BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Modernisasi Klasik
2.1.1 Motivasi Berprestasi (Need For Achievment) McClelland
McClelland menyatakan bahwa selalu berpikir dan berusaha untuk
menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya,
inilah yang oleh McClelland disebut sebagai motivasi berprestasi atau juga sering
disebut sebagai kebutuhan berprestasi. Setiap orang memiliki waktu luang. Jika
seseorang menggunakan waktu luangnya tersebut untuk kenikmatan hidup, seperti
misalnya untuk tidur dan bersenang-senang, maka orang tersebut memiliki
motivasi berprestasi yang sangat rendah. Namun jika seseorang menghabiskan
waktunya untuk lebih banyak mengenang teman-temannya, keluarga, kegiatan
sosial, pesta dan sebagainya, maka orang tersebut memiliki kebutuhan berprestasi
sangat rendah.
Hanya jika seseorang berpikir tentang bagaimana meningkatkan situasi
sekarang ke arah yang lebih baik, dan hendak melaksanakan tugas-tugas yang
dihadapinya dengan cara yang lebih baik, maka orang itu barulah bisa disebut
memiliki kebutuhan berprestasi yang amat kuat. Pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana mengukur kebutuhan berprestasi ini. Rumusan-rumusan pertanyaan
tertulis bukan merupakan metode yang bagus untuk mengukur motivasi
berprestasi. Karena cara seperti ini memberi peluang seseorang untuk berbohong
tentang motif, kepentingan dan sikapnya. Oleh karena itu, McClelland
Setelah menunjukkan suatu gambar dari pokok penelitiannya kepada
sekelompok orang, McClelland kemudian meminta kepada masing-masing orang
untuk menulis cerita dari gambar yang telah mereka lihat. Dari cerita yang telah
mereka buat ini, McClelland melakukan kebutuhan berprestasi yang dimiliki oleh
masing-masing pembuat cerita. Ia menganggap, bahwa cerita-cerita tersebut
bukan sekadar cerita yang tanpa arti, melainkan merupakan gambaran dari
motivasi mereka melalui media cerita.
Misalnya, setelah ditunjukkan sebuah gambar dari seorang laki-laki yang
melihat sebuah potret di atas sebuah meja kerja, salah seorang sasaran penelitian
menerjemahkannya sebagai seorang yang sedang melamun, yang berpikir tentang
bagaimana ia telah menggunakan masa liburannya dengan keluarganya, dan
sedang merencanakan bagaimana ia hendak menghabiskan masa akhir pekannya
yang akan datang dalam cara yang lebih menarik. Seoarang subjek penelitian yang
lain menerjemahkan gambar yang sama sebagai seorang insinyur yang sedang
bekerja untuk merumuskan sesuatu masalah yang penting tentang bagaimana
membangun sebuah jembatan yang mampu menahan gerak angin yang sangat
tinggi. Dari dua cerita itu nampak jelas, bahwa sasaran penelitian yang menulis
cerita kedua mendapat nilai yang lebih tinggi.
McClelland mengajukan pertanyaan yang menantang untuk melihat sejauh
mana kebutuhan berprestasi ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional
(yang dalam hal ini diukur dengan konsumsi tenaga listrik). Dari hasil penelitian
antar negara, McClelland menemukan, bahwa negara yang memiliki derajat yang
tinggi kebutuhan berprestasinya, juga memiliki derajat yang tinggi pula
pentingnya peran waktu, Muncul, berkembang, dan matinya kebutuhan
berprestasi juga berkaitan dengan muncul, berkembang, dan surutnya
pembangunan ekonomi. Misalnya, sekalipun Inggris raya memiliki skala yang
tinggi dalam kebutuhan berprestasi pada abad ke-19, namun demikian pada tahun
1950 kebutuhan berprestasinya berada di bawah nilai rata-rata. Di lain pihak,
sekalipun Perancis, Rusia dan Jerman memiliki skala rendah dari kebutuhan
berprestasinya pada masa peralihan abad dua puluh, namun sejak tahun 1950-an,
Amerika Serikat memiliki kebutuhan berprestasi yang kurang lebih sama dengan
Uni Soviet, namun demikian sekarang nilai kebutuhan berprestasi Uni Soviet
sedang berada pada pasang naik, sementara Amerika Serikat sedang berada pada
pasang surut. McClelland menyatakan, bahwa diperlukan setidaknya sekitar lima
puluh tahun untuk menyamakan kecenderungan antara pembangunan ekonomi
negara dengan kecenderungan meningkatnya kebutuhan berprestasi.
