• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Penerima Beasiswa PPA, BBM dan Bidikmisi di FISIP USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Penerima Beasiswa PPA, BBM dan Bidikmisi di FISIP USU"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Modernisasi Klasik

2.1.1 Motivasi Berprestasi (Need For Achievment) McClelland

McClelland menyatakan bahwa selalu berpikir dan berusaha untuk

menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya,

inilah yang oleh McClelland disebut sebagai motivasi berprestasi atau juga sering

disebut sebagai kebutuhan berprestasi. Setiap orang memiliki waktu luang. Jika

seseorang menggunakan waktu luangnya tersebut untuk kenikmatan hidup, seperti

misalnya untuk tidur dan bersenang-senang, maka orang tersebut memiliki

motivasi berprestasi yang sangat rendah. Namun jika seseorang menghabiskan

waktunya untuk lebih banyak mengenang teman-temannya, keluarga, kegiatan

sosial, pesta dan sebagainya, maka orang tersebut memiliki kebutuhan berprestasi

sangat rendah.

Hanya jika seseorang berpikir tentang bagaimana meningkatkan situasi

sekarang ke arah yang lebih baik, dan hendak melaksanakan tugas-tugas yang

dihadapinya dengan cara yang lebih baik, maka orang itu barulah bisa disebut

memiliki kebutuhan berprestasi yang amat kuat. Pertanyaan yang muncul adalah

bagaimana mengukur kebutuhan berprestasi ini. Rumusan-rumusan pertanyaan

tertulis bukan merupakan metode yang bagus untuk mengukur motivasi

berprestasi. Karena cara seperti ini memberi peluang seseorang untuk berbohong

tentang motif, kepentingan dan sikapnya. Oleh karena itu, McClelland

(2)

Setelah menunjukkan suatu gambar dari pokok penelitiannya kepada

sekelompok orang, McClelland kemudian meminta kepada masing-masing orang

untuk menulis cerita dari gambar yang telah mereka lihat. Dari cerita yang telah

mereka buat ini, McClelland melakukan kebutuhan berprestasi yang dimiliki oleh

masing-masing pembuat cerita. Ia menganggap, bahwa cerita-cerita tersebut

bukan sekadar cerita yang tanpa arti, melainkan merupakan gambaran dari

motivasi mereka melalui media cerita.

Misalnya, setelah ditunjukkan sebuah gambar dari seorang laki-laki yang

melihat sebuah potret di atas sebuah meja kerja, salah seorang sasaran penelitian

menerjemahkannya sebagai seorang yang sedang melamun, yang berpikir tentang

bagaimana ia telah menggunakan masa liburannya dengan keluarganya, dan

sedang merencanakan bagaimana ia hendak menghabiskan masa akhir pekannya

yang akan datang dalam cara yang lebih menarik. Seoarang subjek penelitian yang

lain menerjemahkan gambar yang sama sebagai seorang insinyur yang sedang

bekerja untuk merumuskan sesuatu masalah yang penting tentang bagaimana

membangun sebuah jembatan yang mampu menahan gerak angin yang sangat

tinggi. Dari dua cerita itu nampak jelas, bahwa sasaran penelitian yang menulis

cerita kedua mendapat nilai yang lebih tinggi.

McClelland mengajukan pertanyaan yang menantang untuk melihat sejauh

mana kebutuhan berprestasi ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional

(yang dalam hal ini diukur dengan konsumsi tenaga listrik). Dari hasil penelitian

antar negara, McClelland menemukan, bahwa negara yang memiliki derajat yang

tinggi kebutuhan berprestasinya, juga memiliki derajat yang tinggi pula

(3)

pentingnya peran waktu, Muncul, berkembang, dan matinya kebutuhan

berprestasi juga berkaitan dengan muncul, berkembang, dan surutnya

pembangunan ekonomi. Misalnya, sekalipun Inggris raya memiliki skala yang

tinggi dalam kebutuhan berprestasi pada abad ke-19, namun demikian pada tahun

1950 kebutuhan berprestasinya berada di bawah nilai rata-rata. Di lain pihak,

sekalipun Perancis, Rusia dan Jerman memiliki skala rendah dari kebutuhan

berprestasinya pada masa peralihan abad dua puluh, namun sejak tahun 1950-an,

Amerika Serikat memiliki kebutuhan berprestasi yang kurang lebih sama dengan

Uni Soviet, namun demikian sekarang nilai kebutuhan berprestasi Uni Soviet

sedang berada pada pasang naik, sementara Amerika Serikat sedang berada pada

pasang surut. McClelland menyatakan, bahwa diperlukan setidaknya sekitar lima

puluh tahun untuk menyamakan kecenderungan antara pembangunan ekonomi

negara dengan kecenderungan meningkatnya kebutuhan berprestasi.

