• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DOMINASI KASUS CERAI GUGAT

MASYARAKAT MUSLIM KOTA SALATIGA DI

PENGADILAN AGAMA (PA) SALATIGA TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Imam Syafi‟i

NIM: 21111016

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

iii

MOTTO



“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

“Visi ha

nyalah ilusi tanpa ada aksi, dan

(4)
(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Syafi‟i, Imam. 2015. Analisis Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014. Fakultas

Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Farkhani, M.H.

Kata Kunci: Cerai Gugat

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui penyebab maraknya kasus cerai gugat masyarakat muslim di Kota Salatiga. Pertanyan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga tahun 2014?, dan apa penyebabnya?, (2) bagaimana kualitas suami dari

Kota Salatiga dalam membina rumah tangga?. Untuk menjawab

pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perkara cerai di PA Salatiga 70% yang mendominasi adalah perkara cerai gugat. Faktor yang melatar belakanginya karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga yang disebabkan berbagai hal : perselisihan, ekonomi, tidak adanya tanggung jawab dari suami, KDRT, hadirnya pihak ke-3, dan krisis moral seperti suami pemabuk. Selain itu perkara yang ada lebih didominasi pasangan muda yang usia perkawinannya dibawah 10 tahun, hal ini menunjukkan ketidak siapan pasangan dalam berumah tangga.

Lebih dari pada itu, maraknya cerai gugat menunjukkan belum

maksimalnya peran lembaga pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Agama melalui Bimas Islam dalam pendampingan berkeluarga yang baik.

Berdasarkan penelitian yang telah diakukan, bahwa tingkat cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga tergolong minim. Hal ini berdasarkan fakta dari data perkawinan yang ada, rata-rata pertahunnya tercatat sebanyak 1170 perkawinan di Kota Salatiga dengan perbandingan perceraian sebanyak 120 pasangan. Artinya setiap terjadi 10 perkawinan ada 1 pasangan yang bercerai di PA Salatiga. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat muslim Kota Salatiga dalam membina keluarga sakinah tinggi, sehingga diperoleh fakta bahwa suami dari warga muslim Kota Salatiga rata-rata bertanggung jawab. Mengacu pada temuan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan agar tidak terjadi cerai gugat, maka bagi pasangan calon pengantin untuk

mematangkan kembali kesiapannya untuk menikah. Selanjutnya,

pemerintah harus memberikan perhatiannya berupa pendampingan

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala

nikmat-Nya, kesabaran, ketelitian dan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul: ”Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masyarakat

Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014”, untuk

memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Fakultas

Syari‟ah Jurusan Ahwal al-Syahkhshiyyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Salatiga.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari

berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, fikiran dan waktunya

guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya

pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengahturkan

terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., Selaku Rektor IAIN Saltiga, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian

dan penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Bapak Syukron Makmun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal

al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis

(8)

viii

4. Bapak Farkhani, M.H., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik.

5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang

telah berkenan memberikan izin penulis untuk melakukan penelitiaan di

Pengadilan Agama Salatiga

6. Dra. Widad sebagai Panitera Muda Hukum PA Salatiga yang telah membantu

memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan.

7. Para Dosen Syari‟ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do‟a selama

penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.

8. Bapak dibumi rantau yang jauh disana, yang senantiasa membanting tulang

untuk mengais rizki demi membantu mewujudkan cita-cita penulis menuntut

ilmu.

9. Adik-adik dan para sahabatku yang telah memberikan dorongan, motivasi dan

do‟anya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

10.Semu pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi

ini sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang

setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

Skripsi ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi

(9)

ix

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat

khususnya bsgi civitas akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang

membutuhkannya.

Atas perhatiannya penulis sampaikan banyak terimakasih.

Salatiga, 13 Agustus 2015

Penulis

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

MOTTO ... iii

NOTA PEMBIMBING ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Penengasan Istilah ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 12

G. Metode Penelitian... 15

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 15

2. Kehadiran Peneliti ... 18

3. Lokasi Penelitian ... 18

4. Kebutuhan dan Sumber Data ... 18

5. Teknik Pengumpulan Data ... 19

6. Analisis Data ... 21

7. Pengecekan Keabsahan Data... 22

(11)

xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Makna Perkawinan ... 27

1. Pengertian Perkawinan ... 27

2. Dasar Hukum Perkawinan... 30

3. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan ... 33

4. Tujuan Perkawinan... 36

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 38

B. Putusnya Perkawinan ... 46

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian ... 47

2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ... 48

3. Putusnya Perkawinan Karena Atas Putusan Pengadilan ... 57

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Salatiga ... 62

1. Sejarah pembentukan PA Salatiga ... 62

2. Dasar hukum pembentukan PA Salatiga ... 68

3. Wewenang Pengadilan Agama Salatiga... 68

4. Visi dan Misi PA Salatiga ... 69

5. Struktur Organisasi PA Salatiga ... 70

B. Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga... 72

(12)

xii

BAB IV PEMBAHASAN

A. Gambaran Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ... 83 B. Faktor Penyebab Perkara Cerai Gugat di PA Salatiga ... 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada

semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi

makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya (Tihami & Sahrani,

2009:6). Semua yang diciptakan oleh Allah adalah berpasang-pasangan dan

berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna

yakni manusia. Dalam surat al-Dzariyah ayat 49 disebutkan:

Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”

Manusia tidak seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan

bebas dan sekehendak hawa nafsunya. Bagi binatang, perkawinan hanya

semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedang bagi

manusia perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lainya yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh

karena itu, perkawinan manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.

Perkawinan tidak hanya semata-mata menjadi urusan kedua mempelai

saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diridhoi Allah sebagai

(14)

2 dipersatukan dengan saling mencintai dan mengharapkan dapat membuahkan

hasil dari cintanya yakni keturunan dalam suatu rumah tangga yang kekal dan

bahagia untuk mengarungi cakrawala kehidupan rumah tangga yang damai.

