ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT
MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI
PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Imam Syafi‟i
NIM: 21111016
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
iii
MOTTO
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
“Visi ha
nyalah ilusi tanpa ada aksi, dan
vi
ABSTRAK
Syafi‟i, Imam. 2015. Analisis Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014. Fakultas
Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Farkhani, M.H.
Kata Kunci: Cerai Gugat
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui penyebab maraknya kasus cerai gugat masyarakat muslim di Kota Salatiga. Pertanyan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga tahun 2014?, dan apa penyebabnya?, (2) bagaimana kualitas suami dari
Kota Salatiga dalam membina rumah tangga?. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perkara cerai di PA Salatiga 70% yang mendominasi adalah perkara cerai gugat. Faktor yang melatar belakanginya karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga yang disebabkan berbagai hal : perselisihan, ekonomi, tidak adanya tanggung jawab dari suami, KDRT, hadirnya pihak ke-3, dan krisis moral seperti suami pemabuk. Selain itu perkara yang ada lebih didominasi pasangan muda yang usia perkawinannya dibawah 10 tahun, hal ini menunjukkan ketidak siapan pasangan dalam berumah tangga.
Lebih dari pada itu, maraknya cerai gugat menunjukkan belum
maksimalnya peran lembaga pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Agama melalui Bimas Islam dalam pendampingan berkeluarga yang baik.
Berdasarkan penelitian yang telah diakukan, bahwa tingkat cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga tergolong minim. Hal ini berdasarkan fakta dari data perkawinan yang ada, rata-rata pertahunnya tercatat sebanyak 1170 perkawinan di Kota Salatiga dengan perbandingan perceraian sebanyak 120 pasangan. Artinya setiap terjadi 10 perkawinan ada 1 pasangan yang bercerai di PA Salatiga. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat muslim Kota Salatiga dalam membina keluarga sakinah tinggi, sehingga diperoleh fakta bahwa suami dari warga muslim Kota Salatiga rata-rata bertanggung jawab. Mengacu pada temuan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan agar tidak terjadi cerai gugat, maka bagi pasangan calon pengantin untuk
mematangkan kembali kesiapannya untuk menikah. Selanjutnya,
pemerintah harus memberikan perhatiannya berupa pendampingan
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala
nikmat-Nya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: ”Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat
Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014”, untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Fakultas
Syari‟ah Jurusan Ahwal al-Syahkhshiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya
guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya
pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengahturkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., Selaku Rektor IAIN Saltiga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Bapak Syukron Makmun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal
al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis
viii
4. Bapak Farkhani, M.H., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang
telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitiaan di
Pengadilan Agama Salatiga
6. Dra. Widad sebagai Panitera Muda Hukum PA Salatiga yang telah membantu
memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan.
7. Para Dosen Syari‟ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do‟a selama
penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
8. Bapak dibumi rantau yang jauh disana, yang senantiasa membanting tulang
untuk mengais rizki demi membantu mewujudkan cita-cita penulis menuntut
ilmu.
9. Adik-adik dan para sahabatku yang telah memberikan dorongan, motivasi dan
do‟anya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
10.Semu pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi
ini sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
Skripsi ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
ix
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat
khususnya bsgi civitas akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang
membutuhkannya.
Atas perhatiannya penulis sampaikan banyak terimakasih.
Salatiga, 13 Agustus 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
MOTTO ... iii
NOTA PEMBIMBING ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Penengasan Istilah ... 8
F. Tinjauan Pustaka ... 12
G. Metode Penelitian... 15
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 15
2. Kehadiran Peneliti ... 18
3. Lokasi Penelitian ... 18
4. Kebutuhan dan Sumber Data ... 18
5. Teknik Pengumpulan Data ... 19
6. Analisis Data ... 21
7. Pengecekan Keabsahan Data... 22
xi
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Makna Perkawinan ... 27
1. Pengertian Perkawinan ... 27
2. Dasar Hukum Perkawinan... 30
3. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan ... 33
4. Tujuan Perkawinan... 36
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 38
B. Putusnya Perkawinan ... 46
1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian ... 47
2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ... 48
3. Putusnya Perkawinan Karena Atas Putusan Pengadilan ... 57
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Salatiga ... 62
1. Sejarah pembentukan PA Salatiga ... 62
2. Dasar hukum pembentukan PA Salatiga ... 68
3. Wewenang Pengadilan Agama Salatiga... 68
4. Visi dan Misi PA Salatiga ... 69
5. Struktur Organisasi PA Salatiga ... 70
B. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga... 72
xii
BAB IV PEMBAHASAN
A. Gambaran Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ... 83 B. Faktor Penyebab Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ... 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi
makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya (Tihami & Sahrani,
2009:6). Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan
berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna
yakni manusia. Dalam surat al-Dzariyah ayat 49 disebutkan:
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”
Manusia tidak seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan
bebas dan sekehendak hawa nafsunya. Bagi binatang, perkawinan hanya
semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedang bagi
manusia perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lainya yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh
karena itu, perkawinan manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.