McClelland mencari cara untuk menaikkan skala kebutuhan berprestasi.

Sebagai ahli psikologi, McClelland cenderung untuk mendeteksinya dari

lingkungan keluarga, khususnya pada tahapan proses pembimbingan anak-anak.

Pertama, orangtua hendaknya menentukan standar motivasi yang tinggi pada

anak-anaknya, misalnya melalui pengharapan agar anaknya memiliki prestasi

yang gemilang di sekolah, kemudian memiliki pekerjaan yang mapan dan menjadi

dikenal di masyarakat. Kedua, hendaknya orang tua lebih menggunakan metode

memberikan dorongan dan hubungan yang hangat dalam sosialisasi dengan

anak-anak mereka. Orang tua hendaknya memberikan dorongan dan perhatian yang

cukup dan memberikan ganjaran yang memadai jika memang anak-anak mereka

(4)

mereka. Ketiga, orang tua hendaknya tidak bersikap otoriter. Mereka tidak

diharapkan memanjakan atau berinisiatif sendiri demi kebutuhan-kebutuhan yang

diperlukan oleh anak-anaknya, akan tetapi justru sebaliknya, mereka hendaknya

memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk mengambil inisiatif dan

menentukan cara-caranya sendiri untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya.

Lebih dari itu, McClelland menunjuk, bahwa cara-cara pendidikan Barat dan

penyebaran budayanya akan sangat membantu negara Barat untuk menanamkan

tumbuh dan berkembangnya kebutuhan berprestasi di negara-negara dunia ketiga.

Kebijaksanaan yang ditimbulkan dari hasil kajian ini, misalnya terlihat

pada upaya-upaya untuk meningkatkan motivasi berprestasi dari para

wiraswastaan negara Dunia Ketiga, jika memang negara Dunia Ketiga hendak

membangun ekonominya. Bantuan keuangan, teknologi dan saran-sarana

kebijaksanaa yang diberikan oleh Amerika Serikat pada negara Dunia Ketiga

tidak mencukupi, dan tidak akan mampu membangkitkan gairah pembangunan

ekonomi pembangunan ekonomi negara Dunia Ketiga tersebut. Bagi McClelland,

negara Dunia Ketiga seharusnya mempunyai sekelompok wiraswastaan yang

memiliki kebutuhan tinggi untuk berprestasi yang diharapkan mampu untuk

mengubah bantuan asing menjadi investasi produktif. Selain itu, bahwa semakin

tinggi interaksi negara Dunia Ketiga dengan negara Barat dengan jalan pendidikan

atau pengenalan budaya, maka akan semakin mempermudah dan mempercepat

negara Dunia Ketiga untuk menyerap ciri-ciri motivasi berprestasi tinggi yang

dimiliki oleh negara Barat.

McCleland mengemukakan 6 karakteristik orang yang mempunyai

(5)

1. Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi,

2. Berani mengambil dan memikul resiko,

3. Memiliki tujuan realistik,

4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk

merealisasikan tujuan,

5. Memanfaatkan umpan balik yang konkrit dalam semua kegiatan

yang dilakukan,

6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah

diprogramkan

Dalam Mc Clelland Achievment Motivation Theory atau

teori motivasi berprestasi, Mc Clelland mengemukakan

pendapatnya bahwa individu mempunyai cadangan energi

potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan

tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan

situasi serta peluang yang tersedia.

Teori motivasi prestasi ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu

1. Kebutuhan akan prestasi

2. Kebutuhan akan kekuasaan

3. Kebutuhan akan afiliasi

Berikut penjelasan teori diatas :

1. Kebutuhan akan prestasi

Kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk

mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat

(6)

menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima

resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan

umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan untuk

mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.

2. Kebutuhan akan kekuasaan

Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk

membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana

orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku

demikian atau suatu bentuk ekspresi dan individu untuk

mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Mc Clelland

menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat

berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu

posisi dalam kepemimpinan

3. Kebutuhan untuk berafiliasi

Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat adalah hasrat untuk

berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan

keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh

sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai

kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang

memerlukan interaksi sosial yang tinggi. Mc Clelland mengatakan bahwa

kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya

akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola

(7)

2.1.2 Alex Inkeles (Manusia Modern)

Penelitian lain dari teori modernisasi klasik yang juga amat populer dapat

dijumpai pada proyek penelitian yang dikerjakan oleh Inkeles yang kemudian

melahirkan berbagai buku dan artikel tentang ide “manusia modern”. Untuk

keperluan ini, Inkeles memusatkan perhatiannya pada usaha untuk mencari jawab

dari dua pertanyaan pokok yang telah ia rumuskan; yakni, pertama, apa akibat

yang ditimbulkan oleh modernisasi terhadap sikap, nilai dan pandangan hidup

seseorang; dan kedua, apakah negara dunia ketiga akan memiliki sikap hidup yang

lebih modern dibanding dengan masa sebelumnya, jika negara dunia ketiga

tersebut berinteraksi dengan negara Barat yang telah memiliki sikap dan

pandangan hidup modern terlebih dahulu.

Menurut Inkeles, manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik

pokok sebagai berikut ini :

 Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern

selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru;

 Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap

berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orang tua, kepala suku (etnis),

dan raja;

 Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya

akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta;

 Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang

(8)

 Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu

merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan

mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya;.

 Manusia modern menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi pada

masa depan dibanding masa lalu

 Percaya diri

 Perhitungan

 Menghargai harkat hidup manusia lain

Ciri-ciri tersebut oleh Inkeles difokuskan menjadi pertanyaan futuristik, yaitu

apa yang membuat manusia modern merumuskan faktor-faktor pokok yang

mengakibatkan manusia negara Dunia Ketiga mampu menyerap nilai dan pranata

sosial modern. Dari pertanyaan itu muncul pokok-pokok pikiran, yaitu pertama,

bahwa pendidikan merupakan faktor yang terpenting yang mencirikan manusia

modern. Satu tahun pendidikan mampu menaikkan dua sampai tiga poin skala

modernisasi dari nol sampai seratus. Lebih jauh, bahwa kurikulum teknis seperti

Matematika, Kimia, Biologi, bukan merupakan faktor yang bertanggungjawab

terhadap penyerapan nilai dan pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justru

kurikulum informal, seperti misalnya kecenderungan tenaga pengajar pada

nilai-nilai Barat, pemakaian buku-buku Barat, dan melihat film-film Barat, membantu

penyeraan nilai-nilai modern.

Pertanyaan yang diajukan Inkeles yang berkaitan dengan pengujian, apakah

ada akibat ketegangan psikologis dari manusia negara Dunia Ketiga setelah

mengalami modernisasi. Menurut Inkeles, literatur yang membahas modernisasi

(9)

akibat negatif modernisasi, seperti misalnya disorganisasi sosial, demoralisasi

kepribadian, penyimpangan kepribadian dan alienasi. Secara khusus, penekanan

akibat negatif modernisasi ini nampak terlihat jelas pada teori fungsionalisme dari

Parsons yang lebih memilih pada cara perubahan sosial negara Dunia Ketiga

dengan lambat, tetapi terus menerus ketimbang perubahan sosial yang cepat dan

mendadak. Namun demikian, menurut Inkeles dengan mendasarkan diri pada tes

Psychosomatic Symptomnya , ia tidak mempunyai indikator akan adanya

perbedaan ketegangan psikologis antara manusia modern dan manusia tidak

modern di negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, Inkeles mengambil kesimpulan,

bahwa modernisasi tidak akan mengakibatkan munculnya ketegangan psikologis

dari manusia-manusia negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, manusia modern

tidak akan menunjukkan gejala yang lebih dibanding manusia tidak modern dari

ketegangan atau penyakit psikologis lainnya yang mungkin dialami.

