BAB I PENGANTAR
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Busana adalah produk budaya yang mencerminkan norma dan nilai budaya suatu suku bangsa. Sebagai produk budaya, busana merupakan hasil karya seni dari perkembangan budaya 1
Keraton Yogyakarta mempunyai produk budaya berupa busana.2
Busana keraton dipakai sesuai dengan aturan adat sehingga disebut busana adat. Busana adat dikenakan oleh pelaku adat pada waktu penyelenggaraan upacara adat. Upacara adat adalah kegiatan yang terkait dengan aturan adat istiadat setempat 3
Keanekaragaman busana adat yang dipakai dalam upacara adat di Keraton Yogyakarta menggambarkan tingkatan sosial pemakainya. Tingkatan sosial pemakaian busana adat itu diatur dalam Pranatan Dalem Bab Naminipun Panganggo Keprabon Ing
Nagari Dalem Ngayogyakarto Hadiningrat. Pranatan Dalem
mengenai pemakaian busana keraton ini ditetapkan oleh Sri
1 Mari S. Condronegoro, Busana Adat Keraton Yogyakarta (Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusantara, 1995), 6.
2 Harmanto Bratasiswara, Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa (Jakarta:
Yayasan Sumirat, 2000), 145. Pengertian busana dalam kaitannya dengan subjek penelitian adalah busanan. Busanan adalah tata cara mengenakan pakaian Jawa sesuai dengan adat dan kebiasaan. Masalah busana selalu berkaitan dengan budaya dan pribadi pemakainya. Busana dapat menjadi sarana pembentukan pribadi. Tingkat kesopanan, keindahan, keluhuran dan peradaban seseorang dapat dinilai melalui busana.
Sultan Hamengku Buwana VIII.4 Busana yang sesuai dengan
aturan pranatan dalem yang terkait dengan peristiwa tertentu, beberapa dikenakan dalam pelaksanaan upacara adat. Salah satu busana tersebut adalah busana prajurit Keraton Yogyakarta yang dikenakan dalam upacara Garebeg.
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam setahun sebagai upacara adat kerajaan bersifat keagamaan. Garebeg dilestarikan dan diselenggarakan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengku Buwana I (Sultan HB I) sampai sekarang. 5 Garebeg
merupakan upacara yang melibatkan seisi keraton, segenap komunitas dalam kerajaan dari yang berpangkat tertinggi sampai terendah. Seluruh lapisan masyarakat dan para pembesar Pemerintah Kolonial diharuskan ikut berperan serta.6 Pasukan
atau bregada prajurit Keraton Yogyakarta adalah pendukung garebeg, yang berperan serta dalam penyelenggaraan upacara ini.
Keraton Yogyakarta mempunyai Raja yang bergelar Ngarsa
Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana, Sénopati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin
4 Bratasiswara, 2000: 584; juga periksa Sewan Susanto, Seni Kerajinan
Batik Indonesia (Yogyakarta: Balai Penelitian Batik Dan Kerajinan, Lembaga Penelitian Dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian Republik Indonesia, 1980), 495.
5 M. Tjandra, Perangkat atau Alat-alat dan Pakaian Serta Makna
Simbolis, Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), 184.
6 B. Soelarto, Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta
Panatagama Kalifatullah.7 Gelar Raja mempunyai makna religius
dalam kehidupan Raja. Makna religius berkaitan dengan kewajiban Raja untuk mensyiarkan, melindungi agama Islam dalam kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Raja sebagai Sayidin Panatagama Kalifatullah.8
Raja Keraton Yogyakarta saat ini adalah Sri Sultan Hamengku Buwana X (Sultan HB X) yang naik tahta tanggal 7 Maret 1989.9 Sultan HB X memrakarsai berdirinya sebuah
lembaga keprajuritan yaitu Pengageng Tepas Keprajuritan pada tanggal 2 Maret 1971. Lembaga ini sebagai wadah organisasi
bregada prajurit Keraton Yogyakarta. Tepas keprajuritan berdiri,
saat Sultan HB X masih bergelar putra dalem yaitu Bendara Raden
Mas Herjuno Darpito.10
Prajurit keraton berjumlah segelar sepapan atau sangat banyak pada masa pemerintahan Sultan HB II.11 Prajurit keraton
benar-benar dipakai sebagai pasukan perang pada masa
7 Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Penerbit
NARASI, 2009), 95.
