• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA ADAT KEMATIAN SUKU DAYAK EMBALOH DI KALIMANTAN BARAT, PENDEKATAN ETNOGRAFI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPACARA ADAT KEMATIAN SUKU DAYAK EMBALOH DI KALIMANTAN BARAT, PENDEKATAN ETNOGRAFI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Yudita Susanti NIM : 05 4114 019

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Yudita Susanti NIM : 05 4114 019

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan

dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang

dapat mati harus mengenakan yang tidak dapat mati. (I Korintus, 15:51-53)

♥♥♥

Ku persempahkan khusus untuk:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Puji Syukur Atas Limpahan

Berkat dan Rahmat-Nya

Kedua orang tuaku tercinta: Bapak Fransiskus Didimus, M.Pd

dan Ibu Maria Beatha. N, S. Ag

Adikku: Agustinus Adinata

Kekasih Jiwaku: Moses Jhon Herody.

(6)

v

Ucapan itu keluar dari bibir-Nya.

Dan sebuah uluran kasih pun menyentuh tubuhku, hangat…

Terasa sampai ke denyut nadiku.. Nikmat…

Ingin aku membalas rasa yang selalu menghantuiku itu,

Tapi Malaikat menahanku. Kasih yang baru kugenggam memaksaku untuk

melepaskan tangannya. Rasa pedihku ingin melepas.

Aku takut melihat semua.

Bagai elang melihat mangsa dan harimau saling mencaplok buruannya.

Aku ketakutan.

Saat senja di kutuk lembayung,

Aku terbuai dalam kasih, menyingkirkan ajaran-Mu.

Untuk apa semua ini????

Sungguh, jiwaku masih tersenyum,

Kasihku belum surut sampai ke tepi.

Mumpung kutub Utara masih di Utara,

Jangan engkau nodai dahi dan jantung yang mulus.

Karena…

Aku tahu hidup banyak mengajarkan pengalaman.

Namun…Cerita ini tak’kan pernah berhenti.

Cerita yang selalu di terbangkan Angin Barat.

Tertutup jaring-jaring semu yang tak pernah termiliki oleh siapapun

Seperti angin yang berhenti membawa debu-debu di Ujung Langit.

Dan…

Ikrar sebuah kehidupan dalam lembaran baru ditandai dengan terbitnya sang

fajar di ufuk Timur. Begitu juga dengan kata ‘KEHIDUPAN’ yang

akhirnya akan selalu bercerita tentang ‘KEMATIAN’.

* * *

(7)
(8)

vii

berkat dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Bekal ilmu dan segala teori yang diterima tidaklah cukup untuk menjadi seorang sarjana. Dibutuhkan banyak aspek lain dalam menyandang gelar tersebut. Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia, serta untuk menambah wawasan bagi penulis dalam meneliti kebudayaan, khususnya dalam penelitian “Upacara Adat Kematian Suku Dayak Embaloh di Kalimantan Barat, Pendekatan Etnografi”.

Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kebaikan, bantuan, dan dukungan baik secara material maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan, bantuan, dan dukungan tersebut senantiasa hadir dalam kehidupan penulis terutama saat menjalani perkuliahan di Universitas Sanata Dharma. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum, selaku dosen pembimbing I, atas bimbingan, masukan, kesabaran, dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

viii

Indonesia, atas bimbingan yang diberikan kepada penulis.

5. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum, bapak Heri Antono, M.Hum, bapak Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum, bapak Drs. F.X. Santosa, bapak Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, ibu Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum, Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S, M.Hum, bapak Drs. Heri Mardianto, M.Hum, dan bapak Drs. Nur Iswantara, M.Hum, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh perkuliahan di Universitas Sanata Dharma. Guru adalah pahlawan tanpa jasa.

6. Romo Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J., atas nasihat kepada penulis dan pinjaman bukunya guna menyempurnakan penelitian ini.

7. Staf Perpustakaan dan Staf Sekretariat Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, khususnya untuk Mbak Rus dan Mas Tri, atas kesabaran dan bantuannnya dalam melayani keperluan penulis selama ini.

8. Orang tuaku terkasih, bapak Fransiskus Didimus, M.Pd dan ibu Maria Beatha.N, S.Ag. Ama, Ndu, tarima kase’ loa’ samuana. Anu jalu ijukang ikin na’an kukule kubalas sampi mateku, hanya idi poang yang bisa kumeang loin.

Semoga ikin duaen bangga dan sasau nyawanin mamele prestasiku nana

(10)

ix

Totho sekeluarga, bang Rony, bang Ebry, Bojhes, Bhong, Pongo sekeluarga, Adel sekeluarga, Egi sekeluarga, Jupani sekeluarga, Uju sekeluarga, Bang Nuel sekeluarga, Ka Ani, Paman Jhon, Paman Alex, Paman Kisu, Om Tua, dan Bapak Desi sekeluarga, atas segala dukungan, bantuan, dan doanya selama ini.

10.Bagian dari hidupku: Moses John Herody. Walaupun jarak memisahkan namun ada kepercayaan, dukungan dan doa di antara kita. Senyum yang kalian berikan adalah hidup dan kekuatanku dalam menyelesaikan skripsi ini. 11.Om Moses, yang banyak membantuku dalam mencari dan mengumpulkan

data-data skripsiku. Tanpa bantuan tangannya, skripsi ini tidak akan selesai. Tarima kase’ Om loa’ samuna.

12.Keluarga besar bapak Fransiskus Nyumbo (<) dan Ibu Bernadeta Sinung (<), serta masyarakat Suku Dayak Embaloh, khususnya yang tinggal di Karangkang dan Nanga Liyu. Tarima kase’ bayu loa’ samuana.

13.Teman-teman Sastra Indonesia, terutama angkatan 2005, atas persahabatan dan kebersamaan kita selama ini. Penulis akan selalu merindukan kebersamaan itu.

(11)

x

acuan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Matekam ira’ang, Tiokam ilautang!

(12)
(13)

xii Dharma.

Skripsi ini membahas upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh di Kalimantan Barat, pendekatan etnografi. Studi ini memiliki tiga tujuan yakni (1) mendeskripsikan proses upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh, (2) mendeskripsikan proses upacara adat setelah pemakaman pada Suku Dayak Embaloh, dan (3) menjelaskan makna dan fungsi upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh.

Judul ini dipilih karena studi kasus tentang upacara kematian, khususnya upacara adat kematian pada Suku Dayak masih jarang dilakukan. Upacara adat kematian mempunyai nilai penting dan menarik karena adanya nilai moral. Nilai moral tersebut mengajarkan kita yang masih hidup agar menghormati orang yang sudah meninggal dunia dengan melaksanakan upacara-upacara adat yang ada dalam upacara kematian.

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan etnografi. Penelitian ini menggunakan empat teknik pengumpulan data yaitu teknik observasi, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi.

Hasil penelitian mengenai upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh di Kalimantan Barat ini menunjukkan beberapa hal sebagai berikut.

(1) Proses upacara adat kematian pada Suku Dayak Embaloh di Kalimantan Barat merupakan suatu proses upacara yang panjang. Hal ini dapat dilihat dari upacara ketika seseorang menghembuskan nafas terakhir sampai dimakamkan. Manusia yang terdiri dari badan dan jiwa, apabila meninggal dunia, badannya akan hancur, tetapi jiwanya keluar dari tubuhnya dan hidup selama-lamanya dengan

Sampulo (Dia Yang Menciptakan) di Tailung. Upacara ini dilaksanakan dengan

landasan kepercayaan bahwa arwah atau roh orang mati memiliki hubungan dengan orang yang hidup karena roh orang mati dipercaya sebagai perantara antara Sampulo dengan manusia. Untuk menjaga keharmonisan hubungan tersebut dilakukanlah upacara-upacara adat kematian.

(2) Proses upacara adat setelah pemakaman merupakan suatu tradisi yang mutlak dilakukan karena upacara ini masih berhubungan langsung dengan upacara adat kematian. Tujuan dari upacara ini supaya arwah si mati dapat hidup bahagia di

Tailung bersama Sampulo. Untuk membuat arwah atau roh orang mati hidup bahagia

hanya dapat dilakukan dengan melaksanakan upacara adat setelah pemakaman. Melalui upacara ini, Suku Dayak Embaloh melakukan pembersihan diri dari segala kemalangan dan kesialan yang menimpa keluarganya.

(14)

xiii

(15)

xiv Dharma University.

This thesis is about Funeral Ceremony Of Dayak Embaloh Ethnic in West Borneo, A Ethnography Study. This study has three objectives, (1) description the process of funeral ceremony Dayak Embaloh Ethnic, (2) description the process of ceremony after funeral of Dayak Embaloh Ethnic, and (3) explanation about the meaning and function of funeral ceremony to Dayak Embaloh ethnic.

