• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

Landasan Teori

Pada bab ini Penulis akan menjabarkan tentang teori yang digunakan Penulis dalam menerjemahkan lirik lagu Sepasang Mata Bola karya Ismail Marzuki. Penerjemahan lirik lagu ini membutuhkan dua buah teori, yakni teori penerjemahan dan teori semantik. Kedua teori ini saling berhubungan dalam proses penerjemahan lirik lagu Sepasang Mata Bola ke dalam bahasa Jepang agar menjadi terjemahan yang paling sesuai dan paling mendekati lirik lagu aslinya.

2.1. Teori Penerjemahan

Seorang guru besar teori terjemahan di Universitas Rikkyo di Tokyo, Torikai Kumiko mengungkapkan bahwa penerjemahan tertulis (翻 訳 ) adalah upaya menerjemahkan secara tertulis isi informasi dari teks tertulis satu bahasa ke dalam bahasa lainnya (Torikai, 1998:3). Menurut Hoed (2006), penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan yakni makna yang terkandung dari teks suatu bahasa (bahasa sumber/BSu) ke dalam teks bahasa yang lain (bahasa sasaran/BSa) yang dikemas dengan penyesuaian terhadap dari dan untuk siapa serta dengan tujuan apakah penerjemahan tersebut dibuat. Proses menerjemahkan sendiri kemudian dapat diartikan sebagai proses mengungkapkan kembali (Ingriasari, 2012).

Pada dasarnya terdapat dua sistem yang berbeda dalam penerjemahan (Nida dan Taber, 1974). Sistem pertama terdiri dari aturan-aturan baku yang diterapkan

(2)

dengan ketat yang bertujuan agar terdapat kesesuaian dari bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Dengan demikian, sistem pertama dapat diformulasikan menjadi:

BSu (X) BSa

(X) merupakan struktur menengah yang dapat digunakan secara universal untuk semua bahasa.

Sementara itu, sistem kedua memiliki tiga prosedur bertahap dalam menerjemahkan pesan yaitu analisis terhadap hubungan gramatikal serta makna kata dan kombinasi kata dalam pesan, peralihan hasil analisis tersebut dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, dan kemudian restrukturisasi hasil analisis yang telah dialihkan ke bahasa sasaran menjadi pesan akhir yang dapat sepenuhnya dimengerti dalam bahasa sasaran. Sistem kedua ini dapat digambarkan menjadi:

BSu –(analisis)X –(peralihan)Y –(restrukturisasi)BSa

Pada tahap pertama, dibutuhkan analisis gramatikal serta analisis semantik untuk mendapatkan hasil analisis. Analisis gramatikal dilakukan dengan cara membaca keseluruhan TSu dan memahami isi pesan teks tersebut secara umum. Pada tahap kedua, penerjemah menangkap pesan teks secara detil dan rinci dengan melepaskan diri dari struktur TSu. Dalam tahap ini, penerjemah kembali membutuhkan penyesuaian semantik, misalnya idiom, untuk mengalihkan TSu ke TSa. Terakhir, penerjemah harus meninjau ulang serta memastikan penggunaan bahasa yang tepat dalam bahasa sasaran, misalnya penyesuaian penggunaan bahasa dengan kisaran usia pembaca, gaya bahasa lisan dan tertulis, dialek dan sebagainya. Dalam tahap ini penerjemah menghasilkan struktur bahasa baru yakni BSa.

(3)

Setelah ketiga tahap tersebut dilakukan, dibutuhkan uji coba terhadap hasil penerjemahan tersebut, misalnya dari kesetaraan makna, panjang kalimat, dan sebagainya. Dengan demikian, pesan yang telah diterjemahkan dapat menjadi pesan yang setara dengan pesan dalam bahasa sumber.

Proses menerjemahkan memiliki beberapa hambatan, misalnya aturan yang ditetapkan atas dasar bahasa itu sendiri (Catford, 1965), perbedaan struktur, semantik bahasa, latar belakang budaya pun mempengaruhi Teks Sumber (TSu) dan Teks Sasaran (TSa) (Newmark, 1988), yang mana faktor kebudayaan sendiri dapat berupa perbedaan bahasa, sistem sosial, sistem religi, kebudayaan material, ekologi, dan sebagainya (Hoed, 2006).

Penerjemahan yang baik dan benar mengacu pada kesetaraan fungsi dari kalimat yang diterjemahkan, yang mana menitikberatkan pada penyesuaian makna yang didukung oleh berbagai faktor seperti budaya, perkembangan masyarakat dan penggunaan kosakata (Nida dan Taber, 1974). Pernyataan ini disebut dengan istilah “functional equivalent”. Kesulitan dalam menemukan padanan yang tepat di dalam BSa kerap kali terjadi. Masalah ini disebut dengan istilah “non-equivalence at word level” yakni kondisi di saat BSa tidak mempunyai padanan yang langsung terhadap kata yang muncul dalam BSu (Baker, 1992).

Lorscher (dalam Baker dan Saldana, 1998: 283) mengemukakan bahwa untuk memecahkan masalah-masalah dalam proses menerjemahkan, dibutuhkan prosedur yang disebut sebagai strategi penerjemahan. Terdapat berbagai istilah yang mengacu pada penggantian yang dilakukan penerjemah dalam proses penerjemahan untuk mengalihkan TSu menjadi TSa, misalnya “operation” (Kludy, 2010), “methods” dan “procedures” (Vinay dan Darbelnet 1958, 1995), ”techniques of adjustment” (Nida,

(4)

1964), “shifts” (Catford, 1965), dan “transformations” (Retsker 1974 dan Barkhudarov 1975). Strategi penerjemahan terdiri dari pemilihan ideologi, metode dan teknik penerjemahan yang akan menghasilkan terjemahan yang baik dan sesuai.

2.1.1. Ideologi Penerjemahan

Ideologi didefinisikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup (KBBI). Ideologi dalam penerjemahan oleh Hoed (2006: 83) diungkapkan sebagai prinsip atau keyakinan tentang “betul-salah” atau “baik-buruk”, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang sesuai dan disukai oleh masyarakat. Venuti (1995: 23-31) mengemukakan dua macam ideologi dalam penerjemahan, yaitu domestication yakni ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSa dan foreignization yakni ideology penerjemahan yang berorientasi pada BSu.

Domestication mengusung ide bahwa terjemahan yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan kebudayaan atau cita rasa masyarakat BSa sehingga pembaca tidak merasa bahwa itu adalah hasil terjemahan, sedangkan foreignization merupakan kebalikan dari domestication. Terjemahan yang “betul”, “berterima” dan “baik” adalah yang sesuai dengan harapan pembaca yang menginginkan kehadiran budaya BSu atau yang menganggap kehadiran budaya asing bermanfaat bagi masyarakat (Ingriasari, 2012).

(5)

Metode penerjemahkan digolongkan menjadi delapan metode yang dibagi menjadi dua kelompok (Newmark, 1988: 45-47). Kelompok pertama terdiri dari empat metode yang berorientasi pada source language (BSu), yaitu:

1. Word-of-word translation. Dalam metode ini, penerjemahan dilakukan kata demi kata tanpa mengubah susunan kalimat dalam TSu, dan kata-kata yang berhubungan yang mengandung faktor budaya dialihkan apa adanya. Metode ini baik digunakan sebagai langkah penerjemahan teks BSu yang memiliki struktur yang sangat berbeda dengan BSa;

2. Literal translation. Penerjemahan dalam metode ini dilakukan secara harafiah dengan mempertahankan kata-kata dan gaya bahasa dalam TSu namun mengubah struktur BSu menjadi BSa. Metode ini bermanfaat untuk memberi sudut pandang pada penerjemah dalam menanggulangi masalah, misalnya penerjemahan idiom.

3. Faithful translation. Dalam metode penerjemahan ini, aspek format atau aspek bentuk TSu dipertahankan sejauh mungkin. Metode ini banyak digunakan dalam menerjemahkan puisi.

4. Semantic translation. Penerjemahan dengan metode ini menitikberatkan pada makna kata sehingga terdapat istilah atau kata kunci yang harus dihadirkan dalam TSa, misalnya penerjemahan bidang politik.

