• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konsumsi Zat Besi Enhancer Zat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Konsumsi Zat Besi Enhancer Zat"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS KONSUMSI ZAT BESI, ENHANCER ZAT BESI, DAN

INHIBITOR ZAT BESI PADA IBU HAMIL BERDASARKAN

DATA STUDI DIET TOTAL (SDT) TAHUN 2014 DI INDONESIA

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2

Minat Utama Gizi dan Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Diajukan Oleh:

SAFRULLAH AMIR NIM: 15/388220/PKU/15442

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)
(3)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PERNYATAAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

INTISARI ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Telaah Pustaka ... 13

1. Anemia ibu hamil ... 13

2. Metabolisme dan interaksi zat besi ... 26

3. Determinan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi ... 32

B. Kerangka Teori ... 35

C. Kerangka Konsep ... 36

D. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 37

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

(4)

iv

D. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

E. Definisi Operasional Variabel ... 41

F. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ... 42

G. Cara Analisis Data ... 43

H. Etika Penelitian ... 45

I. Keterbatasan Penelitian ... 45

J. Jalannya Penelitian ... 46

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Hasil Penelitian ... 47

1. Karakteristik Responden ... 47

2. Pangan Sumber Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi ... 49

3. Gambaran Konsumsi Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 53

4. Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dengan Konsumsi Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 56

5. Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dengan Konsumsi Enhancer Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 58

6. Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dengan Konsumsi Inhibitor Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 64

B. Pembahasan ... 67

1. Pangan Sumber Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi di Indonesia ... 67

2. Gambaran Konsumsi Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 69

3. Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dengan Konsumsi Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 71

4. Hubungan Karakteristik Sosial Demografi dengan Konsumsi Enhancer Zat Besi pada Ibu Hamil di Indonesia ... 72

(5)

v

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Faktor Penyebab Anemia ... 19

Gambar 2. Kerangka Teori ... 35

Gambar 3. Kerangka Konsep ... 36

Gambar 4. Bagan Penarikan Sampel Penelitian ... 37

(7)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Keaslian Penelitian ... 9

Tabel 2. Ambang Batas Nilai Hemoglobin untuk Menentukan Anemia ... 13

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel ... 41

Tabel 4. Karakteristik Responden ... 47

Tabel 5. Distribusi Pangan Sumber Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi ... 50

Tabel 6. Gambaran Konsumsi Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi pada Ibu Hamil Berdasarkan Hasil Pengolahan Program Nutrisurvey ... 53

Tabel 7. Gambaran Konsumsi Enhancer dan Inhibitor Zat Besi pada Ibu Hamil Berdasarkan Food List ... 56

Tabel 8. Analisis Konsumsi Zat Besi ... 57

Tabel 9. Analisis Konsumsi Enhancer Zat Besi Berdasarkan Hasil Pengolahan Program Nutrisurvey ... 60

Tabel 10. Analisis Konsumsi Enhancer Zat Besi Berdasarkan Food List ... 63

Tabel 11. Analisis Konsumsi Inhibitor Zat Besi Berdasarkan Hasil Pengolahan Program Nutrisurvey ... 64

(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Studi Diet Total (SDT) Tahun 2014

Lampiran 2. Distribusi Blok Sensus yang Dikunjungi, RT dan ART yang Diwawancarai Menurut Provinsi

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul

“Analisis Konsumsi Zat Besi, Enhancer Zat Besi, dan Inhibitor Zat Besi pada Ibu Hamil Berdasarkan Data Studi Diet Total (SDT) Tahun 2014 di Indonesia”. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh derajat sarjana Strata Dua (S2) Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Kesehatan pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang telah memberikan izin untuk melakukan analisis lebih lanjut data Studi Diet Total (SDT) tahun 2014.

2. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan dukungan finansial selama penulis menempuh pendidikan.

3. Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM.

4. Dr. rer. nat. dr. Istiti Kandarina selaku Ketua Minat S2 Gizi Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM. 5. Dr. Susetyowati DCN., M.Kes sebagai pembimbing utama dan dr. Arta

Farmawati, Ph.D selaku pembimbing pendamping yang telah dengan sabar dan banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, nasihat, dan dukungan yang sangat berarti dalam penyusunan tesis ini.

(11)

xi

7. Kedua orang tua saya, ayahanda Muhammad Amir Mustari dan ibunda Mutiara yang tidak pernah berhenti memberikan doa, dukungan, dan motivasi sepanjang penulis menempuh pendidikan.

8. Istri tercinta (Rosmina), putri kecil saya (Alfarizqia Ilma Mufidah), dan saudara saya (Muh. Nawawi Amir) yang hadirnya senantiasa memantik semangat saya dalam menjalani aktivitas.

9. Rekan-rekan minat Gizi dan Kesehatan IKM Angkatan 2015 yang telah berbagi pengetahuan dan inspirasi bersama selama penulis menempuh pendidikan.

10. Teman-teman sepenanggungan di Kompleks Srikaton dan teman-teman lainnya yang telah menjalin hubungan baik dalam bingkai persaudaraan selama penulis berada di Yogyakarta.

11. Pihak yang telah memberikan sumbangsih nyata dalam penyusunan tesis ini, Kak Arul, Mas Rizki, Mba Fithia, dan pihak lain yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu kritik dan saran sebagai bahan perbaikan sangat diharapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Yogyakarta, 31 Juli 2017

(12)

xii

ANALISIS KONSUMSI ZAT BESI, ENHANCER ZAT BESI, DAN INHIBITOR

ZAT BESI PADA IBU HAMIL BERDASARKAN DATA STUDI DIET TOTAL (SDT) TAHUN 2014 DI INDONESIA

Safrullah Amir1, Susetyowati2, Arta Farmawati3

INTISARI

Latar Belakang: Ibu hamil merupakan kelompok paling rentan terhadap anemia. Defisiensi zat besi menjadi penyebab utama terjadinya anemia. Bioavailabilitas zat besi tidak hanya ditentukan oleh jumlah asupan, tetapi juga interaksi yang terjadi selama proses metabolisme. Interaksi dalam proses penyerapan zat besi melibatkan enhancer dan inhibitor zat besi.

Tujuan: Mengetahui konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

Metode: Jenis penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional menggunakan data sekunder Studi Diet Total (SDT) tahun 2014. Sebanyak 644 ibu hamil yang berpartisipasi dalam SDT yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dinilai tingkat konsumsinya. Survei konsumsi berupa hasil food recall 24 jam diolah menggunakan Software Nutrisurvey dan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI) untuk menggambarkan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi. Identifikasi enhancer dan inhibitor zat besi juga dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan foodlist. Analisis dilanjutkan menggunakan statistik dengan menyertakan berbagai karakteristik pada ibu hamil. Hasil: Hasil penelitian ini menemukan bahwa karakteristik sosial demografi ibu hamil berkorelasi dengan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi. Pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, dan tempat tinggal berhubungan secara signifikan dengan konsumsi zat besi pada ibu hamil (p-value<0,05). Asam malat dan asam tartrat merupakan enhancer zat besi yang paling terkait dengan karakteristik sosial demografi ibu hamil. Sementara untuk inhibitor zat besi, sebagian besar karakteristik sosial demografi ibu hamil berhubungan dengan konsumsi kalsium, serat, dan pektin. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan adanya keterkaitan antara kepunyaan balita dengan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil (p-value>0,05).

Kesimpulan: Faktor paling dominan yang berasosiasi dengan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia adalah status ekonomi, tingkat pendidikan, dan tempat tinggal.

Kata Kunci: Anemia ibu hamil, Anemia defisiensi besi, Konsumsi zat besi, Enhancer zat besi, Inhibitor zat besi

1

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UGM

2 Departemen Gizi Kesehatan FK UGM 3

(13)

xiii

ANALYSIS OF IRON, IRON ENHANCERS AND IRON INHIBITORS CONSUMPTION ON PREGNANT WOMEN BASED ON TOTAL

DIETARY STUDY (SDT) YEAR 2014 IN INDONESIA

Safrullah Amir1, Susetyowati2, Arta Farmawati3

ABSTRACT

Introduction: Pregnant women are the most vulnerable to anemia. Iron deficiency is a major cause of anemia. Iron bioavailability is not only determined by the amount of intake, but also the interactions that occur during the metabolic process. Interactions in the iron absorption process involve iron enhancers and inhibitors.

