Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia (S1)
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun Oleh
SRI WAHYUNI
NIM: 044114025
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Skripsi ini dipersembahkan kepada :
• Keluargaku, Bapak Tukijan, Ibu Agustina Tukirah, dan kedua
adikku Dwi Puji Rahayu dan Tri Agung Purwanto, serta keluarga
besarku
v
Nama : Sri Wahyuni
Nomor Mahasiswa : 044114025
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
”CITRA PENDIDIKAN NILAI DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA
ANDREA HIRATA” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dan bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : Desember 2009 Yang menyatakan,
vi
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Desember 2009
Penulis,
vii
Pendekatan Sosiologi Sastra
Penelitian ini menganalisis citra pendidikan nilai yang terjadi dalam novel
LaskarPelangi karya Andrea Hirata. Pendekatan yang digunakan dalam novel ini adalah pendekatan sosiologi sastra yang bertumpuan bahwa karya sastra mencerminkan kehidupan dalam suatu masyarakat. Citra pendidikan nilai yang dibahas peneliti, merupakan cerminan kehidupan suatu kelompok masyarakat di suatu daerah, yakni Belitung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan dan citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Hasil analisis tokoh dan penokohan, menunjukan bahwa tokoh utama novel ini adalah Ikal, Lintang, dan Mahar. Kehadiran Ikal, Lintang, dan Mahar dalam novel Laskar Pelangi paling banyak diceritakan, sebagai pelaku ceritanya langsung maupun sebagai pencerita beberapa tokoh yang lainya. Tokoh tambahan novel ini adalah Sahara, Syahdan, Kucai, Trapani, Borek/Samson, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, dan A Ling. Citra pendidikan nilai di Belitung juga ditunjukan secara nyata, dan hal itu mempengaruhi perilaku tiap-tiap tokohnya dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Citra pendidikan nilai yang terjadi dalam novel Laskar Pelangi, merupakan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan nilai berisi tentang: penghargaan pada nilai kemanusiaan, penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan, kemampuan hidup pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi, kejujuran, tanggung jawab, keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam.
Citra pendidikan nilai yang ada dalam novel ini adalah kejujuran, tekad kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras, keikhlasan, menepati janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan, keramahan, kesabaran, dan silaturahmi.
viii
Literature Sociological Approach
This study analyzes image of education value as reflected in Andrea Hirata’s Laskar Pelangi. This study applies the literature sociological approach which focuses on the description that a literary work portrays the life of a society. In this study, image of education value shows the portrayal of a society life in Belitung.
The method of this study is descriptive method. This method is used to analyze the character and characterization of the novel. It is also used in order to analyze image of education value in Laskar Pelangi written by Andrea Hirata .
The analysis of the character and characterization shows that the major characters in the novel are Ikal, Lintang, and Mahar. In the novel, they appear more often than others, who play the story itself and play as a narrator for others. While the minor characters in the novel are Sahara, Syahdan, Kucai, Trapani, Borek/Samson, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, and A Ling. Image of education in Belitung is also clearly shown, and that influences the characters’ behaviors in coping with a happening.
Image of education value in Laskar Pelangi novel are problems when it's happens in life time. Education value is contain pride of humanity value, pride of human right, different things of pride, different things of problem in living, brotherhood, polite, democration, honesty, responsibility, justice, struggle hard, spirituality, and the everlasting of nature.
Image of education value in this novel are involves character building, such as honesty, strong willed, self-identity, responsibility, hard working, sincerity, keeping on a promise, trustworthy, adaptation, kindness, be wish, be friendly, to be patient, and good relationship.
ix
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih yang
dicurahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semuanya tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
penulis ingin mengucapkan terimakasi kepada :
1. Ibu Susilowati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum, sebagai pembimbing I,
yang dengan sabar membimbing penulis selama proses pembuatan skripsi
ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, sebagai pembimbing II, yang
setulus hati membimbing penulis dan memberikan masukan dan kritik
kepada penulis.
3. Para dosen yang telah mengajar dan membagi ilmunya kepada penulis
selama penulis menyelesaikan studinya di USD. Pak Rahmanto, Pak
Praptomo, Pak Heri Antono, Pak Ari, Bu Peni, Bu Tjandra, Pak Santosa,
Pak Putu, Pak Arwan, Pak Heri Madiyanto, Pak Heri Santoso, dan semua
dosen yang pernah mengajar penulis.
4. Staf Fakultas Sastra, terima kasih atas bantuannya.
5. Perpustakaan USD dan segenap karyawannya, terima kasih atas bantuanya
selama ini.
6. Kedua orang tuaku dan seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan
dukungan dan semangat. Mama terima kasih doanya.
x
yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doanya. Semua yang
kenal denganku dan mengenalku, tetap semangat!!!
