• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri (Analisis Terhadap Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri (Analisis Terhadap Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MAKNA DAN FUNGSI ASAS PROPORSIONALITAS DALAM

KONTRAK KOMERSIAL

A. Pengertian dan Asas-asas Kontrak Komersial

Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidakpastian

kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada

umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak

Menurut Subekti, kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dasar

yuridisnya mengacu kepada hukum perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang

menganut suatu sistem terbuka, maka dalam pembuatan kontrak masih tetap

diizinkan memasukkan klausul-klausul yang telah disepakati para pihak. Kontrak

komersial adalah perjanjian dalam bentuk tertulis yang substansinya disetujui oleh

para pihak yang isinya bermuatan bisnis, perjanjian dua belah pihak atau lebih

yang isinya bermuatan komersial.25

Kontrak adalah perjanjian, dalam kenyataan tidak dibedakan istilah

kontrak atau perjanjian, walaupun dalam teori sering dibedakan.Kontrak

merupakan kesepakatan antara dua atau lebih pihak yang berisi prestasi hak dan

kewajiban.Dengan demikian, kontrak komersial sebagai proses mata rantai

hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang

dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak

para kontraktan tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan

(2)

yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian

pengakuan terhadap hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran kepentingan

(hak dan kewajiban) tersebut tetap harus dalam bingkai aturan main yang

mempertimbangkan prinsip distribusi yang proporsional.26

1. Asas kebebasan berkontrak

Dengan melihat pengertain kontrak komersial yang telah di jabarkan di

atas, maka dapat dilihat Asas-asas yang terdapat dalam kontrak komersial berikut

ini:

Menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang pada umumnya

mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam asas ini

terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak

melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas

tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat

perjanjian. Menurut Sutan Remi Sjahdeini27

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak menurut

hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan

dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

(diakses tanggal 6 November 2015).

27

(3)

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional.

2. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal

1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan), yang menyatakan bahwa perjanjian itu

telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga

diinterpretasikan semata-mata secara gramatikal. Pemahaman Asas

konsensualisme yang menekankan pada sepakat para pihak ini, berangkat dari

pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang

menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang

yang beritikad baik, yang berlandaskan pada satunya kata satunya perbuatan.

3. Asas itikad baik

Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 KUHPerdata, adalah kemauan

baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, di mana ia

mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas

barang itu telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum

dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat

dinamis, melainkan bersifat statis.28

28

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), hlm. 3.

Demikian pula dengan pengertian itikad baik

dalam Pasal 1977 (1) KUHPerdata, terkait dengan cara pihak ketiga memperoleh

suatu benda (kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat

kepemilikan tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat tertentu.

(4)

harus tahu,maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini

dapat dimaafkan menurut kepatutan dan kekayaan.

4. Asas kekuatan mengikat

Asas kekuatan mengikat asas ini tersirat dalam Pasal 1338 (1)

KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt

servanda). Akan tetapi sahnya perjanjian juga harus didasarkan pada nilai-nilai

kepatutan, kebiasaaan dan Undang-undang yang berlaku (Pasal 1339, 1447

KUHPerdata), sehingga perjanjian yang melanggar hal-hal tersebut dapat

dianggap batal demi hukum.29

Asas kekuatan mengikat atau disebut juga dengan asas pacta sunt

servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta

sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah

undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak.30

Asas kekuatan mengikat dapat dipahami dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda

diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan

sumpah dan dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum

sudah cukup dengan kata sepakat saja.

(diakses 6 November 2015).

30

(5)

5. Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “pada umumnya seseorang

tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang

tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Makna Asas Proporsionalitas dalam Kontak Komersial

Hubungan bisnis yang terjalin diantara para pihak pada umumnya karena

mereka bertujuan saling bertukar kepentingan. Roscoe Pound 31

Pertukaran kepentingan para pihak senantiasa dituangkan dalam bentuk

kontrak mengingat “setiap langkah bisnis adalah langkah hukum”.

memberikan

defenisi kepentingan ( sebagai suatu tuntutan atau hasrat yang ingin dipuaskan

manusia, baik secara individu, kelompok atau asosiasi). Kerangka dasar yang

digunakan Pound adalah kepentingan-kepentingan sosial yang lebih luas dan yang

merupakan keinginan manusia untuk memenuhinya, baik secara pribadi,

hubungan antar pribadi maupun kelompok. Atas dasar itu Pound membedakan

berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu kepentingan

pribadi, kepentingan umum, dan kepentingan sosial atau masyarakat.

32

31Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Op .Cit..,hlm.12-13. 32

Menurut J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm.27.

Ungkapan ini

(6)

dalam dunia bisnis. Meskipun para pihak acap kali tidak menyadarinya, namun

setiap pihak yang memasuki belantara bisnis pada dasarnya melakukan

langkah-langkah hukum dengan segala konsekuensinya. Urgensi pengaturan kontrak

dalam praktisi bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan

kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para pihak, sehingga dengan

demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan saling menguntungkan.

Upaya mencari makna asas proporsionalitas merupakan proses yang tidak

mudah, bahkan sering kali tumpang tindih dalam pemahamannya dengan asas

keseimbangan. Pada dasarnya asas keseimbangan dan asas proporsionalitas tidak

dapat dipisahkan keberadaannya dalam hukum kontrak. Namun demikian,

sesederhana apa pun pemahaman tersebut masih dapat ditarik benang merah

melalui pemahaman yang lebih komprehensif untuk membedakan keduanya.

Pemikiran mengenai asas proporsionalitas perlu dikemukakan di samping asas

keseimbangan dalam kontrak. Untuk membedakan keduanya pertama-tama dapat

ditelusuri dari makna leksikal di antara kedua istilah tersebut, yaitu makna

keseimbangan dan proporsional. Dalam beberapa kamus terhadap dua istilah

tersebut ada yang membedakan arti, namun juga ada yang menyamarkannya.

Pengertian asas keseimbangan lebih abstrak pemahamannya dibandingkan

asas proporsionalitas. Untuk memudahkan pemahaman antara kedua asas tersebut

dapat ditelusuri melalui pendapat para sarjana, karakteristik maupun daya

kerjanya.33

33

(7)

Pemahaman makna asas keseimbangan ditelusuri dari pendapat beberapa

sarjana, antara lain: Sutan Remy Sjahdeini, Mariam Darus Badrulzaman, Sri

Gambir Melati Hatta, serta Ahmadi Miru,secara umum memberi makna asas

keseimbangan sebagai keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak. Oleh

karena itu, dalam hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan

gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah).

Beranjak dari pemikiran tersebut di atas, maka pemahaman terhadap daya kerja

asas keseimbangan yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang

berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen hal ini

didasari pemikiran bahwa dalam perspektif perlindungan konsumen terdapat

ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Hubungan konsumen-produsen

diasumsikan hubungan yang subordinat, sehingga konsumen berada pada posisi

lemah dalam proses pembentukan kehendak kontraktualnya. Hubungan

subordinat, posisi tawar yang lemah, dominasi produsen serta beberapa kondisi

lain diasumsikan terdapat ketidakseimbangan dalam hubungan para pihak.34

Berdasarkan pertimbangan di atas, konsumen perlu diberdayakan dan

diseimbangkan posisi tawarnya. Dalam konteks ini asas keseimbangan yang

bermakna equal-equilibriumakan bekerja memberikan keseimbangan manakala

posisi tawar para pihak dalam menentukan kehendak menjadi tidak seimbang.