This title was selected by reason of case study concerning on funeral ceremony, in particulary funeral ceremony in Dayak ethnic is stil often conducted. The funeral ceremony has important and attractive meaning, i.e the existence of moral value. Moral value teaches us in order regard the dead people, to conduct the existing ceremonies in funeral ceremony.

The approach used in this study was ethnography. This research used four data collection techniques such as observation, interview, literature, and documentation.

This result of the research about funeral ceremony of Dayak Embaloh ethnic in West Borneo showed some matters as follow.

(1) The process of funeral custom ceremony of Dayak Embaloh ethnic in West Borneo is an extended ceremonial process. It seems from the ceremony wherein someone inhaled their last breath up to be buried. Human consists of body and soul, where they pass away, thus their body will damage, and meanwhile their soul will leave their body and live forever with Sampulo (Those Who Create) in Tailung. This ceremony was conducted by faithful base that the soul and departed spirit has relationship with the living people by reason dead people are believed as mediators between Sampulo and human. To maintain the harmony of that relationship, it was conducted funeral custom ceremonies.

(2) The process of custom ceremony after the funeral is an absolute tradition to conduct by reason this ceremony is still directly relating to the funeral custom ceremony. The purpose of this ceremony is in order the soul of the dead can live happily in Tailung along with Sampulo. To make the departed spirit of the dead live happily, it only can be conducted by custom ceremony after funeral. Through this ceremony, Dayak Embaloh ethnic conduct self-purifying from all of calamity and bad luck striking their family.

(16)
(17)

xvi

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

KATA PENGANTAR ………... vii

ABSTRAK ………. xii

ABSTRACT ………. xiv

DAFTAR ISI ……….. xvi

DAFTAR ISTILAH………... xxiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2Rumusan Masalah ………. 5

1.3Tujuan Penelitian ……….. 5

1.4Manfaat Penelitian ………. 6

1.5Tinjauan Pustaka ……… 7

1.6 Kerangka Berpikir …..……… 9

1.6.1 Batasan Istilah ………. 9

(18)

xvii

1.6.2 Folklor ………... 14

1.7 Metode Penelitian ……….. 18

1.7.1 Pendekatan ……… 18

1.7.2 Metode ………. 19

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ………... 20

1.7.3.1 Observasi ……….. 20

1.7.3.2 Wawancara ……….. 21

1.7.3.3 Kepustakaan ……… 23

1.7.3.4 Dokumentasi ……… 23

1.8 Sumber Data ………. 24

1.9 Sistematika Penyajian ……….. 25

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI KEBUDAYAAN PENELITIAN 2.1 Pengantar ……… 26

2.2 Tinjauan Umum Suku Dayak Embaloh ………. 26

2.2.1 Tofografi Kabupaten Kapuas Hulu……… 26

2.2.2 Demografi Kabupaten Kapuas Hulu………. ……… 29

2.2.3 Sistem Kekerabatan ……….. 32

(19)

xviii

2.2.4 Sistem Perkawinan ………. 36

2.2.5 Sistem Kepercayaan ……… 40

2.3 Rangkuman ………. 43

BAB III UPACARA ADAT KEMATIAN SUKU DAYAK EMBALOH 3.1 Pengantar ………. 47

3.2 Proses Upacara Kematian Suku Dayak Embaloh ……… 47

3.2.1 Bentuk-Bentuk Kematian ………... 49

3.2.1.1 Mate Maam ………. 49

3.2.1.2 Mate Ajau ……… 49

3.2.2 Pembedaan Perlakuan terhadap Orang Mati ……….. 50

3.2.2.1 Mate di dalam Rumah ………. 51

3.2.2.2 Mate di luar Rumah ……… 51

3.2.2.3 Mate karena Penyakit Sampar ……… 52

3.2.2.4 Mate pada Usia Lanjut ………. 54

3.2.2.5 Mate Atampus ……….. 54

3.2.2.6 Mate Mata’ ……….. 55

3.2.2.7 Mate Aranak ……… 56

(20)

xix

3.2.3.3 Memandikan Jenazah ……….. 62

3.2.3.4 Memberikan Pakaian pada Jenazah ……… 62

3.2.3.5 Membaringkan Jenazah di Serambi Rumah Betang …………... 63

3.2.4 Upacara Selama Jenazah Disemayamkan di Rumah Betang dan Pantangan-pantangannya ………. 65

3.2.4.1 Memberi Makan Jenazah ……… 67

3.2.4.2 Upacara Mandaunang Tau Mate ……… 68

3.2.4.2.1 Persiapan ………..…………..………. 68

3.2.4.2.2 Membuat Talayong …....………. 69

3.2.4.2.3 Banyaknya Makanan yang Disajikan……….………. 70

3.2.4.2.4 Jenis-jenis Makanan untuk Orang Mati …..…………. 72

3.2.4.2.5 Mandaunang Tau Mate dan Susunan Makanannya .……… 76

3.2.4.3 Pantangan-pantangan ……….. 78

3.2.4.3.1 Pantang Menyisir Rambut ……… 78

3.2.4.3.2 Pantang Mencukur atau Menggunting Rambut ……… 78

3.2.4.3.3 Pantang Mengerjakan Sesuatu ……….. 79

(21)

xx

3.2.5.3 Membuat Lungun ………..………. 83

3.2.5.4 Cara Membuat Lungun ……… 85

3.2.5.5 Pantangan pada Waktu Membuat Kayu untuk Membuat Lungun ……… 86

3.2.6 Upacara Hari Terakhir: Jenazah Disemayamkan di Rumah Betang ….. 86

3.2.7 Upacara Memasukkan Jenazah ke dalam Lungun ………. 90

3.2.8 Upacara Menghantar Jenazah ke Kulambu ……… 93

3.2.8.1 Lungun Itariai ……… 93

3.2.8.2 Mabasang Burung Bano ……… 94

3.2.9.3 Pembakaran Panjut ……… 98

3.2.9.4 Penikaman Mandau di Atas Lungun ………... 98

3.2.9 Lungun Diangkat Keluar Rumah ………... 99

3.2.9.1 Lungun Dibawa Melalui Tangga Utama Rumah Betang ... …… 100

3.2.9.2 Lungun Diturunkan Melalui Serambi Rumah Betang …..…….. 100

3.2.10 Upacara Pemakaman ……….. 102

3.3 Rangkuman ………. …… 104

(22)

xxi

4.2.3.Mararak Tata ………. 112 4.2.3.1 Mantat Daun ………..……. 112 4.2.3.2 Upacara Siraraman ………. 113 4.2.4 Mandaas ………. …… 115 4.2.4.1 Persiapan Mandaas ……….... 116 4.2.4.2 Pelaksanaan Mandaas ……… 117 4.2.4.3 Makan Minum Bersama ………. 118 4.2.5 Magulambu atau Manyurambi ………... 120 4.3 Hakikat Kepercayaan Suku Dayak Embaloh akan Kehidupan sesudah

(23)

xxii

5.1 Pengantar ……… 147 5.2 Makna Upacara Adat Kematian dan Makna Upacara Adat

setelah Pemakaman ……… 148 5.2.1 Makna Upacara Adat Kematian ……… 148 5.2.2 Makna Upacara Adat setelah Pemakaman ……… 153 5.3 Fungsi Upacara Adat Kematian dan Upacara Adat

setelah Pemakaman……… …. 156 5.3.1 Fungsi Religius ……….……… …. 156 5.3.2 Fungsi Sosial ……….………… …… 157 5.3.3 Fungsi Pendidikan ………. 159

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ……… 161 6.2 Saran ……….. 175

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(24)

xxiii

ke ladang memancing, berburu dan sebagainya’ ajau : ‘buruk, jelek, tidak pantas’

akar tanang : ‘salah satu jenis akar tanaman yang seratnya sangat kuat sehingga tidak mudah putus. Serat dari akar

tanang selalu digunakan untuk mengikatkan manik

pada tangan seseorang dalam upacara adat. Akar

tanang dilambangkan sebagai kekuatan jiwa

seseorang, agarjiwanya kuat dan tidak mudah putus seperti akar tanang

alatala : ‘Tuhan Allah’

aloe : ‘lemah’

anangis maurut : ‘menangis dengan cara meratapi’

aranak : ‘melahirkan’

atampus : ‘putus, tidak bersambung’

b

babalian : ‘praktik berdukun’

badil : ‘senjata meriam, digunakan sebagai mas kawin oleh Suku Dayak Embaloh’

bakam : ‘tempayan besar’

bakaras : ‘keras atau kuat’

bakaya : ‘sakit keras, menjelang ajal maut menjemput’

baki : ‘kakek’

(25)

xxiv

dijadikan pedoman kemungkinan anak tersebut kelak menjadi dukun yaitu ketika dilahirkan placenta anak tersebut tidak pecah tetapi lahir dengan terbungkus

placenta

balunus : ‘matahari’

basi : ‘parang’

batak nyawa : ‘jiwa manusia yang tinggal dalam badan manusia dan jiwa tersebut akan ada selama manusia itu hidup’ batu balian : ‘batu yang digunakan oleh dukun (balian) untuk

maubut ke badan si sakit sehingga orang yang sakit

akan sembuh dari penyakit yang dideritanya’ baulan : ‘sial atau kesialan’

bawina : ‘babi’

beo : ‘binatang atau burung pemantang. Binatang pemantag tersebut seperti ular, lebah, lenseng dan kura-kura. Burung pemantang seperti burung Bengkok, burung Antis, burung Muraga, burung Papau, burung Papau, dan burung Madi-adi, burung Kutuk, burung Tarajan, dan burung Kalangkuit Baro. Binatang dan burung pemantang ini merupakan penjelmaan dari roh nenek moyang yang diutus oleh Sampilo Padari ke dunia untuk memberitahukan berita baik atau berita buruk kepada manusia’

(26)

xxv

burung bano : ‘nama dari beberapa kumpulan daun pohon buah buahan’

buta : ‘agak’

c

-

d

daun : ‘nasi’

durung : ‘rumah khusus yang dibangun untuk menyimpan padi, menjemur padi, dan menumbuk padi (lumbung padi)’

e

enau : ‘pohon Nira atau pohon Aren’

f

-

g

gantung : ‘bergantung’

garantung : ‘gong yang berukuran besar’ giring-giring : ‘lonceng kecil’

h

-

i

(27)

xxvi

memberi ujian kepada setiap arwah yang datang ke

Tailung, dalam bentuk sabung ayam’

ikulum hulu tailung : ‘pembantu yang mendiami tempat di hulu Tailung’ ilum : ‘makanan nenek-nenek atau kakek-kakek yang terbuat

dari sirih, kapur, dan buah pinang’

indansari : ‘si penyelidik. Suku Dayak Embaloh percaya bahwa untuk sampai ke Bukit Tailung tidak mudah karena tempat ini merupakan tempat arwah orang yang berkelakuan baik. Maka untuk samapai ke tempat ini ada petugas khusus untuk menyelidiki, apakah arwah itu berasal dari orang yang baik atau tidak’

iparatungang : ‘diperlihatkan atau dipamerkan’

ira : ‘mereka’

ise : ‘dayung’

itampun :’ditusuk menggunakan bambu runcing’

itariai : ‘menari’

j

jajaran : ‘potongan atau bagian’

k

kadaang : ‘nama kayu. Getah kulit kayu ini mengandung alkohol yang tinggi sehingga dapat membuat orang mabuk. Kulit kayu ini disebut raru

(28)

xxvii

membunuh. Kaletau dibayar menggunakan uang, 1

kaletau = Rp 150.000 ‘

kang : ‘penutup’

kangkuang : ‘alat bunyi yang terbuat dari kayu Besi (kayu Belian) atau kayu Payau. Bentuknya persegi empat, panjang 100 cm, lebar 65 cm, dan tebal 12 cm. di bagian tengahnya dilubangi supaya menghasilkan bunyi. Bagian pinggirnya di ukir dan bunyinya sangat nyaring.

karawit : ‘ukir-ukiran atau motif-motif’

karuwe : ‘rejeki’

karuwin : ‘diberi lem’

kasumbah : ‘warna merah’

kataman : ‘benda yang terbuat dari anyaman rotan, digunakan oleh wanita dan fungsinya sama dengan agak’ kudi : ‘perbuatan haram, berbuat zinah’

kujur : ‘tombak’

kulambu : ‘kuburan’

l

lalata : ‘alat untuk menutup makanan’ lua : ‘nama lain dari manik Tanjung

lumpang : ‘potongan bambu yang beruas besar yang digunakan untuk meminum tuak

(29)

xxviii

m

maam : ‘baik atau pantas’

mabasang : ‘mengibaskan’

malao : ‘menjatuhkan’

mamae : ‘membuka’

mambiti : ‘naik’

mandaas : ‘upacara penghormatan kepada orang yang sudah meningal. Upacara ini dilaksanakan sesudah tiga puluh hari seseorang meninggal dunia. Acara puncak pada upacara ini yaitu pembacaan riwayat hidup si mati’

mandariai : ‘menari’

mandau : ‘parang tradisional Suku Dayak Embaloh. Pada zaman dahulu, mandau digunakan untuk berperang melawan musuh’

mandaunang : ‘menyiapkan makanan’

manik tanjung : ‘biji manik yang menyerupai batu akik’ manjangok : ‘menjenguk ke kuburan’

mangoroki : ‘membantu’

mangoroki samagat : ‘membantu bangsawan’

manutul : ‘menceritakan atau memusyawarahkan suatu berita’ mararak : ‘membuka atau membuang’

mararak tata : ‘membuang pantang’ mararami : ‘merendami’

marat nyawa : ‘tidak mempunyai keturunan’

(30)

xxix

maumpan : ‘memberi makan’

manyauti : ‘membuang sial dengan cara mengibas-ngibaskan ayam yang masih hidup di atas kepala seseorang’

maukuk : ‘berteriak’

mole : ‘pulang’

n

ngayau : ‘membunuh’

nyoyo : ‘tenda’

o

-

p

pabiring : ‘golongan campuran antara perkawinan Samagat dengan golongan Suang Sao

palapitan : ‘rejeki’

pambutan : ‘rumah kecil yang dibangun di tengah ladang’ pamindara : ‘pemberian sesaji kepada benda-benda atau tempat-

tempat yang dianggap keramat’ pamitta : ‘peminta atau para undangan’

pamole beo : ‘upacara pemberian sesaji kepada Baki Uma Pajaan

pangayo : ‘musuh’

pangkam : ‘golongan budak’

(31)

xxx

panyonyok : ‘mas kawin’

panyunyua : ‘serba ada’

pasiap : ‘makanan yang terdiri dari kalame dan pulut’ pulut : ‘makanan khas Suku Dayak Embaloh, terbuat

dari beras ketan dan dimasak dalam bambu yang sudah diisi air’

q

-

r

raru : ‘kulit kayu Kadaang yang sudah kering karena diasapi di atas api’

retean : ‘nama rotan’

rumah betang : ‘rumah panjang, rumah tradisional Suku Dayak

Embaloh. Bentuk Rumah Betang yaitu rumah yang dibangun memanjang dan dibuat dengan saling berdampingan. Panjang Rumah Betang biasanya terdiri dari 50-100 pintu. Rumah Betang dibangun di tepi sungai. Hal ini untuk memudahkan masyarakat mengambil air, mencuci, dan mandi. Rumah milik

Samagat terletak di bagian hulu (berdasarkan pada

(32)

xxxi

sakala : ‘satu dan berukuran besar’

samagat : ‘golongan bangsawan atau golongan tertinggi dalam stratifikasi Suku Dayak’

sampar : ‘wabah kolera yang secara menyeluruh atau merata’ sampan hias : ‘perahu yang dihiasi dengan daun enau muda. Di

sekeliling perahu dihiasi dengan bendera-bendera adat. Sampan hias digunakan pada waktu pesta pernikahan, menyambut tamu terhormat (gubernur atau bupati), dan menghantar talayong orang mati ke kulambu.

sampulo padari : ‘sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, Dia Yang Menciptakan atau membuat sesuatu itu menjadi ada (Tuhan Yang Maha Kuasa). Sampulo artinya abadi, Padari artinya yang menciptkan, yang mengadakan, yang menjadikan dunia beserta isinya menjadi ada. Suku Dayak Embaloh menyebut Tuhan Allah dengan sebutan Sampulo atau Sampulo Padari’

sanak ini : ‘saudara sepupu tingkat keempat’ sanak toa : ‘saudara sepupu tingkat kedua’ sanak uyang : ‘saudara sepupu tingkat keenam’

sanggoan pare : ‘nama burung bangau pengangguk. Burung ini

(33)

xxxii dunia panyunyua’

sape : ‘baju’

seguer : ‘air nira atau air aren yang sudah diberi raru

si pangayoan : ‘perang antarsuku dengan saling membunuh. Musuh yang sudah mati kepalanya dipotong menggunakan Mandau. Kepala musuh yang dipotong sebagai lambang keberanian. Kepala tersebut dibawa pulang dan akan digunakan dalam upacara siraraman’

siraraman : ‘membersihkan diri dari segala kemalangan atau kesialan.

suang sao : ‘masyarakat biasa’

sumangat : ‘roh atau arwah orang yang meninggal dunia’

t

taba : ‘bunyi-bunyian’

talayong : ‘tempat meletakkan makanan si mati, terbuat dar papan dan bentuknya persegi empat. Di bagian bawah dipasang anyaman bambu supaya makanan tidak jatuh’

tata : ‘pantangan’

tekan : ‘galah’

(34)

xxxiii

yang berduka cita supaya orang tahu bahwa ada salah satu anggota keluarga yang meninggal’

v

-

w

wadian wara : ‘sebutan untuk pendeta agama Hindu Kaharingan Suku Dayak Lawangan yang tinggal di Kalimantan Tengah’

x

-

y

-

(35)

1 1.1 Latar Belakang

Semua orang suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau seperti apa matinya. Setiap orang pasti akan merasakan kematian, walaupun arti “merasakan” itu tidak sama dengan yang dipersepsi oleh orang yang hidup. Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan yang pasti dijalani, sama seperti kelahiran. Bedanya adalah yang pertama menandai akhir dari suatu kehidupan, sedangkan yang terakhir menandai awal dari suatu kehidupan. Artinya, kematian merupakan awal dari suatu kehidupan yang baru. Dalam kehidupan manusia, ada tiga hal yang saling berhubungan yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian (Dhavamony, 1995: 177). Ketiga hal tersebut merupakan lingkaran dari kehidupan manusia (circle of live) dan tidak dapat dipisahkan. Setiap manusia akan mengalami kelahiran, perkawinan dan kematian. Kelahiran, perkawinan dan kematian diibaratkan seperti ujung dari seutas tali yang bernama kehidupan, berbeda titik tetapi terentang sepanjang usia. Dan di tengahnya itulah kehidupan berada.

(36)

kematian. Namun di sisi lain, ada juga orang yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan akhir dari eksistensi seseorang, setelah itu yang ada adalah ketiadaan.

Kematian adalah akhir dari kehidupan atau ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik dari penyebab alami seperti penyakit atau dari penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan. Kematian sulit dipahami karena penuh dengan misteri sekaligus lazim terjadi. Oleh karena itu, mati dan hidup adalah dua hal yang terus dipertanyakan dalam kehidupan manusia. Sebagian orang ada yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun kepercayaan yang dianut, tidak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi sesudah kematian (http://id.wikipedia.org/kematian).

Kematian tidak memilih tua dan muda, kematian akan datang kepada kita semua secara cepat atau lambat, kematian pasti akan menghampiri kita. Memang manusia adalah mahluk yang berakal dan memiliki kemampuan untuk merubah segala sesuatu yang ada di dunia, tetapi untuk sebuah kematian manusia tidak memiliki kuasa apapun untuk merubahnya, walaupun hanya menahan sedetik saja, tidak dengan akal, tidak dengan uang, juga tidak dengan kekuasaanya.

(37)

yang telah meninggal dunia. Ketika nyawa dan jiwa telah tiada maka manusia hanya sosok jasad yang tidak berarti. Jasad memang tidak memiliki kinerja dan jasad akan berhenti ketika nyawa telah tiada di badan.

Menurut Suku Dayak Embaloh, kematian merupakan peristiwa besar dan menyedihkan. Peristiwa besar yang dimaksud adalah proses pemakaman seseorang yang meninggal dunia yang dilakukan dengan upacara adat. Makna dari upacara adat tersebut, yaitu agar jiwa seseorang yang telah meninggal dunia dapat hidup dengan sempurna di Tailung. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (1988: 364) jiwa adalah roh manusia; seluruh kehidupan batin manusia yang terdiri dari perasaan dan pikiran. Suku Dayak Embaloh percaya bahwa setelah kematian akan ada kehidupan yang baru. Mereka mempercayai bahwa orang yang sudah meninggal, jiwanya akan tinggal

di Tailung. Hidup di Tailung dianggap sebagai batu loncatan untuk mencapai

kesempurnaan hidup. Jaminan kesempurnaan hidup ini, yaitu hidup bersatu dengan

Sampulo Padari di Sao Gantung Suan. Kematian merupakan peristiwa yang

menyedihkan karena kematian akan memisahkan seseorang dari keluarganya. Mereka tidak akan bisa hidup bersama-sama lagi di dunia.

Pandangan Suku Dayak Embaloh, manusia dipahami sebagai makhluk ciptaan

Sampulo Padari”. Sampulo Padari diartikan: Dia Yang Menciptakan atau membuat

(38)

pokok tubuh manusia, tidak termasuk anggota kepala. Jiwa adalah roh manusia (KBBI, 1988: 264). Batak nyawa atau jiwa manusia tinggal dalam badan manusia dan akan ada selama manusia itu hidup. Berkat batak nyawa, manusia dapat hidup, berpikir, merasa, dan bertindak. Jiwa manusia akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup dan melemah saat manusia sakit atau renta. Apabila jiwa tidak berfungsi, maka manusia akan meninggal dunia, pergi ke Bukit Tailung, dan tinggal dengan Sampulo Padari.

Berkaitan dengan topik yang akan dibahas, penulis akan menguraikan proses upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh dengan menggunakan teori Folklor. Upacara adat kematian yang di maksud adalah upacara yang dilakukan dari meninggalnya seseorang hingga dimakamkamkan. Upacara ini meliputi upacara menjelang kematian, upacara selama jenazah disemayamkan di Rumah Betang, upacara memberi makan kepada si mati

(mandaunang tau mate’), upacara membuat lungun (peti jenazah), upacara hari

terakhir jenazah disemayamkan di Rumah Betang, upacara memasukkan jenazah ke dalam lungun, upacara menghantar jenazah ke kuburan dan upacara pemakaman.

Upacara adat setelah pemakaman adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah seseorang dimakamkan. Upacara adat setelah pemakaman meliputi menunggu

kain paurari tau mate, Manjangok, Mararaktata, Mandaas, dan Mangulambu

(Manyurambi). Upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman

(39)

oleh nenek moyangnya. Tradisi ini diwariskan secara langsung dan tidak tertulis. Melalui skripsi ini, peneliti akan mengungkapkan pentingnya upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman untuk dibahas. Selain itu, kita juga akan mengetahui bagaimana jalannya proses upacara adat kematian, upacara adat setelah pemakaman, makna dan fungsi upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, studi ini akan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah proses upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh?

1.2.2 Bagaimanakah proses upacara adat setelah pemakaman menurut Suku Dayak Embaloh?

1.2.3 Apa makna dan fungsi dari upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan proses upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh.

(40)

1.3.3 Menjelaskan makna dan fungsi dari upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh.

1.4Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk membantu penelitian budaya masyarakat indonesia yang bersifat majemuk. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan nasional yang unsur-unsurnya terdiri atas kebudayaan daerah karena memuat nilai-nilai luhur suatu kebudayaan. Upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh merupakan salah satu tradisi Suku Dayak yang masih dilakukan sampai sekarang. Penelitian ini dilakukan tidak hanya untuk kepentingan penelitian peneliti semata, tetapi diharapkan dapat menambah wawasan peneliti lainnya dalam meneliti tradisi lisan yang masih banyak terdapat pada masyarakat Indonesia.

(41)

1.5Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang upacara adat kematian pernah dilakukan, di antaranya oleh Riky (1980: 12), yaitu yang berjudul Dunia Orang Mati dan Sikap Hidup Suku

Dayak. Penelitian ini menjelaskan bahwa sesudah kematian ada “ziarah” menuju

“keabadian hidup yang sempurna”. Suku Dayak Embaloh meyakini bahwa sesudah kematian, jiwa akan berjalan menuju suatu tempat hidup baru yang membahagiakan. Dalam perjalanannya, dia harus melewati dan dapat mengatasi rintangan yang ditemuinya. Kesempurnaan hidup sebagai puncak ziarah jiwa orang mati, yaitu “hidup bersatu dengan sang pencipta”. Kebahagiaan dan keselamatan hidup sejati akan ditemui jika sudah bersama-sama hidup di alam keabadian bersama sang pencipta.

Manusia bersatu dengan penciptanya dalam keabadian setelah seseorang meninggal dunia. Menurut Suku Dayak Embaloh, jiwa orang mati akan pergi ke Bukit

Tailung. Apabila menunjukkan kelakuan yang baik selama hidupnya di Tailung,

maka ia mati untuk kedua kalinya dan ia telah mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan itu adalah hidup bersama penciptanya (Sampulo) di Sao Gantung

Suan. Setelah hidup lama bersama “Sampulo”, arwah atau roh orang yang sudah

meninggal akan diutus ke dunia dalam bentuk binatang, burung pemantang, dan batu (Moses, 1992) dalam buku yang berjudul Tanya Jawab Dunia Kematian Suku Dayak Embaloh.

Yunus dkk (1984) dalam buku yang berjudul Upacara Kematian Daerah

(42)

Dayak Benuaq sama saja dengan upacara kematian suku-suku lainnya, yaitu agar roh si mati mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam lain. Yang membedakan hanya nama, cara, perlengkapan, perlambangan dan sebagainya. Selain itu, Yunus menjelaskan bahwa nilai-nilai positif dari upacara kematian yaitu membangkitkan semangat gotong royong dalam pelaksanaan upacara, baik menyangkut kerja maupun benda; dan adanya semangat jiwa untuk menghormati leluhur yang telah meninggal dunia.

Selain itu, Sastrosuwondo (1985) dalam bukunya yang berjudul Upacara

Kematian Tradisional Kalimantan Tengah, membagi maksud dan tujuan upacara

kematian menjadi dua, yaitu secara umum dan khusus. Maksud dan tujuan upacara kematian secara umum, yaitu memberikan hikmah dan berkat kepada orang lain yang datang membantu dalam upacara tersebut dan pelestarian budaya-budaya tradisional. Secara khusus, maksud dan tujuan upacara kematian yaitu memberikan kepuasan batin bagi Wadian Wara (sebutan Imam bagi pendeta Hindu Kaharingan Suku Dayak Lawangan di Kalimantan Tengah) dan pembantu-pembantunya, memberikan kebahagiaan di dunia akhirat bagi si mati, dan memberikan kemakmuran bagi keluarga yang ditinggalkan.

(43)

melaksanakan upacara ini yaitu sebagai penghormatan kepada orang yang meniggal dunia dan untuk menghapus segala bentuk kesialan dan kemalangan bagi kelaurga yang ditinggalkan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa studi yang secara khusus mengungkapkan upacara adat kematian, makna dan fungsi upacara adat kematian masih sangat sedikit. Adapun studi yang pernah dilakukan oleh beberapa penulis di atas dapat diajukan sebagai bahan referensi dalam melengkapi penelitian ini.

1.6Kerangka Berpikir

Untuk menjelaskan definisi yang diteliti dalam upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh, bab ini akan dilengkapi dengan batasan istilah yang mencakup upacara, adat, kematian, makna dan fungsi. Sedangkan untuk mengkaji upacara adat kematian bagi Suku Dayak Embaloh, difokuskan beberapa pemikiran yang akan diteliti dalam kerangka berpikir yang mencakup folklor.

1.6.1Batasan Istilah 1.6.1.1 Upacara

(44)

ditujukan kepada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan di luar kemampuan manusia atau kekuatan supranatural.

Upacara adalah tanda-tanda kebesaran, peralatan (menurut adat-istiadat); rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama, perbuatan atau kepercayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting seperti pelantikan pejabat atau peresmian gedung baru (KBBI, 2008: 1533). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 1595), upacara adalah aturan resmi, seremoni, rangkaian tindakan yang terikat pada aturan, kebiasaan yang berlaku sebagian dari perayaan (pelantikan pegawai negeri, peringatan-peringatan penting atau peresmian gedung baru).

(45)

1.6.1.2 Adat

Adat adalah aturan atau perbuatan yang lazim dilakukan sejak dulu kala; kebiasan atau cara; dan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya (KBBI, 1988: 7). Adat-istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga integrasinya sangat kuat dalam pola-pola perilaku masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1984:190) upacara adat adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.

(46)

1.6.1.3 Kematian

Kematian berasal dari kata dasar ‘mati’: sampai ajalnya, sudah hilang nyawanya, putus nyawa, meninggal, wafat, tutup usia, berpulang, tidak hidup lagi, dan tidak bergerak lagi (Kridalaksana, 1984: 91). Kematian adalah perihal mati; menderita karena salah satu anggota keluarganya meninggal; menderita karena sesuatu yang mati (KBBI, 1988: 567). Upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh adalah upacara yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang dalam Suku Dayak Embaloh, yang dianggap sebagai peristiwa penting, dan merupakan rangkaian adat-istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Yang dimaksud dalam upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh adalah rangakaian upacara adat dari meninggalnya seseorang hingga dimakamkan.

Dalam Suku Dayak Embaloh, apabila ada seseorang yang meninggal maka pelaksanaan upacara kematiannya harus segera dipersiapkan. Hal petama yang dilakukan adalah memukul gong dengan pukulan khusus yang disebut Taba

Manjaratung sebagai tanda untuk memberitahukan kepada masyarakat desa bahwa

ada yang meninggal. Secara spontanitas, masyarakat yang mendengar bunyi gong tersebut akan berdatangan ke rumah duka untuk mempersiapkan upacara kematian. Sebagian dari bapak-bapak akan membuat lungun (peti mati) dan para ibu-ibu memasak di dapur.

(47)

orang mati dan mengharapkan kebahagiaan abadi bagi rohnya di Tailung sehingga terdapat kepuasan batin bagi keluarganya karena mereka melakukan dengan tujuan yang suci yaitu demi arwah-arwah nenek moyangnya. Dengan penghormatan melalui upacara kematian maka roh orang yang meninggal terbebas dari gangguan hantu-hantu yang menghalangi perjalanannya ke Tailung. Selain itu, roh si mati akan pergi tanpa rindu akan kampung halaman, keluarga serta segala sesuatu yang ditinggalkannya di dunia.

Upacara adat setelah pemakaman menurut Suku Dayak Embaloh adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah pemakaman seseorang yang sudah meninggal dunia. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian upacara adat yang harus dilaksanakan. Upacara adat tersebut seperti upacara menunggu kain paurari tau mate, upacara manjangok, upacara mararak tata: mantat daun dan siraraman, upacara

mandaas, dan upacara manyurambi atau magulambu. Upacara ini dilaksanakan untuk

menghormati roh atau arwah orang yang sudah meninggal. Dengan adanya upacara tersebut maka roh atau arwah tersebut akan hidup layak dan bahagia di Tailung serta tidak mengganggu anggota keluarganya yang masih hidup di dunia.

1.6.1.4 Makna dan Fungsi

(48)

kegiatan suatu hal dalam suatu sistem; pelaksanaan konseptual yang menghubungkan rangkaian-rangkaian hal yang teratur serta mempunyai saling keterkaitan dalam sistem hubungan tertentu (Dagun, 1997: 280). Makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah maksud atau arti dari pelaksanaan upacara adat kematian dan pelaksanaan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh. Fungsi yang dimaksud adalah kegunaan upacara adat kematian dan kegunaan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh. Makna dan fungsi upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh akan dibahas oleh peneliti secara mendalam dalam penelitian ini pada bab selanjutnya.

1.6.2Folklor

Menurut Taylor via Danandjaja (2003: 31) folklor adalah bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat-istiadat dari praktik. Menurut kajian ilmiah (Danandjaja, 2003: 31), folklor dapat diartikan sebagai tradisi lisan dan adat-istiadat (oral and customary tradition). Folklor adalah sebagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dan tradisional di antara anggota-anggota kelompok apa saja, dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan perbuatan.

Menurut Endaswara (2005:11) folklor berasal dari kata folklore (bahasa Inggris). Jika dieja menjadi folk-lore. Folk artinya ‘rakyat’ dan lore artinya ‘tradisi’.

Folk adalah kelompok atau ciri-ciri kolektif pengenal kebudayaan yang membedakan

(49)

dituturkan secara oral (lisan) dan turun-temurun. Folklor berarti tradisi rakyat yang sebagian disampaikan secara lisan, yaitu kelisanan menjadi kebijakan folklor.

Folklor adalah kebudayaan kolektif yang terbatas dan diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun tulisan yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2002). Selain itu, menurut Danandjaja (2002), folklor adalah bagian dari kebudayaan yang bersifat tradisional, tidak resmi

(unofficial). Di dalamnya termasuk semua pengetahuan, pengertian, nilai-nilai, sikap,

perasaan, dan kepercayaan dalam bentuk-bentuk tradisional yang disampaikan melalui kata-kata yang keluar dari mulut atau melalui contoh-contoh adat kebiasaan masyarakat (Danandjaja, 2003: 34).

(50)

Folklor (Brunvand via Danandjaja, 2002: 21-22) dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal

folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.

Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) sepert logat, julukan, pangkat tradisional,, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, syair; (e) cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dongeng; (f) nyanyian rakyat. Fungsi dari folklor lisan yaitu sebagai penghibur atau sebagai penyalur perasaan yang terpendam.

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya takhayul dan pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang terbentuk dalam kelompok ini, selain kepercayan rakyat adapula permainan rakyat, teater rakyat, tari-tarian rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

(51)

minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk non-material anata lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan) dan musik rakyat.