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis
berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peminat karya
sastra.
xi
HALAMAN PERSEMBAHAN………..………...iii
HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v
ABSTRAK...vi
ABSTRACT....vii
KATA PENGANTAR...viii
DAFTAR ISI...x
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1Latar Belakang Masalah...1
1.2Rumusan Masalah...4
1.3Tujuan Penelitian...4
1.4Manfaat Penelitian...4
1.5Tinjauan Pustaka...5
1.6Landasan Teori...6
1.6.1 Tokoh dan Penokohan...6
1.6.2 Sosiologi Sastra...10
1.6.3 Citra Pendidikan Nilai...12
1.7Metode Penelitian...14
1.7.1 Metode Penelitian...14
1.7.2 Pengumpulan Data...15
1.8Sumber Data...15
1.9Sistem Penyajian...16
BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI...17
2.1 Tokoh dan Penokohan...17
2.2 Tokoh Utama...18
xii
2.3.5 Syahdan...33
2.3.6 Kucai...34
2.3.7 Trapani...36
2.3.8 Borek/Samson...37
2.3.9 A Kiong...38
2.3.10 Harun...40
2.3.11 Flo...41
2.3.12 Bu Mus...43
2.3.13 Pak Harfan...46
2.3.14 A Ling...48
2.4 Rangkuman...48
BAB III CITRA PENDIDIKAN NILAI DALAM NOVEL LASKAR PELANGI...50
3.1 Pengantar...50
3.2 Citra Pendidikan Nilai...51
3.2.3 Kejujuran...51
3.2.2 Tekad Kuat...52
3.2.3 Penemuan Identitas...55
3.2.4 Bertanggung Jawab...56
3.2.5 Bekerja Keras...58
3.2.6 Keikhlasan...62
3.2.7 Menepati Janji...63
3.2.8 Dapat Dipercaya...63
3.2.9 Beradaptasi...64
3.2.10 Baik Hati...64
3.2.11 Kebijaksanaan...66
xiii
4.1 Kesimpulan...70
4.2 Saran...76
1
1.1Latar Belakang
Pendidikan tidak terjadi di ruang hampa melainkan berada dalam realita
perubahan sosial yang sangat dahsyat. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu
subsistem dari keseluruhan pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat,
media, dan sekolah (Lie, 2005:1)
Dalam memetakan masalah pendidikan perlu diperhatikan realitas pendidikan
itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan
suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah susbsistem adalah
kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan
dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain.
Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi yang
sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan,
begitupun sebaliknya. Pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukkan
bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling
mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output
pendidikan, berbagai perangkat yang mempengaruhi tersebut perlu mendapatkan
Pendidikan di Indonesia masih sangat memberatkan masyarakat. Pendidikan
yang dinilai mahal oleh masyarakat ekonomi lemah membuat masyarakat
beranggapan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat mewah. Hanya orang-orang
yang berekonomi kecukupan yang mampu mengenyam pendidikan. Anggapan yang
mungkin sampai saat ini terus berada dalam benak masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Belitung. Namun, hal itu tidaklah menjadi kendala bagi anak-anak
Belitung yang mempunyai semangat belajar yang tinggi.
Dengan mengangkat persoalan pendidikan, penulis ingin mengungkapkan
citra pendidikan niali dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel ini
diangkat dari kisah nyata penulisnya. Novel Laskar Pelangi menceritakan kisah masa
kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin di
Belitung (Prov. Bangka Belitung). Anak miskin ini mencoba memperbaiki masa
depan dengan menempuh pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang
dikelola dan difasilitasi begitu modern pada masanya, lembaga pendidikan
Muhammadiyah tampak tidak ada apa-apanya dibanding dengan sekolah-sekolah PN
Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para anak Belitung ini tersudut dalam
ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah
kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah mereka.
Kesulitan terus-menerus dialami oleh sekolah kampung itu. Sekolah yang
dibangun atas jiwa keikhlasan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah
sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan. Sekolah yang
hampir ditutup oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid
itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tidak
pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur
di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah yang rusak, ruang kelas
beralas tanah, atap yang bocor, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk
menyimpan ternak, bahkan kapur tulis pun terasa mahal bagi sekolah yang hanya
mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga
para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain.
Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota
Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitung yang luar biasa ini tak meyerah
walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Misalnya Lintang, seorang anak kuli
kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilimeter pulang pergi
untuk mengenyam pendidikan, bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu
Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar seorang pesuruh tukang parut kelapa
sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan
sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka
dalam karnaval 17 Agustus. Begitu juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang
begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita.
Penulis tertarik mengkaji novel ini karena mengangkat sebagian dari citra
pendidikan nilai yang ada di Indonesia yang tertuang dalam sebuah novel dan penulis
karya Andrea Hirata. Untuk mengungkapkan citra pendidikan niali tersebut, terlebih
dahulu penulis akan menganalisis struktur penceritaannya yang dibatasi pada unsur
tokoh dan penokohan saja.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata?
1.2.2 Bagaimanakah citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata.
1.3.2 Mendeskripsikan citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai dunia
pendidikan dalam pandangan ilmu sastra.
1.4.2 Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada ilmu-ilmu sosiologi
tentang citra pendidikan yang diterapkan dalam sebuah karya sastra yang
1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan memberikan referensi terhadap ilmu
pendidikan
1.5Tinjauan Pustaka
Novel Laskar Pelangi adalah novel pertama dari tetralogi karya Andrea
Hirata. Novel ini telah diresensi oleh beberapa orang, antara lain oleh Hernadi Tanzil
dengan judul resensinya “Berpetualang Bersama Laskar Pelangi” yang dimuat dalam
www.google.com, yang membahas tentang keseluruhan kisah Laskar Pelangi yang
tersaji dengan sangat memikat. Pembaca akan dibuat tercenung, menangis, dan
tertawa bersama kepolosan dan semangat juang para Laskar Pelangi.
Ia juga menyebutkan bahwa novel Laskar Pelangi sangat berpotensi untuk
memperluas wawasan pembacanya. Lingkungan Kampung Melayu Belitung yang
digambarkan secara jelas dan memikat membuat pembaca novel ini akan mengetahui
kondisi lingkungan dan kondidi sosial budaya masyarakat Kampung Melayu Belitung
yang hidup di bawah garis kemiskinan yang ironisnya ternyata berdampingan dengan
komunitas masyarakat gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan
fasilitas yang lebih dari cukup.
Kemunculan nama-nama latin dari tumbuh-tumbuhan sepertinya akan
membuat kelancaran membaca ini menjadi sedikit tersendat. Kisah ini dikemas dalam
bentuk fiksi maka batas antara fakta dan fiksi kiranya tak perlu diperdebatkan. Pada
intinya novel Laskar Pelangi menyampaikan pesan mulia bahwa kemiskinan
dengan segala keterbatasannya ternyata mampu melahirkan kreativitas-kreativitas
yang melampaui sekolah-sekolah favorit yang telah mapan baik dari segi fisik
maupun pengajarnya.
1.6Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (i) tokoh dan
penokohan, (ii) sosiologi sastra, (iii) citra pendidikan nilai.
1.6.1 Tokoh dan Penokohan
1.6.1.1 Tokoh
Dalam novel ini akan dianalisis unsur tokoh karena dengan menganalisis
unsur tokoh tersebut akan ditemukan bentuk dari citra pendidikan dalam novel
Laskar Pelangi.
Tokoh menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002:165), adalah
orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dan tindakan.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Keadaan ini justru sering (dapat) berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita
itu sendiri dilihat dari segi kewajarannya dalam bersikap dan bertindak
Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah
merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan
manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan
(Nurgiyantoro, 2002:167). Tokoh cerita dilihat dari segi peranan dan tingkat
pentingnya, dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian sekaligus berhubungan dengan tokoh lain.
Sedangkan tokoh tambahan pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit,
tidak terlalu penting, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama, secara langsung atau pun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2002:176).
1.6.1.2 Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002:165). Istilah penokohan lebih
luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia mencakup masalah siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kapada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan
Menurut Nurgiyantoro (2002:195-214), ada tiga teknik pelukisan tokoh, yaitu
teknik ekspositori, teknik dramatik, dan catatan tentang identifikasi tokoh, yang akan
dijabarkan berikut ini:
a. Teknik Ekspositori
Teknik ekspositori disebut juga teknik analitis, pelukisan cerita dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca
secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai
deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah
laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.
b. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik mirip dengan yang
ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Ada 8 wujud
penggambaran teknik dramatik, yaitu:
(1) Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
(2) Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan nonverbal, fisik. Apa yang
dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak
dapat dipandang sebagai menunjukan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap
(3) Teknik Pikiran dan Perasaan
Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan
teknik tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk
menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh. Teknik pikiran dan perasaan
dapat juga berupa sesuatu yang tidak pernah dilakukan secara konkret
dalam bentuk tindakan dan kata-kata, dan hal ini tidak dapat terjadi
sebaliknya.
(4) Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan.
Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha
menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan
indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan,
ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.
(5) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap satu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan
sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri tokoh yang bersangkutan
(6) Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh
lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriaannya, yang
juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian
tokoh kepada pembaca.
(7) Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar sekitar tokoh sering dipakai untuk melukiskan kediriannya.
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.
(8) Teknik Pelukisan Fisik
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan
memang penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia
mempunyai bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan
secara imajinatif.
Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis masalah tokoh dan
penokohan saja, sedangkan tema, alur, dan latar sudah cukup dijelaskan dalam
penggambaran dan analisis penulis.
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan
logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpaman). Perkembangan berikutnya
mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti
ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra berasal
dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan
instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat mengajar,
buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik lagi
menjadi kumpulan hasil karya sastra yang baik. Jadi sosiologi sastra adalah
pemahaman terhadap totalitas karya sastra disertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya (Ratna, 2003:1-2)
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki
kaitan erat dengan masyarakat, dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya
dengan masyarakat. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh
tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan subjek tersebut adalah anggota
masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat. Ketiga, medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui
kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan (Ratna, 2003:332-333).
Hubungan antara sastra dan masyarakat dalam ilmu sastra disebut sosiologi
sastra. Sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra.
Sosiologi sastra merupakan satu telaah sastra yang objektif dan ilmiah tentang
manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta proses sosialnya (Semi, 1989:52).
sastra sebagai lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang juga bagian dari
anggota masyarakat (2002:2).
Jadi dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra mempunyai saling
keterkaitan meskipun bidang yang dimilikinya sama. Manusia dan masyarakat adalah
salah satu dunia dari sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
masyarakat beserta isinya, sedangkan sastra merupakan cerminan masyarakat.
Dengan demikian, sebuah karya sastra bisa dikaji secara sosiologi yaitu dikenal
dengan tinjauan sosiologi sastra. Dalam hal ini novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata dapat dikatakan sebagai bentuk karya sastra sosiologis, karena cerita yang
dipaparkan merupakan cerminan kehidupan masyarakat.
1.6.3 Citra Pendidikan Nilai
Menurut Kamus Besar Basaha Indonesia (2008:270), citra adalah rupa;
gambar; gambaran.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan, proses perbuatan, cara mendidik (KBBI, 2008:326).
Pendidikan nilai adalah usaha untuk membantu peserta didik untuk menyadari
dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral dan keseluruhan hidup
Citra pendidikan nilai adalah gambaran usaha untuk membantu peserta didik
untuk menyadari dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral dan
keseluruhan hidup mereka.
Pendidikan nilai harus berisi tentang: penghargaan pada nilai kemanusiaan,
penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan, kemampuan hidup
pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi, kejujuran, tanggung jawab,
keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam (Lie, 2005:92).
Dalam sebuah pendidikan tidak cukup dengan ilmu pengetahuan yang
diberikan saja, tetapi harus juga dibekali oleh ilmu-ilmu lain, seperti pendidikan
sosial dan kemasyarakatan, pendidikan nilai kemanusiaan, pendidikan budi pekerti,
dan pendidikan moral.
Pendidikan sosial mengutamakan kemampuan lidah, kemampuan lingua,
kamampuan bahasa dengan segala gejalanya, sedangkan pendidikan kemasyarakatan
bergerak dari diri sendiri ke luar dan dari luar ke diri sendiri. Tidak mutlak, tapi selalu
relatif dan situsional (Lie, 2005:60)
Budi pekerti sering diartikan sebagai moralitas yang mengandung pengertian
antara lain, adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Budi pekerti dapat dianggap
sebagai sikap dan perilaku yang membantu orang dapat hidup lebih baik (Suparno,
2005:111)
Pendidikan moral adalah keseluruhan proses dan usaha-usaha pengembangan
budi pekerti, atau dengan kata lain, pendidikan moral adalah seluruh proses dan
mereka semakin tulus dan tindakan-tindakan mereka semakin berkenan di hati Tuhan
dan sesama (Hadiwardoyo, 2005:92).
Dari citra pendidikan nilai di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
menyeimbangi pendidikan yang bersifat teoritis harus dibekali juga dengan
pendidikan yang bersifat membentuk pribadi manusia yang lebih baik lagi. Dengan
begitu, keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan akhlak dapat tercipta, dan saling
menopang satu sama lain.
Penelitian ini difokuskan pada pendidikan nilai yang meliputi kejujuran, tekad
kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras, keikhlasan, menepati
janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan, keramahan, kesabaran,
dan silaturahmi.
1.7Metode Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan yakni metode diskriptif untuk
menganalisis data. Metode diskriptif adalah metode yang melukiskan sesuatu yang
digunakan untuk memaparkan secra keseluruhan hasil analisis yang dilakukan (Keraf,
1981:93). Langkah-langkah yang ditempuh penulis dalam melakukan penelitian ini
adalah pertama membaca novel yang akan dianalisis, kedua mencari rumusan
masalah yang akan diteliti, ketiga mengumpulkan data-data dengan cara teknik catat
dianalisis dan diinterpretasikan. Hasil analisis dan interpretasi tersebut dideskripsikan
dalam bentuk laporan penelitian.
1.7.2 Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
catat yakni mencatat data yang berasal dari buku-buku maupun artikel yang memuat
hal-hal yang berhubungan dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan
masalah ssiologi sastra. Peneliti mengmpulkan data yang diperoleh kemudian
mencatatnya pada buku atau kertas (Sudaryanto, 1993). Teknik ini digunakan penulis
untuk mencatat data-data yang menjadi bagian dari novel Laskar Pelangi dan
berhubungan dengan masalah penelitian di atas.
1.8Sumber Data
Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.
1.8.1 Sumber data primer
Judul Buku : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2005
1.8.2 Sumber data sekunder
Sumber data seunder berupa hasil penelitian, artikel dari internet, dan
pustaka-pustaka lain yang berhubungan dengan obek penelitian ini.
1.9Sistem Penyajian
Sistematika dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. Penelitian ini
dibagi menjadi 4 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis
struktur yang meliputi tokoh dan penokohan. Bab III berisi analisis tentang citra
17
Pada bagian ini akan dianalisis tokoh dan penokohan saja. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui pengagambaran tiap tokohnya. Seluruhnya akan
diuraikan sebagai berikut.
2.1 Tokoh dan Penokohan
2.1.1 Tokoh
Menurut Sudjiman (1988:16), tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh
pada umumnya berwujus manusia, tetapi dapat pula berwujud binatang atau benda
yang diinsankan. Menurut Nurgiyantoro (2002:176), dilihat dari segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting
dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendomonasi sebagian besar
cerita, dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central
character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan
(peripheral character).
Tokoh yang ada dalam novel Laskar Pelangi meliputi tokoh utama dan
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika
ada keterkaitanya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tidak langsung.
Tokoh utama dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah Ikal,
Lintang, dan Mahar sedangkan tokoh tambahannya adalah Sahara, Syahdan,
Kucai, Trapani, Borek, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, dan A Ling.
2.1.2 Penokohan
Penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh
berdasarkan penggambaran ciri-ciri lahir, sifat, dan sikap batin dalam cerita
(Sudjiman, 1988:23). Dengan adanya penggambaran tersebut, dapat diketahui
pula watak tokoh-tokoh yang ada dalam novel yang akan dianalisis.
Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terdapat beberapa jenis
penamaan berdasarkan dari sudut pandang dan tinjauanya. Dalam penelitian ini
penulis akan memaparkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel Laskar Pelangi dan
menganalisis tokoh-tokoh yang berkaitan citra pendidikan nilai.
2.2 Tokoh Utama
2.2.1 Ikal
Secara fisik, Ikal mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan
menggunakan teknik dramatik (teknik reaksi tokoh lain dan pelukisan fisik), yang
dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(1) … Tingginya (A Ling) tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku (Ikal).(hlm.269)
(2) Umumnya Bu mus mengelompokan tempat duduk kami
berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal….(hlm.13)
Ikal berasal dari keluarga yang miskin dan bersaudara banyak. Ayahnya
adalah seorang buruh tambang dan saudara-saudara Ikal adalah kuli di pasar pagi
dan kuli kopra di pesisir pantai. Hal ini digambarkan menggunakan teknik
ekspositori dan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut ini:
(3) … Aku (Ikal) tahu beliau (ayah Ikal) sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkan pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.(hlm.2-3)
(4) “Kasihan ayahku…”
maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.
“Barang kali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli…”(hlm.3)
Ikal sangat menyayangi dan menghormati ibunya. Ia akan berkata jujur
walaupun dengan kejujuran itu mempermalukan dirinya sendiri. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik tingkah laku dan reaksi tokoh
(5) Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri….(hlm.82)
(6) “Namanya A Ling…!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qu’ran di masjid Al Hikmah. Jantungku (Ikal) berdetak kencang. “Seangkatan dengan kita di sekolah nasional!”….
“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “bisa-bisa aku kena rajam. (hlm.253)
Ikal adalah salah satu murid yang pandai di kelasnya. Ia selalu mendapat
rengking dua dan mempunyai rival berat dalam pelajaran, yaitu sahabatnya
sendiri, Lintang, yang selalu menduduki rengking pertama di kelasnya. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik ekspositori, yang dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
(7) Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedetik pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi. (hlm.122)
Ikal mempunyai bakat pada seni khususnya puisi. Ia menulis puisi sebagai
tugas pelajaran kesenian yang diserahkan kepada Bu Mus. Hal ini digambarkan
menggunakan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat terlihat
dalam kutipan berikut ini:
lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. (hlm.181)
Ikal memiliki cita-cita sebagai pemain bulu tangkis dan menjadi penulis,
tapi ia malah menjadi tukang sortir di salah satu kantor pos yang ada di Jakarta.
Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan),
yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(9) … Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot….(hlm.342)
(10) Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.(hlm.438)
Dari kutipan (1)-(10) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Ikal
mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek dan ia
juga mempunyai rambut yang ikal (1-2). Ikal berasal dari keluarga berekonomi
rendah. Ayahnya adalah seorang buruh tambang yang bergaji kecil, sedangkan
saudara-saudara Ikal bekerja menjadi kuli (3-4). Ikal sangat menghormati dan
menyayangi ibunya. Pelajaran kemuhammadiyahan tidak memperbolehkannya
bohong, apalagi kepada ibu (5-6). Ikal mempunyai bakat seni, khususnya pada
puisi. Ia menyerahkan karya puisinya sebagai tugas kesenian (8). Ikal termasuk
anak yang pintar. Ia selalu menduduki peringkat kedua di kelasnya (7).
Cita-citanya adalah ingin menjadi pemain bulu tangkis dan penulis yang berbobot (9),
tapi ia malah menjadi tukang sortir di salah satu kantor pos yang ada di Jakarta
2.2.2 Lintang
Secara fisik, Lintang berwajah manis dan berambut merah keriting.
Tubuhnya tak terawat dan kotor. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran
teknik dramatik (pelukisan fisik dan reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam
kutipan berikut ini:
(11) Aku mengenal para orang tua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki yang kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya….(hlm.3)
(12) “Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting (Lintang) ini saja yang menjawab,” perintah Bu Mus.(hlm.122)
(13) Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia (Lintang) paling pagi. Wajahnya manis senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali… Dibalik tubuhnya yang tak terawat, kotor,
miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an
absolutely….(hlm.108-109)
Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, yaitu sebuah wilayah paling
timur di Sumatra. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia anak laki-laki
satu-satunya. Ia tinggal bersama empat belas anggota keluarga yang hidup dalam
satu rumah. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik
(pelukisan latar) dan teknik ekspositori, yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra….(hlm.11)
(15) Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria muda yang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu.(hlm.99-100)
Ayah Lintang adalah seorang nelayan semacam petani penggarap karena
tidak memiliki perahu. Sedangkan ibunya adalah seorang keturunan bangsawan
kerajaan lama Belitong. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik
dramatik (reaksi tokoh dan pelukisan latar), yang terdapat dalam kutipan berikut
ini:
(16) Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung itu hinggap sebentar di pucuk pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia (ayah Lintang) hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.(hlm.10-11)
(17) Ibunya Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara, adalah seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama belitong khusus bagi wanita dari ayah seorang K.A atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan gelar itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak menyandang K.A. dan N.A. di depan nama-nama mereka….(hlm.97)
Lintang adalah seorang anak yang ramah dan senang membantu teman
sombong dan mau berbagi ilmu dengan teman-temannya. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan reaksi tokoh lain), yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
(18) Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan….(hlm.12)
(19) Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang sahabat dan seoarng murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas bagi kelas kami.(hlm.109)
Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan
rajin. Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk
menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik ekspositori, yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(20) “Tapi sudah dari setengah perjalanan sudah, aku (Lintang) tak ‘kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini, tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” (hlm.88)
(21) Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bondega seperti yang aku alami, tapi bukan sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun dia bolos….(hlm.93)
kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah siap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri
di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.(hlm.94)
Lintang adalah anak yang pintar dan genius. Ia selalu mendapatkan
nilai-nilai yang jauh di atas rata-rata. Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba
kecerdasan antarsekolah. Lintang mampu mengaharumkan nama sekolah
Muhammadiyah yang menjuarai perlombaan itu. Hal ini dapat dilihat melalui
penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan
berikut ini:
(23) “Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan dia menunjukan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”(hlm.123)
(24) Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmetika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang seantreo kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasi itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang dapat menaikan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.(hlm.124)
berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.(hlm.383)
Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang matematikawan. Harapan
itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan sekolah dan harus
menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati ayahnya. Hal ini dapat
dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan).