8 B. Soelarto, Garebeg di Kasultanan Yogyakarta (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 24.
9 Djoko Dwiyanto, Keraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, dan
Teladan Perjuangan (Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009), 533.
10 Yuwono Sri Suwito, Laporan Akhir Kajian Filosofi dan Nilai Budaya
Prajurit Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, 2008), 15.
11 Djoko Marihandoko dan Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono II:
Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa (Yogyakarta: Banjar Aji Production, 2008), 58.
pemerintahan Sultan HB II.12 Masa Pemerintahan Sultan HB VII
dan VIII jumlah pasukan tinggal dua belas bregada. Perubahan drastis terjadi pada masa Pemerintahan Sultan HB IX. Prajurit keraton sempat dibubarkan tetapi kemudian dimunculkan kembali pada tahun 1956.13
Masa Pemerintahan Sultan HB X, Prajurit Keraton berjumlah sepuluh bregada. Sepuluh bregada itu adalah prajurit Wirabraja, Dhaèng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama,
Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa. Bregada
prajurit keraton pada masa Sultan HB X, jumlahnya hampir mendekati jumlah bregada prajurit pada jaman Sultan HB VIII.14
Kemewahan busana prajurit saat ini juga tampak sama dengan jaman Sultan HB VIII.15 Gambaran Kemegahan dan keindahan
busana prajurit, melalui arak-arakan bregada prajurit pada jaman Sultan HB VIII, masih dapat dilihat pada masa Sultan HB X.
Keberhasilan Sultan HB X dalam mengangkat kembali budaya keraton adalah fenomena tertentu, yang merupakan suatu upaya untuk melestarikan budaya keraton di masa lalu. Selain itu, busana prajurit Keraton Yogyakarta mempunyai ciri khas yang berbeda-beda pada setiap bregada. Hal ini mendorong peneliti
12 Marihandoko dan Harto Juwono, 2008.
13 Yuwono Sri Suwito, Prajurit Keraton Yogyakarta; Kajian Filosofi dan
Nilai Budaya yang terkandung di Dalamnya (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, 2009), 13-14.
14 Suwito, 2009: 14.
untuk meneliti dan mengkaji lebih mendalam mengenai bentuk dan fungsi busananya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka ditemukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk busana panji Prawiratama, Nyutra dan
Bugis di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri
Sultan HB X?.
2. Bagaimana fungsi busana prajurit Prawiratama, Nyutro dan Bugis dalam upacara adat Garebeg di Keraton Yogyakarta? 3. Apakah busana prajurit keraton mempunyai hubungan dengan seni wisata di Yogyakarta?.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan Penelitian tersebut berhubungan dengan rumusan masalah yang ditemukan. Permasalahan yang ditemukan, yaitu: (1) Penelitian bertujuan untuk mengamati dan mempelajari bentuk estetis busana prajurit Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultah HB X; (2) Penelitian bertujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam fungsi busana prajurit Keraton Yogyakarta dalam upacara adat Garebeg di Keraton Yogyakarta; (3) Penelitian bertujuan untuk mempelajari keterkaitan antara
keberadaan prajurit keraton Yogyakarta dengan dunia pariwisata di Yogyakarta.
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat berfaédah menambah pengetahuan mengenai tradisi dan budaya Keraton Yogyakarta, terutama dalam bidang bentuk dan fungsi busana prajurit keraton. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai budaya lokal. Manfaat lainnya adalah menggali minat masyarakat supaya tertarik mempelajari dan melestarikan budaya lokal sehingga tidak punah. Selain juga, diharapkan bermanfaat dalam dunia pendidikan. Manfaat tersebut adalah menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan mengenai bentuk, fungsi dan keberadaan prajurit dalam upacara adat Keraton Yogyakarta maupun dunia pariwisata di Yogyakarta. Hal ini diharapkan mampu menambah referensi ilmu humaniora dalam bidang Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa di Universitas Gadjah Mada dan universitas lainnya.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka berguna untuk menjaga orisinalitas penelitian yang sedang dilakukan. Ada buku-buku yang berhubungan dengan penelitian dan akan ditinjau secara singkat isi pembahasannya.