Objective: The general objective of this study was to determine consumption of iron, iron enhancers, and iron inhibitors on pregnant women in Indonesia.

Methods: This research is observational study design with cross sectional approach using secondary data from Total Dietary Study (SDT) year 2014. Total of 644 pregnant women who participated in SDT fulfilling the inclusion and exclusion criteria were assessed for their level of consumption. Consumption survey in the form of 24-hour Dietary Recall processed using Nutrisurvey software and Indonesian Food Composition Table (TKPI) to describe the consumption of iron, iron enhancers, and iron inhibitors. The identification of iron enhancers and inhibitors was performed descriptively using foodlist. The analysis continued using statistics by including various characteristics in pregnant women. Result: This study found that socio-demographic characteristics of pregnant women correlated with the consumption of iron, iron enhancers, and iron inhibitors. Education, occupation, economic status, and residence were significantly associated with iron intake on pregnant women (p-value<0,05). Malic acid and tartaric acid are iron enhancers that most closely related to the socio-demographic characteristics of pregnant women. As for iron inhibitors, most of the socio-demographic characteristics of pregnant women are associated with consumption of calcium, fiber, and pectin. In this study, there was no association between having children under 5 years with iron consumption, iron enhancers, and iron inhibitors on pregnant women (p-value>0,05).

Conclusion: The most dominant factors associated with consumption of iron, iron enhancers, and iron inhibitors on pregnant women in Indonesia are economic status, education level, and residence.

Keywords: Anemia in pregnancy, Iron deficiency anemia, Iron consumption, Iron Enhancer, Iron Inhibitor

1

School of Public Health Graduate Programme, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada

2 Department of Nutrition and Health, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada 3

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang dialami baik negara maju maupun negara berkembang. Ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap anemia. Berbagai risiko diasosiasikan seiring meningkatnya prevalensi anemia pada ibu hamil (Alem et al., 2013). Berbagai intervensi telah diupayakan untuk menurunkan prevalensi anemia. Meskipun demikian, kejadian anemia masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 memperkirakan prevalensi anemia pada ibu hamil secara global mencapai angka 38%. Selain itu, WHO juga merilis sebaran anemia berdasarkan wilayah. Negara-negara Asia Tenggara, Mediterania, dan Afrika merupakan wilayah dengan beban anemia paling berat (WHO, 2015).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka prevalensi anemia tertinggi pada ibu hamil. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi anemia pada ibu hamil secara nasional mencapai 37,1%. Angka ini menunjukkan prevalensi yang hampir mencapai masalah kesehatan masyarakat tingkat berat (Balitbangkes, 2013).

Anemia pada ibu hamil sangat terkait dengan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan bayi, termasuk risiko keguguran, lahir mati, prematuritas, dan berat bayi lahir rendah (WHO, 2001). Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil dan besarnya dampak yang ditimbulkan mendorong dilakukannya berbagai program untuk menanggulangi kejadian anemia. Upaya menurunkan prevalensi anemia telah melibatkan berbagai stakeholders melalui program spesifik dan sensitif (Kemenkes RI, 2015).

(15)

2

hamil dilaksanakan dengan memberikan 90 tablet zat besi kepada ibu hamil selama periode kehamilannya. Pemberian tablet zat besi selama periode kehamilan ditargetkan untuk menurunkan insidensi anemia pada ibu hamil (Imdad & Bhutta, 2012).

Pemberian tablet zat besi selama kehamilan telah terbukti efektif dalam menanggulangi anemia dan komplikasi yang ditimbulkan. Berdasarkan asumsi ini, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan mengonsumsi tablet zat besi berkorelasi negatif dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Menurut Asyirah (2012) faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di antaranya adalah frekuensi antenatal care dan kepatuhan ibu hamil mengonsumsi tablet zat besi.

Hasil Riskesdas menunjukkan adanya perbaikan dalam upaya penanggulangan zat besi di Indonesia. Hal ini tergambar dalam frekuensi antenatal care dan cakupan pemberian tablet zat besi yang semakin meningkat. Dalam laporan Riskesdas tahun 2010, setidaknya 92,7% ibu hamil memeriksakan kandungannya dalam periode awal kehamilannya dan sebanyak 83,8% di antaranya melakukan pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan. Adapun cakupan akses ibu hamil dengan pola 1-1-2 (K4) oleh tenaga kesehatan mencapai 61,4%. Sementara itu, cakupan ibu hamil yang mendapatkan tablet zat besi selama kehamilan sebesar 80,7% (Balitbangkes, 2010).

Dalam lanjutan Riskesdas pada tahun 2013 terjadi perbaikan dalam berbagai

(16)

3

tetap tinggi sekalipun program suplementasi zat besi telah berjalan dengan baik. Hal ini mengindikasikan kompleksnya permasalahan anemia pada ibu hamil dan banyaknya faktor penyebab yang berkontribusi di dalamnya (Balitbangkes, 2013; Kemenkes RI, 2012).

Anemia merupakan kondisi klinis yang melibatkan multifaktorial etiologi. Faktor penyebab anemia tidak hanya menyangkut asupan zat besi yang rendah, tetapi juga terkait dengan infeksi dan kecacingan, defisiensi mikronutrien yang lain, perdarahan dan menstruasi, kondisi patologis tertentu, medikasi dan bahan kimia tertentu, serta kelainan organ bawaan (Bodeau-Livinec et al., 2011; Oehadian, 2012; Ross, 2000). Sementara itu, selama kehamilan terdapat penyebab anemia yang lain, seperti peningkatan volume plasma dan peningkatan kebutuhan zat besi (Varney et al., 2006).

Meskipun terdapat begitu banyak faktor penyebab anemia selama kehamilan, namun defisiensi zat besi dianggap menjadi penyebab utama. Anemia defisiensi besi tidak dibatasi hanya pada jumlah asupan zat besi saja, tetapi juga tingkat penyerapannya. Dalam proses penyerapan zat besi, terjadi interaksi dengan zat-zat lain. Interaksi yang terjadi dapat berupa efek pelancar (enhancer) atau penghambat (inhibitor) (Collings et al., 2013).

Enhancer dan inhibitor zat besi ada beragam dengan tingkat pelancar dan penghambatan yang berbeda-beda. Pelancar utama dalam proses penyerapan zat besi adalah vitamin C, vitamin A, protein, zinc, asam sitrat dan asam organik lainnya, serta asam amino sistein. Sementara tanin, kalsium, zinc, polifenol, asam fitat, asam oksalat, dan serat bertindak sebagai agen penghambat dalam proses penyerapan zat besi (Hurrell & Egli, 2010; Fairweather-Tait, 2004; Chen et al., 2008; Beck et al., 2014; Bivolarska et al., 2015).

(17)

4

pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada tingkat konsumsi zat besi, Bodnar & Siega-Riz (2002) menyatakan perempuan dengan level pendidikan lebih tinggi cenderung mengonsumsi zat besi lebih tinggi pula. Sama halnya dengan asupan vitamin C dan vitamin A yang bertindak sebagai zat enhancer utama dalam penyerapan zat besi menunjukkan hasil yang lebih baik pada ibu hamil dengan pendidikan menengah ke atas (Freisling et al., 2006).

Tingkat pendidikan dan usia ibu hamil menunjukkan asosiasi positif dalam berbagai asupan zat gizi. Namun, terjadinya peningkatan asupan zat gizi tertentu yang bertindak sebagai inhibitor penyerapan zat besi berpotensi menyebabkan bioavailabilitas zat besi dalam tubuh menjadi defisit. Seiring meningkatnya level pendidikan, asupan kalsium dan serat juga mengalami peningkatan. Begitu pula dengan zinc yang juga menunjukkan peningkatan pada ibu hamil dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sementara zinc dalam jumlah berlebih dapat bertindak sebagai inhibitor dalam proses penyerapan zat besi. (Freisling et al., 2006; Watson & McDonald, 2009; Northstone et al., 2008 ).

Status ekonomi keluarga berpengaruh terhadap kemampuan dan daya beli dalam rumah tangga. Tingkat pendapatan menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Dengan kondisi ekonomi lebih baik akan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan ibu hamil (Yuliastuti, 2014). Rumah tangga dengan status ekonomi rendah memiliki kecenderungan lebih rendah pula dalam pemenuhan protein yang bernilai biologis tinggi (Freisling et al., 2006). Sementara itu, Erkkola et al. (1998) menyatakan bahwa tingkat konsumsi zat besi meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Namun di lain sisi, kalsium dan asam fitat sebagai inhibitor zat besi juga turut mengalami peningkatan.