(26) … Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.(hlm.344)
(27) Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayahnya, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia harus mengambil alih menganggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus yang berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.(hlm.430)
Lintang memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan. Ia
bekerja sebagai sopir truk. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik
dramatik (reaksi tokoh lain, dan pelukisan fisik), yang terdapat dalam kutipan
berikut ini:
(28) “Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak menjadi nelayan….”(hlm.472)
Dari kutipan (11) sampai (29) di atas, dapat disimpulkan bahwa Lintang
adalah tokoh yang berwajah manis dan berambut keriting (11-12). Penampilannya
sangat sederhana. Tubuhnya tak terawat, kotor, dan berbau hangus (13). Lintang
berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pesisir pantai, yaitu sebuah
wilayah paling timur di Sumatra (14). Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Lintang mempunyai lima adik perempuan dan ia tinggal bersama empat belas
anggota keluarga lainnya (15). Ayah Lintang adalah seorang nelayan yang bekerja
sebagai petani penggarap karena ia tidak memiliki perahu (16). Sedangkan ibunya
adalah seorang keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong (17). Lintang adalah
sosok yang ramah (18) dan suka menolong teman yang mengalami kesulitan
dalam memahami pelajaran. Ia tidak segan untuk berbagi ilmu kepada temannya
(19). Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan rajin.
Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk menyanyikan
lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah (20-22). Lintang adalah anak yang
pintar dan genius (23). Ia selalu mendapatkan nilai-nilai yang jauh di atas rata-rata
(24). Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba kecerdasan antarsekolah.
Lintang mampu mengaharumkan nama sekolah Muhammadiyah yang menjuarai
perlombaan itu (25). Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang
matematikawan (26). Harapan itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan
sekolah dan harus menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati
ayahnya (27). Lintang memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan.
2.2.3 Mahar
Mahar adalah anak yang pekerja keras. Ia memiliki tangan yang
berminyak dan kuku-kuku yang cacat. Ia juga berpenampilan etnik dengan
aksesori-aksesorinya Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik
(pelukisan fisik), dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(30) … Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam memeras ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang….(hlm.134-135)
(31) … Mahar dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara emas yang diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik….(hlm.141)
Mahar adalah seniman yang imajinatif dan penuh dengan ide-ide gila yang
kreativ. Ia menciptakan hal-hal yang tidak biasanya. Hal ini digambarkan
menggunakan teknik dramatik (tingkah laku).
(31) Mahluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera
anthropoid, dinasaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula mahluk-mahluk prasejarah seperti yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi mahluk itu tentu tidak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman.(hlm.145)
berperilaku layaknya seorang instruktur. Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera….(hlm.145-146)
Ia menciptakan gerakan tarian yang dipakai untuk lomba karnaval 17
Agustus-an. Dengan tarian itu, sekolah Muhammadiyah berhasil mendapat trofi
Penampil Seni Terbaik. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik
(pikiran dan perasaan, dan reaksi tokoh lain), dapat dilihat dalam kutipan berikut
ini:
(33) Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentak-hentakkan ke bumi, tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran, kemudian menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang. Tak ada gerakan santai atau lembut, semua cepat, ganas, rancak, dan patah-patah. Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan.(hlm.227)
(34) Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang setelah dua puluh tahun kami idamkan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.(hlm.247)
Kesenangan Mahar akan dunia supranatural membuat nilai-nilai ujiannya
gelap dapat membantunya lulus ujian. Hal ini digambarkan menggunakan teknik
dramatik (reaksi tokoh lain dan reaksi tokoh) dan dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
(35) Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah.”
Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan segera menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. Jika nanti ujian antara-mu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanantara-mu ikut kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.”(hlm.350)
(36) “Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan memberikan pendamping dengan cara yang misterius….”(hlm.351)
(37) Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah fillicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA UNTUK KALIAN BERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!!(hlm.424)
Mahar bercita-cita menjadi sutradara dan seorang penasihat spiritual. Tapi
ia malah menjadi seorang penulis novel. Hal ini digambarkan menggunakan
teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh lain), dapat dilihat dalam
kutipan berikut ini:
seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan
hypnotherapist ternama.(hlm.343)
(39) Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubir bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang indah….(hlm.489-490)
Dari kutipan (30) sampai (39) di atas, dapat disimpulkan bahwa Mahar
adalah anak yang pekerja keras. Ia bekerja sebagai tukang parut kelapa. Ia
memiliki tangan yang berminyak dan kuku-kuku yang cacat karena disayat
gigi-gigi mesin parut (30). Ia juga berpenampilan etnik dengan aksesori-aksesorinya
(31). Mahar adalah seniman yang imajinatif. Ia menciptakan sebuah karya dengan
imajinasinya (32). Ia penuh dengan ide-ide gila yang kreatif (33). Ia menciptakan
gerakan tarian yang dipakai untuk lomba karnaval 17 Agustus-an. Dengan tarian
itu, sekolah Muhammadiyah berhasil mendapat trofi Penampil Seni Terbaik (34).
Mahar juga gemar pada hal-hal yang berbau supranatural (35). Kegemaran itu
membawa dampak buruk untuknya. Nilai-nilai ujiannya merosot tajam, dan ia
terancam tidak dapat mengikuti Ebtanas (36). Keyakinannya terhadap dunia gelap
membuatnya berpikir untuk meminta bantuan seorang dukun agar mendapat nilai
yang bagus (37).
2.3 Tokoh Tambahan
2.3.1 Sahara
Sahara adalah wanita yang cantik. Ia memakai jilbab dan mempunyai
tubuh yang ramping. Ayahnya bekerja di PN sebagai seorang Taikong. Hal ini
dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan fisik), yang
(40) Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik
grey cheeked green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN….(hlm.75)
Sahara adalah gadis yang temprament. Ia juga pintar. Sahara pantang
berbohong. Cita-citanya ingin menjadi seorang pejuang hak-hak asasi wanita. Hal
ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh, tingkah
laku, dan pikiran dan perasaan), dalam kutipan berikut ini:
(41) … Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temprament, tapi ia pintar. Peringkatnya bersaing dengan Trapani… .(hlm.75)
(42) … Sifat lain Sahara yang paling menonjol adalah kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar-kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.(hlm.75)
(43) … Sahara misalnya, ia ingin menjadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-film India….(hlm.342-343)
Dari kutipan (40) sampai (43) di atas, dapat disimpulkan bahwa Sahara
adalah wanita yang cantik. Ia memakai jilbab dan mempunyai tubuh yang
ramping. Ayahnya bekerja di PN sebagai seorang Taikong (40). Sahara adalah
gadis yang tempramen. Jika marah alisnya akan bertemu dan tak segan mencakar.
Ia juga pintar dan peringkatnya bersaing dengan Trapani (41). Sahara menjunjung
tinggi kejujuran. Ia pantang berbohong (42). Cita-citanya ingin menjadi seorang
2.3.2 Syahdan
Syahdan adalah seorang anak yang bertubuh kecil. Ia berasal dari keluaga
miskin. Ayahnya adalah seorang nelayan yang bekerja di bagan dan gudang
kopra. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan
fisik dan reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(44) Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal….(hlm.197)
(45) Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan… Penghasilan ayahku (Ikal) lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus….(hlm.67-68)
Syahdan bercita-cita ingin menjadi seorang aktor ternama. Namun, ia
malah menjadi Manager di sebuah perusahaan terkemuka. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh) dan teknik ekspositori, yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
(46) Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor… Ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.(hlm.343)
(47) … Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian, Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang….(hlm.478-479)
Dari kutipan (44) sampai (47) di atas, dapat disimpulkan bahwa Syahdan adalah
miskin. Ayahnya adalah seorang nelayan yang bekerja di bagan dan gudang kopra
(45). Cita-cita Syahdan adalah ingin menjadi aktor ternama (46), tapi kemudian ia
bekerja di sebuah perusahaan terkemuka sebagai Manager (47).
2.3.3 Kucai
Kucai adalah seorang anak yang menderita rabun jauh. Ayahnya adalah
seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan ketua Badan Amil masjid.
Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik dan pelukisan
latar), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(48) Kucai sedikit kurang beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka ia tak memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat adalah benda di samping benda yang persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang yang paling optimis yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder….(hlm.69)
(49) … Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakonkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid kampung.(hlm.70)
Kucai bercita-cita ingin menjadi anggota dewan. Maka ia pun terpilih
menjadi ketua salah satu fraksi di Belitong. Hal ini digambarkan menggunakan
teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh), yang dapat dilihat dalam
(50) … Kucai menyadari bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.(hlm.342-343)
(51) Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong….(hlm.490)
Dari kutipan (48) sampai (51) di atas, dapat disimpulkan bahwa Kucai
adalah seorang anak yang menderita rabun jauh karena kekurangan gizi pada
waktu kecil (48). Ia memiliki jiwa oportunis yang bermulut besar. Ayahnya
adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan ketua Badan Amil
masjid (49). Kucai adalah seorang yang bermulut besar, berotak tumpul, populis,
dan tak tahu malu. Ia ingin menjadi anggota dewan (50). Ia pun menjadi anggota
dewan yaitu sebagai ketua salah satu fraksi di Belitong (51).
2.3.4 Trapani
Trapani adalah anak yang tampan. Tubuhnya tinggi dan berkulit putih.