McClelland mencari cara untuk menaikkan skala kebutuhan berprestasi.
Sebagai ahli psikologi, McClelland cenderung untuk mendeteksinya dari
lingkungan keluarga, khususnya pada tahapan proses pembimbingan anak-anak.
Pertama, orangtua hendaknya menentukan standar motivasi yang tinggi pada
anak-anaknya, misalnya melalui pengharapan agar anaknya memiliki prestasi
yang gemilang di sekolah, kemudian memiliki pekerjaan yang mapan dan menjadi
dikenal di masyarakat. Kedua, hendaknya orang tua lebih menggunakan metode
memberikan dorongan dan hubungan yang hangat dalam sosialisasi dengan
anak-anak mereka. Orang tua hendaknya memberikan dorongan dan perhatian yang
cukup dan memberikan ganjaran yang memadai jika memang anak-anak mereka
mereka. Ketiga, orang tua hendaknya tidak bersikap otoriter. Mereka tidak
diharapkan memanjakan atau berinisiatif sendiri demi kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan oleh anak-anaknya, akan tetapi justru sebaliknya, mereka hendaknya
memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk mengambil inisiatif dan
menentukan cara-caranya sendiri untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya.
Lebih dari itu, McClelland menunjuk, bahwa cara-cara pendidikan Barat dan
penyebaran budayanya akan sangat membantu negara Barat untuk menanamkan
tumbuh dan berkembangnya kebutuhan berprestasi di negara-negara dunia ketiga.
Kebijaksanaan yang ditimbulkan dari hasil kajian ini, misalnya terlihat
pada upaya-upaya untuk meningkatkan motivasi berprestasi dari para
wiraswastaan negara Dunia Ketiga, jika memang negara Dunia Ketiga hendak
membangun ekonominya. Bantuan keuangan, teknologi dan saran-sarana
kebijaksanaa yang diberikan oleh Amerika Serikat pada negara Dunia Ketiga
tidak mencukupi, dan tidak akan mampu membangkitkan gairah pembangunan
ekonomi pembangunan ekonomi negara Dunia Ketiga tersebut. Bagi McClelland,
negara Dunia Ketiga seharusnya mempunyai sekelompok wiraswastaan yang
memiliki kebutuhan tinggi untuk berprestasi yang diharapkan mampu untuk
mengubah bantuan asing menjadi investasi produktif. Selain itu, bahwa semakin
tinggi interaksi negara Dunia Ketiga dengan negara Barat dengan jalan pendidikan
atau pengenalan budaya, maka akan semakin mempermudah dan mempercepat
negara Dunia Ketiga untuk menyerap ciri-ciri motivasi berprestasi tinggi yang
dimiliki oleh negara Barat.
McCleland mengemukakan 6 karakteristik orang yang mempunyai
1. Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi,
2. Berani mengambil dan memikul resiko,
3. Memiliki tujuan realistik,
4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk
merealisasikan tujuan,
5. Memanfaatkan umpan balik yang konkrit dalam semua kegiatan
yang dilakukan,
6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah
diprogramkan
Dalam Mc Clelland Achievment Motivation Theory atau
teori motivasi berprestasi, Mc Clelland mengemukakan
pendapatnya bahwa individu mempunyai cadangan energi
potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan
tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan
situasi serta peluang yang tersedia.
Teori motivasi prestasi ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu
1. Kebutuhan akan prestasi
2. Kebutuhan akan kekuasaan
3. Kebutuhan akan afiliasi
Berikut penjelasan teori diatas :
1. Kebutuhan akan prestasi
Kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk
mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat
menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima
resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan
umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan untuk
mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.