Ann Kumar dalam bukunya pada tahun 2008 yang berjudul Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ikhwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18, mengulas mengenai catatan harian seorang prajurit perempuan Jawa abad ke-18.16 Catatan harian ini
menunjukkan bahwa prajurit perempuan Jawa selain ahli memainkan senjata, mereka pun mengikuti perkembangan politik, ekonomi di sekitar keraton dengan detail. Sebuah buku mengenai Keraton Jawa pada abad ke-18 dan peranan perempuan di dalam keraton.
Djoko Dwiyanto menulis buku berjudul Keraton Yogyakarta:
Sejarah, Nasionalisme dan Teladan Perjuangan pada tahun 2009.17
Buku ini berisi mengenai para raja yang memerintah di Keraton Yogyakarta mulai dari Sultan Hamengku Buwana I – X. Sejarah, jiwa nasionalisme dan patriotisme para Sultan pada masa perjuangan nasional diuraikan dengan jelas di buku ini. Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VI terdapat pembinaan militer yang berhubungan dengan prajurit Keraton Yogyakarta.
Mari S. Condronegoro mengupas tentang Busana Adat
Keraton Yogyakarta 1877-1937 pada tahun 1995.18 Keraton
Yogyakarta sebagai salah satu bekas sentra kekuatan politik,
16 Ann Kumar, Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ikhwal Istana
[Keraton] dan Politik Jawa Akhir Abad ke 18 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).
17 Djoko Dwiyanto, 2009. 18 Mari S.-Condronegoro, 1995.
budaya dan adat, memiliki peninggalan budaya masa lampau yang menarik. Busana tidak hanya sekedar sumber informasi namun juga pengatur tingkah laku. Belajar bentuk dan fungsi busana tradisional berarti juga memahami budaya nasional yang merupakan sumber kekayaan bangsa.
K.R.T. Partadiningrat menguraikan dalam makalah “Sejarah dan Peranan Laskar Dhaèng dan Bugis di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat” pada tahun 1986-1987, mengenai asal usul Prajurit
Dhaèng dan Bugis.19 Prajurit Bugis ternyata berasal dari Sulawesi
Selatan tepatnya daerah Bugis. Belanda menggunakan prajurit Bugis dalam barisan pasukan karena ketangguhan dan keberaniannya. Prajurit Bugis merupakan prajurit pilihan dari Surakarta, yang pada waktu itu mengantarkan Kanjeng Ratu Bandara kembali ke Yogyakarta.
Kawedanan Hageng Punakawan (K.H.P) Widyabudaya dalam wawancara dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tahun 1996, membahas mengenai riwayat dan keunikan prajurit Keraton Yogyakarta.20 Sejarah dan fungsi atau tugas masing-masing
prajurit di lingkup istana dapat dilihat dari nama pasukan prajurit. Struktur organisasi dan keanggotaan prajurit keraton
19 K.R.T. Partadiningrat, Ceramah Sejarah dan Peranan Laskar Dhaeng
dan Bugis di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986/ 1987).
20 K.H.P. Widyabudaya, Wawancara Televisi Republik Indonesia Tentang
mulai dari pangkat tertinggi sampai terendah dijelaskan secara ringkas. Keunikan busana prajurit diuraikan secara singkat.
Yuwono Sri Suwito menulis sebuah buku berjudul Kajian
Filosofi dan Nilai Budaya Prajurit Keraton Yogyakarta pada tahun
2009. Buku ini memaparkan kajian sejarah dan filosofi serta nilai budaya prajurit Keraton Yogyakarta. Adanya gambar foto prajurit
keraton dari manggalayudha sampai dengan jajar. Penjelasan
ringkas meliputi sejarah terjadinya prajurit sampai terbentuknya
Keraton Yogyakarta. Buku ini dapat sedikit membantu
mengungkapkan sejarah prajurit Keraton Yogyakarta.21
Beberapa pustaka di atas, tidak ada satu pun yang mengulas dan menulis seperti topik peneliti. Hal ini, mendukung keaslian penulisan bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai bentuk dan fungsi busana prajurit Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan HB X.
E. LANDASAN TEORI
Penelitian ini membutuhkan beberapa disiplin ilmu untuk menjawab permasalahan secara luas dan dalam. Adanya beberapa disiplin ilmu tersebut, merupakan petunjuk untuk menggunakan pendekatan multidisiplin dalam penelitian ini. Pendekatan multidisiplin berguna untuk mengungkap permasalahan.