Perkawinan tidak hanya semata-mata menjadi urusan kedua mempelai
saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diridhoi Allah sebagai
2 dipersatukan dengan saling mencintai dan mengharapkan dapat membuahkan
hasil dari cintanya yakni keturunan dalam suatu rumah tangga yang kekal dan
bahagia untuk mengarungi cakrawala kehidupan rumah tangga yang damai.
Namun demikian, kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu
tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri yang bersangkutan.
Artinya apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap
keterbukaan, saling perhatian, saling menyayangi dan sikap serta saling
berfikir positif, hal ini dapat menimbulkan konflik dan masa suram yang
dihadapi sebuah rumah tangga. Konflik dan masa suram yang dimaksud dapat
disebabkan beberapa faktor. Faktor permasalah ini dapat mengganggu atas
kekalnya perkawinan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perceraian.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada
Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa : perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari Undang-undang tersebut dapat
difahami bahwa perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan
manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali
perjanjian yang suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat
membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta
dan kasih sayang. Untuk menegakan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,
perkawinan tidak hanya bersandar pada ajaran Allah dalam al-Qur‟an dan as
3 hukum suatu negara. Perkawinan baru dikatakan sah jika menurut hukum
Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
(Saebani, 2008:15).
Syari‟at yang dibangun Islam di atas dalam kenyataannya hal tersebut
tidaklah mudah diwujudkan. Dalam melaksanakan kehidupan rumah tangga
tidak mustahil apabila akan terjadi salah paham antara suami dan istri, salah
satu atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban, tidak saling percaya dan
sebagainya sehinga menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga
dikarenakan tidak dapat dipersatukan kembali persepsi dan visi antara
keduanya, keadaan seperti ini ada kalanya dapat di atasi dan diselesaikan,
sehingga hubungan suami istri baik kembali, namun adakalanya tidak dapat
diselesaikan atau didamaikan. Bahkan kadang-kadang menimbulkan
kebencian dan pertengkaran yang berkepanjangan dan berujung pada
perceraian.
Menurut UU Perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi karena:
(1) kematian; (2) perceraian; dan (3) karena putusan pengadilan. Dengan
demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
Perceraian yang diajukan oleh pihak laki-laki (suami) disebut dengan cerai
talaq, sementara cerai yang diajukan oleh pihak perempuan (istri) disebut
dengan cerai gugat.
Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan untuk diproses secara
hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang semakin bertambah
4 perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibanding negara Islam
lainnya. Indonesia berada di peringkat tertinggi memiliki angka perceraian
paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam di dunia
lainnya. Menurutnya, gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga
ini semakin bertambah jumlahnya. Setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi
yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100
orang yang menikah, 10 pasangnya bercerai, dan umumnya mereka yang baru
berumah tangga. Dari berbagai kasus perceraian hampir 70 % adalah gugatan
cerai dari istri kepada suaminya, sedangkan sisanya adalah cerai talak dari
permohonan suami (Bahari, 2012:12).
Pergeseran nilai di dalam kehidupan masyarakat saat ini terlihat jelas,
dahulu isteri paling khawatir atau takut jika dicerai oleh suaminya, bahkan
dahulu isteri tidak punya kewenangan dalam hal cerai, karena talak merupakan
hak prerogatif suami, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sebagaian
besar istri-lah yang mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama.
Gugat cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama didasari dengan
berbagai alasan, mulai dari perselisihan terus menerus yang tidak dapat rujuk
kembali, suami berzina, suami tidak memberi nafkah, suami meninggalkan
istri tanpa kabar, hingga persoalan karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.
Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat
selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian hampir 70%. Pada
5 pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak adalah akibat faktor
ketidak harmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab
78.407 perkara dan masalah ekonomi 67.891 perkara (Republika.co.id, diakses
24 Januari 2012) .
Trend perceraian di Kota Salatiga terus mengalami peningkatan. Hal
ini sebagaimana dilangsir dari surat kabar Semarangmetro pada Jum‟at, 28
Februari 2014 yang menyebutkan bahwa permohonan perceraian yang
diajukan ke Pengadilan Agama Salatiga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berikut adalah rincian perkara Pengadilan Agama Salatiga dari tahun
2010-2013
Tahun Diterima Jumlah Dicabut Dikabulkan Sisa Tahun Sebelumnya
2010 1.051 1.340 68 921 289
2011 1.151 1.444 48 964 293
2012 1.254 1.596 50 1.165 342
2013 1.379 1.750 60 1.272 371
Tabel 1.1. Rincian data perkara PA Salatiga
Dalam surat kabar Semarangmetro dipaparkan berita bahwa pada
Januari 2014, PA Salatiga menerina 520 kasus 386 di antaranya sisa tahun
sebelumnya. Artinya dalam sebulan ada 134 permohonan cerai. Selanjutnya
sebagaimana wawancara yang telah dilakukan wartawan Semarangmetro
kepada Panitera Muda Hukum PA Salatiga Dra. Widad yang mengatakan
bahwa untuk perkara perceraian ada dua jenis yaitu cerai gugat dan cerai talak.
Cerai gugat merupakan permohonan dari istri sedangkan cerai talak atas
6 ditangani PA Salatiga, permohonan cerai gugat lebih banyak dibanding cerai
talak.