(18)

5

aktivitas yang padat terkadang mengalami kesulitan dalam pengaturan pola makan dan cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (Yuliastuti, 2014).

Jumlah anggota keluarga turut memengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam makanan yang dikonsumsi dalam keluarga. Ibu hamil yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak dengan ketersediaan makanan yang terbatas akan berusaha membagi makanan sehingga jumlah asupan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat berpengaruh pada kemampuan ibu hamil untuk mencapai tingkat asupan yang baik, utamanya zat besi dan zat enhancernya. Komposisi keluarga yang terdiri dari dua atau lebih balita menyebabkan ibu hamil cenderung mengonsumsi protein dan vitamin C yang lebih rendah, meskipun dalam hal vitamin A tetap tinggi (Yuliastuti, 2014; Watson & McDonald, 2009).

Kondisi demografis dimana ibu hamil tinggal menentukan akses terhadap sumber pangan tertentu. Hasil penelitian menunjukkan ibu hamil yang tinggal di daerah terpencil memiliki tingkat asupan yang lebih rendah dalam zat besi, zinc, kalsium, dan vitamin E. Namun, beberapa zat gizi seperti vitamin A, vitamin C, dan asam fitat cenderung lebih tinggi pada daerah pedesaan. Hal ini cukup beralasan sebab masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki akses pangan sumber nabati yang baik, namun terbatas dalam pemenuhan sumber protein bernilai biologis tinggi (Cheng et al., 2009).

(19)

6

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diperoleh perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa saja pangan sumber zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi di

Indonesia?

2. Bagaimana gambaran konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia?

3. Bagaimana hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi zat besi pada ibu hamil di Indonesia?

4. Bagaimana hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia?

5. Bagaimana hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran konsumsi zat besi, inhibitor zat besi, dan enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pangan sumber zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi di Indonesia.

2. Mengetahui konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

3. Mengetahui hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

4. Mengetahui hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

(20)

7

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut:

1. Menambah khasanah keilmuan dalam memahami faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada populasi spesifik ibu hamil.

2. Memberikan pemahaman berbagai macam pangan lokal dan komersial sebagai sumber zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan program penanggulangan anemia defisiensi besi pada ibu hamil dengan penekanan pada penyerapan zat besi dengan mempertimbangkan kehadiran enhancer dan inhibitor zat besi.

2. Tersedianya data dasar konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi yang dikonsumsi ibu hamil menurut jenis dan sumber pangan di Indonesia sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam upaya menguatkan program pangan, gizi, dan kesehatan masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

(21)

8

(22)

9

Tabel 1. Keaslian Penelitian No Nama/Tahun Judul penelitian Metode penelitian Hasil

(23)
(24)
(25)
(26)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Anemia ibu hamil a. Definisi

Anemia merupakan suatu keadaan dimana distribusi oksigen menuju jaringan terganggu sebagai akibat kurangnya hemoglobin atau sel darah merah baik secara kualitas maupun kuantitas (Grewal, 2010). Menurut World Health Organization (WHO), anemia dalam kehamilan terjadi ketika nilai hemoglobin <11 g/dL atau hematokrit <33%, terlepas dari usia kehamilan (WHO, 2011). Tabel 2 menunjukkan kriteria untuk menentukan status anemia berdasarkan hemoglobin yang diadopsi dari WHO.

Tabel 2. Ambang Batas Nilai Hemoglobin untuk Menentukan Anemia Konsentrasi Hb (g/L) Perempuan (>15 tahun) <120

Ibu hamil <110

Balita (0,5-4,9 tahun) <110

Anak (5,0-11,9) <115

Anak (12,0-14,9) <120

Laki-laki (>15 tahun) <130 (Sumber: WHO, 2008)

(27)

14

b. Klasifikasi

Secara umum anemia dapat diklasifikasikan menjadi (Proverawati & Asfuah, 2009):

1. Anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Penanggulangan anemia zat besi dilakukan dengan cara pemberian asupan zat besi yang cukup.

2. Anemia megaloblastik

Anemia ini disebabkan karena defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12.

3. Anemia hipoplastik dan aplastik

Anemia disebabkan karena sumsum tulang belakang kurang mampu membuat sel-sel darah baru.

4. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik disebabkan oleh penghancuran sel darah merah yang berlangsung lebih cepat dibandingkan proses pembentukannya.

c. Epidemiologi

Stephens et al. (2013) melaporkan bahwa terdapat sekitar 38% ibu hamil di seluruh dunia mengalami anemia. Estimasi prevalensi anemia pada ibu hamil berbeda-beda di antara benua. Afrika dan Asia merupakan benua dengan beban anemia tertinggi dengan prevalensi berturut-turut sebesar 55,8% dan 41,6%. Sementara Eropa dan Amerika Utara memiliki prevalensi anemia terendah dengan nilai 18,7% dan 6,1% (de Benoist et al., 2008).

(28)

15

mengalami penurunan dengan signifikansi yang tidak berarti, yaitu 43% pada tahun 1993 menjadi 41,8% pada tahun 2005.

Prevalensi anemia pada ibu hamil berbeda-beda menurut periode kehamilan. Menurut Arisman (2010), angka anemia kehamilan pada trimester I berkisar 8%, pada trimester II berkisar 12%, dan pada trimester III mencapai 29%. Perbedaan prevalensi juga terjadi menurut jenis anemia. Dari berbagai jenis anemia pada kehamilan, 62,3% merupakan anemia defisiensi besi, 29% anemia megaloblastik, 8% anemia hipoplastik, dan 0,7% anemia hemolitik (Manuaba et al., 2009).

d. Etiologi

Penyebab langsung dari anemia dipertimbangkan sebagai dampak menurunnya produksi sel darah merah atau hemoglobin dan terjadinya peningkatan kehilangan sel darah merah atau hemoglobin. Perubahan tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor, terutama pengaruh gizi, infeksi, dan genetik sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1. Beberapa penyebab utama anemia termasuk kekurangan zat gizi seperti zat besi (penyebab paling umum), asam folat, dan vitamin B12, infeksi seperti

Human Immunodeficiency Virus (HIV), malaria dan kecacingan, serta gangguan dalam struktur atau produksi hemoglobin seperti penyakit sel sabit dan talasemia (Goonewardene et al., 2012).

Tolentino & Friedman (2007) memberikan penjelasan lebih lanjut terkait perubahan pada sel darah merah kaitannya dengan kejadian anemia. Penyebab terjadinya anemia dapat berupa produksi eritrosit menurun (ketidakefektifan eritropoiesis) sebagai akibat dari gangguan proliferasi pada prekursor sel darah merah dan pematangan eritrosit yang tidak sempurna. Selain itu, anemia dapat pula terjadi sebagai konsekuensi kehilangan eritrosit yang berlebihan. Penurunan eritrosit dapat disebabkan oleh hemolisis, kehilangan darah, atau kombinasi keduanya.

(29)

16

sintesis hemoglobin dan eritrosit. Kondisi ini terjadi seiring bergesernya pola makan manusia dari food gathering menjadi food producing berbasis sereal dengan paparan panas lebih selama proses pengolahan makanan. Hal ini menyebabkan penurunan yang besar dalam bioavailabilitas nutrisi hemopoietik, yaitu zat besi, vitamin B12, dan asam folat (Semba & Bloem,

2008).

Salah satu anemia akibat defisiensi zat gizi tertentu adalah anemia defisiensi besi. Defisiensi zat besi dianggap sebagai penyebab anemia paling umum. Kekurangan zat besi terjadi ketika asupan atau bioavailabilitas zat besi tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan atau mengimbangi kehilangan zat besi dari tubuh. Besi memiliki peran penting dalam berbagai fungsi pada proses biologis dan merupakan bagian integral dari molekul hemoglobin dimana Fe²+ terikat ke kompleks Proteinprotoporphyrin IX untuk membentuk heme. Kekurangan zat besi akan menyebabkan konsentrasi heme rendah dan berimbas pada terjadinya anemia mikrositik hipokromik (Balarajan et al., 2011).

