• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Arbitrase pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Arbitrase pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)Kota Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

A. Pengertian Umum Tentang Arbitrase

Kata Arbitrase berasal dari bahasa Latin “Arbitrare” yang artinya kekuasaan

untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut “kebijaksanaan”. Bahwa tidak cukup

kalau hanya menurut kebijaksanaan dalam menyelesaikan perkara sehingga dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter atau majelis arbitrase selalu mendasarkan diri pada hukum yaitu hukum yang dimaksud ialah hukum yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa (choice of law), dan selalu mendasarkan diri pada dasar keadilan dan kepatutan (ex a quoet bono). 8

Perkataan arbitrase berasal dari “arbitrare” (bahasa latin) yang berarti

kekuasaan untuk menyelesaikan suatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah kesan seolah – olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma –norma hukum lagi dan menyadarkan pemutusan sengketa tersebut hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan.9

Arbitrase sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah “independensi” dari arbiter dalam

8

Frans Hendra Winarta.,Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hlm. 36

9

(2)

melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan

“cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun sengketa.10

Menelusuri sekilas dari sejarah arbitrase pada umumnya, sebenarnya cikal bakal lembaga arbitrase sudah ada zaman Yunani Kuno, terus berkembang pada Zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian menyebar ke prancis (1250), Scotlandia (1695), Irlandia (1700), Denmark (1795), dan USA (1870). Di Indonesia, kita sudah mengenal lembaga arbitrase ini, bahkan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRV), yang berlaku sejak tahun 1849, juga terdapat pasal-pasal tentang Arbitrase.11

Mengenai sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia, di Indonesia pada zaman Golongan Eropa (di zaman penjajahan belanda), keberadaan lembaga arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah diperkenalkan dalam peraturan perundang-Undangan sejak berlakunya Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata Belanda di Indonesia, Yaitu sejak mulai berlakunya RV yang terdapat dalam S.1847-552 Jo. S.1849-63 RV ini sebenarnya merupakan Kitab Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan bumi putera adalah HIR (untuk jawa dan madura) dan RBg (untuk luar jawa dan madura).Akan tetapi, berdasarkan Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg maka ketentuan tentang arbitrase yang terdapat dalam RV dinyatakan berlaku juga untuk golongan bumiputera, yang diperuntukan bagi golongan eropa dan dipersamakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 615 s/d 651 Rv ( Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering ), Kitab Hukum Acara Belanda di Indonesia. Sedangkan pada zaman Golongan Bumi Putera melalui pasal 377 HIR,

10

Fitri Hidayati., Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Penyelesaia Sengketa Perbankan, FH-USU 2014., hlm.16

11

(3)

Pasal 705 RBg, ketentuan arbitrase berlaku bagi Golongan Bumiputera yang menyatakan : “Jika orang Indonesia dan Timur Asing menghendaki perselisihan

mereka diputuskan oleh Juru Pisah maka mereka wajib menuruti peradilan pengadilan

perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.12

Dengan adanya Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg ini, maka sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya telah terdapat landasan hukum bagi golongan bumi putera untuk dapat menggunakan system pemeriksaan perkara lewat arbitrase secara prosedural, sementara secara material, dasar hukum berlakunya pengadilan adalah lewat prinsip kebebasan berkontrak seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 ayat KUHPerdata.

Selanjutnya ketentuan mengenai diperbolehkan menggunakan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdapat dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain : “bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui

lembaga arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk di eksekusi dari pengadilan.

Dalam Undang –undang Nomor 4 tahun 2004 sebagai pengganti Undang – undang Nomor 14 tahun 1970 masih mempertahankan Pasal 3 ayat (1) yang

menyatakan “ Pasal ini mengandung arti bahwa disamping Pengadilan Negara tidak

diperkenankan lagi adanya peradilan – peradilan yang dilakukan oleh bukan Badan Peradilan Negara. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan atas dasar perdamaiann atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Sama halnya dengan Undang –

12

(4)

Undang Nomor 48 tahun 2009, pada pasal 58 – 61 Bab XII menyatakan tetap diperbolehkan .