2. Kebutuhan akan kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk
membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana
orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku
demikian atau suatu bentuk ekspresi dan individu untuk
mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Mc Clelland
menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat
berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu
posisi dalam kepemimpinan
3. Kebutuhan untuk berafiliasi
Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat adalah hasrat untuk
berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan
keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh
sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai
kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang
memerlukan interaksi sosial yang tinggi. Mc Clelland mengatakan bahwa
kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya
akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola
2.1.2 Alex Inkeles (Manusia Modern)
Penelitian lain dari teori modernisasi klasik yang juga amat populer dapat
dijumpai pada proyek penelitian yang dikerjakan oleh Inkeles yang kemudian
melahirkan berbagai buku dan artikel tentang ide “manusia modern”. Untuk
keperluan ini, Inkeles memusatkan perhatiannya pada usaha untuk mencari jawab
dari dua pertanyaan pokok yang telah ia rumuskan; yakni, pertama, apa akibat
yang ditimbulkan oleh modernisasi terhadap sikap, nilai dan pandangan hidup
seseorang; dan kedua, apakah negara dunia ketiga akan memiliki sikap hidup yang
lebih modern dibanding dengan masa sebelumnya, jika negara dunia ketiga
tersebut berinteraksi dengan negara Barat yang telah memiliki sikap dan
pandangan hidup modern terlebih dahulu.
Menurut Inkeles, manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik
pokok sebagai berikut ini :
Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern
selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru;
Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap
berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orang tua, kepala suku (etnis),
dan raja;
Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya
akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta;
Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang
Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu
merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan
mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya;.
Manusia modern menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi pada
masa depan dibanding masa lalu
Percaya diri
Perhitungan
Menghargai harkat hidup manusia lain
Ciri-ciri tersebut oleh Inkeles difokuskan menjadi pertanyaan futuristik, yaitu
apa yang membuat manusia modern merumuskan faktor-faktor pokok yang
mengakibatkan manusia negara Dunia Ketiga mampu menyerap nilai dan pranata
sosial modern. Dari pertanyaan itu muncul pokok-pokok pikiran, yaitu pertama,
bahwa pendidikan merupakan faktor yang terpenting yang mencirikan manusia
modern. Satu tahun pendidikan mampu menaikkan dua sampai tiga poin skala
modernisasi dari nol sampai seratus. Lebih jauh, bahwa kurikulum teknis seperti
Matematika, Kimia, Biologi, bukan merupakan faktor yang bertanggungjawab
terhadap penyerapan nilai dan pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justru
kurikulum informal, seperti misalnya kecenderungan tenaga pengajar pada
nilai-nilai Barat, pemakaian buku-buku Barat, dan melihat film-film Barat, membantu
penyeraan nilai-nilai modern.
Pertanyaan yang diajukan Inkeles yang berkaitan dengan pengujian, apakah
ada akibat ketegangan psikologis dari manusia negara Dunia Ketiga setelah
mengalami modernisasi. Menurut Inkeles, literatur yang membahas modernisasi
akibat negatif modernisasi, seperti misalnya disorganisasi sosial, demoralisasi
kepribadian, penyimpangan kepribadian dan alienasi. Secara khusus, penekanan
akibat negatif modernisasi ini nampak terlihat jelas pada teori fungsionalisme dari
Parsons yang lebih memilih pada cara perubahan sosial negara Dunia Ketiga
dengan lambat, tetapi terus menerus ketimbang perubahan sosial yang cepat dan
mendadak. Namun demikian, menurut Inkeles dengan mendasarkan diri pada tes
Psychosomatic Symptomnya , ia tidak mempunyai indikator akan adanya
perbedaan ketegangan psikologis antara manusia modern dan manusia tidak
modern di negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, Inkeles mengambil kesimpulan,
bahwa modernisasi tidak akan mengakibatkan munculnya ketegangan psikologis
dari manusia-manusia negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, manusia modern
tidak akan menunjukkan gejala yang lebih dibanding manusia tidak modern dari
ketegangan atau penyakit psikologis lainnya yang mungkin dialami.