Sama halnya dengan zat besi, defisiensi asam folat dan vitamin B12

akan menyebabkan anemia. Asam folat diperlukan untuk sintesis dan pematangan eritrosit. Rendahnya asam folat mengakibatkan terjadinya perubahan morfologi sel dan mengurangi umur eritrosit. Defisensi asam folat berkontribusi terhadap anemia megaloblastik. Selama kehamilan, kebutuhan asam folat cenderung mengalami peningkatan. Oleh karena itu, perempuan yang mengalami kehamilan dengan status defisit asam folat akan lebih sering mengalami anemia megaloblastik (Metz, 2008).

Vitamin B12 disintesis hanya oleh mikroorganisme dan sumber

utamanya berasal dari produk hewani. Penyerapan Vitamin B12

melibatkan proses yang kompleks dimana enzim dan asam lambung memfasilitasi pembebasan vitamin B12 yang masih terikat pada makanan.

Pada proses selanjutnya vitamin B12 akan disekresi oleh sel parietal

(30)

17

yang lebih sering terjadi pada kekurangan vitamin B12 kategori berat

(Metz, 2008).

Penyebab utama defisiensi vitamin B12 adalah kurang memadainya

asupan makanan sumber vitamin tersebut, terutama dari diet vegetarian (Antony, 2003). Penyebab yang lain dapat berasal dari anemia pernisiosa, gangguan autoimun terhadap faktor intrinsik, sariawan tropis, dan infeksi penyerta dengan Diphyllobothriumlatum, Giardia lamblia, dan Helicobacter pylori (Bondevik et al., 2001).

Selain itu, penyerapan zat gizi yang berperan dalam hemopoiesis dapat dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan patofisiologis. Sebagai contoh, Helicobacter pylori dikaitkan dengan penurunan cadangan zat besi (Qu et al., 2010). Beberapa kondisi patologis yang disebabkan oleh terjadinya infeksi melalui agen tertentu juga dikaitkan dengan kondisi anemia.

Penyakit infeksi dapat berkontribusi terhadap anemia akibat terganggunya proses absorpsi dan metabolisme zat besi atau mikronutrien lain. Selain itu, penyakit infeksi akan menyebabkan terjadinya peningkatan kehilangan zat gizi. Agen infeksi penyebab anemia dapat berasal dari transmisi cacing tanah dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Kedua jenis cacing tersebut adalah penyebab utama anemia dan umumnya ditemukan di Afrika Sub-Sahara dan Asia Tenggara dengan perkiraan infeksi mencapai 576-740 juta (Bethony et al., 2006 ).

(31)

18

Necator americanus), cadangan besi host, dan faktor-faktor lain seperti usia dan komorbiditas (Albonico et al., 1998).

Malaria merupakan penyakit infeksi lain penyebab anemia. Malaria menyebabkan 1-3 juta kematian setiap tahun. Plasmodium falciparum adalah spesies paling patogen yang dapat menyebabkan anemia berat, hipoksia, dan gagal jantung kongestif. Malaria menyebabkan terjadinya kerusakan eritrosit dan penurunan produksi eritrosit yang turut diperparah oleh faktor-faktor penyerta seperti usia, kehamilan, spesies malaria, paparan sebelumnya, dan profilaksis (Menendez et al., 2000).

Anemia merupakan komplikasi hematologi yang paling umum yang terkait dengan infeksi HIV. Mekanisme anemia yang terjadi pada HIV/AIDS melibatkan banyak faktor. Penyebab anemia utama pada penderita HIV/AIDS diasosiasikan dengan kondisi kronis penyakit, penyakit lain yang ditimbulkan AIDS, dan pengobatan antiretroviral (Calis et al., 2008).

Etiologi anemia berkaitan pula dengan genetik. Kelainan genetik pada hemoglobin merupakan hasil dari variasi struktural atau pengurangan produksi rantai globin dari hemoglobin yang potensial menyebabkan anemia. Estimasi kelainan hemoglobin diperkirakan mencapai angka 5,2% dari populasi global dengan lebih dari 7% ibu hamil merupakan carrier (Modell & Darlison, 2008).

(32)

19

dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Lozano et al., 2012).

Gambar 1. Faktor Penyebab Anemia (Sumber: Warrell et al., 2016) e. Faktor risiko

Secara umum, ibu hamil merupakan salah satu kelompok dengan risiko anemia yang paling rentan. Seiring berlanjutnya usia kehamilan, prevalensi anemia cenderung meningkat. Periode pertumbuhan janin yang cepat selama kehamilan mengakibatkan peningkatan kebutuhan zat besi secara substansial. Kondisi ini akan memberikan kerentanan fisiologis terhadap ibu hamil (Gonzales et al., 2012).

(33)

20

Anemia pada kehamilan melibatkan faktor sosial ekonomi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan kesejahteraan yang berada pada tingkat pendapatan per kapita terendah memiliki faktor risiko 25% lebih tinggi untuk menderita anemia dibandingkan perempuan yang berada pada ketegori tingkat pendapatan per kapita tertinggi. Selain itu, perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah lebih rentan mengalami anemia dibandingkan perempuan dengan pendidikan menengah ke atas. Sementara itu, terlepas dari status sosial-ekonomi dan pendidikan, faktor risiko anemia juga berbeda menurut tempat tinggal yang dikategorikan menjadi perkotaan atau pedesaan (Balarajan et al., 2011).

Menurut Pei et al. (2013), status ekonomi merupakan faktor penting dalam mengidentifikasi adanya hubungan dengan perilaku pemeliharaan kesehatan ibu hamil dalam menangani kejadian anemia. Status ekonomi dapat diidentifikasi berdasarkan pendapatan keluarga.

Risiko anemia dalam kehamilan juga bergantung pada usia saat kehamilan, tingginya angka kelahiran, interval pendek antara kelahiran, akses yang rendah terhadap antenatal care, dan cakupan suplementasi yang rendah (Kalaivani, 2009).

Umur seorang ibu memengaruhi pengambilan keputusan dalam pemeliharaan kesehatannya. Sementara pendidikan seseorang ibu memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dengan asumsi ibu hamil dengan pendidikan lebih tinggi dapat mengambil keputusan yang lebih rasional dan umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih rendah (Bambang, 2009).

(34)

21

belum memadai saat kehamilan memiliki peluang untuk mengalami anemia.

f. Patofisiologi

Anemia merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan kekurangan zat besi dan umumnya terjadi secara bertahap. Tahapan patofisiologis anemia adalah sebagai berikut (Lubis, 2003):

1. Stadium 1

Kehilangan zat besi melebihi ambang batas, selanjutnya terjadi penggunaan cadangan besi dalam tubuh terutama pada sumsum tulang secara berlebihan.

2. Stadium 2

Cadangan zat besi yang berkurang tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam proses pembentukan sel darah merah. Dengan demikian, terjadi produksi eritrosit yang lebih sedikit.

3. Stadium 3

Kondisi anemia mulai terjadi ditandai dengan kadar hemoglobin dan hematokrit yang mengalami penurunan.

4. Stadium 4

Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah baru yang sangat kecil (mikrositik).

5. Stadium 5

Terjadi perburukan defisiensi zat besi ditandai dengan timbulnya gejala-gejala anemia secara nyata.

g. Diagnosis

(35)

22

penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan penyebab yang mendasari. Namun pada kondisi dimana sumber daya manusia kesehatan dan fasilitas belum memadai, pemeriksaan biokimia dan pengujian hematologi terkadang susah dilakukan. Pada kondisi ini, diagnosis anemia hanya didasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan klinis saja (Balarajan et al., 2011).

Status anemia dinilai melalui parameter konsentrasi hemoglobin, hematokrit, nilai eritrosit rerata (MCV, MCH, MCHC), jumlah retikulosit darah, dan elektroforesis hemoglobin. Semenjak defisiensi zat besi dianggap sebagai penyebab utama anemia, tes penunjang status besi juga dilakukan. Tes ini meliputi pemeriksaan serum feritin plasma, total kapasitas pengikat besi, saturasi transferin, konsentrasi reseptor transferin, konsentrasi protoporfirin zinc, konsentrasi eritrosit protoporfirin, dan biopsi sumsum tulang belakang (WHO & CDC, 2004).

h. Dampak dan komplikasi

Anemia pada kehamilan menjadi masalah kesehatan masyarakat dan ekonomi di seluruh dunia dan memberikan kontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas baik pada ibu maupun janin. Anemia dalam kehamilan memiliki dampak jangka pendek berupa komplikasi kehamilan dan jangka panjang yang dapat menyertai bayi dalam tumbuh kembangnya di masa yang akan datang (Goonewardene et al., 2012; Chang et al., 2013).