Dari data tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah perceraian
yang ada di Kota Salatiga, dengan fokus penelitian adalah perkara cerai gugat
yang diajukan oleh pihak istri di Pengadilan Agama Kota Salatiga selama
kurun waktu tahun 2014 yang telah lalu untuk dicari tahu apa alasan
pengajuan gugatan cerai itu, sehingga setelah diketemukan alasan-alasan dari
para istri tersebut penulis akan mengklasifikasikan data tersebut untuk dapat
dianalisa dengan seksama dan pada akhirnya mengetahui kredibilitas para
suami di Kota Salatiga berkenaan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala
rumah tangga dalam rangka menaungi dan melindungi istri dan keluarganya.
Sehingga penelitian ini sangatlah perlu untuk dilakukan untuk memberikan
pertimbangan bagi masyarakat dalam rangka mencari calon suami yang ideal
dari wilayah Kota Salatiga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan:
1. Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga
tahun 2014?, dan apa penyebabnya?
2. Bagaimana kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam
7
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penyebab cerai gugat yang terjadi di Kota Salatiga.
2. Mengetahui kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam
membina rumah tangga.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam
mengetahui sejauh mana pemahaman warga kota Salatiga dalam
memahami arti penting dari sebuah pernikahan.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi
para peneliti di bidang syari‟ah.
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi peneliti,
seluruh pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa IAIN Salatiga
pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi mengenai karakter seorang suami dari kota
Salatiga berkaitan masalah kredibilitasnya dalam mengemban tanggung
jawabnya sebagai seorang suami untuk membahagiakan istrinya dan
membangun keluarga yang sakinah sebagaimana diamanatkan oleh agama
8
E. Penengasan Istilah
Definisi Cerai Gugat
1. Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang
Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata
kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian,
kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal
bercerai (antara suami istri); perpecahan. Adapun kata bercerai berarti: v
(kata kerja), 1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi; 2.
Berhenti berlaki-bini (suami istri) (KBBI, 1997: 185).
Perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuan fakultatif bahwa perkawinan putus karena kematian,
perceraian, dan putusan pengadilan. Jadi istilah perceraian secara yuridis
berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan
sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri) sebagaimana
diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.
Istilah perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suai atau istri untuk
memutus hubungan perkawinan di antara mereka.
b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami istri yaitu
kematian suami atau istri yang bersangkutan yang merupakan
ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha
9 c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat
hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri
(Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: Sinar Grafika).
Dalam buku Hukum Perceraian (Syaifuddin, Turatmiyah &
Yahanan. 2013: 19-20), pengertian perceraian dapat dijelaskan dari
beberapa perspektif hukum berikut:
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal
38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP
No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:
b. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan
Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan
siding Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP
No. 9 Tahun 1975).
c. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang
diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada
Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala
akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan
Psal 36).
d. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah
10 No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan
oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang
dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di
Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9
tahun 1975).
2. Istilah Perceraian Menurut Doktrin Hukum
Menurut Abdul Kadir Muhammad, putusnya perkawinan karena
kematian disebut dengan cerai mati, sedangkan putusnya perkawinan
karena perceraian ada 2 (dua) istilah, yaitu cerai gugat (khulu’) dan cerai
talak. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan disebut dengan
istilah cerai batal (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 16).
Lebih lanjut Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa untuk
menyebut perkawinan dengan istilah-istilah tersebut, terdapat beberapa
alasan, yaitu:
a. Penyebutan istilah cerai mati dan cerai batal tidak menunjukkan kesan
adanya perselisihan antara suami istri;
b. Penyebutan cerai gugat (khulu’) dan cerai talak menunjukkan kesan
adanya perselisihan antara suami dan istri;
c. Putusnya perkawinan baik karena putusan pengadilan maupun
perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan (Syaifuddin,
11 Perceraian dalam istilah fikih disebut talak, itu dugunakan oleh
para ahli fikih sebagai salah satu istlah yang berarti membuka ikatan,
membatalkan perjanjian. Perceraian dalam istilah fikih juga sering disebut
dengan furqah yang artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul.
Kemudian kedua istilah tersebut digunakan oleh para ahli fikih sebagai
salah satu istilah yang berarti perceraian suami istri (Soemiyati, 1982:
103).
Kata talak dalam istilah fikih mempunyai arti umum, ialah segala
macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya
atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Selain itu, talak juga
mempunyai arti yang khusus, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh pihak
suami (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 17).
Cerai gugat (talak tebus) dalam Islam dikenal dengan khulu’,
artinya talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak
istri kepada suami. Cerai gugat terjadi karena adanya kemauan dari pihak
istri, dengan alasan perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi. Cerai
gugat dapat terjadi jika ada keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak
istri, karena ia benci kepada suaminya (Syaifuddin, Turatmiyah &
Yahanan. 2013: 17).
Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur
Anshori (2011: 36) menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti
12 bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk
putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 (empat) kemungkinan,
sebagai berikut:
a. Putusnya perkawinan karena atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami istri. Adanya kematian itu menyebabkan
dengan sendirinya berakhir hubungan perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami karena adanya alasan
tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu.
Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena istri melihat sesuatu
yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang
disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.