Tujuan dari asas proporsionalitas adalah hasil akhir yang menempatkan posisi

para pihak seimbang (equal) dalam rangka menyeimbangkan posisi para pihak,

intervensi dari otoritas negara (pemerintah) sangat kuat. Konsumen menjadi objek

34

(8)

aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku

usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar

yang merugikan konsumen.35

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a, Bentuk intervensi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum

kepada konsumen dengan cara membatasi sekaligus menyeimbangkan posisi

tawar para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Substansi pasal tersebut mengatur

pencantuman klausula baku yang harus diperhatikan oleh produsen (pelaku usaha)

agar tidak merugikan konsumen.

Beranjak dari rumusan Pasal 18 di atas, pada dasarnya asas keseimbangan

mempunyai daya kerja, baik pada proses pembentukan maupun pelaksanaan

kontrak. Namun unsur kebebasan kehendak para pihak, khususnya bagi konsumen

baik dalam proses pembentukan kehendak maupun pelaksanaan kontrak dianggap

lemah sehingga diberdayakan melalui pencantuman norma larangan. Dengan

demikian, daya kerja asas keseimbangan di sini mempunyai makna imperatif yang

memaksa salah satu pihak (pelaku usaha) untuk tunduk dengan tujuan akan

dicapai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak. Hal ini dapat disimak dari

substansi Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat 1 yang

menyatakan :

35

(9)

huruf b, huruf c, huruf e, Ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana denda

paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Substansi pengaturan pasal tersebut di atas sejalan dengan pemikiran

bahwa dalam kontrak yang bersifat timbal balik, posisi para pihak (hak

kehendak)diupayakan seimbang dalam menentukan hak dan kewajibannya. Oleh

karena itu, apabila terdapat posisi yang tidak seimbang di antara para pihak, maka

hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi maupun maksud

dan tujuan dibuatnya kontrak itu. Interpretasi terhadap penggunaan istilah

keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut, ialah :

1. Lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam

hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan

2. Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual

seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir

pembagian tersebut.

3. Keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir dari sebuah proses.

4. Intervensi negara merupakan instrumen pemaksa dan mengikat agar terwujud

keseimbangan posisi para pihak.

5. Pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat

dan kondisi yang sama.36

C. Fungsi Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial.

Dunia bisnis peran sentral aspek hukum kontrak dalam membingkai pola

hubungan hukum para pihak semakin dirasakan urgensinya. Disadari atau tidak,

36

(10)

maka setiap langkah bisnis yang dilakukan oleh para pelaku bisnis, pada dasarnya

adalah merupakan langkah hukum, yang notabenenya berada pada ranah hukum

kontrak. Namun demikian masih terasa betapa lemahnya pemahaman sementara

pihak, di mana hukum bisnis yang menjadi landasan setiap aktivitas bisnisnya

acap kali dimaknai sebatas produk aturan yang diterbitkan penguasa.37

Menurut P.S. Atiyah,

Hakikat hukum kontrak pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hukum

pelaku bisnis, dalam arti tidak sekadar mengatur namun lebih dari itu memberi

keleluasaan dan kebebasan sepenuhnya kepada para pelaku bisnis untuk

menentukan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Hal ini karena para pelaku

bisnis yang lebih paham dan mengetahui seluk-beluk pelbagai kebutuhan dalam

kegiatan bisnisnya.

38

1. Kontrak wajib untuk dilaksanakan (memaksa) serta memberi perlindungan

terhadap suatu harapan yang wajar.

kontrak memiliki tiga tujuan, yaitu:

2. Kontrak berupaya mencegah terjadinya suatu penambahan kekayaan secara

tidak adil.

3. Kontrak bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian tertentu dalam

hubungan kontraktual.

37apa yang terurai di dalam pernyataan tersebut sejalan dengan sinyalemen yang

dikemukakan oleh M. Isnaeni bahwa, “seluk-beluk ikatan bisnis yang terjadi di antara para pelaku bisnis senantiasa berada dalam bingkai ikatan kontraktual.” Periksa M. Isnaeni, Perkembangan Prinsip-prinsip Hukum Kontrak sebagai Landasan Kegiatan Bisnis di Indonesia, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu, 16 September 2000, hlm. 2.