Beberapa disiplin ilmu dan teori yang digunakan adalah sejarah, estetika, fungsi dan bentuk seni, perilaku manusia dan kepariwisataan.
a. Teori Fungsi
Edmund Burke Feldman menuliskan bahwa seni dapat diteliti mengenai bentuk dan fungsinya. Penelitian tentang bentuk seni dapat dilihat dari garis rancangannya atau design. Rancangan suatu bentuk seni terdiri dari beberapa unsur atau element. Beberapa unsur tersebut, yaitu: (1) keselarasan atau unity; (2) keseimbangan atau balance; (3) irama atau rhythm dan (4) perbandingan atau proportion.22
Edmund Burke Feldman membagi fungsi seni menjadi tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah fungsi personal, fungsi sosial dan fungsi fisik.23 Fungsi personal digunakan untuk mengetahui
ekspresi estetika seni yang terdapat dalam busana prajurit Keraton Yogyakarta. Fungsi Sosial mengandung tiga aspek penting yaitu: (1) memberikan pengaruh terhadap perilaku manusia; (2) diciptakan untuk dilihat atau ditampilkan dalam publik; (3) mengungkapkan atau menggambarkan eksistensi seni dalam
22 Edmund Burke Feldman, Arts as Image and Idea (The University of
Georgia: Prentice Hall Inc, 1967), 258-277.
23 Periksa Edmund Burke Feldman, 1967; juga periksa SP. Gustami,
aspek sosial.24 Fungsi sosial digunakan untuk menganalisis
keberadaan dan penampilan prajurit dalam upacara adat keraton di tengah masyarakat. Adapun fungsi fisik digunakan untuk menganalisis bentuk dan fungsi busana prajurit.
b. Teori Perilaku
Mengenai busana, Morris menuliskan dalam bukunya Manwatching: A Field Guide to Human Behaviour tahun 1967 bahwa sesuatu yang mustahil mengenakan pakaian tanpa adanya sinyal sosial. Morris lebih lanjut menuliskan setiap busana atau kostum mempunyai cerita seputar pemakaiannya. Busana yang paling sederhanapun, cukup memberikan gambaran mengenai peran sosial dan sikap mereka terhadap budaya dimana mereka tinggal.25 Teori Perilaku yang dikemukakan oleh Morris
menunjukkan adanya clothing signal atau tanda-tanda dalam busana. Morris juga menuliskan dalam bukunya, bahwa pada dasarnya busana mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: (1) kenyamanan atau comfort; (2) kesopanan atau modesty dan (3) penampilan atau display.26
Busana prajurit keraton menggunakan bentuk busana prajurit. Bentuk busana prajurit dapat diteliti fungsi
24 Feldman, 1967: 36
25 Desmond Morris, Manwatching: A Field Guard to Human Behaviour
(New York: Harry N. Abrams, Inc., Publisher, 1977), 212.
pemakaiannya melalui tanda-tanda berbusana atau clothing signal yang mencakup tiga fungsi utama. Ketiga fungsi utama tersebut digunakan untuk menganalisis busana prajurit dari segi kenyamanan, kesopanan dan penampilan.
c. Teori Seni Wisata
Bentuk dan fungsi busana prajurit dapat dilihat penampilannya dalam upacara Garebeg. Upacara garebeg merupakan suatu upacara adat dari Keraton Yogyakarta yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat Yogyakarta. Upacara adat ini telah masuk dalam agenda pariwisata Yogyakarta.
R.M. Soedarsono menuliskan dalam Seni Pertunjukkan Indonesia dan Pariwisata pada tahun 1999, beberapa ciri utama dari seni pertunjukkan wisata di Negara berkembang. Beberapa ciri utama tersebut, yaitu: (1) tiruan dari aslinya; (2) singkat atau padat atau bentuk mini dari aslinya; (3) penuh variasi; (4) ditanggalkan nilai-nilai sakral, magis serta simbolisnya; dan (5) murah harganya.27 Hal ini menjadi acuan dalam mempelajari
hubungan antara busana prajurit dan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta.