Putusnya perkawinan dengan cara seperti ini disebut khulu’.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/istri yang menandakan
tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dijalankan. Putusnya
perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tentu saja bukan penelitian yang pertama dengan
13 penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berkaitan masalah perceraian ini,
namun tentunya fokus penelitiannya yang berbeda. Ada beberapa literal kajian
karya ilmiah yang pernah ditulis baik berupa skripsi, artikel maupun dalam
bentuk buku yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Salah satu penelitian yang pernah ada adalah penelitian oleh Nakiyah
(2002), mahasiswi Jurusan Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dalam skripsinya,
yang berjudul “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai
Alasan Perceraian (Studi Kasus di PA Salatiga Tahun 1999-2001)”, Nakiyah
menggunakan metode penelitian Field Research. Penelitian ini berusaha
mengetahui motif tindakan kekerasan suami terhadap istri. Hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini bahwa motif tindakan kekerasan suami terhadap
istri lebih banyak ditimbulkan akibat kesenjangan ekonomi, nilai budaya dan
pemahaman agama yang kurang. Sehingga akibat tidakan-tindakan suami
yang kasar seperti itu menyebabkan alasan mengapa istri menggugat cerai
pada sang suami.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Istikara (2004), mahasiswi
Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang
berjudul “Putusnya Perkawinan Karena Cerai Gugat (Analisa Kasus Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 1091/ pdt. G/ 2004/ PA JS)”, yang
menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Peneliti meneliti faktor-faktor apa
yang menyebabkan putusnya perkawinan dan bagaimana akibat cerai gugat
14 di atas itu disebabkan karena dahulu kedua belah pihak antara suami dan istri
terburu-buru untuk melangsungkan pernikahan, tanpa ada petimbangan yang
matang untuk menikah. Terlebih ketika sang suami tidak cakap dalam
membangun sebuah keluarga yang akhirnya mengakibatkan perseturuan
panjang antara suami dan istri. Selanjutnya hadlanah pemeliharaan anak di
pegang oleh ayahnya karena ibunya tidak menyatakan keberatan dan ada
hal-hal tertentu yang menyebabkan ibu tersebut tidak bisa mendapatkan hak asuh
anak.
Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh Taufiqi (2008) mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berjudul “Penelantaran
Ekonomi Sebagai Alasan Gugatan Perceraian (Studi di Pengadilan Agama
Gresik)” dengan menggunakan metode penelitian yurudis sosiologis.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penelantaran ekonomi
sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai alasan gugat cerai karena tidak tidak
terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi penelantaran
ekonomi yang berujung pada perselisihan dan pertengkaran terus menerus
dapat dijadikan sebagai gugatan perceraian. Hal ini yang menjadi dasar bagi
hakim untuk mengabulkan gugatan istri sesuai dengan pasal 19 (F PP No. 9
Tahun 1975).
Kemudian skripsi yang ditulis oleh Aliyah (2013), mahasiswi Jurusan
Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga yang berjudul “Perceraian Karena Gugatan Istri
15
Nomor: 0740/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal di Pengadilan Agama Salatiga)”.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis atau berdasarkan pengalaman subjek penelitian. Dalam
penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada perkara cerai gugat
dengan alasan pengajuan gugatan oleh istri berupa masalah sosial-ekonomi.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ditemukannya faktor-faktor
yang menyebabkan istri menggugat cerai suami, diantaranya adalah pertama,
suami meninggalkan kewajiban menafkahi keluarga dan yang kedua, karena
suami dipenjara. Alasan-alasan tersebut yang dijadikan dasar gugatan istri.
Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di atas, hampir
kesemuanya hanya fokus membahas seputar alasan pengajuan gugatan
perceraian istri kepada suami yang alasan-alasannya berupa masalah ekonomi.
Berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam penelitian yang
berjudul Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masayarakat Muslim Kota
Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014, peneliti tidak hanya
meneliti alasan-alasan pengajuan gugatan istri. Tidak hanya terfokus pada
petitum dalam surat gugatannya, namun peneliti akan mengkualifikasin
alasan-alasan tersebut dan akan menganalisis dari pada alasan-alasan yang
telah ada hingga pada akhirnya akan ditarik kesimpulan mengenai kredibilitas
rasa tanggung jawab suami kepada istri dan keluarga dalam membangun
sebuah mahligai rumah tangga sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan
16
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Adapun yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Menurut
Milles dan Michael sebagaimana dikutip oleh Maslikhah (2013: 319)
penelitian kualitatif akan mendapatkan data kualitatif yang sangat menarik,
memiliki sumber dari dekripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta
memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup
setempat. Penelitian ini dapat memahami alur peristiwa secara kronologis,
menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan
memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat, serta dapat
memperoleh penemuan-penemuan yang tidak diduga sebelumnya untuk
membentuk kerangka teoritis baru. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variable dan keadaan yang terjadi
saat penelitian berjalan dan menyuguhkan data apa adanya.
Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan
17 menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang
sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam masyarakat,
pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antar variable, perbedaan
antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi dan lain-lain. Selain itu
pendekatana yang digunakan adalah pendekatan normative, yakni sebuah
pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka,
produk-produk hokum, perbandingan konsep hukum dan sejarah ataupun idiologi
yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat hukum (Soekanto &
Mamudji, 1995: 13-14). Berkaitan dengan apa yang penulis teliti, maka
al-Qur‟an dan al-Sunnah menjadi rujukan utama selain perbandingan dengan
hokum Islam di Indonesia serta konsep gender yang sedang ramai dibahas
dimasyarakat. Dan yang terakhir adalah pendekatan sosiologis, yaitu
pendekatan yang melandaskan pada fenomena atau gejala-gejala yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat guna memahami hukum yang
berlaku dalam masyarakat (Soekanto, 1999: 45).
Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini dimaksudkan menelisik penyebab dominasi perkara cerai
gugat yang ada di PA Salatiga dengan mngumpulkan data-data perceraian
pada periode tahun 2014, guna memperoleh informasi mengenai
alasan-alasan pengajuan cerai gugat tersebut. Sehingga setelah diketahui
penyebab atau alasan-alasan cerai gugat tersebut akan dapat diketahui
kualitas sosok suami dari wilayah Kota Salatiga sebagai seorang kepala
18 penelitian ini mampu menyibak tabir dari rumusan masalah yang telah
penulis rumuskan di atas.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran penulis dalam penelitian ini adalah sebagai seorang
peneliti. Dalam rangka mendapatkan data-data yang diperlukan, peneliti
akan melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada subjek yang
diteliti, ditempat sumber data itu berada. Sehingga sudah berang tentu
peneliti akan turut aktif dalam kegiatan penelitian ini guna mencari
data-data yang dibutuhkan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014 ini dilaksanakan di Pengadilan
Agama Salatiga yang beralamatkan di Jln. Lingkar Selatan, Dusun
Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga,
Jawa Tengah.
4. Kebutuhan dan Sumber Data
Kebutuhan dan sumber data dalam penelitian yang berjudul
Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga
Tahun 2014 adalah data-data perceraian yang masuk di PA Salatiga dalam
periode tahun 2014. Kemudian dari data-data tersebut peneliti akan
mengklasifikasikan menurut jenis percerainnya dan dari situ akan tampak
dominasi perceraian yang ada di PA Salatiga. Setelah itu peneliti akan
19 alasan-alasan dalam gugatannya. Selain data-data perceraian tersebut
sumber data juga akan diperoleh dari para ahli yang ada di PA. Salatiga,
baik para hakim, panitera maupun dari para pihak yang berperkara sendiri
sebagai data sekunder guna menguatkan data primer yang telah ada.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang
yang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan
tujuan tertentu (Mulyana, 2004: 180). Wawancara yang akan dilakukan
menggunakan dua tahap, pertama peneliti melakukan deskripsi dan
orientasi awal tentang masalah dan subjek yang dikaji. Kedua
melakukan wawancara mendalam sehingga menemukan informasi
yang lebih banyak dan penting sampai menemukan titik jenuh.
Wawancara yang digunakan dengan model wawancara terbuka, artinya
informan dapat mengungkapkan beberapa upaya yang dilaksanakan
dan gagasan beserta strategi yang akan dilaksanakan serta hambatan
yang diprediksikan (Maslikhah, 2013: 321). Meskipun demikian,
peneliti tetap menggunakan kisi-kisi wawancara yang sesuai dengan
rumusan masalah di atas. Untuk membantu mendapatkan data penting,
maka peneliti menggunakan alat rekam suara baik tape recorder
20 Dalam wawancara ini informan yang akan dijadikan sebagai
nara sumber adalah para hakim di pengadilan agama kota salatiga.
Menggingat para hakim adalah sebagai eksekutor dalam perkara
perceraian di PA Salatiga. Dan tentunya dalam setiap putusannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan konstitusi
dan agama. Dengan mewawancarai para hakim di PA Salatiga ini
diharapkan penelitian mendapatkan data yang dibutuhkan sehingga
dapat membantu dalam penelitian ini.
b. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti
mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala
subjek yang sedang diteliti. Baik pengamatan itu dilakukan di dalam
situasi yang sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi yang khusus
diadakan (Surachmad, 1972: 155). Dalam melaksanakan observasi ini
peneliti akan berkunjung langsung ke Pengadilan Agama kota Salatiga
guna menggali informasi dan mengumpulkan data-data seputar
perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama kota Salatiga. Disini
peneiliti akan mengamati langsung bagaimana proses perceraian yang
ada di Pengadilan Agama kota Salatiga. Menelaah lebih inheren
penyebab perceraian itu terjadi, alasan pengajuan gugatan perceraian
dan mengkoding atau mengaktegorikan dominansi jenis perceraian
21
c. Penggunaan Dokumen
Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun
foto saat pelaksanaan penelitian sebagai bukti autentik dalam
membantu penyusunan laporan penelitian setelah purna. Penggunaan
dokumen ini dirasa sangat penting dibutuhkan, karena dalam penelitian
ini penggunaan dokumen sebagai sumber utama dalam jenis penelitian
deskriptif-kualitatif. Melalui dokumen-dokumen perceraian yang ada
di pengadilan agama kota salatiga ini akan didapatkan informasi terkait
intensitas tanggung jawab suami dikota salatiga dilihat dari sudut
pandang dominasi kasus cerai gugat yang ada di pengadilan agama
kota salatiga.
d. Analisis Data
Proses analisis data sepertihalnya penelitian kualitatif model
Miles dan Huberman sebagaimana dikutip oleh Emzir (2010:
129-135), maka digunakan teknik analisis data dengan reduksi data,
penyajian data dan verifikasi.
Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan,
pemusatan pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar
yang diperoleh dari lapangan. Melalui reduksi data ini peneliti akan
memilah dan memilih data dan sumber informasi yang ada sesuai
dengan focus penelitian sejak awal. Yaitu hanya berkutit dilingkup
perceraian. Mengingat begitu banyaknya kasus yang ditangani
22 perceraian saja ada juga kasusu-kasus lain seperti sengketa harta
gono-gini, warisan, wakaf dan lain sebagainya.
Penyajian data (data display) yaitu deskripsi kumpulan
informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan
kesimpulan dan mengambil tindakan. Dengan penyajian data ini
peneliti akan menyajikan dan menyusun sedemikian rupa secara runtut
data kasar yang berupa dukumen-dokumen perceraian, wawancara
dengan para hakim dan beberapa pihak yang berperkara, serta
pengamatan langsung tersebut dalam bentuk diskripsi kalimat yang
lugas sehingga mudah difahami dan dicermati hingga akhirnya penulis
akan dapat memberikan kesimpulan dalam penelitian ini.
Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclution drawing and
verification) dari permulaan pengumpulan data, periset kualitatif
mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh dilapangan, mencatat
keterangan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada,
alur akusalitas dan proposisi. Dalam penarikan kesimpulan ini akan
didapatkan jawaban-jawaban dari rumusan maslah yang telah ada,
sehingga hasil dari penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai
Gugat Masyarakat Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2014 dapat terealisasi dengan baik.
e. Pengecekan Keabsahan Data
Mengikuti teori Moleong sebagaimana dikutip oleh Maslikhah
23 didasarkan pada empat kriteria yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan
kepastian (confirmablity). Uji derajat kepercayaan (credibility)
dilakukan dengan cara melakukan pembuktian apakah yang diamati
oleh peneliti benar-benar sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi
secara wajar dilapangan. Untuk melakukan derajat kepercayaan ini
dilakukan observasi secara terus menerus. Keteralihan (transferability)
membuat uraian laporan atas data yang ditemukan secara khusus
dengan jelas ditulis sehingga dapat dipahami oleh pembaca.
Ketergantungan (dependability) dilakukan untuk mengurangi
kesalahan-kesalahan dalam mengumpulkan, menginterpretasi temuan
dan laporan hasil penelitian cara menentukan dependent auditor
(konsultan peneliti). Kepastian (confirmability) dilakukan untuk
mengetahui apakah data yang diperoleh memenuhi obyektifitas atau
tidak. Untuk melakukan uji confirmability ini dilakukan dengan cara
melakukan konfirmasi apakah pandangan, pendapat dan penemuan
seseorang juga telah disepekati oleh orang lain secara obyektif. Oleh
karena itu, data yang sudah dikumpulkan dikonfirmasikan dengan para
ahli yang membidanginya.
f. Tahap-tahap Penelitian
a. Tahap Pra-Lapangan
Dalam tahap pra-lapangan ini ada lima hal yang harus
24 1) Menentukan setting dan subyek penelitian
2) Menyusun rancangan penelitian
3) mengurus perizinan penelitian
4) Menyiapkan perlengkapan penelitian
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga
bagian, yaitu:
1) Memahami latar penelitian
2) Adaptasi peneliti dilapangan
3) Berperan serta sambil mengumpulkan data
c. Tahap Pasca Lapangan
Pada tahap pasca lapangan ini, peneliti membaginya
menjadi tiga tahap, yaitu:
1) Pengolahan data penelitian
2) Menganalisis data penelitian
3) Menyimpulkan hasil penelitian
d. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam
memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan
memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan
dibahas dengan sistematika penulisan yang akan penulis susun
25
Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menguraikan
tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan maslah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode
penelitian dan sitematika penulisan penelitian.
Bab kedua adalah kajian pustaka, yang berisikan penjelasan
tentang makna perkawinan, keluarga sakinah, putusnya
perkawinan. Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal terkait hal
tersebut di atas baik dari sudut pandang agama maupun secara
konstitusi perundang-undangan negara. Pada bagian kajian pustaka
ini sangatlah penting, karena pada bab ini ibarat sebagai pisau
bedah yang akan membantu peneliti membedah problem dari
subyek yang diteliti.
Selanjutnya Bab ketiga adalah paparan data dan temuan
penelitian. Dalam bab ini peneliti akan memaparkan data-data yang
telah didapatkan baik berupa data hasil wawancara, maupun data
tertulis yang akan di notasikan dalam bentuk tulisan, selanjutnya
akan dikorelasikan pada data dari teori pada bab sebelumnya
sehingga akan didapatkan temuan penelitian yang dimaksud sesuai
dengan rumusan masalah yang sebelumnya dirumuskan.