Namun demikian, kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu

tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri yang bersangkutan.

Artinya apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap

keterbukaan, saling perhatian, saling menyayangi dan sikap serta saling

berfikir positif, hal ini dapat menimbulkan konflik dan masa suram yang

dihadapi sebuah rumah tangga. Konflik dan masa suram yang dimaksud dapat

disebabkan beberapa faktor. Faktor permasalah ini dapat mengganggu atas

kekalnya perkawinan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perceraian.

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada

Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa : perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari Undang-undang tersebut dapat

difahami bahwa perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan

manusia yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali

perjanjian yang suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat

membangun rumah tangga yang sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta

dan kasih sayang. Untuk menegakan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,

perkawinan tidak hanya bersandar pada ajaran Allah dalam al-Qur‟an dan as

(15)

3 hukum suatu negara. Perkawinan baru dikatakan sah jika menurut hukum

Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

(Saebani, 2008:15).

Syari‟at yang dibangun Islam di atas dalam kenyataannya hal tersebut

tidaklah mudah diwujudkan. Dalam melaksanakan kehidupan rumah tangga

tidak mustahil apabila akan terjadi salah paham antara suami dan istri, salah

satu atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban, tidak saling percaya dan

sebagainya sehinga menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga

dikarenakan tidak dapat dipersatukan kembali persepsi dan visi antara

keduanya, keadaan seperti ini ada kalanya dapat di atasi dan diselesaikan,

sehingga hubungan suami istri baik kembali, namun adakalanya tidak dapat

diselesaikan atau didamaikan. Bahkan kadang-kadang menimbulkan

kebencian dan pertengkaran yang berkepanjangan dan berujung pada

perceraian.

Menurut UU Perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi karena:

(1) kematian; (2) perceraian; dan (3) karena putusan pengadilan. Dengan

demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.

Perceraian yang diajukan oleh pihak laki-laki (suami) disebut dengan cerai

talaq, sementara cerai yang diajukan oleh pihak perempuan (istri) disebut

dengan cerai gugat.

Perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan untuk diproses secara

hukum terbilang cukup signifikan dengan jumlah yang semakin bertambah

(16)

4 perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibanding negara Islam

lainnya. Indonesia berada di peringkat tertinggi memiliki angka perceraian

paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam di dunia

lainnya. Menurutnya, gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga

ini semakin bertambah jumlahnya. Setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi

yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100

orang yang menikah, 10 pasangnya bercerai, dan umumnya mereka yang baru

berumah tangga. Dari berbagai kasus perceraian hampir 70 % adalah gugatan

cerai dari istri kepada suaminya, sedangkan sisanya adalah cerai talak dari

permohonan suami (Bahari, 2012:12).

Pergeseran nilai di dalam kehidupan masyarakat saat ini terlihat jelas,

dahulu isteri paling khawatir atau takut jika dicerai oleh suaminya, bahkan

dahulu isteri tidak punya kewenangan dalam hal cerai, karena talak merupakan

hak prerogatif suami, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sebagaian

besar istri-lah yang mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama.

Gugat cerai yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama didasari dengan

berbagai alasan, mulai dari perselisihan terus menerus yang tidak dapat rujuk

kembali, suami berzina, suami tidak memberi nafkah, suami meninggalkan

istri tanpa kabar, hingga persoalan karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.

Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat

selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian hampir 70%. Pada

(17)

5 pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak adalah akibat faktor

ketidak harmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab

78.407 perkara dan masalah ekonomi 67.891 perkara (Republika.co.id, diakses

24 Januari 2012) .

Trend perceraian di Kota Salatiga terus mengalami peningkatan. Hal

ini sebagaimana dilangsir dari surat kabar Semarangmetro pada Jum‟at, 28

Februari 2014 yang menyebutkan bahwa permohonan perceraian yang

diajukan ke Pengadilan Agama Salatiga terus meningkat dari tahun ke tahun.

Berikut adalah rincian perkara Pengadilan Agama Salatiga dari tahun

2010-2013

Tahun Diterima Jumlah Dicabut Dikabulkan Sisa Tahun Sebelumnya

2010 1.051 1.340 68 921 289

2011 1.151 1.444 48 964 293

2012 1.254 1.596 50 1.165 342

2013 1.379 1.750 60 1.272 371

Tabel 1.1. Rincian data perkara PA Salatiga

Dalam surat kabar Semarangmetro dipaparkan berita bahwa pada

Januari 2014, PA Salatiga menerina 520 kasus 386 di antaranya sisa tahun

sebelumnya. Artinya dalam sebulan ada 134 permohonan cerai. Selanjutnya

sebagaimana wawancara yang telah dilakukan wartawan Semarangmetro

kepada Panitera Muda Hukum PA Salatiga Dra. Widad yang mengatakan

bahwa untuk perkara perceraian ada dua jenis yaitu cerai gugat dan cerai talak.

Cerai gugat merupakan permohonan dari istri sedangkan cerai talak atas

(18)

6 ditangani PA Salatiga, permohonan cerai gugat lebih banyak dibanding cerai

talak.

Dari data tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah perceraian

yang ada di Kota Salatiga, dengan fokus penelitian adalah perkara cerai gugat

yang diajukan oleh pihak istri di Pengadilan Agama Kota Salatiga selama

kurun waktu tahun 2014 yang telah lalu untuk dicari tahu apa alasan

pengajuan gugatan cerai itu, sehingga setelah diketemukan alasan-alasan dari

para istri tersebut penulis akan mengklasifikasikan data tersebut untuk dapat

dianalisa dengan seksama dan pada akhirnya mengetahui kredibilitas para

suami di Kota Salatiga berkenaan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala

rumah tangga dalam rangka menaungi dan melindungi istri dan keluarganya.