Anemia pada kehamilan sering disebut “potential danger to mother and child”. Berbagai komplikasi dapat timbul sebagai akibat anemia dalam kehamilan, seperti abortus, partus prematurus, partus lama, perdarahan, syok, dan infeksi intrapartum maupun post-partum (Manuaba, 2009).

(36)

23

gangguan kognitif, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi (Haas & Brownlie, 2001).

Anemia pada awal kehamilan bahkan telah dikaitkan dengan outcome kehamilan yang merugikan (Haider et al., 2013). Manifestasi klinis meliputi hambatan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah (Levy et al., 2005), gangguan laktasi, depresi pasca persalinan serta peningkatan mortalitas janin dan neonatal (Lee & Okam, 2011).

Distribusi oksigen menuju rahim dan janin berkurang pada ibu hamil dengan anemia (Webster & Abela, 2007). Gangguan distribusi oksigen ke jaringan menjadi mekanisme sentral dimana anemia dihubungkan dengan risiko kecacatan organ (otak, jantung, ginjal), injury, dan mortalitas (Hare et al., 2013).

Perpindahan beban anemia antargenerasi dari ibu ke anak juga telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Kekurangan zat besi pada ibu meningkatkan kerentanan bayi terhadap defisiensi zat besi dan anemia. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan bayi prematur mengalami peningkatan risiko anemia dikarenakan terlahir dengan status simpanan zat besi yang rendah (de Pee et al., 2002).

Belakangan ini keterkaitan antara anemia dengan ekonomi telah banyak dibuktikan. Kerugian ekonomi terjadi karena anemia defisiensi zat besi berkaitan dengan penurunan kemampuan kerja pada orang dewasa dan penurunan fungsi kognitif pada anak-anak yang dapat bertahan sampai dewasa. Lebih jauh, gangguan perkembangan motorik sebagai manifestasi dari anemia juga menambah besar potensi kerugian ekonomi (Horton & Ross, 2003).

(37)

24

berkurungnya kinerja karena anemia memiliki konsekuensi ekonomi yang besar (Haas & Brownlie, 2001).

i. Pencegahan dan penanggulangan

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan prevalensi anemia pada kehamilan. Hal ini berangkat dari asumsi akses terhadap makanan kaya sumber zat besi, makanan fortifikasi, dan suplementasi zat besi dapat menurunkan risiko anemia dan berbagai komplikasi yang mungkin ditimbulkan (Ramakrishnan, 2001).

Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Kebanyakan anemia yang diderita masyarakat merupakan akibat defisiensi zat besi. Oleh karena itu, program penanggulangan anemia dalam kehamilan dilakukan melalui pemberian zat besi secara teratur (Walsh et al., 2006). Program penanggulangan anemia pada ibu hamil di Indonesia telah berjalan melalui pemberian 90 tablet zat besi kepada ibu hamil selama periode kehamilan. Cakupan pemberian tablet zat besi di Indonesia pada tahun 2012 telah mencapai 85% (Balitbangkes, 2013).

Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit 90 tablet zat besi selama kehamilan. Distribusi pemberian tablet zat besi ini dilakukan sejak awal melakukan pemeriksaan kehamilan (K1). Distribusi pemberian tablet zat besi akan terus dilakukan pada antenatal care berikutnya dengan target konsumsi satu tablet setiap hari selama 90 hari (Kemenkes RI, 2015).

(38)

25

Untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan mengonsumsi tablet zat besi selama kehamilan, program Antenatal Care (ANC) di Indonesia dioptimalisasikan. Antenatal care merupakan pengawasan kehamilan untuk mengetahui kesehatan ibu secara umum, menegakkan secara dini penyakit yang menyertai kehamilan, menegakkan secara dini komplikasi kehamilan, dan menetapkan risiko kehamilan. Risiko yang ditegakkan salah satunya adalah anemia dalam kehamilan. Cakupan ANC 4-5 dalam kehamilan akan memastikan berjalannya sistem Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dengan baik. Paparan informasi selama ANC berkorelasi positif dengan meningkatnya cakupan tablet zat besi selama kehamilan (Manuaba, 2009).

Paritas dan interval kehamilan berkaitan erat dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Pengaturan jarak kehamilan dilakukan minimal dua tahun telah dicanangkan oleh pemerintah untuk menjamin kondisi ibu telah siap menerima janin kembali tanpa harus menghabiskan cadangan zat besinya (Qudsiah et al., 2012).

Balarajan et al. (2011) memberikan beberapa rekomendasi dalam pencegahan dan penanggulangan anemia, sebagai berikut:

1. Peningkatan asupan makanan (kualitas dan kuantitas) melalui penganekaragaman pangan dengan mempertimbangkan bioavailabilitas zat besi.

2. Fortifikasi pangan dengan zat besi dengan mempertimbangkan makanan olahan yang lazim dikonsumsi kelompok berisiko tinggi dan selanjutnya didistribusikan menuju pasar.

3. Suplementasi besi (dan asam folat) dan didistribusikan pada kelompok berisiko tinggi, utamanya ibu hamil.

(39)

26

5. Perbaikan pengetahuan dan pendidikan tentang pencegahan dan pengendalian anemia baik untuk masyarakat maupun pembuat kebijakan.

2. Metabolisme dan interaksi zat besi a. Metabolisme zat besi

Zat besi merupakan komponen biologis yang esensial bagi organisme hidup. Walaupun didapati dalam jumlah berlimpah, namun bioavailabilitas zat besi sangat terbatas. Akibatnya, berbagai mekanisme seluler berevolusi untuk menangkap zat besi dari lingkungan dalam bentuk biologis yang bermanfaat. Zat besi menjadi bagian dari eritropoiesis dan metabolismenya dalam tubuh diatur secara ketat oleh berbagai regulasi internal maupun eksternal (Yun & Vincelette, 2015). Dalam tubuh manusia, zat besi utamanya terdapat dalam bentuk kompleks yang terikat dengan protein (hemoprotein), sebagai senyawa heme (hemoglobin atau mioglobin), enzim heme, atau senyawa non-heme (enzim flavin-besi, transferin, dan feritin) (McDowell, 2003).

Hampir dua pertiga zat besi yang terdapat dalam tubuh ditemukan dalam bentuk hemoglobin pada eritrosit, 25% dalam bentuk simpanan besi yang siap dimobilisasi, dan 15% sisanya terikat pada mioglobin pada jaringan otot serta berbagai enzim yang terlibat dalam metabolisme oksidatif dan fungsi sel lainnya (Trumbo et al., 2001).

Di dalam tubuh, zat besi mengalami serangkaian proses metabolisme sebagai berikut:

1. Penyerapan Zat Besi

(40)

27

sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah (Nadadur et al., 2008).

Dalam proses penyerapan zat besi terjadi mekanisme umpan balik untuk menjaga keadaan homeostasis. Pada individu yang kekurangan zat besi terjadi mekanisme untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Sebaliknya pada keadaan kelebihan zat besi akan terjadi mekanisme penghambatan absorpsi yang diatur oleh hepcidin. Saat ini berkembang asumsi bahwa pengendalian penyerapan zat besi dikendalikan oleh ferroportin yang memungkinkan masuk tidaknya zat besi dari sel mukosa ke dalam plasma (Nadadur et al., 2008).

Bentuk besi ketika memasuki duodenum sangat memengaruhi penyerapannya. Pada pH fisiologis, besi ferro (Fe2+) dengan cepat mengalami oksidasi menjadi bentuk besi ferri (Fe3+). Asam lambung menurunkan pH dalam duodenum proksimal dan mereduksi Fe3+ dalam lumen usus menggunakan enzim ferric reduktase. Proses ini memberikan kemungkinan terjadinya transportasi Fe2+ melintasi membran apikal enterosit dan meningkatkan kelarutan serta penyerapan besi ferri. Ketika produksi asam lambung terganggu, penyerapan zat besi akan mengalami penurunan (Abbaspour et al., 2014).