Perkembangan arbitrase berikutnya dimulai sejak tahun 1977 dengan dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas prakarsa Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Setelah lama adanya pembahasan mengenai perubahan menegani pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara Nasional Maupun Internasional serta perlunya perlembagaan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) / Alternative Dispute Resolution ( ADR), maka melalui perangkat perundang – undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 Pemerintah mengesahkan Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Hal ini dikarenakan adanya perkembangan dunia usaha dalam lalu lintas perdagangan baik Nasional maupun Internasional, khusus setelah adanya WTO (World Trade Organization) serta perkembangan Hukum pada umumnya. Maka ketentuan – ketentuan yang diatur dalam HIR, RBg dan RV sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.Sebagai Kesimpulan: dengan diundangkannya Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka ketentuan mengenai Arbitrase yang diatur dalam HIR, RBg, dan RV dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, maka keseluruhan ketentuan arbitrase dalam RV dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini dengan tegas disebutkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut menyatakan sebagai berikut :13

“ Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement

13

(5)

Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakn tidak berlaku lagi.”

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan umum didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak yang bersangkutan secara tertulis. Dibukanya peluang tersebut sangat tepat guna memenuhi keinginan para pelaku bisnis yang ingin menyelesaikan sengketa secara cepat diluar peradilan umum.Sampai saat ini perangkat peraturan perundang – undangan tentang arbitrase di Indonesia belum memadai. Oleh karena itu lahirnya Undang – undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diharapkan akan disambut pelaku bisnis nasional maupun internasional.14

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.15

Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 serta Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting dari arbitrase, yaitu :16

1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau diluar pengadilan. 2. Atas dasar perjajian tertulis dari para pihak.

3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau sudah terjadi

14

Hadi Setia Tunggal , Himpunan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Harvindo, 2002, hlm. iii

15 Pasal 1 butir 1 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif

16

(6)

4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan.

5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.

Arbitrase yang diatur dalam Undang – undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa yang terkait mengenai perdagangan dan hak hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat meraka.

Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.17

Dari uraian diatas, perjanjian arbitrase diatas dapat di ketahui bahwa :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

Dasar dari perjanjian arbitrase adalah didasarkan pada Asas Kebebasan Berkontrak, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.18 Sehingga apa yang telah diperjanjikan para pihak secara sah maka akan mengikat sebagai undang – undang. Dan untuk sah nya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.19Jika

17

Pasal 1 butir 3 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif

(7)

kesepakatan itu dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.Dalam syarat sahnya suatu perjanjian unsur ini disebut dengan syarat subjektif.

2. Adanya klausula arbitrase

Yaitu merupakan suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul dikemudian hari sehubungan dengan perjanjian akan diselesaikan dan diserahkan secara arbitrase untuk diputuskan. Atau dengan kata lain para pihak yang bersengketa telah sepakat untuk menyelesaiakan sengketa secara arbitrase yang dituangkan dalam bentuk suatu perjanjian pernyelesaian sengketa.

3. Dapat dibuat sebelum timbul sengketa atau setelah timbul sengketa - Sebelum timbul sengketa (Pactum de compromitendo)

Bahwa perjanjian arbitrase yang dimuat dalam klausula arbitrase yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul dikemudian hari sehubungan dengan perjanjian akan diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.20

Cara pembuatan klausula pactum de compromitendo, tidak tegas diatur dalam pasal 2 diatas namun dari segi penafsiran dan praktek dijumpai 2 (dua) cara yang dibenarkan :

a. Mencantumkan kalusula arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausul arbitrase.

b. Dimuat dalam akta tersendiri atau terpisah dari perjanjian pokok. Dari kedua cara diatas tetap berpegang pada ketentuan bahwa akta persetujuan arbitrase harus dibuat “sebelum” perselisihan/sengketa terjadi.

(8)

- Setelah timbul sengketa ( acta kompromis)

Bahwa perjanjian arbitrase dibuat berdasarkan kesepakatan antara para pihak yang telah terlibat sengketa, mengajukan sengketa mereka agar diputuskan oleh arbiter.21

Cara pembuatan akta kompromis ialah :

a. Pembuatan akta kompromis dilakukan setelah timbul sengketa. b. Bentuknya harus akta tertulis, tidak boleh dengan persetujuan lisan.

c. Akta kompromis harus ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Dalam hal para pihak tidak bisa menandatangani , akta kompromis harus dimuat didepan notaris.

d. Isi akta kompromis memuat : - Masalah yang dipersengketakan

- Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak

- Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase - Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan - Nama lengkap sekretaris

- Jangka waktu penyelesaian sengketa - Pernyataan kesediaan dari arbiter dan

- Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menganggung segala yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. e. Akta kompromis batal demi hukum apabila tidak memenuhi ketentuan

mengenai isi akta diatas22.