38

(11)

Beranjak dari pendapat berbagai sarjana tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa fungsi atau arti penting kontrak dalam lalu lintas bisnis,

antara lain :

1. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menuangkan hak dan

kewajiban masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan).

2. Kontrak sebagai bingkai aturan main.

3. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum.

4. Kontrak memberikan (menjamin) kepastian hukum.

5. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win-win solution).39

Agar supaya proses pertukaran kepentingan dalam kontrak berjalan fair,

para pihak dituntut untuk memahami dasar-dasar hukum kontrak. Mengapa

pemahaman ini diperlukan, perlu diingat bahwa kontrak yang dibuat atau disusun

oleh para pihak pada dasarnya adalah penuangan proses bisnis ke dalam rumusan

bahasa hukum (kontrak). Dengan memahami dasar-dasar hukum kontrak

dimaksudkan agar para pihak mempunyai pedoman dalam penyusunan kontrak

karena:

1. Memberikan dasar hukum bagi kontrak yang dibuat.

2. Memberikan bingkai atau rambu-rambu aturan main dalam transaksi bisnis.

3. Sebagai batu uji atau tolak ukur eksistensi kontrak yang bersangkutan.40

Hubungannya dengan kegiatan bisnis, kontrak berfungsi untuk

mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam kontrak terkandung suatu

39

A.Yudha Hernoko, “Dasar-dasar Hukum Kontrak”, Materi Perkuliahan Teknik Perancangan Kontrak, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2005.

40

(12)

pemikiran (tujuan) akan adanya keuntungan komersial yang diperoleh para pihak.

Terkait dengan kontrak komersial yang beriorentasi keuntungan para pihak, fungsi

Asas Proporsionalitas menunjukkan pada karakter kegunaan yang operasional

dan implementatif41

1. Dalam tahap pra-kontrak, Asas Proporsionalitas membuka peluang negosisasi

bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara

fair.Oleh karena itu, tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi. dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak.

Dengan demikian fungsi asas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan

maupun pelaksanaan kontrak komersial adalah :

2. Dalam pembentukan kontrak, Asas Proporsional menjamin kesetaraan hak

serta kebebasan dalam menentukan atau mengatur proporsi hak dan kewajiban

para pihak berlangsung secara fair;

3. Dalam pelaksanaan kontrak, Asas Proporsional menjamin terwujudnya

distrbusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati atau

dibebankan pada para pihak;

4. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai

secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental sehingga

mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekadar hal-hal yang

sederhana/kesalahan kecil. Oleh karena itu, pengujian melalui Asas

Proporsionalitas sangat menntukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar

41

(13)

jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam

memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi

keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;

5. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, Asas Proporsionalitas

menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus

dibagi menurut pertimbangan yang fair.42

Sengketa bisnis dalam kontrak komersial sering kali berawal dari

kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya kontrak dengan berbagai faktor

atau penyebabnya, antara lain:

1. Ketidakpahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul

ketika pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta

karakter coba-coba (gambling) tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang

akan menimpanya.

2. Ketidakmampuan mengenali partner atau mitra bisnisnya, ada sementara

pelaku bisnis yang sekadar memerhatikan performa atau penampilan fisik

mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut track record dan bonafiditas, yang

berkembang menerangkan bahwa beberapa pelaku bisnis lokal begitu

mudahnya terpaku dan tertarik untuk terlibat dengan kerja sama yang

ditawarkan mitra bisnis asingnya, semata-mata berasumsi bahwa orang asing

selalu lebih unggul segala-galanya, tanpa memerhatikan prinsip “know your

partner”.

42

(14)

3. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini

menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis

dalam melindungi aktivitas bisnis mereka.43

Muara konflik sebagaimana terurai di atas, dikarenakan pelaku bisnis tidak

memerhatikan aspek legal cover dalam memproteksi bisnis mereka, khususnya

aspek kontraktualnya. Dalam praktik dapat diperbandingkan bagaimana aspek

hukum (kontrak) dikesampingkan semata-mata tuntutan bisnis, seolah-olah aspek

legal cover ini sekadarthe last resort dalam mata rantai aktivitas bisnis mereka.