(41)

28

transporter ferroportin. Fe2+ yang telah dimediasi oleh ferroportin akan dipasangkan dengan reoksidasi untuk Fe2+ yang dikatalisasi oleh ferroxidase hephaestin (Yeh et al., 2009).

Besi yang diekspor kemudian diambil oleh transferin yang mempertahankan Fe+3 dalam keadaan redoks-inert dan mengirimkannya ke jaringan. Kandungan total transferin kurang lebih 3 mg atau setara dengan <0,1% dari total zat besi dalam tubuh, tetapi sangat dinamis dan mengalami lebih dari sepuluh kali pergantian setiap hari untuk mempertahankan eritropoiesis. Cadangan besi transferin kebanyakan berasal dari zat besi hasil daur ulang sel darah merah dan dalam jumlah yang lebih sedikit dari zat besi yang baru diabsorpsi. Sel darah merah yang sudah tua dibersihkan oleh makrofag retikuloendotelial yang memetabolisme hemoglobin dan heme serta melepaskan besi ke dalam aliran darah (Theil et a l., 2012).

2. Regulasi Homeostasis Zat Besi

Zat besi diperlukan dalam berbagai fungsi seluler. Oleh karena itu, keseimbangan antara penyerapan, transportasi, penyimpanan, dan pemanfaatan zat besi diperlukan untuk mempertahankan kondisi homeostasis zat besi. Ketika tubuh tidak mempunyai mekanisme dalam proses ekskresi, keseimbangan zat besi utamanya diatur pada tingkat penyerapan (Finberg, 2011).

(42)

29

Hilangnya ferroportin dari permukaan sel mencegah masuknya zat besi ke dalam plasma. Rendahnya zat besi yang masuk ke dalam plasma mengakibatkan kejenuhan transferrin menurun. Selain itu, zat besi yang dibutuhkan untuk pembentukan eritroblast menjadi lebih rendah. Sebaliknya, penurunan hepcidin menyebabkan peningkatan ferroportin pada permukaan sel dan meningkatkan penyerapan zat besi. Dalam semua spesies, konsentrasi besi dalam cairan biologis diatur secara ketat untuk menyediakan zat besi yang diperlukan dan untuk menghindari toksisitas. Kelebihan zat besi dapat membentuk Reactive Oxygen Species (ROS). Homeostasis zat besi pada mamalia diatur pada tingkat penyerapan yang terjadi di usus sebab tidak ada mekanisme untuk mengekskresikan besi (De Domenico et al., 2007). 3. Penyimpanan Zat Besi

Konsentrasi feritin dan hemosiderin mencerminkan status simpanan besi dalam tubuh. Keduanya menyimpan besi dalam bentuk tidak larut dan tersimpan di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Kebanyakan besi terdapat dalam bentuk besi berikatan protein dan feritin. Hemosiderin adalah kompleks penyimpanan besi yang sukar dibebaskan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Dalam kondisi stabil, konsentrasi feritin serum berkorelasi dengan dengan jumlah simpanan besi dalam tubuh. Oleh karena itu, serum feritin merupakan tes laboratorium yang paling sesuai untuk memperkirakan simpanan besi dalam tubuh (Nadadur et al., 2008).

4. Ekskresi Zat Besi

(43)

30

berlebihan merupakan penyebab tersering defisiensi besi pada perempuan (Hunt et al., 2009).

b. Enhancer zat besi

Zat besi terdapat dalam dua bentuk, yaitu heme dan non-heme. Sumber utama zat besi heme adalah hemoglobin dan mioglobin yang berasal dari daging, unggas, dan ikan. Sementara besi non-heme diperoleh dari sereal, kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayuran. Besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi berkisar 15%-35%. Pada besi heme faktor makanan memiliki efek yang rendah dalam proses penyerapan. Berbeda dengan penyerapan zat besi non-heme yang jauh lebih rendah, hanya sekitar 2%-20% dan sangat dipengaruhi oleh kehadiran komponen makanan lainnya. Meskipun bioavailabilitas besi non-heme lebih rendah, namun jumlahnya dalam makanan jauh lebih besar dibandingkan besi heme. Oleh karena itu, besi non-heme umumnya memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pemenuhan kebutuhan zat besi dibandingkan besi dari heme (Hurrell & Egli, 2010).

Beberapa vitamin dapat berperan sebagai enhancer dalam absorpsi zat besi. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi bila dikonsumsi pada waktu bersamaan. Hal ini karena vitamin C akan mengubah zat besi dari bentuk ferri menjadi bentuk ferro. Zat besi dalam bentuk ferro lebih mudah diserap. Selain itu vitamin C membentuk gugus zat besi-askorbat yang tetap larut pada pH lebih tinggi di dalam duodenum (Almatsier, 2010).

Vitamin lain yang dapat bertindak sebagai enhancer penyerapan zat besi adalah vitamin A. Interaksi vitamin A dengan zat besi bersifat sinergis. Apabila tubuh dalam keadaan kekurangan vitamin A, maka transportasi zat besi dari hati dan penggabungan zat besi ke dalam eritrosit akan terganggu (Lonnerdal, 1998).

(44)

non-31

heme (Reddy et al., 2006). Selain itu, bioavailabilitas zat besi dalam protein hewani lebih tinggi sehingga memiliki kemampuan dalam mengurangi beberapa efek negatif enhancer zat besi, seperti asam fitat, polifenol, dan kalsium (Conrad & Schade, 1968).

c. Inhibitor zat besi

Tanin, kalsium, zinc, polifenol, asam fitat, asam oksalat, dan serat memiliki efek sebagai penghambat dalam proses penyerapan zat besi. Mekanisme inhibisi penyerapan zat besi oleh kalsium telah dibuktikan. Pada awalnya berkembang asumsi bahwa kalsium memberikan efek pada lumen saluran pencernaan yang akan mengganggu penyerapan zat besi. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa penghambatan dapat terjadi baik pada membran apikal maupun membran basolateral enterosit (Wienk et al., 1996). Mekanisme kalsium dalam menghambat penyerapan zat besi meliputi perubahan dalam keseimbangan ligan intraluminal, perubahan waktu transit pada gastrointestinal, gangguan transportasi zat besi dalam mukosa, dan kompetesi dengan transporter (Thompson et al., 2010). Zinc dalam jumlah berlebih dapat menghambat proses penyerapan zat besi. Zinc dan zat besi diabsorpsi oleh usus melalui mekanisme Divalent Metal Transporter-1 (DMT-1). Adanya kesamaan transporter antara zat besi dan zinc mengakibatkan absorpsi antara keduanya saling memengaruhi satu sama lain (Iyengar et al., 2009).

(45)

32

Selain gugus hidroksil pada polifenol, gugus karboksil dalam senyawa pektin juga dapat menghambat penyerapan zat besi. Pektin merupakan senyawa yang mempunyai banyak gugus karboksil. Gugus karboksil tersebut memiliki reaktivitas tinggi dalam mengikat kation. Dengan demikian, pektin akan melakukan interaksi secara elektrostatis terhadap mineral bermuatan positif (Miyada et al., 2012).

Serat memegang peranan penting dalam tubuh. Namun dari sekian banyak manfaat serat, ternyata dalam jumlah berlebih dapat menunjukkan efek inhibisi dalam penyerapan zat besi. Menurut Andrews et al. (2014), serat mempunyai efek negatif dalam menurunkan bioavailabilitas berbagai mineral esensial dan trace element, termasuk di dalamnya zat besi.

3. Determinan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi Sebagian besar individu yang hidup di negara industri mengonsumsi zat besi yang memiliki nilai bioavailabilitas yang tinggi. Sementara itu negara-negara berkembang dengan pola konsumsi berbasis tumbuhan memiliki kecenderungan menurunkan tingkat bioavailabilitas zat besi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap zat besi. Gambaran pola konsumsi di negara industri dan negara berkembang terjadi pula pada perkotaan dan pedesaan (Beck et al., 2014).

(46)

33

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas konsumsi makanan. Berdasarkan asumsi ini, ibu hamil dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dianggap memiliki pengetahuan atau informasi tentang gizi yang lebih baik (Albugis, 2008).

Ibu hamil yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih konsumsi protein yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhannya dibandingkan dengan ibu hamil yang bependidikan rendah. Sementara protein golongan hewani memiliki kandungan zat besi dengan bioavailabilitas yang tinggi di samping memegang peranan penting dalam transportasi zat besi (Hardinsyah, 2009; Okon’go et al., 2012). Sejalan dengan Atmarita (2004) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi berkorelasi dalam kemudahan memahami informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari.

Karakteristik wilayah (pedesaan dan perkotaan) telah banyak dihubungkan dengan praktik konsumsi rumah tangga. Heshmat et al. (2009) menyatakan bahwa lebih 70% rumah tangga yang berada di pedesaan tidak memahami fungsi vitamin C dalam proses penyerapan zat besi. Bahkan, pengetahuan terkait sumber-sumber vitamin C di pedesaan hanya berkisar 5-39%. Sementara itu, rumah tangga di perkotaan menunjukkan kesadaran dan pemahaman yang lebih baik dalam peranan dan sumber vitamin C. Meskipun demikian, persentase rumah tangga di perkotaan yang memahami dengan baik fungsi vitamin C dalam penyerapan zat besi hanya mencapai 50%. Hal ini tergambar pula dalam pengetahuan tentang sumber-sumber zat besi yang masih berada pada kisaran 30-49%. Pengetahuan yang benar tentang fungsi makanan dalam tubuh serta tingkat pengetahuan tentang daging dan alternatifnya lebih baik pada rumah tangga yang berada di perkotaan dibandingkan daerah pedesaan (Samuel et al., 2012).

(47)

34

tinggi meningkat seiring pendapatan yang lebih besar. Namun, peningkatan ini tidak selalu positif. Konsumsi zat besi yang tinggi cenderung diikuti oleh tingkat konsumsi inhibitor zat besi yang meningkat pula (Achadi, 2006). Tingkat konsumsi beberapa inhibitor zat besi terlihat pula pada rumah tangga dengan status ekonomi kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang berasal dari keluarga yang memiliki taraf ekonomi rendah cenderung mengonsumsi asam fitat lebih tinggi (Samuel et al., 2012).

Status ekonomi salah satunya ditentukan oleh jumlah anggota rumah tangga yang bekerja. Ibu hamil yang aktif bekerja memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan keluarga. Namun, aktivitas kerja yang padat dapat berdampak pada konsumsi makanan yang kurang terjadwal bahkan terlewat. Dengan beban kerja yang berat pada ibu hamil, kebutuhan terhadap zat-zat gizi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang hanya mengurusi pekerjaan rumah tangga (Achadi, 2006).

Keluarga dengan anggota rumah tangga yang banyak kadang menimbulkan masalah. Kondisi ini diperparah dengan status ekonomi yang kurang memadai. Keluarga dengan status ekonomi kurang dengan anggota rumah tangga yang banyak akan mengakibatkan pemerataan dan kecukupan makanan kurang terjamin. Pembagian makanan di antara anggota keluarga jika tidak terkelola dengan baik akan menimbulkan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing (Albugis, 2008).

Begitu juga menurut Riyadi (2003) pada status ekonomi rendah, pemerataan makanan akan berbeda pada keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga yang banyak dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah anggota rumah tangga lebih sedikit.

(48)

35

Gambar 2. Kerangka Teori

Diadaptasi dari Balarajan et al. (2011), Ruel (2008), UNICEF (1990), Arisman (2010), Istiarti (2000), Notoadmodjo (2012), Depkes RI, (2004), Bobak et al, (2004) Singkatan: DMT-1= Divalent Metal Transporter 1

HCP-1 = Heme Carrier Protein 1

KIE = Komunikasi, Informasi, dan Edukasi HIV = Human Immunodeficiency Virus TBC = Tuberculosis

(49)

36

C. Kerangka Konsep

Gambar 3. Kerangka Konsep D. Hipotesis Penelitian

1. Karakteristik sosial demografi berhubungan dengan konsumsi zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

2. Karakteristik sosial demografi berhubungan dengan konsumsi enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

3. Karakteristik sosial demografi berhubungan dengan konsumsi inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia.

Usia

Tingkat Pendidikan Status Pekerjaan

Status Ekonomi Tempat Tinggal Jumlah ART Keberadaan Balita

Konsumsi Zat Besi Konsumsi Enhancer Zat Besi

Konsumsi Inhibitor Zat Besi Variabel

Bebas

(50)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan penelitian cross-sectional untuk menggambarkan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi secara deskriptif dan inferensial.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian melibatkan 33 provinsi yang ada di Indonesia dengan proses analisis dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Maret-Mei tahun 2017.

C. Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang berpartisipasi dalam Studi Diet Total (SDT) tahun 2014 di Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Bagan Penarikan Sampel Penelitian SDT Tahun 2014

33 Provinsi di Indonesia

2.072 Blok Sensus

45.802 Rumah Tangga

145.360 Individu Tidak diwawancarai

4.889 rumah tangga

Riskesdas Tahun 2013

644 Ibu Hamil

Tidak dianalisis 436 rumah tangga Tidak diwawancarai

29.480 individu

(51)

38

Sampel penelitian dalam SDT menggunakan data rumah tangga yang sudah tersedia dalam Riskesdas 2013. Untuk mendapatkan sampel individu, rumah tangga di Blok Sensus (BS) yang sudah dikunjungi saat Riskesdas 2013 diambil secara acak. Di antara anggota rumah tangga yang berhasil dikunjungi, 644 individu di antaranya merupakan ibu hamil.

Dalam upaya memastikan terpenuhinya subjek ibu hamil dari data SDT dalam penelitian ini, maka perhitungan besar sampel tetap dilakukan. Estimasi sampel minimal yang dibutuhkan dihitung dengan menggunakan persamaan matematis berikut (Lemeshow et al., 1997):

Formula ini berlaku untuk penalitian cross-sectional yang besaran populasinya diketahui (N). Oleh karena dalam penelitian ini jumlah populasi ibu hamil di Indonesia tidak diketahui, maka persamaan tersebut dimodifikasi sehingga menghasilkan persamaan berikut:

Dalam persamaan tersebut p mewakili proporsi konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia. Untuk memperoleh nilai p dibutuhkan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan penelitian yang dikembangkan. Namun, hasil studi literatur tidak menunjukkan proporsi konsumsi ibu hamil dalam skala nasional, utamanya enhancer dan inhibitor zat besi. Sebagai alternatif solusi jika nilai p tidak ditemukan, maka dilakukan maximal estimation dengan menetapkan nilai p sebesar 0,5. Dengan demikian, besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:

(52)

39

Keterangan:

n = Besar sampel

=

Standar normal deviasi untuk α = 95% = 1,96

p = Proporsi konsumsi zat besi, enhancer dan inhibitor zat besi ibu hamil d = Presisi absolut yang ditetapkan sebesar 0,05

Untuk mengantisipasi adanya data yang tidak lengkap dan dieksklusi, maka estimasi penambahan sebanyak 10% digunakan untuk koreksi jumlah sampel. Adapun persamaan yang digunakan adalah:

Keterangan:

n’ = Besar sampel setelah dikoreksi

n = Jumlah sampel berdasarkan perkiraan sebelumnya

1 – f = Prediksi persentase drop out yang ditetapkan sebesar 10%

Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah ibu hamil yang berhasil dikunjungi dan diwawancarai dalam laporan SDT lebih besar dibandingkan dengan perhitungan besar sampel. Dengan demikian, jumlah sampel yang akan dianalisis dalam penelitian ini dianggap cukup dengan tetap mempertimbangkan adanya kemungkinan data dieksklusi.