27 R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukkan dan Pariwisata (Bandung:
F. METODE PENELITIAN
Supaya pembahasan tidak meluas pada hal-hal yang kurang relevan maka perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian busana prajurit Keraton Yogyakarta membatasi pada busana prajurit berpangkat lurah atau panji, sersan dan jajar.28 Busana
prajurit dengan pangkat panji, sersan dan jajar, akan diteliti bentuk dan fungsi busananya. Penelitian juga mempelajari tentang hubungan antara busana prajurit dan pariwisata di DIY. Populasi prajurit Keraton Yogyakarta berjumlah sepuluh pasukan, yaitu; Wirabraja, Dheng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Bugis dan Surakarsa. Subyek yang diteliti ada tiga prajurit yaitu Prawiratama, Nyutra dan Bugis.
Penelitian ini juga membatasi pada busana prajurit Prawiratama, Nyutra dan Bugis yang dipergunakan dalam upacara adat Garebeg. Garebeg diselenggarakan secara ajeg setiap tahun pada masa pemerintahan Sultan HB X. Tempat penyelenggaraannya berada di lingkungan Keraton Yogyakarta yang merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai amanat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII. 29
28 Periksa Suwito, 2009: 15; juga periksa Purwadi, Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa (Yogyakarta: Penerbit Panji Pustaka, 2007), 398. Panji
adalah salah satu jabatan prajurit dalam bregada prajurit Keraton Yogyakarta. Istilah Panji atau Lurah dapat disebut juga dengan Perwira. Perwira adalah pahlawan yang selalu siap menegakkan keadilan dan kebenaran. Kebenaran berkaitan dengan olah pikir, kemampuan, penalaran dan kegiatan keilmuan.
29 Soempono Djojowadono, Keraton dan Daerah Istimewa Yogyakarta
Observasi adalah aktivitas mencatat suatu gejala dengan bantuan instrumen-instrumen dan merekamnya dengan tujuan ilmiah atau tujuan lain.30 Metode ini sangat tepat dilakukan untuk
mendapatkan data visual. Data visual dapat berupa rekaman suara maupun gambar, dan foto peristiwa objek penelitian. Data-data observasi digunakan untuk mendukung Data-data yang lain.
Metode wawancara digunakan untuk menanyakan segala macam hal yang berhubungan dengan sumber primer. Pertanyaan-pertanyaan diajukan pada nara sumber yang mempunyai keahlian dibidang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode wawancara secara langsung terhadap narasumber. Wawancara disampaikan pada Manggalayudha,
Pandhéga atau Kaptèn, panji, sersan dan jajar prajurit. Prajurit
yang diberikan pertanyaan wawancara berasal dari pasukan Prawiratama, Nyutra dan Bugis.
Dokumentasi mempunyai sifat personal, mencakup buku harian, memo, surat dan catatan lapangan. Dokumentasi berkaitan dengan teks tertulis dari berbagai sumber.31 Penelitian
menggunakan dokumen berisi teks tertulis tentang busana prajurit. Dokumen busana prajurit dapat berupa manuskrip, arsip, surat, foto dan daftar pustaka.
30 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative
Research (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2009),525.
Analisis data mempunyai manfaat untuk merangkum, mengelompokkan, menyeleksi dan menghubungkan semua informasi yang telah diperoleh.32 Informasi yang berkaitan dengan
data adalah mempelajari dan menjelaskan mengenai busana prajurit panji Keraton Yogyakarta. Metode Analisis data bersifat deskriptif dengan penjelasan terperinci supaya data yang terkumpul dapat disederhanakan dan dipahami. Peneliti mendeskripsikan masalah dalam uraian sesuai dengan landasan teori dan pengamatan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penelitian busana prajurit Keraton Yogyakarta dibagi dalam enam bab. Keenam bab tersebut diuraikan sebagai berikut. Bab I berisi pengantar yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode penelitian.
Bab II berisi latar belakang sejarah prajurit Keraton
Yogyakarta yang mencakup sejarah berdirinya Keraton
Yogyakarta, sejarah mengenai Sultan HB X dan Sejarah berdirinya prajurit Keraton Yogyakarta. Bab III berisi bentuk busana prajurit
Keraton Yogyakarta. Bab IV berisi fungsi busana prajurit Keraton
Yogyakarta. Bab V berisi upacara adat garebeg di Keraton
Yogyakarta. Bab ini mencakup pertunjukkan upacara adat garebeg dan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bab VI berisi kesimpulan dan saran.