Bukankah pelaku bisnis begitu terikatnya dengan metode analisis-evaluasi, antara

lain dengan penerapan berbagai model audit (misal: audit keuangan) dalam upaya

mengawasi jalannya bisnis. Namun demikian, jarang yang menempatkan audit

hukum (termasuk audit kontrak) sebagai kebutuhan primer dalam bisnis mereka.

Terbukti pada saat penyusunan rencana anggaran dan belanja perusahaan, jarang

pelaku bisnis yang menganggarkan atau mengalokasikan biaya hukum untuk

meng cover risiko bisnis mereka, kalaupun ada lebih sekadar menyerap pos-pos

anggaran lain tanpa melalui pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Sehingga

ketika kemudian muncul sengketa yang mengharuskan pelaku bisnis

mengeluarkan biaya (dana) dicarilah langkah akal-akalan untuk menutup biaya

hukum tersebut melalui dana taktis, yang konon menurut tertib neraca keuangan

perusahaan tidak pernah dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dapat

dipastikan kondisi demikian akan mengantar bisnis mereka pada kondisi yang

tidak menguntungkan.

43

(15)

Kontrak komersial, yang merupakan proses mata rantai hubungan para

pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas

pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak para

kontraktan tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan yang

sama dalam pertukaran hak dan kewajiban secara proporsional. Tentunya fungsi

Asas Proporsionalitas sebagai batu uji dalam pelaksanaan pertukaran hak dan

kewajiban kontraktual menjadi relevan dan penting.

D. Hubungan antara Asas Proporsionalitas dengan Asas-Asas Pokok

Hukum Kontrak.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai

kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada

asas-asas hukum secara umum. Asas-asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi

landasan berfikir, yaitu dasar ideologis aturan-aturan hukum. Beberapa asas

tersebut bersifat samar-samar dan hanya dengan upaya yang sangat keras dapat

dipahami dan diurai secara jelas. Asas hukum merupakan sumber bagi sistem

hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial

masyarakat. Dengan demikian, asas hukum sebagai landasan norma menjadi alat

uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya

harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya.44

Menurut Niewenhuisasas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun

sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem check and

balance. Beranjak dari pendapat Niewenhuis tersebut, maka kedudukan Asas

44

(16)

Proporsinalitas tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan asas-asas

pokok hukum kontrak lainnya.45

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral

di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan

hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan

kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang

secara embrional lahir dalam zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen

dan berkembang pesat pada zaman Renaissance (dan semakin

ditumbuhkembangkan pada zaman Aufklarung).46

45

Ibid., hlm 121.

46

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 75.

Kebebasan berkontrak pada

dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi

manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang

mengagungkan kebebasan individu. Menurut paham individualisme setiap orang

bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum

perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Buku III

BW menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para

pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam

Buku III BW hanya sekedar mengatur dan melengkapi. Berbeda dengan

pengaturan Buku II BW yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa,

dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku

II BW tersebut. Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi

(17)

Pasal 1338 (1) BW tersebut hendaknya dibaca atau diinterpretasikan dalam

kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang

atau proporsional. Asas ini secara filosofis membuka apabila dalam suatu

perjanjian terdapat ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat

sebelah dan lain-lain. Apabila hal itu terjadi, maka justru merupakan

pengingkaran terhadap asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu,

dengan terwujudnya proporsional dalam hubungan para pihak, hal itu membuat

kontrak menjadi bernilai.47

2. Asas konsensualisme

Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa:

semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya, Istilah secara sah bermakna bahwa dalam pembuatan

perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 BW),

karena di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling

mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan di antara para pihak terhadap

pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber

pada moral.48

Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas

kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal

1338 (1) BW. Hal ini berdasarkan dengan pendapat Subekti yang menyatakan

bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo. 1338 BW 49

47Agus Yudha Hernoko,Op.Cit., hlm.120. 48

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op. Cit., hlm. 108-109.