Sehingga penelitian ini sangatlah perlu untuk dilakukan untuk memberikan

pertimbangan bagi masyarakat dalam rangka mencari calon suami yang ideal

dari wilayah Kota Salatiga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan:

1. Seberapa banyak perkara cerai gugat masyarakat muslim Kota Salatiga

tahun 2014?, dan apa penyebabnya?

2. Bagaimana kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam

(19)

7

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyebab cerai gugat yang terjadi di Kota Salatiga.

2. Mengetahui kualitas suami dari warga muslim Kota Salatiga dalam

membina rumah tangga.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam

mengetahui sejauh mana pemahaman warga kota Salatiga dalam

memahami arti penting dari sebuah pernikahan.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi

para peneliti di bidang syari‟ah.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi peneliti,

seluruh pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa IAIN Salatiga

pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi mengenai karakter seorang suami dari kota

Salatiga berkaitan masalah kredibilitasnya dalam mengemban tanggung

jawabnya sebagai seorang suami untuk membahagiakan istrinya dan

membangun keluarga yang sakinah sebagaimana diamanatkan oleh agama

(20)

8

E. Penengasan Istilah

Definisi Cerai Gugat

1. Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang

Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata

kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian,

kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal

bercerai (antara suami istri); perpecahan. Adapun kata bercerai berarti: v

(kata kerja), 1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi; 2.

Berhenti berlaki-bini (suami istri) (KBBI, 1997: 185).

Perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang

memuat ketentuan fakultatif bahwa perkawinan putus karena kematian,

perceraian, dan putusan pengadilan. Jadi istilah perceraian secara yuridis

berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan

sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri) sebagaimana

diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.

Istilah perceraian menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974

sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan adanya:

a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suai atau istri untuk

memutus hubungan perkawinan di antara mereka.

b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami istri yaitu

kematian suami atau istri yang bersangkutan yang merupakan

ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha

(21)

9 c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat

hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri

(Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: Sinar Grafika).

Dalam buku Hukum Perceraian (Syaifuddin, Turatmiyah &

Yahanan. 2013: 19-20), pengertian perceraian dapat dijelaskan dari

beberapa perspektif hukum berikut:

a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal

38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP

No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:

b. Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan

permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan

Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat

hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan

siding Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP

No. 9 Tahun 1975).

c. Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang

diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada

Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala

akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan

Psal 36).

d. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah

(22)

10 No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan

oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang

dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat

pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di

Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9

tahun 1975).

2. Istilah Perceraian Menurut Doktrin Hukum

Menurut Abdul Kadir Muhammad, putusnya perkawinan karena

kematian disebut dengan cerai mati, sedangkan putusnya perkawinan

karena perceraian ada 2 (dua) istilah, yaitu cerai gugat (khulu’) dan cerai

talak. Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan disebut dengan

istilah cerai batal (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 16).

Lebih lanjut Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa untuk

menyebut perkawinan dengan istilah-istilah tersebut, terdapat beberapa

alasan, yaitu:

a. Penyebutan istilah cerai mati dan cerai batal tidak menunjukkan kesan

adanya perselisihan antara suami istri;

b. Penyebutan cerai gugat (khulu’) dan cerai talak menunjukkan kesan

adanya perselisihan antara suami dan istri;

c. Putusnya perkawinan baik karena putusan pengadilan maupun

perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan (Syaifuddin,

(23)

11 Perceraian dalam istilah fikih disebut talak, itu dugunakan oleh

para ahli fikih sebagai salah satu istlah yang berarti membuka ikatan,

membatalkan perjanjian. Perceraian dalam istilah fikih juga sering disebut

dengan furqah yang artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul.

Kemudian kedua istilah tersebut digunakan oleh para ahli fikih sebagai

salah satu istilah yang berarti perceraian suami istri (Soemiyati, 1982:

103).

Kata talak dalam istilah fikih mempunyai arti umum, ialah segala

macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang

ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya

atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Selain itu, talak juga

mempunyai arti yang khusus, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh pihak

suami (Syaifuddin, Turatmiyah & Yahanan. 2013: 17).

Cerai gugat (talak tebus) dalam Islam dikenal dengan khulu’,

artinya talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak

istri kepada suami. Cerai gugat terjadi karena adanya kemauan dari pihak

istri, dengan alasan perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi. Cerai

gugat dapat terjadi jika ada keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak

istri, karena ia benci kepada suaminya (Syaifuddin, Turatmiyah &

Yahanan. 2013: 17).

Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur

Anshori (2011: 36) menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti

(24)

12 bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk

putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 (empat) kemungkinan,

sebagai berikut:

a. Putusnya perkawinan karena atas kehendak Allah sendiri melalui

matinya salah seorang suami istri. Adanya kematian itu menyebabkan

dengan sendirinya berakhir hubungan perkawinan.

b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami karena adanya alasan

tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu.

Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.

c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena istri melihat sesuatu

yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak

berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang

disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan

dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.

Putusnya perkawinan dengan cara seperti ini disebut khulu’.