Gejala yang ditimbulkan akibat dari modernisasi berdampak ke berbagai
bidang, di bidang budaya ditandai dengan makin terdesaknya budaya tradisional
oleh budaya asing, di bidang politik, semakin banyak negara yang lepas dari
jajahannya, di Indonesia modernisasi politik mengalami perkembangan pasang
surut. Perkembangan itu dimulai dengan bentuk demokrasi liberal, demokrasi
terpimpin, dan demokrasi pancasila. Keberhasilan pembangunan politik semakin
memantapkan tatanan kehidupan politik dan kenegaraan yang berdasarkan
demokrasi pancasila, memantapkan perkembngan organisasi sosial kesadaran
berpolitik rakyat, namun pendidikan politik pun harus lebih ditingkatkan agar
rakyat makin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sementara
Upaya-upaya agar kehidupan ekonomi dapat mendukung modernisasi antara lain
mengembangkan persaingan, memberdayakan pengusaha kecil, serta
mengembangkan hubungan kemitraan, sementara gejala yang ditimbulkan di
bidang sosial yaitu semakin banyaknya kelompok baru yang muncul.
2.2 Tindakan Sosial dalam Teori Perspektif Talcott Parson
Teori Parson yang sifatnya umum mengenai tindakan sosial (dalam Johson,
1986:113) menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan
individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif bersama. Hal ini berlaku untuk
tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan-tujuan itu juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang pada
dasarnya ada pengaturan normatifnya.
Prinsip- prinsip dasar ini menurut Parson bersifat universal dan
mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial
budaya tertentu. Meskipun suatu dasar kokoh bagi prinsip-prinsip universal itu
penting sebagai titik tolak, tujuan akhir setiap teori ilmiah adalah untuk
menjelaskan variasi-variasi yang terdapat dalam gejala-gejala yang sedang
diperhatikan. Untuk mencapai tujuan ini, penting untuk membentuk suatu strategi
dalam mengidentifikasi elemen-elemen dasar yang membentuk suatu gejala dan
untuk mengembangkan seperangkat kategori untuk mengklasifikasi tipe-tipe
kasus yang berbeda.
Dalam buku parsons yang berjudul Toward A General Theory Of Action
(dalam Jhonson, 1986:144) meliputi pembangunan berbagai kategori dalam
sistem-sistem klasifikasi ini, variabel berpola mungkin yang paling banyak dikenal dan
sering dikutip. Tetapi variabel ini harus dilihat dalam konteks kerangka Parson
yang sifatnya lebih umum. Dalam kerangka umum itu, orientasi orang yang
bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar yaitu, orientasi motivasional dan
orientasi nilai.
Orientasi motivasional merupakan orientasi yang bersifat individu yang
menunjuk kepada keinginan individu yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan yang dimaksud menyangkut kepuasan jangka panjang dan
kepuasan jangka pendek atau dengan kata lain tujuan utama yang ingin dipenuhi
dapat memperbesar kepuasan dan memperkecil kekecewaan. Satu segi dari
permasalahan ini adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan
langsung yang memberikan kepuasan dengan tujuan jangka panjang (yang sering
menuntut pembatalan pemuasan). Orientasi nilai yang bersifat sosial merupakan
orientasi yang menunjuk pada standar-standar normatif (yang membedakan baik
atau buruk, benar atau salah) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan
kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda dalam wujud agama atau tradisi
setempat (Jhonson, 1986:114).