21

Pasal 9 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(9)

Perbedaan antara Pactum De Compromitendo dengan Acta Compromis pada dasarnya antara istilah keduanya tidak ada perbedaan yang signifikan, karena keduanya mempunyai akibat hukum yaitu :

a) Sengketa yang akan timbul atau yang sudah timbul tidak akan diperiksa dan diputus oleh pengadilan sehingga tidak perlu diselesaikna melalui prosedur beracara gugat menggugat dan banding.

b) Sengketa yang akan timbul atau yang sudah timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter atau para arbiter dimana kedua belah pihak berkewajiban membantu pelaksanaan dan kelancaran arbitrase serta menaati putusan yang diajukan.

Namun demikian jika ingin tetap membedakan keduanya maka :

Pactum de compromitendo adalah kesepakatan antara kedua belah pihak sebelum timbul sengketa sedangkan Acta Compromis adalah kesepatan yang dibuat setelah adanya sengketa.

4. Bentuk perjanjiannya adalah tertulis

Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa diluar peradilan yang saat ini banyak diminati oleh kalangan bisnis, baik nasional maupun internasional.Hal ini karena melalui lembaga arbitrse, sebuah sengketa bisnis dapat terselesaikan dalam waktu yang relatif cepat dengan prosedur sederhana, serta putusan yang dihasilkan dapat lebih mudah diprediksi oleh pihak – pihak yang bersengketa.

Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat” atau voorwaar delijke

(10)

kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian aarbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah

cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” (disputes settelement)

atau diference yang terjadi antar pihak yang berjanji. Jadi, fokus perjanjian arbitrase semata–mata ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian para pihak dapat menentukan kata sepakat agar penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian, tidak diajukan dan diperiksa oleh badan peradilan resmi, tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim disebut “wasit” atau “arbitrase”. Kalau begitu, jelas terlihat dimana letak perjanjian

arbitrse.Letaknya bukan pada masalah “pelaksanaan” perjanjian, mengenai

penyelesaian “perselisihan” perjanjian. Jika pada perjanjian bersyarat yang lazim juga

disebut cotrractsbeding, pelaksanaan dan pemenuhan perjanjian digantungkan ( af hangen) pada suatu kejadian atau perbuatan di masa yang akan datang (toekomsting), pada perjanjian arbitrase, dicantumkan atau disepakati suatu cara penyelesaian sengketa yang timbul di masa yang akan datang. Selanjutnya syarat yang terdapat pada perjanjian bersyarat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dalam perjanjian.Syarat dalam perjanjian bersyarat bukan tambahan yang ditempelkan dalam perjanjian.Syarat tersebut meliputi pokok atau materi perjanjian.23

Dalam memberikan pengertian tentang arbitrase, tidak terdapat satu pun pengertian yang komprehensif dan akurat yang menggambarkan seluruh system arbitrase.Dengan demikian sulit untuk memberikan satu pengertian yang universal mengenai arbitarse. Oleh karena itu baik menurut ahli maupun peraturan perundang – undangan memberikan pengertian yang berbeda mengenai Arbitrse, meskipun pada intinya mengandung unsur yang sama.

23

(11)

Secara terminologi, definisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai pihak serta ahli hukum adalah :

Franky Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works

mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih

oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah

yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan

dali- dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semulauntuk menerima

putusan tersebut secara final dan mengikat.”

Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication

of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute,

agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.” (arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk mengatisipasi kemungkinan sengketa yang terjadi atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa macam pilihan).

Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara para pihak.24

Menurut Mertokusumo, Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. Sedangkan menurut Prof.Subekti, Arbitrase adalah penyelesaian atau perumusan sengketa oleh

24

(12)

seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.25

H.Priyatna Abdurasyid, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak.

Dan menurut H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak yang bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.26

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Peyelesaian Sengketa, arbitrase adalah : Cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradlian umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.