Gejala yang ditimbulkan akibat dari modernisasi berdampak ke berbagai

bidang, di bidang budaya ditandai dengan makin terdesaknya budaya tradisional

oleh budaya asing, di bidang politik, semakin banyak negara yang lepas dari

jajahannya, di Indonesia modernisasi politik mengalami perkembangan pasang

surut. Perkembangan itu dimulai dengan bentuk demokrasi liberal, demokrasi

terpimpin, dan demokrasi pancasila. Keberhasilan pembangunan politik semakin

memantapkan tatanan kehidupan politik dan kenegaraan yang berdasarkan

demokrasi pancasila, memantapkan perkembngan organisasi sosial kesadaran

berpolitik rakyat, namun pendidikan politik pun harus lebih ditingkatkan agar

rakyat makin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sementara

(10)

Upaya-upaya agar kehidupan ekonomi dapat mendukung modernisasi antara lain

mengembangkan persaingan, memberdayakan pengusaha kecil, serta

mengembangkan hubungan kemitraan, sementara gejala yang ditimbulkan di

bidang sosial yaitu semakin banyaknya kelompok baru yang muncul.

2.2 Tindakan Sosial dalam Teori Perspektif Talcott Parson

Teori Parson yang sifatnya umum mengenai tindakan sosial (dalam Johson,

1986:113) menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan

individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif bersama. Hal ini berlaku untuk

tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk

mencapai tujuan-tujuan itu juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang pada

dasarnya ada pengaturan normatifnya.

Prinsip- prinsip dasar ini menurut Parson bersifat universal dan

mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial

budaya tertentu. Meskipun suatu dasar kokoh bagi prinsip-prinsip universal itu

penting sebagai titik tolak, tujuan akhir setiap teori ilmiah adalah untuk

menjelaskan variasi-variasi yang terdapat dalam gejala-gejala yang sedang

diperhatikan. Untuk mencapai tujuan ini, penting untuk membentuk suatu strategi

dalam mengidentifikasi elemen-elemen dasar yang membentuk suatu gejala dan

untuk mengembangkan seperangkat kategori untuk mengklasifikasi tipe-tipe

kasus yang berbeda.

Dalam buku parsons yang berjudul Toward A General Theory Of Action

(dalam Jhonson, 1986:144) meliputi pembangunan berbagai kategori dalam

(11)

sistem-sistem klasifikasi ini, variabel berpola mungkin yang paling banyak dikenal dan

sering dikutip. Tetapi variabel ini harus dilihat dalam konteks kerangka Parson

yang sifatnya lebih umum. Dalam kerangka umum itu, orientasi orang yang

bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar yaitu, orientasi motivasional dan

orientasi nilai.

Orientasi motivasional merupakan orientasi yang bersifat individu yang

menunjuk kepada keinginan individu yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Kebutuhan yang dimaksud menyangkut kepuasan jangka panjang dan

kepuasan jangka pendek atau dengan kata lain tujuan utama yang ingin dipenuhi

dapat memperbesar kepuasan dan memperkecil kekecewaan. Satu segi dari

permasalahan ini adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan

langsung yang memberikan kepuasan dengan tujuan jangka panjang (yang sering

menuntut pembatalan pemuasan). Orientasi nilai yang bersifat sosial merupakan

orientasi yang menunjuk pada standar-standar normatif (yang membedakan baik

atau buruk, benar atau salah) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan

kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda dalam wujud agama atau tradisi

setempat (Jhonson, 1986:114).

Masing-masing elemen dalam orientasi individu selanjutnya dibagi lagi ke

dalam tiga dimensi yang berbeda-beda, masing-masing ada dalam setiap orientasi

individu. Dimensi itu adalah sebagai berikut :

2.2.3 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-Variabel

(12)

Teori Parson yang sifatnya umum (action theory) mengenai tindakan sosial

menekankan orientasi subjektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu.

pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif

bersama (Doyle, 1986 : 113). Dalam kerangka umum itu, orientasi orang yang

bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar, antara lain :

a. Orientasi motivasional (motivasional orientation)

Orientasi motivasional menunjuk kepada keinginan

individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasan dan

mengurangi kekecewaan dan terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Dimensi Kognitif

Dimensi Kognitif dalam orientasi motivasional pada

dasarnya menunjuk kepada pengetahuan orang yang bertindak

mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan dengan

kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan

kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara

rangsangan-rangsangan dan membuat generalisasi dari suatu rangsangan-rangsangan

dengan rangsangan lainnya.

2. Dimensi katektik

Dimensi katektik dalam orientasi motivasional menunjuk

pada orientasi efektif atau emosional orang yang bertindak

terhadap situasi atau berbagai aspek di dalamnya, ini juga

mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang

memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen dalam

(13)

sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif

terhadap aspek-aspek dalam lingkungan yang mengecewakan.