Masing-masing elemen dalam orientasi individu selanjutnya dibagi lagi ke
dalam tiga dimensi yang berbeda-beda, masing-masing ada dalam setiap orientasi
individu. Dimensi itu adalah sebagai berikut :
2.2.3 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-Variabel
Teori Parson yang sifatnya umum (action theory) mengenai tindakan sosial
menekankan orientasi subjektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu.
pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif
bersama (Doyle, 1986 : 113). Dalam kerangka umum itu, orientasi orang yang
bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar, antara lain :
a. Orientasi motivasional (motivasional orientation)
Orientasi motivasional menunjuk kepada keinginan
individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasan dan
mengurangi kekecewaan dan terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Dimensi Kognitif
Dimensi Kognitif dalam orientasi motivasional pada
dasarnya menunjuk kepada pengetahuan orang yang bertindak
mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan dengan
kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan
kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara
rangsangan-rangsangan dan membuat generalisasi dari suatu rangsangan-rangsangan
dengan rangsangan lainnya.
2. Dimensi katektik
Dimensi katektik dalam orientasi motivasional menunjuk
pada orientasi efektif atau emosional orang yang bertindak
terhadap situasi atau berbagai aspek di dalamnya, ini juga
mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang
memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen dalam
sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif
terhadap aspek-aspek dalam lingkungan yang mengecewakan.
3. Dimensi evaluatif
Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional menunjuk
pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektik
secara alternatif. Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan
tujuan, dan kebanyakan situasi, ada kemungkinan banyak
interpretasi kognitif dan reaksi katektik.
Kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari
alternatif ini merupakan dimensi evaluatif. Sebagai ilustrasi,
sebuah piring yang penuh dengan makanan berkalori dapat
diinterpretasikan sebagai satu pesta dimana orang
bersenang-senang, atau hal yang menyebabkan kegemukan yang harus
dihindari, reaksi mana yang diambil akan mencerminkan prioritas
kebutuhan untuk memuaskan keinginan atau makanan dan
kebutuhan untuk mengontrol kegemukan (Jhonson, 1986 :
114-116).
b. Orientasi Nilai (Value Orientation)
Orientasi nilai menunjuk kepada standar normatif umum,
bukan keputusan dalam orientasi tertentu. Standar normatif yang
mengendalikan pilihan-pilihan individu atau alat dan tujuan serta
prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan
tujuan-tujuan yang berbeda. Orientasi nilai terbagi menjadi tiga :
Dalam orientasi nilai menunjuk kepada standar-standar
yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai
interpretasi kognitif mengenai situasi. Kaum ilmuan misalnya,
tidak akan menerima penjelasan yang bersifat magis mengenai
alam.
2. Dimensi Apresiatif
Menunjuk kepada standar yang tercakup dalam
pengungkapan perasaan atau keterlibatan afektif, misalnya :
diharapkan untuk mencintai anak-anaknya, tetapi tidak
pada akhirnya mengekang kebebasan mereka.
3. Dimensi Moral
Menunjuk pada standar-standar abstrak yang
digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif
menurut implikasinya, baik individual maupun sosial,
dimana tindakan itu berakar. Orientasi nilai keseluruhan
mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi
motivasional (Jhonson, 1986 : 114-116).
Ketiga dimensi orientasi nilai itu mencerminkan
pola-pola budaya yang diresapi individu, sistem
kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem
budaya dan orientasi subyektif individu. Dimensi ini dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem
dengan sistem budaya yang berhubungan dengan sistem
budaya dalam orientasi nilai.
Meskipun dimensi kognitif, katektik dan evaluatif
selalu ada dalam orientasi individu, mungkin ada variasi
menurut prioritasnya. Kalau dimensi kognitif mendapatkan
prioritas, tipe tindakan yang dihasilkan berupa kegiatan
intelektual, kegiatan ekspresif akan muncul kalau dimensi
katektik yang diprioritaskan, dan kalau dimensi evaluatif
yang diprioritaskan hasilnya akan berupa tindakan moral.
Seperti halnya dengan berbagai dimensi orientasi
tindakan individu diklasifikasikan secara sistematis, begitu
pula halnya dengan berbagai dimensi situasi, pembedaan
yang fundamental adalah antara benda-benda non sosial
dan yang sosial. Benda-benda non sosial itu adalah
individu-individu lainnya maupun kolektivitas-kolektivitas
dengan siapa orang itu berinteraksi. Tekanan dalam analisa
Parson adalah orientasi pada orang lain dengan siapa