Warna pakaiannya selalu serasi. Ayahnya adalah seorang operator di PN. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik), yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut ini:
bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum.(hlm.74)
(53) Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.(hlm.366)
(54) … Ayahnya adalah seorang operator vessel board di kantor telepon PN sekaligus tukang sirine….(hlm.74-75)
Trapani adalah anak yang pendiam, tapi pintar. Cita-citanya ingin menjadi
guru di pedalaman. Hal ini digambarkan menggunakan teknik ekspositori (55) dan
teknik dramatik (reaksi tokoh) (56), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(55) Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga….(hlm.75)
(56) … Cita-citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia….(hlm.74)
Dari kutipan (52) sampai (56) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
Trapani digambarkan sebagai anak yang tampan. Warna pakaiannya selalu serasi
dan berbau harum (52). Tubuhnya tinggi dan berkulit putih. Rambutnya hitam
lebat. Ia juga memiliki kumis tipis (53). Ayahnya adalah seorang operator di PN
(54). Trapani adalah anak yang pendiam, tapi pintar. Ia selalu mendapat rengking
ketiga di kelasnya (55). Cita-citanya ingin menjadi guru di pedalaman Belitung
(56).
Borek/ Samson adalah tokoh yang digambarkan terobsesi memiliki otot
besar. Ia bercita-cita ingin menjadi tukang sobek karcis dan sekuriti di Bioskop.
Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan
reaksi tokoh), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(57) Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan Samson….(hlm.78-79)
(58) Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra machonya.(hlm.343-344)
Dari kutipan (57) sampai (58) di atas, dapat disimpulkan bahwa Borek/
Samson adalah tokoh yang terobsesi memiliki otot yang besar. Karena latihan
keras, ia pun berhasil membesarkan ototnya (57). Ia bercita-cita ingin menjadi
tukang sobek karcis dan sekuriti Bioskop, supaya ia dapat menonton film dengan
garatis (58).
2.3.6 A Kiong
A Kiong adalah tokoh yang mempunyai bentuk wajah kotak dan lebar. A
Kiong memiliki mata sipit dan hampir tak mempunyai alis. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan fisik), yang terdapat dalam
kutipan berikut ini:
Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite dari air minum. Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. (hlm.68)
A Kiong adalah termasuk anak yang cepat menangkap pelajaran. Ia
bercita-cita ingin menjadi seorang kapten kapal. Hal ini dapat dilihat melalui
penggambaran teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh), yang terdapat
dalam kutipan berikut ini:
(60) Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu….(hlm.69)
(61) … A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten kapan yang besar dapat menutupisebagian kepala kalengnya itu….(hlm.342-343)
Ayah A Kiong bekerja sebagai petani sawi. A Kiong berasal dari keluarga
Kong Hu Cu. Kemudian A Kiong memeluk agama Islam dan mengganti nama
menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman. Hal ini dapat dilihat melalui
penggambaran teknik dramatik (pelukisan latar dan reaksi tokoh lain), yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
(62) Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin.(hlm.68)
yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya….(hlm.465)
A Kiong adalah tokoh yang naif dan mudah terhasut oleh orang lain. Selain itu, A
Kiong juga baik hati, ramah dan setia kawan terhadap sahabatnya. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan reaksi tokoh), yang terdapat
dalam kutipan berikut ini:
(64) Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kita mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.(hlm.68-69)
(65) Rupanya A Kiong menagkap keputusasan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa yang tak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak’kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan….(hlm.256)
Dari kutipan (59) sampai (65) di atas, dapat disimpulkan bahwa A Kiong
memiliki fisik yang sedikit aneh. Wajahnya berbentuk kotak dan lebar. Ia
memiliki mata yang sipit dan hampir tak mempunyai alis (59). A Kiong termasuk
anak yang cepat menangkap pelajaran dan ia bercita-cita ingin menjadi seorang
kapten kapal (60-61). Ayah A Kiong bekerja sebagai petani sawi. A Kiong berasal
dari keluarga Kong Hu Cu sejati (62). Kemudian A Kiong memeluk agama Islam
yang disaksikan oleh Pak Harfan dan Bu Mus. Ia juga mengganti namanya
menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman (63). A Kiong adalah tokoh
yang naif dan mudah terhasut oleh orang lain. Selain itu, A Kiong juga baik hati,
2.3.7 Harun
Harun adalah seorang pria berumur lima belas tahun. Ia agak terbelakang
mentalnya sehingga tidak bisa menangkap pelajaran sama sekali. Ia juga
mempunyai hobi mengunyah permen asam jawa. Harun memiliki rambut model
Chairil Anwar. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan
fisik dan arus kesadaran), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(66) Kami tersentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf X sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya….(hlm.6-7)
(67) … Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaianya selalu rapi….(hlm.76-77)
(68) Harun mempunyai hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tak bisa menangkap pelajaran membaca atau menulis….(hlm.77)
Dari kutipan (66) sampai (68) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
Harun adalah seorang pria yang berumur lima belas tahun. Kakinya berbentuk
huruf X dan agak keterbelakangan mental (66) sehingga ia tidak bisa menangkap
pelajaran membaca atau pun menulis. Harun adalah pria yang santun, pendiam,
dan murah senyum. Ia memiliki model rambut seperti Chairil Anwar dan selalu