koligatif larutan (kenaikan titik didih larutan dan penurunan