Suatu komisisi internasional yang terdiri dari para folkloris yang telah dibentuk oleh UNESCO untuk mendiskusikan cara-cara “mengamankan folkor” mendefinisikan folklor sebagai suatu ciptaan (creations) dari suatu kelompok atau individu yang berorientasi pada kelompok dan berdasarkan pada tradisi yang merefleksikan cita-cita dari suatu komunitas sebagai suatu ungkapan jati diri kebudayaan masyarakatnya; batasan-batasan, standar-standar, dan nilai-nilainya diwariskan secara lisan, mencontoh atau dengan cara lain. Bentuk-bentuknya mencakup bahasa, kesusastraan, musik, tari, permainan-permainan, mitologi, ritual, adat-istiadat, karya seni, arsitektur, dan kesenian lainnya (Danandjaja, 2003: 35).

(52)

berikutnya. Selain itu, upacara adat kematian Suku Dayak Embaloh disebarkan dalam bentuk relaif tetap atau dalam bentuk standard an disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama atau beda generasi.

Upacara adat kematian yang tertulis merupakan hasil penelitian dari wawancara langsung dengan tokoh adat atau seseorang yang benar-benar mengetahui proses upacara adat kematian dan sering terlibat langsung di dalam upacara tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut, upacara adat kematian merupakan ungkapan tradisonal yang mencerminkan pola pikir dan pandangan hidup Suku Dayak Embaloh. Selain itu, upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman merupakan salah satu kepercayaan yang menjadi latar belakang upacara-upacara lingkaran hidup (life cycle) Suku Dayak Embaloh.

1.7Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan

(53)

dirasakan penting (dalam suatu masa) salah satunya adalah folk pendukungnya. Folklor lisan dan sebagian lisan masih banyak mempunyai fungsi yang menjadikan sangat menarik dan penting untuk diteliti.

Pendekatan folklor yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk folklor sebagi lisan yaitu upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman yang dilaksanakan oleh Suku Dayak Embaloh. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengetahui proses tentang pelaksanaan upacara adat kematian, upacara adat setelah pemalaman dan makna serta fungsi upacara kematian bagi Suku Dayak Embaloh.

1.7.2 Metode

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode etnografi. Etnografi adalah tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seseorang antropolog atau hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2006: vii). Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli merupakan tujuan utama dari etnografi. Dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman yang masih dilakukan sampai saat ini, sehingga dapat mengkaji makna dan fungsi upacara kematian Suku Dayak Embaloh.

(54)

Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang penting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Sutrisno Hadi via Sugiyono, 1999: 139). Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan apabila penelitian berhubungan dengan perilaku manusia dan proses kerja yang diamati tidak terlalu besar.

Menurut Sugiyono (1999:139), dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi (1) participant observation (observasi berperan serta) yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian, (2) non

participant observation (observasi nonpatrisipan) yaitu tidak terlibat dan hanya

sebagai pengamat independent.

Dari segi instumentasi yang digunakan, observasi dapat dibedakan menjadi (1) observasi terstruktur yaitu observasi yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, dan di mana tempatnya. Jadi observasi terstruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu dengan pasti tentang variabel yang akan diamati, (2) observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Observasi ini dilakukan untuk peneliti yang tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamatinya (Sugiyono, 1999:140).

(55)

pelaksanaan upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh, mengetahui makna dan fungsi upacara adat kematian bagi Suku Dayak Embaloh. Dalam penelitian ini digunakan observasi nonpartisipan yaitu hanya dengan mengamati Suku Dayak Embaloh, sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih objektif tentang masalah yang diselidikinya. Mendapatkan gambaran tentang upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman memudahkan peneliti membaca situasi dan keadaan Suku Dayak Embaloh, sehingga akan memudahkan peneliti untuk diterima oleh masyarakat setempat.

1.7.3.2 Wawancara

Wawancara merupakan proses pencarian yang mendalam tentang diri subjek. Wawancara dapat dilakukan dalam bentuk yang bervariasi. Yang paling umum dilakukan adalah wawancara individual yang dilakukan berhadap-hadapan antara pewawancara dan yang diwawancarai. Wawancara dpat dilakukan secara terstruktur, semi struktur, dan tidak terstruktur (Kuntjara, 2006: 67).

Menurut Hadi (1979: 192), wawancara adalah suatu proses tanya jawab yang bersifat lisan, yaitu antara dua orang atau lebih berhadapap-hadapan secara fisik, yaitu satu dapat melihat muka yang lain dan mendengarkan suara dengan telinganya sendiri. Metode ini merupakan alat pengumpulan data dari informasi tentang beberapa jenis data sosial, baik yang terpendam (latent) maupun yang memanifes.

(56)

adat setelah pemakaman pada Suku Dayak Embaloh. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan wawancara individual yaitu dengan mewawancarai narasumber secara langsung yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang proses, makna dan fungsi dari upacara adat kematian. Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai ketua adat, staf adat, tokoh masyarakat dan masyarakat Suku Dayak Embaloh., khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Karangkang.

Dalam melakukan penelitian, peneliti melakukan wawancara melalui tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat adalah keberadaan seseorang dalam suatu lingkungan tertentu yang hidup berdampingan dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan keberadaannya. Seseorang tersebut dalam lingkungannya dianggap orang penting dan mempunyai peranan penting dalam masyarakat (Martin, 2002: 626).

Selain tokoh masyarakat, peneliti mengumpulkan data dengan mewawancarai masyarakat Suku Dayak Embaloh. Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia atau sekumpulan masyarakat yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan dan peraturan tertentu (Martin, 2002: 381). Dengan menggunakan sumber data dari masyarakat dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan memperoleh sumber data. Selain itu, sumber data dari masyarakat akan mempermudah dalam pencarian data karena hasil informan dari masyarakat diperlukan untuk memperoleh hasil data yang lebih lengkap.

(57)

Untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan maka perlu diadakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk lebih memperkaya data yang tidak diperoleh dalam penelitian lapangan. Dengan demikian, data-data yang diperoleh akan lebih dapat dipertanggungjawabkan (Maharkesti dkk, 1988: 6).

Menurut Arikunto (1993:234) metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Pelaksanaan teknik ini yaitu untuk menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Teknik kepustakaan dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret. Metode kepustakaan diperoleh dengan teknik catat yaitu dengan mencatat data yang berasal dari buku-buku, artikel, dan di situs-situs internet yang membahas tentang upacara adat kematian.

1.7.3.4 Dokumentasi

Dokumentasi adalah semua tulisan yang dikumpulkan dan disimpan, yang dapat digunakan bila diperlukan, juga gambar atau foto. Mendokumentasiakan adalah mengatur dan menyimpan tulisan atau gambar dan foto sebagi dokumentasi (KUBI, 1994: 354).

(58)

mendapatkan gambar objek ke dalam bentuk foto dan rekaman video. Dalam penelitian ini digunakan kamera untuk mengambil gambar objek ke dalam bentuk foto untuk mendokumentasikan proses upacara adat kematian pada Suku Dayak Embaloh.

1.8Sumber Data

Untuk memperoleh informasi yang akurat (tepat), dalam penelitian ini digunakan sumber data. Sumber data berasal dari: (1) hasil wawancara dengan ketua adat, staf adat, tokoh masyarakat dan masyarakat Suku Dayak Embaloh, (2) tempat pelaksanaan upacara adat kematian yaitu di Desa Kerangkang, Kecamatan Emabloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, (3) sumber data lainnya, yaitu untuk membantu penelitian ini digunakan berbagai macam buku dan artikel dari situs-situs internet yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.

1.9Sistematika Penyajian

(59)

Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian atau tinjauan umun Suku Dayak Embaloh meliputi: tofografi dan demografi, sistem kekerabatan, sistem perkawinan, dan sistem kepercayaan Suku Dayak Embaloh.

Bab III berisi hasil pendeskripsian proses upacara adat kematian (sebelum meninggal hingga mayat dikuburkan) menurut Suku Dayak Embaloh.

Bab IV berisi hasil pendeskripsian proses upacara adat seletah pemakaman menurut Suku Dayak Embaloh.

Bab V berisi hasil penjelasan makna dan fungsi upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman bagi Suku Dayak Embaloh.

(60)

26 2.1 Pengantar

Dalam bab ini akan diuraikan tentang lokasi penelitian atau tinjauan umum tentang Suku Dayak Embaloh. Disadari bahwa sebuah unsur budaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan kebudayaan sekelompok masyarakat pendukungnya. Tinjauan mengenai konteks sosial dan lingkungan kebudayaan tempat munculnya adat-istiadat tersebut merupakan suatu keharusan agar pemahaman terhadap budaya Suku Dayak Embaloh dapat lebih mendalam. Dalam bab ini secara berturut-turut akan diuraikan mengenai lokasi penelitian atau tinjauan umun Suku Dayak Embaloh meliputi: tofografi, demografi, sistem kekerabatan, sistem perkawinan, dan sistem kepercayaan Suku Dayak Embaloh.

2.2 Tinjauan Umum Suku Dayak Embaloh 2.2.1 Tofografi Kabupaten Kapuas Hulu

(61)

(Nila, 2003: 3). Akibat Kolonialisme Barat, pulau ini terpecah menjadi tiga wilayah dari tiga negara, yaitu bekas jajahan Inggris di Utara menjadi wilayah negara Malaysia dan kesultanan Brunai, sedangkan bekas jajahan Belanda bagian Selatan menjadi wilayah Republik Indonesia (Koentjoroningrat, 2007: 118). Pulau Kalimantan terbagi dalam empat wilayah yaitu, Kalimantan Selatan dengan ibukota Banjarmasin, Kalimantan Tengah dengan ibukota Palangka Raya, Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda, dan Kalimantan Barat dengan ibukota Pontianak (Riwut 1956: 215).

Kalimantan Barat memiliki luas wilayah 146.760 km², di sebelah Utara berbatasan dengan Sarawak (bagian wilayah Negara Malaysia), di sebelah Barat berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan Selat Karimata, di sebelah Timur berbatasan dengan pegunungan Muller dan Schwaner (pegunungan di Kalimantan Timur) dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kalimantan Tengah (Riwut, 1979: 47). Propinisi Kalimantan Barat dibagi menjadi satu kotamadya dan sembilan kabupaten yaitu: Kotamadya Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Landak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Kapuas Hulu (http://regionalinvestment.com/sipid/idarea.php?ia=6108).

(62)

dilakukan, adapun hanya untuk mengangkut barang-barang dagangan, mengangkut kayu, dan mengangkut getah karet.

Dalam skripsi ini, penulis membatasi diri pada kabupaten paling Utara, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukota Putussibau. Kabupaten Kapuas Hulu adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kalimantan Barat. Ibu kota kabupaten ini terletak di Putusibau. Kabupaten Daerah Tingkat II Kapuas Hulu merupakan salah satu dari Sembilan Daerah Tingkat II di Propinsi Kalimantan Barat dan memiliki luas wilayah 29.842 km². Kabupaten yang terletak di bagian paling Utara Propinsi Kalimantan Barat ini menempati posisi geografis antara 0°08' LU sampai 1°36 LS dan 111°32' sampai 114°09' BT. Perjalanan ke wilayah ini dapat ditempuh lewat transportasi sungai Kapuas sejauh 846 km, lewat jalan darat sejauh 633 km, dan lewat udara ditempuh 2 (dua) jam penerbangan dengan pesawat DAS (Dirgantara Air Service) dari Pontianak (http://www.geografiana.com/makalah/sosial/masyarakat-adat-tamambalaoh=1).

(63)

Benua Ujung pada tahun 1929 (King, 1978: 193). Batas wilayah teritorial ini masih berlaku sampai sekarang sehingga dari antara suku yang tinggal di wilayah tersebut tidak bisa mengklaim wilayah suku lain menjadi wilah kekuasaannya.

2.2.2 Demografi Kabupaten Kapuas Hulu

Penduduk asli yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu adalah Suku Dayak dan Suku Melayu. Suku Batak, Suku Tionghoa, Suku Jawa (transmigran), Suku Madura, Suku Bugis, Suku Minang, dan suku-suku lainnya merupakan suku pendatang. Suku Dayak yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu dibagi menjadi beberapa subsuku seperti Suku Embaloh, Kantu, Iban, Taman, Suruk, Mentebah, Kayan, Punan, dan Bukat. Dalam suku-suku tersebut terdapat kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Beberapa perbedaannya terlihat dalam hukum adat, sistem kepercayaan, upacara-upacara adat (upacara pernikahan dan kematian), pakaian adat dan bentuk atau model rumah panjang. Dalam penelitian ini, penulis meneliti Suku Dayak Embaloh yang tinggal di Kecamatan Embaloh Hulu.

(64)

pangayoan atau mangayo (saling membunuh) satu sama lain karena memperebutkan lahan. Namun, kedua suku tersebut sekarang hidup berdampingan, saling bergaul dan mulai bercampur satu sama lain melalui perkawinan antarsuku.

Bahasa yang digunakan suku Dayak tergantung dari subsuku. Misalnya Suku Dayak Iban menggunakan bahasa Iban, Suku Dayak Kantu menggunakan bahasa Kantu, dan Suku Dayak Taman menggunakan bahasa Taman. Suku Dayak Embaloh menggunakan bahasa Dayak Embaloh yang disebut bahasa Banuaka. Dalam Suku Dayak Embaloh, tingkatan bahasa tidak ada, bahasa boleh digunakan untuk semua umur. Hanya saja, apabila kita berbicara dengan orang yang lebih tua maka kita harus menggunakan bahasa yang sopan dan lebih halus. Pembedaannya yaitu dari cara kita mengucapakan bahasa (intonasi). Apabila kita berbicara dengan orang yang lebih tua maka cara pengucapan bahasa harus halus dan sopan. Akan tetapi, apabila kita berbicara dengan teman sebaya, pengucapannya boleh kasar.

Suku Dayak Embaloh mayoritas beragama Katolik. Agama Islam merupakan agama minoritas. Mereka yang beragama Islam merupakan pendatang karena tugas kerja, seperti camat, guru, dan polisi. Walaupun jumlah agama Islam sedikit, Suku Dayak sangat menhormati agama lain. Penduduk yang beragama Islam tidak tinggal

di Rumah Betang, tetapi mereka tinggal di perumahan dinas atau rumah pribadi.

(65)

Berdasarkan database Paroki Santo Martinus (terakhir tahun 2006), perincian jumlah penduduk Suku Dayak Embaloh yang tinggal di Kecamatan Embaloh Hulu dapat di lihat pada tabel 1 sebagai berikut.

TABEL 1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Embaloh Hulu

Tahun 2005 2006

Statistik Penduduk

Jumlah Pria 104,616 106,991 jiwa Jumlah Wanita 99,731 101,924 jiwa Jumlah Total 204,347 208,915 jiwa Pertumbuhan Penduduk 2.28 2.24 % Kepadatan Penduduk - - Per km2

Sumber: Paroki Santo Martinus, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu

(66)

Hutan belantara di wilayah ini masih luas, sedangkan curah hujan cukup banyak, hampir sepanjang tahun. Wilayah ini beriklim tropis, musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan akhir bulan Agustus. Mata pencaharian Suku Dayak Embaloh yaitu berladang, menoreh atau menores pohon karet, dan berburu binatang di hutan.

2.2.3 Sistem Kekerabatan (Stratifikasi Sosial)

Suku Dayak Embaloh sangat memperhitungkan hubungan kekerabatan berdasarkan keturunan, terutama dalam hal perkawinan yang terjadi di kalangan Suku Dayak Embaloh. Dalam setiap pernikahan, hubungan kekerabatan antara kedua calon suami isteri selalu dipertanyakan. Dia keturuana siapa? Ada hubungan darah ke berapa antara calon suami isteri tersebut? Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penulis akan menjelaskan stratifikasi (penggolongan kekerabatan) sosial yang terdapat di dalam Suku Dayak Embaloh. Stratifikasi ini sangat menentukan dalam sistem kekerabatan Suku Dayak Embaloh, baik dalam hal perkawinan maupun keturunan.

2.2.3.1 Samagat (Golongan Bangsawan)

Samagat merupakan derajat atau tingkatan tertinggi dalam stratifikasi sosial

(67)

menguasai sumber daya tenaga kerja karena hanya mereka saja yang boleh memiliki budak (pembantu). Budak ini tinggal di rumah pemilihnya (golongan bangsawan) untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mencuci, memasak, mencari kayu bakar. Selain menguasai sumber daya tenaga kerja, mereka juga menguasai tanah (berdasarkan wawancara dengan bapak Sidoli Balang, wakil ketua adat Suku Dayak Embaloh).

Golongan samagat sangat dihormati di kalangan masyarakat. Mereka tinggal bersama-sama masyarakat biasa di Rumah Betang (rumah panjang, rumah asli Suku Dayak Embaloh). Bilik (kamar atau ruangan) rumah samagat terletak di bagian hulu rumah milik banua atau suang sao (masyarakat biasa), dan ukuran bilik rumahnya lebih luas dibandingkan bilik rumah masyarakat biasa. Hal ini dimaksudkan untuk menampung budak-budaknya. Dalam satu Rumah Betang bisa saja terdapat beberapa keluarga samagat, tetapi hanya satu yang ditunjuk sebagai pemimpin kampung (kepala kampung) dan ketua adat. Biasanya yang ditunjuk adalah salah satu di antara mereka yang banyak memiliki harta benda (kekayaan). Dalam perkawinan adat yang ideal, keturunan samagat harus menikahi keturunan samagat juga supaya keturunan mereka tetap lestari atau status sosialnya tetap samagat.

2.2.3.2 Pabiring (Golongan Menengah)

Golongan pabiring merupakan golongan campuran antara perkawinan samagat

dan suang sao (masyarakat biasa), keturunan mereka disebut pabiring. Di sebut

(68)

tetapi sudah tidak asli samagat. Golongan ini merupakan peralihan antara kaum

samagat ke masyarakat biasa. Arti kata pabiring adalah mereka yang berada di

pinggiran atau di sisi. Dari segi derajat atau tingkatan, pabiring setingkat lebih tinggi dari masyarakat biasa. Kedudukan mereka dalam masyarakat hampir sama dengan kedudukan suang sao, artinya sama-sama menjadi rakyat dari samagat. Mereka juga tidak berfungsi apa-apa di dalam masyarakat (berdasarkan wawancara dengan bapak Moses, tokoh masyarakat Suku Dayak Embaloh).

Pada dasarnya, pabiring merupakan golongan bangsawan yang merosot derajatnya dari golongan samagat. Dalam pekerjaan, golongan ini menggarap ladangnya sendiri dan bekerja sama dengan masyarakat biasa tanpa bantuan budak (pembantu). Dalam hal perkawinan, apabila keturunan pabiring (baik laki-laki maupun perempuan) menikah dengan samagat maka pabiring harus membayar mas kawin (panyonyok) yang cukup mahal kepada keluarga samagat supaya derajatnya sama dengan samagat.. Upacara penyamaan derajat pabiring dengan samagat disebut

mambiti, sehingga keturunan mereka nantinya akan menjadi Samagat. Mambiti

adalah upacara penyamaan derajat antara golongan pabiring dengan samagat, golongan yang di bawah (pabiring) harus naik (mambit) untuk dapat menyamakan derajatnya dengan golongan atas (samagat). Jika golongan pabiring tidak mampu membayar mas kawin (panyonyok) maka keturunan mereka disebut golongan

pabiring. Demikian juga jika golongan pabiring menikah dengan masyarakat biasa

(69)

2.2.3.3 Banua atau Suang Sao (Masyarakat Biasa)

Golongan banua atau suang sao merupakan rakyat biasa atau anak buah dari

samagat. Samagat sebagai tuan tanah dan suang sao tidak memiliki tanah untuk

berladang, maka suang sao dapat mengolah tanah milik samagat, sedangkan hasilnya di bagi rata. Cara pembagian hasil tersebut berdasarkan perjanjian di antara kedua belah pihak. Selain itu, golongan ini menanggung kewajiban tertentu kepada kaum

samagat terutama mereka yang menjadi kepala kampung atau ketua adat, seperti

membagikan sebagian hasil buruan atau tangkapan ikannya. Mereka juga wajib menyumbangkan bahan minuman, pangan atau biaya untuk upacara adat atau keagamaan (berdasarkan wawancara dengan bapak Didimus, tokoh masyarakat Suku Dayak Embaloh).

Dalam sistem pertanian, sebelum membuka lahan baru untuk berladang, golongan ini terlebih dahulu bekerja sama untuk mengerjakan ladang milik samagat (kepala kampung). Kewajiban ini disebut dengan istilah mangoroki samagat (membantu bangsawan). Setelah mangoroki samagat, barulah masyarakat biasa ini mengerjakan ladangnya yaitu dengan membuka lahan ladang masing-masing.

2.2.3.4 Pangkam (Budak atau Pembantu)

Pangkam merupakan tingkatan masyarakat yang paling rendah dalam

stratifikasi sosial Suku Dayak Embaloh. Mereka harus mau mengerjakan apa saja saat mereka disuruh oleh majikannya (samagat). Pangkam ini bisa berasal dari golongan

(70)

orang-orang buangan atau orang-orang-orang-orang yang dikucilkan akibat tindakan mereka sendiri (tindakan asusila), misalnya mencuri, membunuh, membakar Rumah Betang yang merugikan semua masyarakat di kampungnya atau berbuat zinah. Karena tidak mampu membayar kerugian tersebut maka untuk menebus kesalahannya, ia akan dijadikan budak atau pembantu (Lontaan, 1975: 368).

Pada akhir abad ke 19, yaitu pada saat masuknya misionaris (biarawan dan biarawati) Belanda di wilayah Kecamatan Embaloh Hulu, perbudakan pada masyarakat Embaloh dihapuskan (Michael, 1985: 260). Misionaris tersebut menyebarkan agama Katolik dan mengajarkan cinta kasih berdasarkan firman Tuhan dalam Kitab Suci (Alkitab agama Katolik). Sejak itulah golongan pangkam dalam masyarakat Embaloh dihapuskan sehingga pada zaman sekarang, sebutan untuk

pangkam dalam masyarakat Embaloh sudah tidak ada.

2.2.4 Sistem Perkawinan

(71)

suang sao akan menikah dengan golongan samagat, maka golongan suang sao harus membayar mas kawin (panyonyok) yang cukup mahal kepada golongan samagat, dengan tujuan agar golongan dari suang sao dan keturunannya akan diakui sebagai

samagat (Andasputra, 2007: 42).

Upacara persamaan derajat dikenal dengan istilah mambiti. Jika si pria berasal dari keturunan suang sao, ia akan mambiti kepada wanita yang keturunan samagat. Namun, jika si pria tidak mampu membayar mas kawin (panyonyok) yang telah ditentukan oleh keluarga dari pihak wanita (samagat) dan mereka tetap menikah maka si wanita (samagat) tidak dapat diakui oleh keluarganya sebagai golongan

samagat dan anaknya akan masuk golongan pabiring. Apabila keturunan pabiring

ingin menikah dengan masyarakat biasa maka upacara perkawinana mereka diurus menurut adat perkawianan yang berlaku dalam masyarakat Suku Dayak Embaloh. Mengenai keturunan mereka tidak terlalu dipermasalahkan, apakah nantinya akan di sebut pabiring atau suang sao, itu sama saja.

Mas kawin (panyonyok) yang harus digunakan untuk mambiti harus dari benda-benda kuno yang bersifat keras (tahan lama), seperti meriam (badil), gong

(tawak), garantung (sejenis gong, tetapi ukurannya lebih besar dari gong), tempayan

(72)

Mas kawin untuk satu kaletau diukur dengan sebuah gong. Menurut adat

Samagat, apabila seorang dari suang sao menikah dengan keturunan samagat maka

ia harus membayar empat kaletau, artinya empat buah gong. Mas kawin ini boleh diserahkan pada saat perkawinan berlangsung atau setelah selesai perkawinan dan boleh juga diserahkan setelah anak sulung mereka lahir. Kaletau artinya penebus kealahan orang yang berbuat salah.

Pada zaman dahulu, kaletau dibayar dengan harta benda, seperti gong, garantung, tempayan, meria

Gambar

TABEL 1
Gambar 01. Jenazah disemayamkan di dalam  lungun, sebagai lambang    persiapan menuju bukit Tailung
Gambar 03. Seorang nenek sedang melakukan upacara mabasang                     burung bano
Gambar 06. Sekelompok bapak-bapak sedang merapikan lungun                     (peti jenazah) yang hampir selesai
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bermacam-macam bentuk tradisi yang dilakukan oleh setiap etnis atau suku bangsa, seperti perkawinan, pesta adat, upacara kematian, dan ritual lainnya yang dianggap

Temukan hubungan antara antarkomponen komunikasi pada upacara adat pernikahan suku melayu yang membangun peristiwa komunikasi, yang akan dikenal kemudian sebagai

Perkembangan jaman selalu berdampak pada berkembangnya pola pikir dan perilaku masyarakat suku dayak Pompakng yang dulunya berfungsi sebagai adat dan upacara

Begitu juga dalam upacara budaya, khususnya dalam penelitian ini simbol yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa memiliki fungsi dan makna yang

Makna Upacara Adat Kematian Pada Masyarakat Minangkabau Di Kabupaten Padang Pariaman seiring dengan berkembang zaman, eksistensi hukum adat mulai memudar diharapkan kepada

Selain menjalankan sakramentali pemberkatan rumah, umat Katolik Suku Dayak Blaman juga melakukan upacara Noi’an rumah adalah salah satu upacara adat ungkapan penuh syukur dan

Penggunaan benang emas pada komponen-komponen upacara adat tidak hanya memberikan nilai estetis, bagi masyarakat suku Aneuk Jamee penggunaan Kasab dapat menjadi pelengkap makna

Adat istiadat yang dimiliki dayak bulusu sangat beraneka ragam, mulai dari awal tahun sampai akhir tahu selalu ada upacara adat, dari perkawinan, kelahiran sampai kematian. Tentu