• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nota Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (PK): Tren, Permasalahan, dan Rekomendasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nota Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (PK): Tren, Permasalahan, dan Rekomendasi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Nota Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (PK):

Tren, Permasalahan, dan Rekomendasi

oleh

Sugeng Bahagijo Direktur Eksekutif INFID

Perkembangan dan Data Kemiskinan

Indonesia tergolong negara kelas menengah (middle income) yang “kantong” kaum miskinnya terbesar, baik dibandingkan dengan rata-rata negara menengah maupun dibandingkan dengan negara-negara dengan kue pembangunan (PDB) terbesar di dunia anggota G20.

Di samping pertumbuhan ekonomi yang positif selama 10 tahun terakhir dan rata-rata pendapatan per kapita 3.500 USD, disisi lain, pemerintah baru juga diwarisi oleh angka ketimpangan yang meningkat drastik dari level 0.35 tahun 2005, menjadi 0.41 (Indeks Gini) pada tahun 2013, yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.

Jumlah penduduk atau warga miskin makin menurun tiap tahun, setidaknya dari data dan klaim pemerintah. Tahun 2014, jumlah penduduk miskin berjumlah 28 juta jiwa. Tetapi, jumlah ini masih sangat besar. Lebih besar dari total penduduk Malaysia (22 juta), lebih dari 2,5 kali penduduk DKI Jakarta (9 juta) dan hampir 10 kali

penduduk Propinsi Sulawesi Selatan (3 juta). Tabel 1, Jumlah Penduduk Miskin

Tahun Jumlah (juta)

2004 36. 1 2008 35 2010 31 2011 29.9 2013 28.6 2014 27* *Proyeksi

Jumlah penduduk miskin perlu dilihat dalam dua konteks: jumlah penduduk dan jumlah angkatan kerja dan angka pengangguran terbuka. Pada tahun 2014, jumlah

(2)

penduduk Indonesia adalah 252,3 juta jiwa (proyeksi), jumlah angkatan kerja berjumlah 1,48 juta orang, dan jumlah pengangguran terbuka berjumlah 6.9 juta orang.

Meski secara umum kemiskinan ditandai oleh kurangnya pendapatan, aset dan pekerjaan (jobholder vs jobless), namun sebab-sebab kemiskinan berbeda beda di perkotaan dan pedesaan. Pemulung di kota Jakarta memiliki pendapatan yang tetap, meski hidup di kolong jembatan dan tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.

Sebaliknya, kemiskinan di pedesaan ditandai oleh ketiadaan lahan, modal yang lemah dan kekurangan pendapatan, meski memiliki rumah. Kemiskinan di pedesaan ditandai juga oleh lemahnya kesempatan menikmati barang dan jasa layanan

pemerintah seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja.

Sebab lain kemiskinan ketiadaan jaminan sosial karena penduduk terpapar resiko hidup (menjadi tua, meninggal) dan resiko sosial (PHK, menganggur, perceraian, sakit) tanpa dilindungi oleh sistem jaminan sosial modern. Karena sistem jaminan sosial publik Indonesia (kesehatan dan ketenagakerjaan) belum berjalan atau melindungi semua warganegara (universal), dan hanya melindungi sebagian kecil lapisan penduduk (PNS, TNI dan kelompok swasta profesional). JKN dan Jaminan Ketenagakerjaan masih sedang dibangun.

Pemerintah melalui TNP2K telah mengembangkan dan memiliki data penduduk miskin yang sama (unified data base), yang digunakan oleh semua kementrian dan lembaga pemerintah, sebagai rujukan agar program diselenggarakan secara tepat sasaran. Data yang tunggal ini akan memudahkan perancangan dan evaluasi program-program pemerintah.

Pemerintah telah mengembangkan berbagai macam program pengurangan kemiskinan mulai dari PKH, PNPM, KUR, BOS dan Raskin, Jampersal dan sebagainya. Cakupan wilayah dan penerima manfaat dari masing-masing program bervariasi. PNPM memiliki cakupan yang luas. Demikian juga dengan Raskin dan Bos dan Jampersal. Sementara PKH memiliki cakupan wilayah dan penerima manfaat lebih sempit dan terbatas. Tidak mengejutkan bila capaian dan hasil dari masing-masing program berbeda-beda.

Besaran anggaran untuk seluruh program-program penanggulangan kemiskinan diperkirakan antara 50-80 Triliun. Dalam APBN 2014, terdapat pos Belanja Sosial sebesar Rp.73, 2 Triliun. Sebelumnya, tahun 2013, sebesar Rp. 93 Triliun. Angka

(3)

persisnya barangkali masih dapat diperdebatkan, namun jelas bahwa secara nominal, dana untuk PK tiap tahun terus meningkat, sejalan dengan membesarnya volume APBN. Namun demikian, dibandingkan dengan volume belanja subsidi BBM dan belanja barang, maka tren yang terlihat nyata dan jelas adalah belanja sosial selalu lebih kecil (lihat tabel 2 dan 3).

Tabel 2, Belanja Sosial vs Subsidi BBM

Tahun Belanja Sosial (Triliun Rp) Subsidi BBM (triliunRp)

2005 24.9 104 2008 57.7 223 2010 68.6 140 2011 71.1 255 2012 75.6 306 2013 92.3 332 2014 73.2 364* *proyeksi

Kebijakan dan Program-program Kemiskinan

Kemiskinan dapat diatasi melalui setidaknya dua jalur utama. (i) Melalui pasar kerja; antara lain melalui ketersediaan lapangan kerja dan upah layak dan luas sempitnya kapasitas industrialisasi dan pertanian dalam menyerap angkatan kerja; (ii) Intervensi pemerintah melalui (a) Kebijakan Fiskal dan Moneter; (b) Sistem Jaminan Sosial; (c) Program-program pemerintah; termasuk didalamnya subsidi pertanian dan penyediaan air bersih dan sanitasi.

Pemerintah dapat memengaruhi jalur pertama secara tidak langsung baik melalui kebijakan upah minimum maupun melalui investasi dalam negeri dan FDI.

Sebaliknya, pemerintah dapat menenetukan atau mengendalikan secara langsung melalui jalur kedua yaitu melalui kebijakan fiskal, sistim jaminan sosial, dan program-program PK yang diselenggarakannya.

Secara skematis, maka kedudukan atau porsi dari program-program PK

pemerintah paling jauh akan memiliki bobot separuh dalam menurunkan kemiskinan. Sisanya akan harus dilakukan melalui kebijakan makro ekonomi melalui kebijakan fiskal (pajak, subsidi) dan moneter (suku bungan, inflasi).

(4)

Tabel 3, Dua Jalur Penanggulangan Kemiskinan Jalur Pasar

(Pemerintah Mempengaruhi)

Peran Pemerintah

(Pemerintah Mengendalikan ) Pembukaan Lapangan Kerja Jaminan Kesehatan (Kartu Indonesia

Sehat/JKN)

Upah yang Payak Pelayanan Pendidikan (Kartu Indonesia Pintar)

Suku bunga Perbankan Program-Program PK (PNPM, PKH, Raskin, BOS, BLT, BLSM, dll)

Jumlah investasi Pelayanan Perumahan (Rumah Deret), Air Minum dan Sanitasi, Perlindungan Aset warga (Rumah, Tanah, Tabungan) Informasi Pasar Kerja Kebijakan Alokasi APBN dan APBD

Kebijakan Pajak (PPh, PPn)

Kinerja Kementrian Tenaga Kerja, Pertanian, Kesehatan dan Pendidikan

Keberhasilan program-program PK dapat diukur dari setidaknya dua kriteria dan dimensi. Yaitu (a) Efisiensi dan efektivitas, dalam arti kebijakan dan program telah mencapai dengan biaya dan kelembagaan yang ada. Kriteria ini penting dalam menilai sejauh mana operasi dan teknis kelembagaanya efektif dan efisien dalam menyediakan jasa dan barang layanan itu sampai ke tangan pengguna/warganegara dengan tepat waktu dan dalam mutu yang dapat diterima.

Selain itu, kebijakan juga dapat diukur dari sejauh mana (b) dampak program tersebut kepada pemecahan masalah kemiskinan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari berbagai indikator yang relevan seperti jumlah penerimanya, jumlah lapangan kerja, angka pengangguran, jumlah penurunan angka putus sekolah, jumlah penurunan angka kematian ibu, dan seterusnya.

Selama 10 tahun terakhir, kebijakan dan program-program pemerintah PK dapat digolongkan kepada beberapa upaya, antara lain (i) penyediaan sarana dan

prasarana di pedesaan, di wilayah yang kekurangan sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, pasar dan sebagainya; (ii) penyediaan modal kerja dengan bunga rendah seperti KUR (Kredit untuk rakyat) yang disalurkan melalui perbankan seperti BRI; dan (iii) penyediaan pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas dan Jampersal; (iv) penyediaan dana bantuan untuk sekolah seperti Bos.

(5)

Tabel 4, Jenis dan Tipe program PK

Nama Program Jenis/Tipe Cakupan

PNPM Prasarana pedesaan. Pembangunan Sarana dan Prasarana desa. Jenis proyek ditentukan oleh partisipasi warga, sesuai kebutuhan. Termasuk kelompok simpan pinjam. Didampingi oleh fasilitator.

Seluruh Indonesia

PKH Pendapatan. Pemberian Dana Tunai Bersyarat kepada warga miskin (Orang tua wajib

menyekolahkan anak dan Kaum ibu wajib memeriksakan

kesehatan di Posyandu dan Puskesmas setempat).

Khusus untuk keluarga miskin di beberapa propinsi

Raskin Pangan. Pemberian beras dengan harga dibawah harga pasar

(bersubsidi) untuk Gakin (keluarga miskin)

Keluarga Miskin di seluruh Indonesia

Jampersal Kesehatan. Pelayanan Kesehatan gratis untuk ibu bersalin yang memerlukan (universal, tidak hanya yang miskin)

Untuk semua warga di seluruh Indonesia

BOS Pendidikan.Bantuan untuk sekolah termasuk untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah

Seluruh Indonesia

Kendala dan Permasalahan

Dilihat dari “Nawa Cita” dan “Negara Hadir” serta Kemandirian Ekonomi, yang menjadi visi-misi Jokowi JK, maka kebijakan dan program-program PK 10 tahun terakhir dapat dikatakan sebagai (i) negara tidak hadir karena pelayanan kebutuhan dasar ditumpukan dan diandalkan pada pendekatan pasar (you get what you pay) ketimbang pendekatan hak (you get what you need).

(6)

(ii) Jika negara hadir, dalam bentuk berbagai program-program pemerintah, maka terdapat banyak kelemahan dalam operasi dan kelembagaannya. Sehingga barang dan jasa dari pemerintah tidak sampai, terlambat diterima, dan atau terlalu lemah untuk untuk meringankan dan menolong warga yang sedang

membutuhkannya ( kematian ibu, balita kurang gizi.

Diperiksa dari pendekatan kualitas manusia dan keunggulan ekonomi, maka program kebijakan dan program-program PK terutama pada bidang kesehatan dan pendidikan lebih banyak menundukkan diri pada kebutuhan jangka pendek

ketimbang kebutuhan jangka panjang. Kebutuhan jangka panjang artinya memenuhi kekurangan dan defisit yang selama dialami Indonesia, defisit dokter, insinyur, ahli hukum ekonomi, peneliti biotek, dll.

Secara teknis operasi dan kelembagaan, kendala dan permasalahan dapat diringkas ke dalam satu frasa Kelemahan Teknis dan kelembagaan. Artinya, kelemahan pelaksanaan, pengawasan, pendataan dan sebagainya. Berikut ini,

beberapa kendala dan permasalahan yang apabila diatasi akan dapat meningkatkan kualitas dan dampak program-program PK pemerintah di tahun-tahun 2015-2019 mendatang.

1) Pengukuran dan Data Kemiskinan. Pemerintah belum atau tidak memiliki data angka kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi program-program pemerintah dijalankan, yang ada adalah data tahunan angka kemiskinan. Hal ini tentu

menyulitkan untuk bisa menilai sejauh mana hasil dan keberhasilan seluruh program-program PK pemerintah.

2) Pendekatan Kebijakan. Kebijakan dan program PK selama ini hanya memusatkan diri pada pengurangan KEMISKINAN, dan tidak sekaligus pengurangan

KESENJANGAN. Di RPJM dan RKP serta Nota APBN pemerintah, ukuran keberhasilan pembangunan tidak/belum diukur dengan penurunan

kesenjangan/ketimpangan (penurunan Gini Rasio). Implikasinya, pemerintah hanya menggunakan pendekatan “targeted”, dan melupakan pendekatan “universal” (untuk semua warga).

(7)

3) Pendekatan Program. Program-program PK pemerintah masih bertumpu pada pendekatan “the needy” (“untuk yang miskin saja”) yaitu pendekatan targeted. Sementara banyak bidang memerlukan pendekatan yang universal (untuk semua), seperti dalam hal jaminan kesehatan, pelayanan pendidikan dan pelayanan ketenagakerjaan.

4) Penganggaran. Program-program PK banyak tetapi kualitas dan dampaknya sangat beragam mulai minimal hingga berdampak penting. Alokasi terbesar untuk program-program PK adalah PNPM dengan dana 11 T. Sementara program lainnya hanya berkisar 1-3 T per tahun.

5) Cakupan dan skala program minimal. Beberapa program pemerintah terlalu kecil dalam hal cakupan wilayah dan penerimanya, dengan dana yang minimal. Yang berakibat besaran manfaat yang diterimanya juga tidak signifikan. Akibatnya, manfaat dan dampak program-program PK sulit diukur secara nasional dan agregat dalam menurunkan kemiskinan. Misalnya saja PKH. Cakupan PKH tidak bersifat nasional dan dengan alokasi dana program yang kecil.

6) Metode Penyaluran Subsidi yang keliru. Subsidi pupuk, benih (subsidi Pertanian) memainkan peran penting secara konsep. Dengan jumlah dana yang dialokasikan cukup besar. Pada tahun 2013 jumlahnya 17 Triliun. Metode penyaluran subsidi selama lebih berupa subsidi kepada produsen ketimbang subsidi pengguna atau petani. Hal ini yang berakibat salah sasaran dan manfaatnya atau dana subsidi itu dibajak atau dikorupsi melalui kerjasama elit politik dan penerima dana subsidi (Pusri, BUMN Pertanian, dll). Akibatnya manfaatnya tidak dirasakan (“negara tidak hadir”). Padahal pemerintah bisa memberikan subsidi langsung tunai kepada para petani dan nelayan dan membebaskan mereka untuk membelanjakannya

7) Kendala Pusat dan Daerah. Ditinjau dari aspek anggaran, selama ini peran pemerintah daeh (kota dan Kab) sangat minimal. Sebagian besar pemerintah daerah hanya mengalokasikan kurang dari 5 persen APBD untuk kesehatan dan pendidikan, Sementara pemerintah Kota dan Kab mengalokasikan lebih dari 60 persen untuk belanja eksekutif dan DPRD.

8) Program PK terlalu banyak ragamnya. Dari program PNPM hingga BOS, dari PKH hingga Raskin, secara manajemen dan kelembagaan, pemerintah menjebakkan diri pada rentang tugas yang rumit dan tanpa koordinasi. Pemerintah juga tidak memiliki standar teknis capaian dan akuntabilitas pada tiap program-program

(8)

karena masing-masing dikerahkan kepada kementrian dan lembaga yang mengelolanya (PNPM di Kemendagri, PKH di Kemensos, Bos di Kementrian Pendidikan, dll).

9) Kualitas kelembagaan yang buruk. Penyaluran berbagai program seringkali juga tidak efektif karena kinerja dan kelemahan birokrasi di kementrian dan lembaga pemerintah pusat: (i) keterlambatan, hingga tahunan bukan saja hari, minggu atau bulan.; misalnya saja penyaluran untuk siswa kelas 2 SMP, yang ternyata hanya diterima ketika dia sudah kelas 2 SMA, (ii) kegiatan yang tidak dilakukan, misalnya penyediaan dan distribusi obat-obat untuk rumah sakit rumah sakit pemerintah daerah oleh kemenkes. UKP4 memiliki data tentang kinerja berbagai program, termasuk keterlibatan dan berbagai kendala lain, sebagai hasil

pemantauan langsung ke lapangan melalui uji petik di beberapa kab dan kota.

10)Silo-silo birokrasi dan kelembagaan: Program-program PK dikelola oleh berbagai lembaga, tanpa kordinasi yang baik dan terukut. PNPM oleh Kemendagri, BOS oleh Kementrian Pendidikan, dan PKH oleh Kemensos, Subsidi Pertanian oleh kementrian Pertanian, dan seterusnya, dan masing bergerak dengan egonya masing masing (silo-silo). Upaya memiliki data base keluarga miskin patut dipuji akan tetapi masih banyak hal dan aspek yang belum dapat disatukan atau dikoordinasi.

Rekomendasi-Rekomendasi

Rekomendasi Umum

1) Ujian politik dan teknis bagi pemerintah Jokowi adalah merevisi APBN,

bagaimana melakukan perubahan APBN untuk menciptakan ruang fiskal yang memadai untuk mendanai program-program prioritas Jokowi JK sebagaimana dijanjikan

2) Pemerintah Jokowi JK perlu menciptakan ruang fiskal, 2-3% PDB atau sekitar 100-300 T, untuk mendanai berbagai intervensi atau program-program prioritas pemerintah Jokowi JK, dengan 3 cara (i) mengalihkan sebagian dana subsidi BBM dan Energi untuk program-program PK; (ii) penghematan belanja barang birokrasi (honor, perjalanan dinas, dll); (iii) Menaikkan tarif PPH orang pribadi untuk menyasar kelompok superkaya yang berpendapatan diatas 1 milyar dan 5 Milyar per tahun dengan tarif 40-45%.

(9)

3) Kebijakan PK harus sekaligus menurunkan ketimpangan. Oleh karena itu, pemerintah juga harus memfokuskan diri pada pelaksanaan jaminan

kesehatan (Kartu Indonesia Sehat) dan jaminan ketenagakerjaan. Pemerintah Jokowi JK perlu mengukur keberhasilan pembangunan dengan indikator (a) penurunan Ketimpangan (penurunan Gini Rasio), disamping (b) penurunan angka kemiskinan dan (c) angka pengangguran.

4) Pemerintah menempuh dua jalur PK: Jalur Pasar dan Jalur Pemerintah. Dalam Jalur pemerintah, tiga intervensi yang harus diutamakan : dukungan fiskal (belanja sosial), jaminan sosial dan bantuan sosial. Untuk kebijakan fiskal, pemerintah perlu mengubah kebijakan pajak PPH orang pribadi perlu diubah untuk mencerminkan keadilan. Batas atas pendapatan pajak (PPh p[ribadi superkaya) perlu diubah dari Rp500 juta dengan tarif 35 persen perlu

ditambah dengan (a) lapisan pendapatan Rp1 milyar ke atas, (b) pendapatan Rp5 milyar ke atas dan (c) lapisan Rp10 Miliar pertahun ke atas dengan tarif berkisar antara 40-45 persen, sesuai dengan standar Uni Eropa.

5) Pemerintah Jokowi perlu menyelaraskan anggaran pemerintah daerah (kota dan kabupaten) melalui “politik fiskal” yaitu dengan cara : (a) mematok batas atas/maksimum bagi belanja eksekutif, DPRD dan Belanja pegawai tidak lebih dari 50% APBD . (b) mematok batas bawah/minimum untuk belanja

pendidikan dan kesehatan tidak kurang dari 30% APBD (untuk pendidikan dan kesehatan. Kemenkeu tidak akan mencairkan dana pusat ke pemerintah kota dan kab (APBD) jika rencana APBD tidak mematuhi kaidah fiskal tersebut diatas.

Rekomendasi Khusus

1) Subsidi Pertanian (Pupuk, Benih dll) diubah dari subsidi produsen kepada subsidi konsumen kepada petani secara langsung. Subsidi dapat diberikan secara tunai kepada kelompok petani dan nelayan untuk membeli bibit, pupuk, modal kerja, kapal nelayan, dan sebagainya.

2) Berbagai program-program PK perlu dimerger ke dalam 4-5 program besar dengan tujuan menciptakan cakupan dan dampak yang lebih besar dan

(10)

memudahkan pengelolaan, pelaporan dan akuntabilitas, serta didanai secara memadai (well-finance) untuk wilayah yang luas yang menjadi sasaran:

i. Kartu Indonesia Sehat (Blok Kesehatan: Jampersal, Jamkesmas, dll) ii. Kartu Indonesia Pintar (Blok Pendidikan: BOS, dll)

iii. Jaminan Tunai (Blok Bantuan Sosial: Raskin, PKH, dll) iv. Kartu Indonesia Mandiri (Blok Jaminan Ketenagekerjaan)

v. Program Pemberdayaan Masyarakat (Blok Pemberdayaan: PNPM, dll)

3) Pemerintah perlu mengalokasikan dana tambahan APBN untuk premi Jaminan Kesehatan bagi kelompok yang ditanggung pemerintah (PBI) sesuai premi yang dipatok oleh Kemenkes: dari Rp19 T ke Rp30 T pada APBN 2015. 4) Pemerintah perlu meminta BPS dan Bappenas memproduksi dan mengadakan

data-data kemiskinan baru untuk memudahkan pemantauan dan

pengukuran hasil program-program pemerintah : data sebelum intervensi pemerintah dan sesudah intervensi pemerintah.

5) Perlu dipikirkan badan tersendiri untuk PK yang langsung mengawasi dan mengkoordinasi semua program-program PK, yang didukung oleh unit pemantauan program dan unit teknis analisa kebijakan.

6) UKP4 dan BPKP perlu diperluas wewenang tidak hanya memantau

penyerapan anggaran dan realisasi rencana, tetapi juga menilai kinerja dan kualitas implementasinya. Artinya, kedua lembaga itu juga diberi wewenang untuk mengusulkan pendekatan kebijakan dan desain dan metode teknis pelaksanaan.

(11)

Tabel 5,Lampiran Perincian Rencana Aksi Kemiskinan

MENDESAK -100 HARI 1 TAHUN

CETAK BIRU KARTU INDONESIA SEHAT

(JKN) PENGADAAN DATA KEMISKINAN BARU

ALOKASI DANA UNTUK PREMI PBI

JAMINAN KESEHATAN (JKN) STUDI KELAYAKAN DANA 1 JUTA UNTUK KELUARGA MISKIN/JAMINAN TUNAI CETAK BIRU KARTU INDONESIA PINTAR PERPRES PENYELASARAN APBD SESUAI

PRIORITAS JOKOWI JK CETAK BIRU PERCEPATAN JAMINAN

KETENAGAKERJAAN (KARTU INDONESIA MANDIRI)

PEMBENTUKAN BADAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN PEPRES PENYATUAN/MERGER BERBAGAI

PROGRAM PK STUDI KELAYAKAN TUNJANGAN PENGANGGURAN (UNEMPLOYMENT BENEFITS)

CETAK BIRU PERBAIKAN PERUMAHAN

Referensi

Dokumen terkait

• RFID (Radio Frequency Identification) adalah sebuah metode identifikasi dengan menggunakan sarana yang disebut label RFID atau transponder (tag) untuk menyimpan dan

Ester gliserol gondorukem hidrogenasi yang dihasilkan ticetak pada wadah untuk kemudian dihitung nilai rendemennya dan diuji sifat fisiko-ki2mia (RSNI3 2010), yaitu warna

Pengertian dekonsentrasi berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004: “adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

Dapat disimpulkan bahwa frekuensi nilai spiritual (religious), yang muncul dari berita atau tajuk suratkabar Singgalang, teridentifi kasi tidak merata setiap hari. Selain

Sesuai dengan ungkapan penulis sebelumnya, yaitu sangat diperlukan setiap manusia adanya keyakinan dalam hidupnya berupa agama sebab darinya akan menghasilkan suatu

PEG 6000 berbeda tidak nyata atau mampu mempertahankan daya kecambah benih diatas 80% PEG 6000 300 gr/l aquades merupakan konsentrasi terbaik dalam meningkatkan daya

Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan yang ada pada perusahaan tersebut yakni, apakah penerapan metode Reorder Point untuk persediaan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif, yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi lebih terperinci dengana cara