Kelompok kedua dalam metode penerjemahan terdiri dari empat metode yang lebih berorientasi pada target language (BSa), yaitu:

1. Adaptation. Metode ini lebih menekankan pada isi pesan dengan bentuk yang disesuaikan dengan kebudayaan BSa, misalnya dalam penerjemahan dongeng anak-anak.

(6)

2. Free translation. penerjemahan ini menitikberatkan pada pengalihan pesan sementara pengungkapannya dalam TSa disesuuaikan dengan kebutuhan calom pembaca. Pada umumnya, penerjemahan dengan metode ini menghasilkan TSa berupa rangkuman.

3. Idiomatic translation. Dalam metode ini, penerjemahan dilakukan dengan mengupayakan penerjemaha padanan, istilah, ungkapan dan idiom ke dalam BSa, misalnya dalam penerjemahan metafora.

4. Communicative translation. Dalam metode ini, penerjemahan tidak harus dilakukan secara bebas tetapi cenderung mementingkan isi pesan. Metode ini banyak digunakan dalam menerjemahkan pengumuman.

2.1.3. Teknik Penerjemahan

Kesulitan dalam penerjemahan pada tataran kata , kalimat atau paragraf dapat ditanggulangi dengan menggunakan teknik penerjemahan (Hoed, 2006: 72). Terdapat beberapa teknik khusus yang dapat menjadi solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam penerjemahan, antara lain:

1. Transposisi, yaitu penyesuaian struktur kalimat dalam BSu menjadi struktur kalimat dalam BSa. Catford (1965: 73) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis transposisi, yaitu level shift (pergeseran tingkatan) dan category shift (pergeseran kategori). Level shift terjadi jika unsur dalam BSu yang berada pada tingkat linguistik tertentu memiliki padanan terjemahan dengan tingkat linguistik yang berbeda dalam BSa. Pergeseran ini dapat terjadi pada tingkatan fonologi, grafologi, gramatikal dan leksikal (Ingriasari, 2012).

(7)

Category shift terjadi jika transposisi BSu menghasilkan perbedaan struktur, kelas kata, unit dan intrasistem dalam BSa;

2. Modulasi, yaitu memberikan isi pesan yang sama tetapi mengubah sudut pandang atau lingkup semantik. Hoed membagi modulasi menjadi dua jenis, yaitu modulasi sudut pandang yang terjadi jika unsur BSu mendapat sudut pandangnya dalam BSa, dan modulasi lingkup makna atau area semantik, yang terjadi jika unsur BSu mendapatkan padanan BSa yang berbeda lingkup maknanya, misalnya meluas atau sebaliknya;

3. Penerjemahan deskriptif, yaitu penguraian makna kata yang tidak dapat ditemukan padanannya dalam BSu;

4. Penjelasan tambahan, yaitu memberikan kata-kata khusus sebagai penjelasan atas suatu kata yang dianggap asing oleh calom pembaca TSa agar kata tersebut menjadi mudah dimengerti;

5. Catatan kaki, yaitu menyertakan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna dari kata terjemahan yang dimaksud, karena diperkirakan apabila tidak ada penjelasan atas kata tersebut maka pembaca tidak dapat mengerti makna kata tersebut secara baik;

6. Penerjemahan fonologis, yaitu pengunaan kata dalam BSu dengan penyesuaian pengucapan dengan BSa. Biasanya teknik ini digunakan saat penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai dalam BSa;

7. Penerjemahan resmi, yaitu penggunaan secara langsung sejumlah istilah, ungkapan, dan nama yang sudah resmi dalam BSa, misalnya Egypt menjadi Mesir, New York tetap menjadi New York;

(8)

8. Tidak diberikan padanan, yaitu penerjemahan yang dikutip dari bahasa aslinya, biasanya dilengkap dengan catatan kaki. Teknik ini digunakan saat penerjemah tidak dapat menemukan terjemahan dalam BSa;