(53)

40

Karakterisitik subjek yang akan dimasukkan dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penetapan kriteria inklusi dan eksklusi berdasarkan pada tujuan penelitian, kelemahan penelitian, dan variabel luar yang potensial mengganggu hasil penelitian. Berikut kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini:

1. Kriteria inklusi a. Ibu hamil

b. Kondisi sehat saat food recall 24 jam 2. Kriteria eksklusi

a. Data food recall 24 jam tidak lengkap

b. Keterangan tempat, rumah tangga, dan individu tidak lengkap

D. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 variabel, yaitu:

1. Variabel Terikat : Konsumsi Zat Besi, Konsumsi Enhancer Zat Besi, dan Konsumsi Inhibitor Zat Besi

(54)

41

E. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel

No. Variabel Definisi Operasional Skala

1 Konsumsi Zat Besi Asupan zat besi ibu hamil dalam 24 jam yang dinyatakan dalam gr dan diperoleh dari hasil food recall 24 jam

Rasio tartrat, sitrat) pada ibu hamil yang dianalisis menggunakan foodlist menurut sumber pangannya yang dikategorikan mengonsumsi jika terdapat ≥1 jenis enhancer zat besi dan tidak mengonsumsi jika tidak ada jenis enhancer zat besi

Nominal ibu hamil yang dianalisis menggunakan foodlist menurut sumber pangannya yang dikategorikan menjadi mengonsumsi jika terdapat ≥1 jenis inhibitor zat besi dan tidak mengonsumsi jika tidak ada jenis inhibitor zat besi

Nominal

6 Karakteristik Sosial Demografi

Usia Usia ibu hamil yang dinyatakan dalam tahun yang dikategorikan menjadi 4 kelompok usia berdasarkan klasifikasi dalam tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Kategori Usia 1: 13-15 tahun Kategori Usia 2: 16-18 tahun Kategori Usia 3: 19-29 tahun Kategori Usia 4: 30-49 tahun

Ordinal

Tingkat Pendidikan Pendidikan formal terakhir yang telah ditamatkan ibu hamil, dikategorikan rendah jika tidak menyelesaikan pendidikan SMA dan tinggi jika menyelesaikan jenjang pendidikan SMA ke atas

Ordinal

Status Pekerjaan Pekerjaan ibu hamil di luar urusan rumah tangga yang dikategorikan menjadi tidak bekerja, bekerja, dan sekolah

Nominal Status Ekonomi Gambaran kondisi ekonomi rumah tangga yang dikategorikan

menjadi terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan teratas besar jika jumlah ART >4 orang

Ordinal

Keberadaan Balita Keberadan balita dalam rumah tangga yang dikategorikan menjadi ada dan tidak ada balita

(55)

42

F. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data

Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dikumpulkan dengan menggunakan instrumen food recall 24 jam. Konsumsi individu dinyatakan dalam gram per jenis makanan dalam 24 jam. Metode recall 24 jam pada prinsipnya dilakukan dengan meminta ART mengingat kembali semua makanan yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu dengan cara probing (penggalian). Teknik recall yang digunakan dalam SDT adalah 5-Step Multiple-Pass Method. Untuk melihat variasi konsumsi, dilakukan kunjungan ulang dan melakukan recall 1 x 24 jam secara purposive sebanyak 3 rumah tangga dalam 1 blok senus.

Pengumpulan data Studi Diet Total (SDT) di tingkat rumah tangga dilakukan dengan metode wawancara secara tatap muka. Kuesioner rumah tangga ditujukan terutama untuk mendapatkan informasi proses penyediaan makanan yang dikonsumsi keluarga, mulai dari sumber bahan makanan diperoleh, proses persiapan sebelum pemasakan, cara pengolahan hingga alat masak dan bahan bakar yang digunakan dalam pemasakan.

Kuesioner konsumsi individu ditujukan terutama untuk mendapatkan informasi jenis dan kuantitas (berat) makanan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga, termasuk minuman, bumbu, suplemen makanan, gula, garam, dan minyak.

Dalam menunjang proses pengumpulan data SDT disediakan pedoman dan alat bantu wawancara, seperti buku foto makanan, konversi bahan makanan matang ke mentah, perhitungan serapan minyak dan garam, perhitungan umur, timbangan makanan dan timbangan berat badan, serta pedoman editing dan entri data di lapangan.

(56)

43

G. Cara Analisis Data

Hasil survei konsusmsi makanan individu dalam SDT berupa data konsumsi zat gizi dan foodlist dianalisis lebih lanjut. Analisis lebih lanjut ditujukan untuk mengidentifikasi konsumsi zat besi beserta enhancer dan inhibitornya. Tingkat konsumsi dinilai menggunakan aplikasi Nutrisurvey yang dikombinasikan dengan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Selanjutnya hasil analisis tingkat konsusmsi akan diolah menggunakan teknik statistik.

Enhancer dan inhibitor zat besi yang diteliti adalah komponen zat gizi yang terdapat dalam aplikasi Nutrisurvey atau TKPI. Berikut enhancer dan inhibitor zat besi yang akan dianalisis:

1. Enhancer zat besi a. Protein

b. Vitamin A c. Vitamin C d. Zinc

2. Inhibitor zat besi a. Kalsium b. Serat

Zat gizi lain yang secara teoritis memiliki pengaruh dalam proses penyerapan zat besi tetap diidentifikasi. Proses analisis dilakukan dengan menggunakan foodlist untuk menggambarkan konsumsi enhancer dan inhibitor zat besi yang lain berdasarkan sumber pangannya.

Data zat gizi yang telah diperoleh melalui aplikasi Nutrisurvey dan TKPI dikombinasikan dengan variabel bebas yang terdapat dalam kuesioner SDT. Variabel bebas yang terdapat dalam kuesioner SDT yang potensial berkontribusi terhadap konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi adalah usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status ekonomi, tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, dan keberadaan balita. Pengolahan data diawali dengan melakukan editing, coding, entry, dan cleaning data.

Proses editing dilakukan pada seluruh data yang sudah terkumpul baik data zat

(57)

44

dan rumah tangga yang bersumber dari data SDT. Hal ini bertujuan untuk melihat lengkap tidaknya data dan logis tidaknya jawaban. Tahap berikutnya adalah proses coding dimana pada proses ini dipergunakan code book SKMI dan code book bahan makanan SDT. Proses coding lebih lanjut dilakukan dengan membuat kategori pada variabel usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status ekonomi, tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, dan keberadaan balita sesuai defenisi operasional yang dikembangkan. Selanjutnya pada tahap entry basis data SDT dimodifikasi dengan menghilangkan data hasil food recall dan menggantinya dengan data zat gizi keluaran Nutrisurvey dan TKPI. Pada tahap akhir sebelum analisis statistik dilakukan proses cleaning dengan memeriksa data yang hilang, data yang kurang lengkap, nilai ekstrim, dan nilai yang tidak terdefenisi dari masing-masing variabel. Data yang tidak lolos dalam tahap ini akan dieksklusi dan tidak disertakan dalam tahap analisis.

Analisis statistik dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis univariat

Gambar

Tabel 1. Keaslian Penelitian
Tabel 2. Ambang Batas Nilai Hemoglobin untuk Menentukan Anemia
Gambar 1. Faktor Penyebab Anemia (Sumber: Warrell et al., 2016)
Gambar 2. Kerangka Teori . (2011), Ruel (2008), UNICEF (1990), Arisman (2010), Istiarti (2000), Notoadmodjo (2012), Depkes RI, (2004), Bobak
+7

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DI KELURAHAN SEMANGGI DAN SANGKRAH SURAKARTA.. Latar

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI, VITAMIN C DAN STATUS GIZI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI KELAS X DI SMA NEGERI 1 TERAS KABUPATEN BOYOLALI. Pendahuluan: Asupan

Judul Penelitian : Hubungan antara Asupan Zat Gizi Mikro (Zat Besi, Vitamin B12, dan Vitamin A) dengan Kejadian Anemia pada Siswi SMK Negeri 1 Sukoharjo Jawa Tengah Nama

Hubungan antara Konsumsi Makanan Sumber Zat Besi, Enhancer dan Inhibitor, serta Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) dengan Kejadian Anemia Ibu Hamil

Beberapa interaksi zat besi dengan zat gizi mikro lain, seperti antara zat besi dengan zat seng ( zinc ), vitamin A, tembaga dan vitamin C yang sering dijumpai dalam

Berdasarkan asupan pelancar absorbsi zat besi (vitamin C, vitamin A, protein), pada asupan vitamin C diketahui bahwa remaja putri dengan status Hb berada dalam kategori anemia

Beberapa interaksi zat besi dengan zat gizi mikro lain, seperti antara zat besi dengan zat seng (zinc), vitamin A, tembaga dan vitamin C yang sering dijumpai dalam

Sebaliknya, apabila jumlah zat besi yang disimpan tidak cukup dan perolehan zat besi dalam makanan masih kurang, maka akan terjadi kekurangan zat besi dalam tubuh yang akan