3. Dimensi evaluatif

Dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional menunjuk

pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektik

secara alternatif. Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan

tujuan, dan kebanyakan situasi, ada kemungkinan banyak

interpretasi kognitif dan reaksi katektik.

Kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari

alternatif ini merupakan dimensi evaluatif. Sebagai ilustrasi,

sebuah piring yang penuh dengan makanan berkalori dapat

diinterpretasikan sebagai satu pesta dimana orang

bersenang-senang, atau hal yang menyebabkan kegemukan yang harus

dihindari, reaksi mana yang diambil akan mencerminkan prioritas

kebutuhan untuk memuaskan keinginan atau makanan dan

kebutuhan untuk mengontrol kegemukan (Jhonson, 1986 :

114-116).

b. Orientasi Nilai (Value Orientation)

Orientasi nilai menunjuk kepada standar normatif umum,

bukan keputusan dalam orientasi tertentu. Standar normatif yang

mengendalikan pilihan-pilihan individu atau alat dan tujuan serta

prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan

tujuan-tujuan yang berbeda. Orientasi nilai terbagi menjadi tiga :

(14)

Dalam orientasi nilai menunjuk kepada standar-standar

yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai

interpretasi kognitif mengenai situasi. Kaum ilmuan misalnya,

tidak akan menerima penjelasan yang bersifat magis mengenai

alam.

2. Dimensi Apresiatif

Menunjuk kepada standar yang tercakup dalam

pengungkapan perasaan atau keterlibatan afektif, misalnya :

diharapkan untuk mencintai anak-anaknya, tetapi tidak

pada akhirnya mengekang kebebasan mereka.

3. Dimensi Moral

Menunjuk pada standar-standar abstrak yang

digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif

menurut implikasinya, baik individual maupun sosial,

dimana tindakan itu berakar. Orientasi nilai keseluruhan

mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi

motivasional (Jhonson, 1986 : 114-116).

Ketiga dimensi orientasi nilai itu mencerminkan

pola-pola budaya yang diresapi individu, sistem

kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan sistem

budaya dan orientasi subyektif individu. Dimensi ini dapat

digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem

(15)

dengan sistem budaya yang berhubungan dengan sistem

budaya dalam orientasi nilai.

Meskipun dimensi kognitif, katektik dan evaluatif

selalu ada dalam orientasi individu, mungkin ada variasi

menurut prioritasnya. Kalau dimensi kognitif mendapatkan

prioritas, tipe tindakan yang dihasilkan berupa kegiatan

intelektual, kegiatan ekspresif akan muncul kalau dimensi

katektik yang diprioritaskan, dan kalau dimensi evaluatif

yang diprioritaskan hasilnya akan berupa tindakan moral.

Seperti halnya dengan berbagai dimensi orientasi

tindakan individu diklasifikasikan secara sistematis, begitu

pula halnya dengan berbagai dimensi situasi, pembedaan

yang fundamental adalah antara benda-benda non sosial

dan yang sosial. Benda-benda non sosial itu adalah

individu-individu lainnya maupun kolektivitas-kolektivitas

dengan siapa orang itu berinteraksi. Tekanan dalam analisa

Parson adalah orientasi pada orang lain dengan siapa

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tahapan dan perubahan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen

Properti yang digunakan untuk gerakan tari yang menirukan “Burung” adalah ….. Pada umumnya bahan pembuatan kerangka layangan adalah dari

Bari sila sisi jalan Kadupak ku anu lolong Anu keur barang siar Neangan sandang pangan Anu lolong gebut labuh Nu kadupak katindihan.. Ku saha kadupakna jalma anu lumpuh

Keberhasilan penggunaan wayang kartun de- ngan tujuan meningkatkan keterampilan me- ngomunikasikan cerita narasi siswa, sesuai dengan penjelasan mengenai fungsi media

Berdasarkan identifikasi hasil pengolahan data menggunakan integrasi SERVQUAL dan Model Kano, pemilihan atribut kebutuhan dengan mempertimbangkan keluhan customer kafe

Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa yang

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

kaitan dengan kegiatan penulis tertarik untuk mengkaji tentang aspek karakteristik individu yang meliputi pendidikan, jenis kelamin, agama, status sosial serta karakteristi