Bab empat adalah pembahasan. Setelah ditemukan gap atau
temuan masalah dalam penelitian pada bab ke-tiga, peneliti akan
mengkaji lebih dalam menurut interpretasi sendiri berdasarkan
26 mengkrucutkannya untuk didapat jawaban dari penelitian tentang
Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di PA Salatiga Tahun
2014.
Dan Bab kelima adalah penutup, pada bab yang terakhir ini
membahas tentang kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan
saran-saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
penulis pada khususnya, bagi civitas akademika IAIN Salatiga dan
27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
C. Makna Perkawinan
6. Pengertian Perkawinan
Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan
perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Manusia tidak seperti binatang yang melakukan
perkawinan dengan bebas dan sekehendak hawa nafsunya. bagi binatang,
perkawinan hanya semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu
syahwatnya, sedangkan bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai
etika dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh karena itu, perkawinan
manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.
Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah
hidupnya karena keturunan dan perkembangan manusia disebabkan oleh
adanya perkawinan. Akan tetapi, jika perkawinan manusia tidak
didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur
oleh bentuk-bentuk perzinahan sehingga manusia tidak berbeda dengan
binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya.
Perkawinan atau sering disebut dengan pernikahan berasal dari
kata dalam bahasa Arab yaitu kata nikah. Kata nikah adalah bentuk
28 yang artinya kumpul. Juga bisa di artikan wath’u al-zaujah bermakna
menyetubuhi istri. Menurut Tihami dan Sahrani (2008: 7) sebagaimana
dikutip dari Rahmat Hakim memaparkan bahwa kata nikah berasal dari
bahasa Arab nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata
kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah
sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki
-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah
serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah
adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; nikah
atau tazwij (Tihami & Sahrani, 2008: 8). Hal ini sesuai dengan ungkapan
yang ditulis oleh Zakiyah Daradjat dan kawan-kawan (1985: 48) yang
memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
امهانعم وأ جيوزتلا وأ حاكنلا ظفلب ئطو ةحابإ نمضتي دقع
Artinya: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungankelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.
Pengertian perkawinan menurut Slamet Abidin dan Aminudin
sebagaimana dikutip oleh Saebani (2008: 14) terdiri atas beberapa definisi,
yaitu sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai
29 Artinya, seorang laki-lakidapat menguasai perempuan dengan seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
b. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz nikah atau zauj, yang menyimpan arti
memiliki. Artinya, dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau
mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak
mewajibkan adanya harga.
d. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan
menggunakan lafadz inkah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.
Artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan dan sebaliknya. Dalam pengertian di atas terdapat kata-kata
milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad
nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil manfaat
untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan
membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah di dunia.
Dari beberapa pengertian nikah tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria
dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua
belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat
30 keduanya, sehingga satu sama lainnya saling membutuhkan menjadi
sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga (Saebani, 2008: 15).
Berbicara masalah perkawinan, dalam tata hukum Indonesia pun
diatur. Menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pada Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa: perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab II Dasar-Dasar Perkawinan Pasal
2 dinyatakan bahwa: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupaka ibadah. Dengan demikian,
pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya
dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial
yang sakral.
7. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamana yang menyangkut penyaluran
kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan
dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani, 2008: 8).
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara‟. Dalam
buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan oleh
31 Haji Departemen Agama RI (2002: 5) disebutkan bahwa dasar perkawinan
menurut ajaran Islam, yang pertama adalah melaksanakan Sunnatullah,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa‟
Dan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sedirian (janda) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan
yang patut “.
Dalam hadits Nabi Muhammad SAW, juga disebutkan:
لاق هنع الله يضر دوعسم نب اللهدبع نع
kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untukkawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya” (H.R. Bukhari-Muslim).
Dan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunnah Rasulullah SAW
sebagaimana disebut dalam hadits Nabi :
هيلع ىنثاو الله دمح ملسو هيلع الله ىلص يبنلا نأ هنع الله يضر كلام نبا سنأ نع
لاقو
:
ينم سيلف يتنس نع بغر نمف ءاسنلا جوزتاو رطفاو ماناو ىلصا انأ ينكل
32 aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, akau berbuka, dan aku mengawini perempuan, barang siapa yang tidak suka dengan
perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Tihami dan Sahrani menjelaskan dalam bukunya yang berjudul
Fikih Munakahat (2008: 11), bahwa hukum asal dari perkawinan adalah
mubah, namun dapat berubah menurut ahkam al-khamsah (hukum yang
lima) menurut perubahan keadaan :
a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang
akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah
mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari
perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali
dengan nikah.
b. Nikah Haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu nikah haram bagi
orang yang berkehendak menyakiti perempuan yang dinikahi.
c. Nikah Sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah
mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah
dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
33 Selanjutnya Al-Aziz S (2005: 475) dalam bukunya Fiqih Islam
Lengkap Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam Dengan Berbagai
Permasalahannya menambahkan bahwa hukum nikah makruh, bagi oyang
yang tidak mampu memberi nafaqah kepada istrinya.
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar
perkawinan, menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, dan
makruh tergantung dengan keadaan maslahat dan mafsadatnya.
8. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia,
yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikat tali perjanjian yang
suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah
tangga yang sakinah, tentram dan di penuhi oleh rasa cinta dan kasih
sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,
perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam
al-Qur‟an dan as-Sunnah yang sifatnya global. akan tetapi, perkawinan
berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan
sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun
dan syarat-syaratnya. Perihal masalah syarat-syarat perkawinan, di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga telah di atur secara jelas, yaitu
pada Bab II Tentang Syarat-Syarat Perkawinan.
Berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan,
Sayyid Sabiq (1987: 86) mengatakan bahwa syarat sahnya perkawinan
34
Pertama, perempuan yang hendak dinikahi adalah yang halal untuk
dinikahi oleh laki-laki yang bersangkutan, bukan perempuan yang haram
untuk dinikahi karena saudara sekandungnya misalnya. Kedua, adanya
para saksi dalam perkawinan, Ketiga, adanya ijab kabul.
Selain itu dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yaitu pada Bab IV tentang Rukun Dan Syarat Perkawinan, Bagian Kesatu
tentang Rukun Perkawinan meliputi hal-hal:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali Nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan kabul
Sedangkan syarat perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Tihami
dan Sahrani (2008: 13-14) ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab
kabul.
Syarat-syarat Suami:
a. bukan mahram dari calon istri
b. tidak terpaksa/ atas kemauan sendiri
c. orangnya tertentu, jelas orangnya
d. tidak sedang ihram
e. tidak sedang beristri empat dalam satu masa
35 a. tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang dalam iddah.
b. merdeka, atas kemauan sendiri.
c. jelas orangnya, dan
d. tidak sedang berihram
Syarat-syarat wali:
a. laki-laki
b. baligh
c. waras akalnya
d. tidak dipaksa
e. adil, dan
f. tidak sedang ihram
Syarat-syarat saksi:
a. laki-laki
b. baligh
c. waras akalnya
d. adil
e. dapat mendengar dan melihat
f. bebas, tidak dipaksa
g. tidak sedang ihram
9. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa
36 duniawi dan ukhrawi. Dengan pengamatan sepintas lalu, pada batang
tubuh ajaran fikih dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu
(Tihami dan Sahrani 2008: 154) yakni;
a. Rub’al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk
dengan khaliknya.
b. Rub’al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas
pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya
sehari-hari.
c. Rub’al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam
lingkup keluarga,
d. Rub’al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib
pergaulan yang menjamin ketentramannya.
Dalam buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Islam RI (2002: 5) dijelaskan
bahwa tujuan perkawinan di dalam ajaran Islam yang pertama adalah
seperti yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 21:
37 Tujuan yang kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata
dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
لاق هنع الله يضر دوعسم نب اللهدبع نع
kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untukkawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya”
(H.R. Bukhari-Muslim).
Selain dari dua hal tersebut di atas maka tujuan yang ketiga adalah
untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman kuat ilmu dan
kuat amal sehingga mereka itu akan dapat membangun hari depannya yang
lebih baik, bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan
negaranya.
Senada dengan pemaparan di atas, Zakiyah Darajat dkk (1985: 64),
mengemukakan ada lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:
a. mendapat dan melangsungkan keturunan;
b. memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya;
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan;
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
38 e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Bab I tentang Dasar
Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 3 disebutkan
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan rahmah. Dengan demikian, maka rumusan tentang
tujuan perkawinan yang ada di dalam undang-undang adalah sejalan
dengan ajaran Islam yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
10.Hak dan Kewajiban Suami Istri
Terjadinya akad nikah telah menimbulkan akibat hukum bagi
pasangan yang menikah. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan
juga hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang
meliputi hak suami istri secara bersama, hak suami atas istrinya berarti
kewajiban yang harus diberikan oleh istri kepada suami, dan hak istri atas
suami berarti kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri.
Jika suatu pasangan suami istri sama-sama menjalankan tanggung
jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan
39 tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai
dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, warahmah.
Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34. Dalam Pasal 30
disebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
Dalam Pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban
suami istri yaitu:
a. hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat;
b. masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;
c. suami adalah kepala keluarga dan istri ibu ramah tangga.
Pasal 32 menyatakan bahwa:
a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33; Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada
40 Pasal 34:
a. suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
b. istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
c. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Dalam KHI Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri dibagi
menjadi enam bagian, yaitu:
Bagian Kesatu, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama
materinya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 1/1974 Pasal 30-34, yaitu:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, menghormati, setia dan
memberi bantun lahir batin.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun
kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
41 Bagian Kedua, Kedudukan Suami Istri pada Pasal 78:
a. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga;
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat;
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga, Kewajiban Suami pada Pasal 80:
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri;
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa;
d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
1) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
2) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak;
3) biaya pendidikan bagi anak.
e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
42 f. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
istrinya nusyuz.
Bagian Keempat, Tempat Kediaman pada Pasal 81
a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan
anak-anaknya atau bekas istri istri yang masih dalam masa iddah;
b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perakawinan atau dalam iddah atau iddah wafat;
c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;
d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun
sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima, Kewajiban Suami Beristri Lebih dari seorang, Pasal 82;
a. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing istri, kecauali ada perjanjian perkawinan;
b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya