3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumput Remason (Polygala paniculata L.)
Rumput reason merupakan tumbuhan asli Amerika tropis, dari kawasan
Meksiko hingga Brazil. Pada abad ke-17 diintroduksi ke Afrika tropis,
Indo-Australia dan Kepulauan Pasifik termasuk Asia Tenggara (Valkenburg, 2002
dalam Sutomo). Tanaman rumput remason/balsem merupakan tumbuhan semusim
yaitu dari biji lalu tumbuh dan akan mati setelah mencapai dewasa selama 4-5
bulan. Tumbuhan ini berbau balsam sehingga dinamakan tumbuhan balsem oleh
masyarakat di Kalimantan Timur (Rijai, 2013 dalam Kiky, 2017).
Gambar 1. Rumput remason (Polygala paniculata L.)
Rumput remason merupakan salah satu marga terbesar yang tergolong
dalam suku Polygalaceae, marga ini terdiri dari 500 jenis dan dapat ditemukan di
daerah di daerah tropik, sub tropik, temperate dan di pegunungan di seluruh dunia
kecuali Selandia Baru. Sebagian besar dari jenis tersebut tumbuh di daerah
yang menyukai cahaya dan dapat ditemukan di lapangan yang ditinggalkan, di
perkebunan, di sekitar daerah bekas bokor, serta dapat tumbuh pada beberapa tipe
tanah yang berbeda, banyak ditemukan pada beberapa tempat hingga ketinggian
2250 meter di atas permukaan laut. Di Kebun Raya Bali tumbuhan ini dapat
ditemukan tumbuh liar di dekat area bekas bokor pada beberapa petak tanaman
koleksi umum seperti petak XII, XIV, dan XV. Rumput remason berbunga
sepanjang tahun di daerah yang beriklim basah. Di daerah yang memiliki
beberapa musim rumput remason berbunga di awal musim panas dan
menyelesaikan siklus hidupnya selama 4-5 bulan. Rumput remason merupakan
tumbuhan semusim atau annual artinya merupakan tumbuhan yang berkembang
biak dari biji, lalu berbunga, menghasilkan biji dan kemudian mati di tahun yang
sama. Penyerbukan sendiri kemungkinan banyak terjadi pada semua jenis
Polygalaceae walaupun ada beberapa yang juga disebabkan oleh serangga
(Valkenburg, 2002 dalam Sutomo). Klasifikasi Polygala paniculata L. (Backer,
1965 dalam Kiky, 2017):
Kingdom: Plantae Division: Magnoliophyta Class: Magnoliopsida Order: Polygalales Family: Polygalaceae Genus: Polygala
Laporan Rijai (2013) dalam Kiky (2017) menyatakan bahwa akar tanaman
rumput remason dipercaya dapat meningkatkan stamina dan juga beberapa hasil
penelitian terhadap tumbuhan rumput remason terbukti memiliki potensi dalam
bidang kefarmasian seperti sitotoksik atau antikanker, antibakteri, dan
antimikotik, potensi herba rumput remason juga digambarkan melalui kandungan
metabolit sekundernya yaitu mengandung alkaloid, flavanoid, tanin, saponin, dan
steroid. Beberapa penelitian tentang tanaman rumput remason telah dilakukan
antara lain bahwa dari akar dan daun tanaman rumput remason telah diisolasi
senyawa kumarin, xanthan, dan flavonol, dari hasil uji fitokimia dengan
menggunakan pereaksisianidin test didapatkan bahwa pada batang dan akarnya
terkandung senyawa flavonoid (Nadia, 2007 dalam Kiky, 2017).Hasil ekstrak
metanol rumput remason mengandung senyawa flavonoid yang memiliki aktivitas
aktioksidan (Paulus dan Djoko, 2012).
Tabel 1. Hasil uji kualitatif senyawa bioaktif akar rumput balsem
Alkaloid -
Flavonoid +
Steroid +
Terpenoid -
Saponin +
Tanin -
Sumber: Lis Nurani dkk, 2014
keterangan: (+) : terdeteksi (-) : tidak terdeteksi
Rumput remason mengandung dua jenis xantonin yaknixanthones
1-hydroxy-5-methoxy-2,3-methylenedioxyxanthonedan
1,5-dihydroxy-2,3dimethoxyxanthone serta juga mengandung kumarin murragatin dan flavonol
rutin (Rodrigo Cristiano dkk, 2002). Hasil penelitian rumput remason yang lain
rasa nyeri (Lapa et al., 2009), antioksidan (Silva et al., 2005), proteksi saluran
pencernaan (Lapa et al., 2007), sumber metil salisilat nabati (Cristiane, 2011).
B. Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal
bebas yang terbentuk sebagai hasil metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksi
kimia dan proses metabolik yang terjadi didalam tubuh. Berbagai bukti ilmiah
menunjukkan bahwa senyawa antioksidan mengurangi risiko terhadap penyakit
kronis, seperti kanker dan penyakit jantung koroner (Goldberg, 2003 dalam
Denny, 2014). Antioksidan memiliki fungsi untuk menghentikan atau
memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas yang terdapat didalam tubuh,
sehingga dapat menyelamatkan sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas
(Hernani dan Rahardjo, 2005). Antioksidan berperan dalam menetralkan radikal
bebas dengan cara memberikan satu elektronnya kepada radikal bebas, sehingga
menjadi non radikal. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap
kerusakan yang disebabkan senyawa oksigen reaktif, menghambat terjadinya
penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidasi lipid pada makanan
(Sunarni, 2005). Senyawa kimia yang tergolong dalam kelompok antioksidan dan
dapat ditemukan pada tanaman, antara lain berasal dari golongan polifenol,
bioflavonoid, vitamin C, vitamin E, beta karoten, katekin, dan resveratrol
Gambar 2. Proses penangkapan radikal DPPH oleh senyawa antioksidan (Paulus dan Joko, 2012)
C. Fenolik
Senyawa fenolik merupakan metabolit sekunder yang ditemukan tersebar di
beberapa bagian tanaman, seperti buah, daun, dan batang. Senyawa yang
digolongkan sebagai senyawa fenolik memiliki ciri khas yaitu terdapat satu atau
lebih gugus hidroksil (OH) yang menempel pada struktur cincinnya. Senyawa
dengan satu gugus hidroksil pada strukturnya disebut senyawa fenol, sedangkan
jika gugus hidroksil lebih dari satu disebut senyawa polifenol (Hoelz et al, 2010
dalam Astrid, 2016).
Aktivitas biologis yang dimiliki senyawa fenolik sangat luas meliputi
antibakteri, antiinflamasi, antitrombotik, antivirus, hepatoprotektif, antikanker,
dan anti alergi, akktivitas-aktivitas tersebut seringkali dikaitkan dengan
mekanisme kerjanya sebagai antioksidan (Hoelz et al., 2010 dalam Astrid, 2016).
Mekanisme senyawa fenolik sebagai antioksidan menurut Janeiro dan Brett
(2004) dalam Astrid (2016) yaitu melalui kemampuan gugus fenol untuk
berpasangan dengan radikal bebas dengan cara mendonorkan atom hidrogennya
Radikal fenoksil ini dapat menstabilkan diri melalui proses resonansi sehingga
tidak terjadi reaksi berantai pembentukan radikal.
Senyawa fenolik bersifat esensial untuk pertumbuhan dan reproduksi
tanaman, serta diproduksi sebagai respon pertahanan terhadap patogen dan
kondisi stres pada tanaman. Senyawa fenolik merupakan pemberi warna, rasa dan
aroma yang spesifik pada bagian tanaman tertentu, seperti antosianin sebagai
pigmen warna merah dan ungu pada anggur, eugenol sebagai pemberi aroma pada
pisang, dan flavanon yang menyebabkan rasa pahit. Karakteristik kelompok
senyawa ini dikenal tidak stabil dan mudah teroksidasi terutama dalam kondisi
basa, kelarutannya secara umum dalam pelarut organik polar, sedangkan bentuk
glikosidanya larut dalam air(Yordi et al, 2012 dalam Astrid, 2016).
Senyawa fenolik diklasifikasikan berdasarkan jumlah dan susunan atom
karbonnya menjadi flavonoid dan non-flavonoid. Flavonoid dibagi menjadi
beberapa kelompok besar antara lain flavonol, flavon, flavanone dan isoflavon,
sedangkan senyawa non-flavonoid terdiri dari asam fenolik, stilben, dan
hidroksisinamat. Senyawa fenolik seringkali ditemukan terkonjugasi dengan gula
dan asam organik (Carteaet al, 2011 dalam Astrid 2016). Flavonoid merupakan
senyawa fenolik yang paling banyak ditemukan dalam tanaman (Yordiet al, 2012
Gambar 3. Reaksi fenol dengan radikal lipidmembentuk radikal fenoksil (A-) (Widiyanti, 2006)
Metode ekstraksi digunakan untuk memperoleh hasil ekstrak yang
kemudian dianalisa Total Phenolic Content (TPC) dengan perbedaan variasi
pelarut metanol. TPC merupakan total senyawa fenolik dalam ekstrak yang
dinyatakan dalam gallic acid equivalent (GAE)/100 g ekstrak. TPC ditentukan
menggunakan metode Folin-Ciocalteu yang dianggap sebagai salah satu metode
terbaik untuk menentukan TPC. Hasil Total Phenolic Content terbesar digunakan
untuk menentukan kadar antioksidannya(Sultana et al., 2007).
D. Pengeringan
Pengeringan dilakukan manusia sebagai suatu usaha pengawetan dalam
tahapan proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk
menurunkan kadar air yang terkandung dalam bahan pangan sekaligus
menurunkan aktivitas air (aw). Kadar air bebas yang mengalami penurunan
hingga mendekati nol akan membuat pertumbuhan mikroorganisme, aktivitas
enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan terhenti. Sehingga umur
Mekanisme pengeringan adalah ketika udara panas dihembuskan di atas
bahan makanan basah, panas akan ditransfer ke permukaan dan perbedaan tekanan
udara akibat aliran panas akan mengeluarkan air dari ruang antar sel dan
menguapkannya (Fellow, 2000).
Kondisi dan tipe alat pengering yang akan digunakan tergantung pada
beberapa faktor, antara lain: toleransi terhadap suhu, respon terhadap kelembaban,
daya tahan terhadap kompresi atau tekanan, sifat mudah mengalir, dipengaruhi
oleh laju pengeringan, keadaan cuaca dan faktor ekonomi. Jenis-jenis metode
pengeringan yangdipakai untuk mengeringkan tanaman obat dan jamu antara
lain(Anonim, 2011):
1. Pengeringan dengan cahaya matahari langsung
Metode pengeringan dengan sinar matahari langsung paling sederhana dan
banyak digunakan oleh petani atau pengumpul simplisia karena cara ini sangat
praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar, cukup dengan menghamparkan
bahan yang hendak dikeringkan di atas lantai beralas tikar atau rak penjemuran
yang terbuat dari besi, bambu atau kayu. Selama proses pengeringan simplisia
harus sering dibolak-balik untuk mendapatkan hasil yang merata. Perlu
diperhatikan bahwa ketebalan hamparan bahan sangat berpengaruh terhadap
kelancaran sirkulasi udara dan proses penguapan. Metode pengeringan dengan
matahari langsung memiliki beberapa kelemahan diantaranya:
a. sulit mengontrol suhudan kelembaban sesuai yang dikehendaki
b. membutuhkan tempat yang luas
d. sering terjadi proses enzimatis atau perubahan warna akibat cuaca atau
intensitas penyinaran yang berlebihan
e. lebih mudah terjadi kontaminasi akibat masuknya kotoran dari luar akibat
bahan ditempatkan di tempat terbuka
2. Pengeringan dengan alat berenergi surya
Metode pengeringan ini adalah dengan memanfaatkan tenaga sinar matahari.
Selain memanfaatkan matahari, alat ini juga memanfaatkan suhu, kelembaban
udara sekitar, serta sirkulasi udara untuk menunjang proses pengeringan.
Besarnya energi yang dikonversikan dan tingkat suhu (40-50°C) yang dicapai
merupakan parameter utama yang menentukan efektivitas alat pengering ini.
3. Pengeringan dengan media angin (Blower)
Pengeringan dengan media angin umumnya dilakukan di dalam ruangan yang
memungkinkan terjadinya pergantian udara yang berlangsung secara cepat.
Pengeringan dilakukan pada suhu 40-50°C, cara ini sangat cocok untuk
mengeringkan bahan yang mengandung minyak atsiri atau yang ingin
dipertahankan warna bahannya terutama pada produk berupa bunga dan daun.
Bahan yang akan dikeringkan diletakkan dengan cara dihamparkan atau
digantung pada rak-rak yang ada di dalam alat pengering. Kelebihan dari alat
blower ini adalah waktu pengeringan lebih singkat (sekitar 8 jam),
dibandingkan dengan sinar matahari yang membutuhkan waktu lebih dari 1
4. Pengeringan dengan sumber energi lainnya
Metode pengeringan ini adalah metode terapan yang tidak bergantung pada
iklim cuaca dan sinar matahari. Alat mesin pengering pada metode ini biasanya
telah dimodifikasi dan diaplikasikan dengan teknologi terapan. Mesin
pengering ini dapat menggunakan berbagai sumber energi seperti tenaga
biomassa (kayu, arang, tempurung, sekam, briket batubara dan lain-lain),
minyak bumi, LPG, listrik dan lain lain. Beberapa pelaku usaha baik sebagai
pemasok atau petani telah banyak memanfaatkan mesin ini. Keunggulan dari
alat pengering dengan sumber energi lainnya adalah:
a. Pengeringan tidak tergantung pada keadaan cuaca
b. Kecepatan, ketepatan, dan kualitas bahan yang dikeringkan sesuai dengan
yang diharapkan
c. Kerusakan bahan dapat ditekan seminimal mungkin
d. Bahan terhindar dari kontaminasi dengan bahan asing
e. Suhu pengering dapat diatur sesuai kebutuhan yang diharapkan dan jenis
bahan yang dikeringkan
E. Ekstraksi
Salah satu tahapan penting dalam memproduksi ekstrak dari sari tanaman
adalah proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan istilah yang digunakan untuk
mengambil senyawa tertentu dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Srijanto,
2004). Ekstrak adalah cairan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
atau hampir semua pelarut diuapkan menjadi ekstrak kental atau ekstrak kering
(Anonim, 1986).
Cairan pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah pelarut yang
optimal untuk melarutkan kandungan yang akan dipisahkan atau dilarutkan dari
bahan awal serta mampu melarutkan sebagian besar senyawa yang diinginkan
(Anonim, 2000).
Jenis-jenis metode ekstraksi yang umum dipakai (Denny, 2014):
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali perendaman pengadukan pada temperatur ruangan
(Anonim, 2000 dalam Denny, 2014).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut sampai sempurna (exhaustive
extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak) (Anonim, 2000 dalam
Denny, 2014).
2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama
sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Anonim,
2000 dalam Denny, 2014).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu denganjumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000 dalam Denny,
2014).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50ºC (Anonim, 2000 dalam Denny, 2014).
d. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan
air pada suhu 90ºC selama 15 menit (Anonim, 1979 dalam Denny, 2104).
e. Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan
air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dan temperatur sampai titik didih
air (Anonim, 2000 dalam Denny, 2014).
Salah satu jenis proses ekstraksi yang ada adalah proses maserasi, prinsip
maserasi adalah pengambilan zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam
serbuk simplisia dalam cairan pelarut yang sesuai selama tiga hari pada
melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi
akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan pelarut dengan konsentrasi rendah
(proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi
dilakukan pengadukan dan penggantian cairan pelarut setiap hari. Endapan yang
diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Sembiring dkk, 2006).
Pemilihan cairan pelarut harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan pelarut
yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Dyah, 2010):
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Memiliki sifat yang stabil secara kimia dan fisika
3. Bereaksi netral
4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
5. Tidak bereaksi dengan bahan yang terlarut
6. Diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku
F. Hipotesis
Suhu pengeringan dan konsentrasi pelarut metanol diduga mempengaruhi
tingkat aktivitas antioksidan dan total fenol bubuk rumput remason yang