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga

setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/istri yang menandakan

tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dijalankan. Putusnya

perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini tentu saja bukan penelitian yang pertama dengan

(25)

13 penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berkaitan masalah perceraian ini,

namun tentunya fokus penelitiannya yang berbeda. Ada beberapa literal kajian

karya ilmiah yang pernah ditulis baik berupa skripsi, artikel maupun dalam

bentuk buku yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

Salah satu penelitian yang pernah ada adalah penelitian oleh Nakiyah

(2002), mahasiswi Jurusan Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dalam skripsinya,

yang berjudul “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai

Alasan Perceraian (Studi Kasus di PA Salatiga Tahun 1999-2001)”, Nakiyah

menggunakan metode penelitian Field Research. Penelitian ini berusaha

mengetahui motif tindakan kekerasan suami terhadap istri. Hasil yang

diperoleh dalam penelitian ini bahwa motif tindakan kekerasan suami terhadap

istri lebih banyak ditimbulkan akibat kesenjangan ekonomi, nilai budaya dan

pemahaman agama yang kurang. Sehingga akibat tidakan-tindakan suami

yang kasar seperti itu menyebabkan alasan mengapa istri menggugat cerai

pada sang suami.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Istikara (2004), mahasiswi

Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang

berjudul “Putusnya Perkawinan Karena Cerai Gugat (Analisa Kasus Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan No: 1091/ pdt. G/ 2004/ PA JS)”, yang

menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Peneliti meneliti faktor-faktor apa

yang menyebabkan putusnya perkawinan dan bagaimana akibat cerai gugat

(26)

14 di atas itu disebabkan karena dahulu kedua belah pihak antara suami dan istri

terburu-buru untuk melangsungkan pernikahan, tanpa ada petimbangan yang

matang untuk menikah. Terlebih ketika sang suami tidak cakap dalam

membangun sebuah keluarga yang akhirnya mengakibatkan perseturuan

panjang antara suami dan istri. Selanjutnya hadlanah pemeliharaan anak di

pegang oleh ayahnya karena ibunya tidak menyatakan keberatan dan ada

hal-hal tertentu yang menyebabkan ibu tersebut tidak bisa mendapatkan hak asuh

anak.

Selanjutnya skripsi yang ditulis oleh Taufiqi (2008) mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berjudul “Penelantaran

Ekonomi Sebagai Alasan Gugatan Perceraian (Studi di Pengadilan Agama

Gresik)” dengan menggunakan metode penelitian yurudis sosiologis.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penelantaran ekonomi

sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai alasan gugat cerai karena tidak tidak

terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi penelantaran

ekonomi yang berujung pada perselisihan dan pertengkaran terus menerus

dapat dijadikan sebagai gugatan perceraian. Hal ini yang menjadi dasar bagi

hakim untuk mengabulkan gugatan istri sesuai dengan pasal 19 (F PP No. 9

Tahun 1975).

Kemudian skripsi yang ditulis oleh Aliyah (2013), mahasiswi Jurusan

Syari‟ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Salatiga yang berjudul “Perceraian Karena Gugatan Istri

(27)

15

Nomor: 0740/ pdt. G/ 2011/ PA. Sal di Pengadilan Agama Salatiga)”.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologis atau berdasarkan pengalaman subjek penelitian. Dalam

penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada perkara cerai gugat

dengan alasan pengajuan gugatan oleh istri berupa masalah sosial-ekonomi.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ditemukannya faktor-faktor

yang menyebabkan istri menggugat cerai suami, diantaranya adalah pertama,

suami meninggalkan kewajiban menafkahi keluarga dan yang kedua, karena

suami dipenjara. Alasan-alasan tersebut yang dijadikan dasar gugatan istri.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di atas, hampir

kesemuanya hanya fokus membahas seputar alasan pengajuan gugatan

perceraian istri kepada suami yang alasan-alasannya berupa masalah ekonomi.

Berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam penelitian yang

berjudul Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat Masayarakat Muslim Kota

Salatiga di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014, peneliti tidak hanya

meneliti alasan-alasan pengajuan gugatan istri. Tidak hanya terfokus pada

petitum dalam surat gugatannya, namun peneliti akan mengkualifikasin

alasan-alasan tersebut dan akan menganalisis dari pada alasan-alasan yang

telah ada hingga pada akhirnya akan ditarik kesimpulan mengenai kredibilitas

rasa tanggung jawab suami kepada istri dan keluarga dalam membangun

sebuah mahligai rumah tangga sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan

(28)

16

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Adapun yang

dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Menurut

Milles dan Michael sebagaimana dikutip oleh Maslikhah (2013: 319)

penelitian kualitatif akan mendapatkan data kualitatif yang sangat menarik,

memiliki sumber dari dekripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta

memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup

setempat. Penelitian ini dapat memahami alur peristiwa secara kronologis,

menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan

memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat, serta dapat

memperoleh penemuan-penemuan yang tidak diduga sebelumnya untuk

membentuk kerangka teoritis baru. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variable dan keadaan yang terjadi

saat penelitian berjalan dan menyuguhkan data apa adanya.

Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan

(29)

17 menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang

sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam masyarakat,

pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antar variable, perbedaan

antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisi dan lain-lain. Selain itu

pendekatana yang digunakan adalah pendekatan normative, yakni sebuah

pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka,

produk-produk hokum, perbandingan konsep hukum dan sejarah ataupun idiologi

yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat hukum (Soekanto &

Mamudji, 1995: 13-14). Berkaitan dengan apa yang penulis teliti, maka

al-Qur‟an dan al-Sunnah menjadi rujukan utama selain perbandingan dengan

hokum Islam di Indonesia serta konsep gender yang sedang ramai dibahas

dimasyarakat. Dan yang terakhir adalah pendekatan sosiologis, yaitu

pendekatan yang melandaskan pada fenomena atau gejala-gejala yang

berkembang ditengah-tengah masyarakat guna memahami hukum yang

berlaku dalam masyarakat (Soekanto, 1999: 45).

Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan dalam

penelitian ini dimaksudkan menelisik penyebab dominasi perkara cerai

gugat yang ada di PA Salatiga dengan mngumpulkan data-data perceraian

pada periode tahun 2014, guna memperoleh informasi mengenai

alasan-alasan pengajuan cerai gugat tersebut. Sehingga setelah diketahui

penyebab atau alasan-alasan cerai gugat tersebut akan dapat diketahui

kualitas sosok suami dari wilayah Kota Salatiga sebagai seorang kepala

(30)

18 penelitian ini mampu menyibak tabir dari rumusan masalah yang telah

penulis rumuskan di atas.

2. Kehadiran Peneliti

Kehadiran penulis dalam penelitian ini adalah sebagai seorang

peneliti. Dalam rangka mendapatkan data-data yang diperlukan, peneliti

akan melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada subjek yang

diteliti, ditempat sumber data itu berada. Sehingga sudah berang tentu

peneliti akan turut aktif dalam kegiatan penelitian ini guna mencari

data-data yang dibutuhkan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di

Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2014 ini dilaksanakan di Pengadilan

Agama Salatiga yang beralamatkan di Jln. Lingkar Selatan, Dusun

Jagalan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga,

Jawa Tengah.

4. Kebutuhan dan Sumber Data

Kebutuhan dan sumber data dalam penelitian yang berjudul

Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga

Tahun 2014 adalah data-data perceraian yang masuk di PA Salatiga dalam

periode tahun 2014. Kemudian dari data-data tersebut peneliti akan

mengklasifikasikan menurut jenis percerainnya dan dari situ akan tampak

dominasi perceraian yang ada di PA Salatiga. Setelah itu peneliti akan

(31)

19 alasan-alasan dalam gugatannya. Selain data-data perceraian tersebut

sumber data juga akan diperoleh dari para ahli yang ada di PA. Salatiga,

baik para hakim, panitera maupun dari para pihak yang berperkara sendiri

sebagai data sekunder guna menguatkan data primer yang telah ada.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,

melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang

yang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan

tujuan tertentu (Mulyana, 2004: 180). Wawancara yang akan dilakukan

menggunakan dua tahap, pertama peneliti melakukan deskripsi dan

orientasi awal tentang masalah dan subjek yang dikaji. Kedua

melakukan wawancara mendalam sehingga menemukan informasi

yang lebih banyak dan penting sampai menemukan titik jenuh.

Wawancara yang digunakan dengan model wawancara terbuka, artinya

informan dapat mengungkapkan beberapa upaya yang dilaksanakan

dan gagasan beserta strategi yang akan dilaksanakan serta hambatan

yang diprediksikan (Maslikhah, 2013: 321). Meskipun demikian,

peneliti tetap menggunakan kisi-kisi wawancara yang sesuai dengan

rumusan masalah di atas. Untuk membantu mendapatkan data penting,

maka peneliti menggunakan alat rekam suara baik tape recorder

(32)

20 Dalam wawancara ini informan yang akan dijadikan sebagai

nara sumber adalah para hakim di pengadilan agama kota salatiga.

Menggingat para hakim adalah sebagai eksekutor dalam perkara

perceraian di PA Salatiga. Dan tentunya dalam setiap putusannya

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan konstitusi

dan agama. Dengan mewawancarai para hakim di PA Salatiga ini

diharapkan penelitian mendapatkan data yang dibutuhkan sehingga

dapat membantu dalam penelitian ini.

b. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti

mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala

subjek yang sedang diteliti. Baik pengamatan itu dilakukan di dalam

situasi yang sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi yang khusus

diadakan (Surachmad, 1972: 155). Dalam melaksanakan observasi ini

peneliti akan berkunjung langsung ke Pengadilan Agama kota Salatiga

guna menggali informasi dan mengumpulkan data-data seputar

perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama kota Salatiga. Disini

peneiliti akan mengamati langsung bagaimana proses perceraian yang

ada di Pengadilan Agama kota Salatiga. Menelaah lebih inheren

penyebab perceraian itu terjadi, alasan pengajuan gugatan perceraian

dan mengkoding atau mengaktegorikan dominansi jenis perceraian

(33)

21

c. Penggunaan Dokumen

Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun

foto saat pelaksanaan penelitian sebagai bukti autentik dalam

membantu penyusunan laporan penelitian setelah purna. Penggunaan

dokumen ini dirasa sangat penting dibutuhkan, karena dalam penelitian

ini penggunaan dokumen sebagai sumber utama dalam jenis penelitian

deskriptif-kualitatif. Melalui dokumen-dokumen perceraian yang ada

di pengadilan agama kota salatiga ini akan didapatkan informasi terkait

intensitas tanggung jawab suami dikota salatiga dilihat dari sudut

pandang dominasi kasus cerai gugat yang ada di pengadilan agama

kota salatiga.

d. Analisis Data

Proses analisis data sepertihalnya penelitian kualitatif model

Miles dan Huberman sebagaimana dikutip oleh Emzir (2010:

129-135), maka digunakan teknik analisis data dengan reduksi data,

penyajian data dan verifikasi.

Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan,

pemusatan pada penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data kasar

yang diperoleh dari lapangan. Melalui reduksi data ini peneliti akan

memilah dan memilih data dan sumber informasi yang ada sesuai

dengan focus penelitian sejak awal. Yaitu hanya berkutit dilingkup

perceraian. Mengingat begitu banyaknya kasus yang ditangani

(34)

22 perceraian saja ada juga kasusu-kasus lain seperti sengketa harta

gono-gini, warisan, wakaf dan lain sebagainya.

Penyajian data (data display) yaitu deskripsi kumpulan

informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan

kesimpulan dan mengambil tindakan. Dengan penyajian data ini

peneliti akan menyajikan dan menyusun sedemikian rupa secara runtut

data kasar yang berupa dukumen-dokumen perceraian, wawancara

dengan para hakim dan beberapa pihak yang berperkara, serta

pengamatan langsung tersebut dalam bentuk diskripsi kalimat yang

lugas sehingga mudah difahami dan dicermati hingga akhirnya penulis

akan dapat memberikan kesimpulan dalam penelitian ini.

Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclution drawing and

verification) dari permulaan pengumpulan data, periset kualitatif

mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh dilapangan, mencatat

keterangan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada,

alur akusalitas dan proposisi. Dalam penarikan kesimpulan ini akan

didapatkan jawaban-jawaban dari rumusan maslah yang telah ada,

sehingga hasil dari penelitian tentang Menelisik Dominasi Kasus Cerai

Gugat Masyarakat Muslim Kota Salatiga di Pengadilan Agama

Salatiga Tahun 2014 dapat terealisasi dengan baik.

e. Pengecekan Keabsahan Data

Mengikuti teori Moleong sebagaimana dikutip oleh Maslikhah

(35)

23 didasarkan pada empat kriteria yaitu derajat kepercayaan (credibility),

keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan

kepastian (confirmablity). Uji derajat kepercayaan (credibility)

dilakukan dengan cara melakukan pembuktian apakah yang diamati

oleh peneliti benar-benar sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi

secara wajar dilapangan. Untuk melakukan derajat kepercayaan ini

dilakukan observasi secara terus menerus. Keteralihan (transferability)

membuat uraian laporan atas data yang ditemukan secara khusus

dengan jelas ditulis sehingga dapat dipahami oleh pembaca.

Ketergantungan (dependability) dilakukan untuk mengurangi

kesalahan-kesalahan dalam mengumpulkan, menginterpretasi temuan

dan laporan hasil penelitian cara menentukan dependent auditor

(konsultan peneliti). Kepastian (confirmability) dilakukan untuk

mengetahui apakah data yang diperoleh memenuhi obyektifitas atau

tidak. Untuk melakukan uji confirmability ini dilakukan dengan cara

melakukan konfirmasi apakah pandangan, pendapat dan penemuan

seseorang juga telah disepekati oleh orang lain secara obyektif. Oleh

karena itu, data yang sudah dikumpulkan dikonfirmasikan dengan para

ahli yang membidanginya.

f. Tahap-tahap Penelitian

a. Tahap Pra-Lapangan

Dalam tahap pra-lapangan ini ada lima hal yang harus

(36)

24 1) Menentukan setting dan subyek penelitian

2) Menyusun rancangan penelitian

3) mengurus perizinan penelitian

4) Menyiapkan perlengkapan penelitian

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga

bagian, yaitu:

1) Memahami latar penelitian

2) Adaptasi peneliti dilapangan

3) Berperan serta sambil mengumpulkan data

c. Tahap Pasca Lapangan

Pada tahap pasca lapangan ini, peneliti membaginya

menjadi tiga tahap, yaitu:

1) Pengolahan data penelitian

2) Menganalisis data penelitian

3) Menyimpulkan hasil penelitian

d. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan mudah dalam

memahami penulisan penelitian ini, maka penulis akan

memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang akan

dibahas dengan sistematika penulisan yang akan penulis susun

(37)

25

Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menguraikan

tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan maslah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode

penelitian dan sitematika penulisan penelitian.

Bab kedua adalah kajian pustaka, yang berisikan penjelasan

tentang makna perkawinan, keluarga sakinah, putusnya

perkawinan. Dalam bab ini akan diuraikan beberapa hal terkait hal

tersebut di atas baik dari sudut pandang agama maupun secara

konstitusi perundang-undangan negara. Pada bagian kajian pustaka

ini sangatlah penting, karena pada bab ini ibarat sebagai pisau

bedah yang akan membantu peneliti membedah problem dari

subyek yang diteliti.

Selanjutnya Bab ketiga adalah paparan data dan temuan

penelitian. Dalam bab ini peneliti akan memaparkan data-data yang

telah didapatkan baik berupa data hasil wawancara, maupun data

tertulis yang akan di notasikan dalam bentuk tulisan, selanjutnya

akan dikorelasikan pada data dari teori pada bab sebelumnya

sehingga akan didapatkan temuan penelitian yang dimaksud sesuai

dengan rumusan masalah yang sebelumnya dirumuskan.

Bab empat adalah pembahasan. Setelah ditemukan gap atau

temuan masalah dalam penelitian pada bab ke-tiga, peneliti akan

mengkaji lebih dalam menurut interpretasi sendiri berdasarkan

(38)

26 mengkrucutkannya untuk didapat jawaban dari penelitian tentang

Menelisik Dominasi Kasus Cerai Gugat di PA Salatiga Tahun

2014.

Dan Bab kelima adalah penutup, pada bab yang terakhir ini

membahas tentang kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan

saran-saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

penulis pada khususnya, bagi civitas akademika IAIN Salatiga dan

(39)

27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

C. Makna Perkawinan

6. Pengertian Perkawinan

Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan

perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Manusia tidak seperti binatang yang melakukan

perkawinan dengan bebas dan sekehendak hawa nafsunya. bagi binatang,

perkawinan hanya semata-mata merupakan kebutuhan birahi dan nafsu

syahwatnya, sedangkan bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai

etika dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Oleh karena itu, perkawinan

manusia harus mengikuti peraturan yang berlaku.

Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah

hidupnya karena keturunan dan perkembangan manusia disebabkan oleh

adanya perkawinan. Akan tetapi, jika perkawinan manusia tidak

didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan hancur

oleh bentuk-bentuk perzinahan sehingga manusia tidak berbeda dengan

binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya.

Perkawinan atau sering disebut dengan pernikahan berasal dari

kata dalam bahasa Arab yaitu kata nikah. Kata nikah adalah bentuk

(40)

28 yang artinya kumpul. Juga bisa di artikan wath’u al-zaujah bermakna

menyetubuhi istri. Menurut Tihami dan Sahrani (2008: 7) sebagaimana

dikutip dari Rahmat Hakim memaparkan bahwa kata nikah berasal dari

bahasa Arab nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata

kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya tazawwaja kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah

sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.

Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki

-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama

lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah

serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah

adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; nikah

atau tazwij (Tihami & Sahrani, 2008: 8). Hal ini sesuai dengan ungkapan

yang ditulis oleh Zakiyah Daradjat dan kawan-kawan (1985: 48) yang

memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

امهانعم وأ جيوزتلا وأ حاكنلا ظفلب ئطو ةحابإ نمضتي دقع

Artinya: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan

kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.

Pengertian perkawinan menurut Slamet Abidin dan Aminudin

sebagaimana dikutip oleh Saebani (2008: 14) terdiri atas beberapa definisi,

yaitu sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai

(41)

29 Artinya, seorang laki-lakidapat menguasai perempuan dengan seluruh

anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.

b. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad

dengan menggunakan lafadz nikah atau zauj, yang menyimpan arti

memiliki. Artinya, dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau

mendapatkan kesenangan dari pasangannya.

c. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad

yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak

mewajibkan adanya harga.

d. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan

menggunakan lafadz inkah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.

Artinya, seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang

perempuan dan sebaliknya. Dalam pengertian di atas terdapat kata-kata

milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad

nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil manfaat

untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan

membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah di dunia.

Dari beberapa pengertian nikah tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria

dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua

belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat

(42)

30 keduanya, sehingga satu sama lainnya saling membutuhkan menjadi

sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga (Saebani, 2008: 15).

Berbicara masalah perkawinan, dalam tata hukum Indonesia pun

diatur. Menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

pada Bab I Dasar Perkawinan Pasal 1 dinyatakan bahwa: perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Bab II Dasar-Dasar Perkawinan Pasal

2 dinyatakan bahwa: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,

yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupaka ibadah. Dengan demikian,

pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya

dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial

yang sakral.

7. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur

hubungan antara manusia dengan sesamana yang menyangkut penyaluran

kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan

dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani, 2008: 8).

Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara‟. Dalam

buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan oleh

(43)

31 Haji Departemen Agama RI (2002: 5) disebutkan bahwa dasar perkawinan

menurut ajaran Islam, yang pertama adalah melaksanakan Sunnatullah,

sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa‟

Dan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:

Artinya: “Dan kawinilah orang-orang yang sedirian (janda) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan

yang patut “.

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW, juga disebutkan:

لاق هنع الله يضر دوعسم نب اللهدبع نع

kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untuk

kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya” (H.R. Bukhari-Muslim).

Dan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunnah Rasulullah SAW

sebagaimana disebut dalam hadits Nabi :

هيلع ىنثاو الله دمح ملسو هيلع الله ىلص يبنلا نأ هنع الله يضر كلام نبا سنأ نع

لاقو

:

ينم سيلف يتنس نع بغر نمف ءاسنلا جوزتاو رطفاو ماناو ىلصا انأ ينكل

(44)

32 aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, akau berbuka, dan aku mengawini perempuan, barang siapa yang tidak suka dengan

perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (H.R.

Bukhari dan Muslim).

Tihami dan Sahrani menjelaskan dalam bukunya yang berjudul

Fikih Munakahat (2008: 11), bahwa hukum asal dari perkawinan adalah

mubah, namun dapat berubah menurut ahkam al-khamsah (hukum yang

lima) menurut perubahan keadaan :

a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang

akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah

mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari

perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana kecuali

dengan nikah.

b. Nikah Haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan

kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu nikah haram bagi

orang yang berkehendak menyakiti perempuan yang dinikahi.

c. Nikah Sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah

mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan

haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada

membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah

dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum

(45)

33 Selanjutnya Al-Aziz S (2005: 475) dalam bukunya Fiqih Islam

Lengkap Pedoman Hukum Ibadah Umat Islam Dengan Berbagai

Permasalahannya menambahkan bahwa hukum nikah makruh, bagi oyang

yang tidak mampu memberi nafaqah kepada istrinya.

Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar

perkawinan, menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, dan

makruh tergantung dengan keadaan maslahat dan mafsadatnya.

8. Rukun Dan Syarat Dalam Perkawinan

Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia,

yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikat tali perjanjian yang

suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah

tangga yang sakinah, tentram dan di penuhi oleh rasa cinta dan kasih

sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,

perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam

al-Qur‟an dan as-Sunnah yang sifatnya global. akan tetapi, perkawinan

berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan

sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun

dan syarat-syaratnya. Perihal masalah syarat-syarat perkawinan, di dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga telah di atur secara jelas, yaitu

pada Bab II Tentang Syarat-Syarat Perkawinan.

Berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan,

Sayyid Sabiq (1987: 86) mengatakan bahwa syarat sahnya perkawinan

(46)

34

Pertama, perempuan yang hendak dinikahi adalah yang halal untuk

dinikahi oleh laki-laki yang bersangkutan, bukan perempuan yang haram

untuk dinikahi karena saudara sekandungnya misalnya. Kedua, adanya

para saksi dalam perkawinan, Ketiga, adanya ijab kabul.

Selain itu dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),

yaitu pada Bab IV tentang Rukun Dan Syarat Perkawinan, Bagian Kesatu

tentang Rukun Perkawinan meliputi hal-hal:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali Nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan kabul

Sedangkan syarat perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Tihami

dan Sahrani (2008: 13-14) ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun

perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab

kabul.