49

Ibid., hlm. 37.

.

(18)

Sementara Rutten,50

Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari

ketentuan Pasal 1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan), yang menyatakan

bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya

tidak juga diinterpretasikan semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas

konsensualisme yang menekankan pada sepakat para pihak ini, berangkat dari

pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang

menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang

yang beritikad baik, yang berlandaskan pada satunya kata satunya perbuatan.

Sehingga dengan asumsi bahwa yang berhadapan dalam berkontrak itu adalah

para gentleman, maka akan terwujud juga gentlement agreement di antara mereka.

Apabila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang menggarisbawahi bahwa perjanjian yang dibuat itu pada

umumnya bukan secara formal tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai

karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata.

Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 BW (angka

1) kesepakatan dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan

adanya kata sepakat. Di sini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak

sebagai inti dari hukum kontrak, Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu

perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada

situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan

yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendakyang

mempengaruhi timbulnya perjanjian.

50

(19)

sebenarnya, dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam

eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap asas

konsensualisme tidak terpaku sekadar mendasar pada kata sepakat saja, tetapi

syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 BW dianggap telah terpenuhi sehingga

kontrak tersebut menjadi sah.51

3. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Asas daya mengikatdipahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual

(terkait isi perjanjianprestasi) yang harus dilaksanakan para pihak. Jadi

pertama-tama makna daya mengikat kontrak tertuju pada isi atau prestasi

kontraktualnya.Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga

perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya

berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah

mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan

daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.Asas pacta sunt servanda

merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat

kontrak.Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas

para pihak yang membuatnya.

4. Asas Itikad Baik

Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, perjanjian-perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik.Apa yang dimaksud dengan itikad baik

perundang-undangan tidak memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad adalah

51

(20)

kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik).52Wirjono

Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah dengan jujur atau

secara jujur. 53

Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 BW, adalah kemauan baik atau

kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, di mana ia mengira

bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu

telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad

baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis,

melainkan bersifat statis.

Pengaturan Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa

persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksudnya perjanjian itu

dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam dunia

hukum mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari.

54 Demikian pula dengan pengertian itikad baik dalam

Pasal 1977 (1) BW, terkait dengan cara pihak ketiga memperoleh suatu benda

(kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat kepemilikan

tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Dalam kaitan

dengan penerapan itikad baik tersebut diartikan tidak tahu dan tidak harus

tahu,maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini dapat

dimaafkan menurut kepatutan dan kekayaan.

52KBBI, Op. Cit. hlm. 369. 53

Ibid., hlm. 67.

54

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan Hamka dalam Tafsir al-Azhar adalah dengan menggunakan metode Tahlîli , 28 yaitu mengkaji ayat-ayat Alquran dari. segala segi dan

Model pembelajaran cawisan Kiyai Zen Syukri terbukti membawa dampak yang signifikan terhadappemahaman, penghayatan, sikap dan perilaku keagamaan peserta

tidak licin ketika hujan turun (gambar 9). Elemen lunak pada taman Pakal ini direpresentasikan oleh beberapa jenis tumbuhan bunga-bungaan yang memenuhi taman dan

Dari hasil kegiatan pemberdayaan dapat disimpulkan bahwa masyarakat berdaya mengelola waktu untuk usaha produktif menjadi terampil menggunakan alat-alat rumah tangga untuk

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Program Jalin Matra di Desa Sumberjo sudah efektif dan kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran terpenuhinya semua kebutuhan

[r]

[r]

Efek doppler itu merupakan peristiwa dimana pengamat mendengar frekuensi yang lebih tinggi jika kedudukan antara pengamat dan sumber bunyi mendekat, dan pengamat mendengar