Dari rumusan pasal 1 angka (1) diatas, dapat disimpulkan bahwa :

Sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan yang telah disepakati secara tertulis bahwa jika terjadi perkara atau sengketa mengenai perjanjian yang telah mereka buat, maka mereka memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Sedangkan yang bersifat perdata antara lain :

25

http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian-html/m=1,diaksestanggal 21 Februari 2016

26

(13)

a. Perdagangan /bisnis/kontrak b. Perkawinan

c. Perceraian

d. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) e. Hibah

f. Pengangkatan Anak.

Maka timbul pula pertanyaan, apakah semua sengketa diatas dapat diselesaikan secara arbitrase?maka jawabannya adalah tidak. Sengketamengenai hal diatas ialah sengketa keperdataan bukan berarti semua sengketa tersebut diatas dapat diselesaiakn secara arbitrase.Sengketa yang dapat diselesaikan secara arbitrase sebagaimana telah disebutkan sebelumnya ialah sengketa yang telah ada kesepakatan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara arbitrase dan sengketa tersebut ialah sengketa yang berkaitan dengan perniagaan.

Bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang – undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.Sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa yang menurut aturan perundang – undangan tidak dapat diadakan perdamaian.27

Demikian juga dalam kancah Internasional, terdapat beberapa sengketa keperdataan yang tidak dapat diselesaiakan melalui arbitrse, yaitu :

1. Persolan status perseorangan, misalnya masalah kewarganegaraan, keabsahan perkawinan, dll

(14)

2. Kepailitan, yang berhubungan dengan ketidak mampuan perusahaan memenuhi kewajibannya

3. Perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum, misalnya menyangkut memutuskan pencucian uang

4. Keabsahan hak milik intelektual, misalnya paten, merek, hak cipta

5. Sengketa Hub.industrial .mislanya masalah serikat keraja, boikot, mogok , dll 6. Masalah Linkungan hidup, dan persaingan usaha.

B. Jenis – jenis Arbitrase

Dilihat dari ketentuan Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Konversi Internasional, serta dalam kenyataan yang biasa dilakukan oleh masyarakat, arbitrase dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Arbitrase Bersifat Ad Hoc atau Arbitrase Volunteer

(15)

dan menetapkan aturan prosedural arbitrase, kesulitan dalam merencanakan metode pemilihan arbitrase yang dapat diterima kedua belah pihak.Oleh karena itu lebih sering dipilih arbitrase institusional.28

Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan atau lembaga tertentu.Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian.Setelah selesai memutuskan sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersenddiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.29

2. Arbitrase Bersifat Institusional atau Permanen

Merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”

sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Arbitase Institusional adalah arbitrase yang sifatnya permanen atau melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan – aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.

Kedua arbitrase tersebut sama-sama mempunyai wewenang untuk mengadili dan memutus sengketa atau perselisihan yang terjadi antra para pihak yang mengadakan perjanjian dibidang perdagangan dan hak.30 Dari keterangan diatas, dapat diketahui

28

Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penylesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung 2010, hlm.64 29

Fitri Hidayati.,Op.,Cit.,hlm.40 30

(16)

pula beberapa perbedaan antara Lembaga Arbitrase Institusional dengan Lembaga Arbitrse Ad Hoc ;

1. Arbitrase Institusional bersifat permanen atau selamanya. Sedangkan Arbitrse Ad Hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselilisah selesai diputus.

2. Arbitrase Institusional sudah ada atau sudah berdisi sebelum suatu perselisihan timbul. Sedangkan Arbitrse Ad Hoc didirikan setelah perselisihan timbul.

3. Arbitrase Institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut. Sedangkan Arbitrase Ad Hoc sama sekali tidak terdapat ketentuan tersebut.

Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati oleh para pihak adalah jenis ad hoc, dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula

pactum de compromitendo atau acta compromise menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase institusional. Atau dengan kata lain, apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan perselisihan terdiri atas arbiter perseorangan, arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiternya secara perseorangan.31

Pada prinsinya Arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase.Para arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tatacara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun mengenai tata

31

(17)

cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.32

C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE

Pada umumnya lembaga Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :

1. Dijamin kerahasiaan sengketa antara para pihak;

2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan

5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksankan;33 6. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan

pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap para pihak yang bersengketa.