9. Padanan budaya, yaitu menerjemahkan dengan memberikan padanan dengan unsur budaya yang ada dalam BSa.

2.1.4. Teori Functional-Equivalent

Nida mengemukakan teori penerjemahan dynamic-equivalent pada tahun 1964 yang kemudian bersama Jan de Waard direvisi menjadi functional-equivalent pada tahun 1986 (Tjandra, 2005:39). Teori ini mengusung konsep bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang memiliki kesetaraan fungsi baik dalam BSu maupun dalam BSa. Kesetaraan fungsi tersebut berarti memiliki makna yang paling mendekati. Teori ini sangat diperlukan dalam penerjemahan lagu, dengan pertimbangan dibutuhkannya kesesuaian ketukan, irama dan hal-hal baku lainnya yang menuntut hasil terjemahan harus dapat dinyanyikan dengan melodi yang sama.

Setiap negara memiliki bahasa dan budaya yang berbeda. Hal ini memberi pengaruh yang sangat besar dalam penerjemahan. Salah satu pengaruh yang cukup signifikan adalah penerjemahan kata atau frase atau ungkapan yang menggunakan perlambangan dari anggota tubuh. Setiap bahasa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda yang menyebabkan penggunaan anggota tubuh sebagai perlambangan pun disesuaikan dengan budaya masyarakatnya (Zouheir, 2011). Sebagai contoh, istilah “buah hati” dalam bahasa Indonesia yang berarti orang tersayang, dalam bahasa Jepang tidak diterjemahkan secara harafiah melainkan menggunakan istilah 「目に 入れても痛くない」 dan dalam bahasa Inggris merupakan “apple of eye”. Setiap

(9)

bahasa memiliki budaya masing-masing yang menyebabkan penggunaan anggota tubuh sebagai perlambangan dalam proses menerjemahkan harus diperhatikan agar fungsinya tetap sesuai dengan makna yang paling mendekati, namun tidak boleh terasa seperti kalimat tidak lazim dalam BSa. Maksudnya adalah, terjemahan tersebut selain memiliki kesetaraan fungsi dan makna yang paling mendekati, juga tidak boleh terasa janggal. Hasil terjemahan harus bisa memberikan kesan bahwa teks yang diterjemahkan merupakan teks asli dalam BSa, bukan merupakan teks terjemahan.

Proses penerjemahan menurut teori functional equivalent dijabarkan menjadi sebagai berikut:

1. Analisis teks bahasa sumber berdasarkan tata bahasa dan makna. Kalimat-kalimat BSu dipecah-pecah menjadi komponen-komponen bermakna missal menjadi kata atau frase, kemudian komponen-komponen tersebut dicari maknanya dengan menggunakan teknik analisis komponen makna.

2. Pengalihbahasaan dari BSu menjadi BSa. Komponen-komponen tersebut dialihkan ke bahasa sasaran dengan mempertimbangkan kesesuaian makna. 3. Penyusunan ulang teks terjemahan. Dalam tahap ini, komponen-komponen

tersebut disusun kembali menjadi satu kalimat utuh dengan catatan harus mempertimbangkan prinsip kewajaran bahasa sasaran. Dalam penerjemahan lagu tentunya juga harus mempertimbangkan kesesuaian ketukan.

Salah satu penerjemah dan editor majalah bulanan Cosmo (penerbit Yunibasu Shuppansha) bernama Kowata Takao pernah menuliskan dalam majalah tersebut mengenai hasil pemikirannya tentang penerjemahan sebagai berikut, dikutip

(10)

langsung dari tulisan Prof. Dr. Sheddy N. Tjandra, M.A. dalam buku Masalah Penerjemahan Dan Terjemahan Jepang-Indonesia (2005).

“(1) Waktu menerjemahkan teks biologi dan kedokteran, sering kali perlu menelusuri asal usul suatu istilah sampai pada bahasa sumbernya yang berasal dari bahasa Latin.

(2) Penerjemah harus menangkap betul makna keseluruhan dari sebuah kalimat atau alurnya di dalam teks.

(3) Penerjemah harus bisa menginterpretasikan keseluruhan konsep yang ada di dalam teks, tidak boleh hanya terbatas pada kata-kata saja. (4) Seringkali perlu diberikan penjelasan tambahan.

(5) Penerjemah harus punya keleluasaan dalam pemilihan kata agar supaya hasil terjemahannya menjadi berkreasi.

(6) Satu ciri khas penerjemahan ke dalam bahasa Jepang (dari bahasa-bahasa Barat terutama Inggeris) ialah penggunaan ortografi. Penerjemah harus tangkas dalam menentukan pilihan kapan dia harus memakai katakana (maksudnya transliterasi) dan kapan harus memakai kanji (maksudnya diterjemahkan).

Poin-poin di atas terutama poin ke-2 dan ke-3 mendukung teori ekuivalen-fungsional yang dikemukakan Nida. Penerjemah harus dapat menilik konsep yang ada dalam teks agar dapat menemukan padanan kata dengan makna yang paling mendekati. Apabila dibatasi oleh kata-kata, maka teori ekuivalen-fungsional tidak dapat diterapkan karena terbentur pada faktor pilihan kata, sedangkan pilihan kata merupakan hal yang sangat penting dalam penerjemahan lagu yang memiliki ketukan sebagai salah satu faktor pertimbangan terbesar.

Tobita Shigeo, penulis buku 「翻訳の 技法」 menyimpulkan teori Nida bahwa yang dimaksud ekuivalen-fungsional adalah kesamaan fungsi dan nilai yang harus dicapai dari materi asli bahasa sumber di dalam suatu penerjemahan, misalnya puisi atau lagu terjemahan harus memiliki nilai hiburan yang sama dengan materi

(11)

aslinya. Ia mengembangkan proses penerjemahan dengan basis teori ekuivalen-fungsional menjadi enam tahap yakni sebagai berikut.

1. Membaca materi asli dengan teliti.

2. Menganalisis dan menemukan isi pesan/informasi dalam materi asli. 3. Mengalihkan materi dari BSu ke dalam bahasa Jepang secara tepat. 4. Menyusun ulang stilistika bahasa Jepang yang digunakan.

5. Memeriksa ulang dan memoles hasil terjemahan. 6. Melakukan minimal tiga kali revisi.

(Tjandra, 2005:70-71)

2.2. Teori Semantik

Semantik didefinisikan sebagai salah satu cabang studi linguistik umum serta analisis tentang makna-makna linguistik (Parera, 1990). Terdapat beberapa teori semantik tentang makna, misalnya analisis kombinasi makna, analisis komponen makna dan sebagainya.

Jose Daniel Parera (1990: 89-90) mengemukakan bahwa kandungan makna kata atau komposisi makna dapat ditemukan dengan menggunakan analisis komponen makna. Parera mendefinisikan analisis komponen makna sebagai penelitian terhadap komponen makna kata untuk mendeteksi pertentangan yang terkecil antara kata-kata tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

D/A : Jabatan Agama Islam Negeri Perak, Tingkat 5, Kompleks Islam Darul Ridzuan, Jalan Panglima Bukit Gantang Wahab, 30000 Ipoh, Perak. Yahanis

Berdasarkan hasil yang diperoleh jenis biochar sekam padi, tongkol jagung dan tempurung kelapa dengan konsentrasi biochar 6 g/kg tanah, 12 g/kg tanah, dan 18

Melalui penerapan metode pembelajaran Drill dapat meningkatkan kemampuan dan keaktifan siswa pada pembelajaran Bahasa Arab dengan materi Membaca Teks Bahasa Arab

Jakarta - Ketua Pengadilan Negeri Bandung sudah menanyakan kepada majelis yang menyidangkan kasus Walikota Bekasi nonaktif, Mochtar Mohammad mengenai putusan bebas yang

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Sudjarni, 2015 yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap

Pada tahun 2010 penggunaan lahan domestik dalam sistem DAS Duriangkang diprediksi akan meningkat menjadi 1656,09 ha dan beban pencemar yang dihasilkan diprediksi sebesar 2804,45

Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dalam pembangunan jalan di Nagari Pasir Talang Selatan Kabupaten Solok Selatan tersebut menerapkan

Berdasarkan hasil olah data dalam beberapa skenario yang telah diuji, ukuran kinerja Win Trades/Loss Trades indikator MACDCSO tidak terbukti lebih baik dari indikator