Syarat-syarat Suami:

a. bukan mahram dari calon istri

b. tidak terpaksa/ atas kemauan sendiri

c. orangnya tertentu, jelas orangnya

d. tidak sedang ihram

e. tidak sedang beristri empat dalam satu masa

(47)

35 a. tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak

sedang dalam iddah.

b. merdeka, atas kemauan sendiri.

c. jelas orangnya, dan

d. tidak sedang berihram

Syarat-syarat wali:

a. laki-laki

b. baligh

c. waras akalnya

d. tidak dipaksa

e. adil, dan

f. tidak sedang ihram

Syarat-syarat saksi:

a. laki-laki

b. baligh

c. waras akalnya

d. adil

e. dapat mendengar dan melihat

f. bebas, tidak dipaksa

g. tidak sedang ihram

9. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa

(48)

36 duniawi dan ukhrawi. Dengan pengamatan sepintas lalu, pada batang

tubuh ajaran fikih dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu

(Tihami dan Sahrani 2008: 154) yakni;

a. Rub’al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk

dengan khaliknya.

b. Rub’al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas

pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya

sehari-hari.

c. Rub’al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam

lingkup keluarga,

d. Rub’al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib

pergaulan yang menjamin ketentramannya.

Dalam buku Pedoman Konselar Keluarga Sakinah yang diterbitkan

oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Islam RI (2002: 5) dijelaskan

bahwa tujuan perkawinan di dalam ajaran Islam yang pertama adalah

seperti yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 21:

(49)

37 Tujuan yang kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata

dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

لاق هنع الله يضر دوعسم نب اللهدبع نع

kami: “Hai para pemuda, apabila di antara kamu mampu untuk

kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu

hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu menjadi penjaga baginya”

(H.R. Bukhari-Muslim).

Selain dari dua hal tersebut di atas maka tujuan yang ketiga adalah

untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman kuat ilmu dan

kuat amal sehingga mereka itu akan dapat membangun hari depannya yang

lebih baik, bagi dirinya, keluarganya dan masyarakat serta bangsa dan

negaranya.

Senada dengan pemaparan di atas, Zakiyah Darajat dkk (1985: 64),

mengemukakan ada lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:

a. mendapat dan melangsungkan keturunan;

b. memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan

kasih sayangnya;

c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan;

d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak

serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta

(50)

38 e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Bab I tentang Dasar

Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI), Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 3 disebutkan

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawadah dan rahmah. Dengan demikian, maka rumusan tentang

tujuan perkawinan yang ada di dalam undang-undang adalah sejalan

dengan ajaran Islam yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

10.Hak dan Kewajiban Suami Istri

Terjadinya akad nikah telah menimbulkan akibat hukum bagi

pasangan yang menikah. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan

juga hak serta kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang

meliputi hak suami istri secara bersama, hak suami atas istrinya berarti

kewajiban yang harus diberikan oleh istri kepada suami, dan hak istri atas

suami berarti kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri.

Jika suatu pasangan suami istri sama-sama menjalankan tanggung

jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan

(51)

39 tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai

dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah, warahmah.

Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34. Dalam Pasal 30

disebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk

menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat.

Dalam Pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban

suami istri yaitu:

a. hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat;

b. masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;

c. suami adalah kepala keluarga dan istri ibu ramah tangga.

Pasal 32 menyatakan bahwa:

a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;

b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini

ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33; Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat

menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada

(52)

40 Pasal 34:

a. suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

b. istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

c. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Dalam KHI Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri dibagi

menjadi enam bagian, yaitu:

Bagian Kesatu, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama

materinya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 1/1974 Pasal 30-34, yaitu:

a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat.

b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, menghormati, setia dan

memberi bantun lahir batin.

c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun

kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.

d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

(53)

41 Bagian Kedua, Kedudukan Suami Istri pada Pasal 78:

a. Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga;

b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat;

c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian Ketiga, Kewajiban Suami pada Pasal 80:

a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan

tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting

diputuskan oleh suami istri;

b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan

memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan

bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa;

d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

1) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

2) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi

istri dan anak;

3) biaya pendidikan bagi anak.

e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf

(54)

42 f. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila

istrinya nusyuz.

Bagian Keempat, Tempat Kediaman pada Pasal 81

a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan

anak-anaknya atau bekas istri istri yang masih dalam masa iddah;

b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama

dalam ikatan perakawinan atau dalam iddah atau iddah wafat;

c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak anaknya

dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.

Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta

kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;

d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat

tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun

sarana penunjang lainnya.

Bagian Kelima, Kewajiban Suami Beristri Lebih dari seorang, Pasal 82;

a. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi

tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara

berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung

masing-masing istri, kecauali ada perjanjian perkawinan;

b. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya

Gambar

Tabel 1.1. Rincian data perkara PA Salatiga
Gambar 3.1. Struktur Organisasi PA Salatiga
Gambar 3.2. Data penyebab perceraian PA Salatiga
Tabel 3.2 Data Perkawinan KUA Salatiga
+3

Referensi

Dokumen terkait

Diajukan Sebagai Syarat Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana Strata 1 (S-1) Pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

Pada penelitian lain yang dilakukan Pusparini pada tahun 2004 menemukan bahwa kadar hematokrit yang meningkat merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dalam tuturan anak usia 2-4 tahun di PAUD Pribadi Mandiri bulan Maret-April tahun 2017 terdapat beberapa macam

Absentisme menjadi hal paling utama dalam evauasi kinerja para guru karena dapat diketahui berapa jam guru tersebut mengajar dan berapa jam waktu mengajar yang hilang1.

Dari hasil kesuluruhan metode penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa remaja wanita di kota semarang memang banyak yang melakukan tindakan deprivasi tidur hal ini

Pada tahap persiapan, praktikan menyiapkan seluruh kebutuhan dan administrasi yang diperlukan untuk mencari tempat PKL. Dimulai dengan pengajuan surat permohonan PKL

This is not only useful for measuring the decision to purchase private label products as a mediating variable bridge brand trust and brand image in the creation

Menurut Rahmadi (2001) tugas utama Bank adalah mengumpulkan dana dari masyarakat (baik dari perorangan maupun dari organisasi) Dengan dana yang terkumpul tadi, Bank dapat