7. Suatu perjanjian arbitrase (klausula arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir atau batalnya perjanjian pokok.

8. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian diantara para pihak para pihak yang bersengketa.34

32 Rachmadi Usman.,.,Ibid,hlm.166-167 33

Penjelasan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Alinea Ke-4

34

(18)

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara – negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu - satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati dari pada litigasi.

Selain banyak kelebihan dari penggunaan Arbitrase dalam penyelesaian sengketa , dalam prosesnya terdapat beberapa kelemahan arbitrase antara lain :

1. Arbitrase belum dikenal secara luas baik oleh masyarakat bisnis, bahkan masyarakat akademis. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga – lembaga seperti BANI,BPSK,dll.

2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukan perkarannya kepada lembaga – lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari setidaknya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga Arbitrase yang ada .

3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil – hasil penyelesaian yang dicapai dalam arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan lain sebagainya.

4. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis.sebagai salah satu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu diatas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.35

35

(19)

5. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit.

6. Pada umumnya pihak – pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.36

Selain keenam hal diatas , masih ada 2 (dua) kelemahan arbitrase adalah :

1. Masih terjadinya tarik menarik yurisdiksi antara pengadilan negeri dan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidak pastian hukum dan pada akhirnya pelaku bisnis meragukan efektivitas lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis, secara cepat, efektif, efesien, serta final.

2. Putusan Arbitrase tidak berlaku serta merta, namun membutuhkan fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri setempat. Hal ini mengesankan putusan arbitase tidak final dan non eksekutorial.37

D. Faktor – Faktor Yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase

Dalam Menyelesaikan Sengketa

Penyelesaian sengketa yang dilakukan atau dipilih para pihak melalui suatu metode penyelesaian sengketa yaitu arbitrase menjadi sebuah realita yang saat ini berkembang di masyarakat.Masyarakat juga memikirkan kelanjutan hubungan sosial kedepannya setelah terjadi sebuah sengketa. Dimana hal-hal yang mereka inginkan menyangkut hubungan baik dan kompromis tersebut tidak bisa mereka dapatkan melalui sebuah penyelesaian sengketa yang terstruktur melalui cara litigasi atau penyelesaian sengketa di pengadilan. Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan

36

Frans Hendra Winarta,Op.,Cit.,hlm.63 37

(20)

pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki kekuatan financial atau kekuatan politik, cara – cara negosiasi dan mediasi tidaklah akan berjalan efektif, karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa dengan cara dan dalam forum apapun dapat memenangkan sengketa.

(21)

karena arbitrase memberikan kebebasan yang sebenar-benarnya kepada para pihak dalam menentukan arbiter, pilihan hukum, proses, serta tempat penyelenggaraan arbitrase. Namun tetap pada akhirnya para pihak ini tetap harus tunduk dan patuh terhadap putusan arbitrase yang mengikat mereka tersebut. Dari faktor-faktor yang telah diuraikan diatas, dapat dilihat dengan jelas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang memiliki manfaat serta kemudahan – kemudahan yang sangat besar sehingga mendorong para pihak sengketa untuk memilih serta memberdayakan arbitrase dalam menyelesaiakan sengketa.38

38

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini dilengkapi Macromedia Dreamweaver untuk dapat membantu dalam pembuatan program dalam membuat link menuju halaman yang diinginkan atau cara meletakkan program PHP

Students’ perception on pre - reading activities in basic reading ii class of the English Language Education Study Program of Sanata Dharma University.. Farzaneh, N.,

Šiandienos Lenkijoje radosi naujų muziejų, to- kių kaip privačia iniciatyva įkurtas Knygos meno muziejus Lodzėje 50 , Varšuvos spaudos muziejus (Varšuvos istorijos

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua

Mengingat pentingnya kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara, maka telah dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara khusus yaitu Undang-undang Nomor

Pusat pengembangan Penataran Guru Tertulis, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementrian Pendidikan Nasional (2004), menyatakan “tujuan utama Manajemen

Baik batang kayu utuh (balok) maupun batang kayu yang dibelah serta kayu irisan. Rumah ibadat utama Kulawi yang disebut lobo itu kalau di daerah lain, yaitu di

[r]