• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

363 BAB V

KESIMPULAN

Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari masyarakat Inonesia. Struktur teks sastra peranakan Tionghoa menunjukkan berbagai oposisi yang dapat dirangkum sebagai berikut; nilai Barat versus nilai Timur, global/Internasional versus lokal, liberalisme dan sosialisme versus spritualitas, dan perubahan versus anti perubahan. Struktur teks sastra peranakan Tionghoa ini menunjukkan suatu gagasan mengenai bangunan manusia ideal menurut pandangan para pengarangnya. Manusia yang ideal dalam teks sastra itu digambarkan dengan manusia yang mampu melakukan harmonisasi dengan alam melalui moralitas (Lo Fen Koei), menemukan gagasan spritualitas Timur (Drama Di Boven Digoel), mengasimilasi dua tradisi, lokalitas dan Barat (Berdjoeang), dan kembali pada lokalitas (R.A. Moerhia). Selain itu, satu teks menunjukkan suatu pilihan yang ambigu yakni antara Barat dan Timur (Nona Tjoe Joe).

Struktur teks sastra ini memiliki homologi dengan struktur sosial melalui usaha merespon gagasan mengenai manusia modern versi dunia Barat. Struktur masyarakat kolonial dan gerakan nasionalisme budaya menjadi latar penciptaan teks sastra peranakan Tionghoa. Dalam merespon keadaan itu, teks sastra peranakan Tionghoa melakukan usaha destrukturisasi melalui penciptaan ulang manusia ideal menurut pandangan kelompok intelektual pengarang. Penciptaan manusia ideal ini merupakan suatu usaha dalam bertahan dan mendefinisikan

(2)

364 ulang posisinya ketika dihadapkan pada gagasan manusia modern menurut versi dunia Barat.

Selain itu, gagasan mengenai manusia baru dan tatanan masyarakat yang baru dapat dilihat dari ide atau oposisi yang terdapat dalam struktur teks. Sebagai contohnya, gagasan ini disimbolkan terutama melalui semangat untuk kembali pada ajaran leluhur (moralitas), usaha bersatu dengan alam dan lingkungan, sifat spritualisme sebagai bingkai kebangsaan atau nasionalisme keindonesiaan, upaya menyiasati realitas, bersatu dengan tradisi lokal, dan kontekstualitas atas tradisi leluhur dengan tradisi setempat. Bahkan, gagasan yang muncul dalam teks sastra tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan dan tradisinya ketika menyelesaikan satu persoalan, kegagalan dalam mengapai cita-cita individual karena terikat secara budaya, cenderung menghadirkan persoalan sosial (pilihan ideologi, liberalisme, dan gerakan sosial) secara mimetik, dan mengambil bahan atau materi dari lingkungan zamannya secara mimetik.

Meskipun demikian, ada satu teks yang melakukan pilihan yang bersifat ambigu. Hal ini ditunjukkan oleh teks Nona Tjoe Joe yang berada dalam pilihan antara gagasan manusia modern versi Barat dan manusia yang taat pada tradisi. Sebagai akibatnya, perbatasan antara yang manusia modern dan manusia yang taat tradisi ini hadir dengan ciri, yakni sifat “tersiksa hidup di antara dua dunia”, pilihan yang tidak pasti, keterombang-ambingan atas pikiran dan realitas, keraguan dalam memilih, dan berada dalam “dua kaki” atau antara yang masa lalu dengan yang sekarang atau antara yang ada dalam angan/pikiran dengan yang dihadapi/realitas.

(3)

365 Karya sastra peranakan Tionghoa menolak gagasan sastra yang dilepaskan dari dunia sosial. Karya sastra peranakan Tionghoa memiliki cara tersendiri dalam membangun konsep estetikanya. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa oposisi yang terdapat di dalam karya sastra tersebut bukanlah oposisi yang tidak terselesaikan seperti Barat versus Timur, spritual versus materi, materialisme (sosialisme dan liberalisme) versus semi-payuban, pasar bebas versus koperasi, lokalitas versus Tionghoa, lokalitas versus Barat, dunia Timur (lokalitas dan Tionghoa) versus dunia Barat, dan lain-lain. Oposisi itu merupakan oposisi yang tidak saling meniadakan atau menolak dan tidak juga bersifat asimilasi, tetapi “melengkapi”. Sebagai contohnya, pengunaan lokalitas dan Tionghoa harus diimbangi dengan pengunaan tradisi Barat, yakni Barat sebagai instrumen untuk tujuan manusia Timur. Fakta ini, yang berarti Barat, tidak diinternalisasi, tidak ditiadakan atau dinegasi, dan tidak diasimilasi dalam dunia Timur. Barat tetap hadir dalam dunia Timur sebagai penyeimbang keberlangsungan dunia dan cita-cita Timur tanpa menjadikan Barat berada dan menyatu dalam diri dunia Timur.

Sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh permulaan abad ke-20 merupakan sastra yang bersifat pragmatis karena menjadi salah satu sarana atau alat dalam memberikan tanggapan terhadap situasi sosial. Selain itu, sastra ini menunjukkan suatu usaha nasionalisme kebudayaan. Usaha ini diwujudkan dengan mempertemukan berbagai lokalitas dalam masyarakat Indonesia ketika itu. Melalui kesamaan dari berbagai lokalitas yang beragam itu, lokalitas itu perlu memiliki suatu wadah, yang disebut sebagai bangsa. Bangsa yang dimaksudkan teks sastra ini adalah bangsa Timur, yang artinya keragaman lokalitas dengan satu

(4)

366 dasar yang sama, misalnya cita-cita manusia Timur, kesopanan Timur, dan spritualitas Timur. Gagasan yang demikian ini menunjukkan bahwa nasionalisme atau kebangsaan yang diungkapkan bukanlah kebangsaan yang anti pada penjajah Belanda, melainkan kebangsaan atas kesamaan gagasan manusia ideal atau tatanan masyarakat Timur yang perlu disatukan dalam wadah bangsa Timur, yakni Indonesia.

Beberapa pengarang seperti Gouw Peng Liang, Tio Ie Soei, Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, dan Liem Khing Hoo menjadi representasi kelompok intelektual pengarang dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Gagasan atau pandangan dunia yang dimiliki oleh kelompok intelektual ini didasarkan atas ajaran leluhur terutama Kong Hucu dan bersifat realis organis, yakni realitas dianggap sebagai satu proses yang berkelanjutan. Subjek kolektif ini melakukan upaya dalam menjaga, melestarikan, dan merestorasi identitas ketionghoaan di tanah perantauan melalui dunia kesastraan. Ketionghoaan bukan lagi pada persoalan ras, darah, dan keturunan, tetapi pada pemahaman mengenai kebudayaan, terutama ajaran para leluhur dan kontekstualisasi atas tradisi. Beberapa pengarang memiliki persamaan bahwa identitas ketionghoaan didasarkan pada unsur yang dominan, yakni ajaran leluhur.

Selain itu, hal yang utama yang dijadikan sebagai perjuangan kelompok intelektual pengarang ini adalah cara menempatkan diri di tanah perantauan atau posisi dirinya. Upaya menjaga, memelihara, dan merestorasi identitas ketionghoaan tersebut hanya sebatas pada tingkat permukaan yang dihadirkan oleh kelompok intelektual saja. Sementara itu, tanggapan yang berada di ranah

(5)

367 dalam yang dihadirkan oleh kelompok intelektual pengarang ini adalah usaha membela diri atau mempertahankan diri agar posisinya tetap aman di tengah keragaman etnis dan menempati daerah jajahan. Pembelaan diri terhadap keberadaan diri mereka itu dapat dilihat dari usaha mereka dalam menghadapi perjumpaan dengan lokalitas, kolonialisme Barat, dan upaya melihat Tionghoa atau ketionghoaannya sendiri.

Dalam melihat posisinya dengan lokalitas, kelompok intelektual pengarang ini pada masa awalnya (1900-1920-an) cenderung mengingkari nilai dan tradisi lokalitas seperti yang dilakukan oleh Gouw Peng Liang. Usaha yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan ketionghoaan yang puritanisme, yakni pemurniaan tradisi Kong Hucu, sebab mereka yakin bahwa ajaran leluhur yang tidak dicampuri lokalitas mampu menjadi daya tahan atau daya hidup di tanah perantauan. Selain bersifat puritanisme, pertengahan 1915-an atau 1920-an dijumpai sifat yang mendua atas tradisi lokalitas, yakni hidup diantara lokalitas dengan tradisi leluhur, tetapi tidak menunjukkan unsur yang dominan dan yang dipilihnya atau kadang mengunakan lokalitas dan menggunakan leluhur seperti Tio Ie Soei. Sementara itu, tahun 1925-1942-an terjadi kecenderungan yang berbeda. Sebagai contohnya adalah menemukan dunia lokalitas atau Tionghoa yang diungkapkan oleh Kwee Tek Hoay melalui spritualitas Timur sebagai jawaban terhadap pilihan lokalitas. Sementara itu, internalisasi terhadap nilai lokalitas sebagai unsur pertahanan orang Tionghoa peranakan dilakukan oleh Njoo Cheong Seng dan Liem Khing Hoo. Njoo Cheong Seng cenderung menunjukkan keragaman lokalitas sebagai usaha pemersatu dan mengembalikan

(6)

368 tatanan masyarakat pada kebijkan tradisi masing-masing etnisnya. Liem Khing Hoo berusaha mengemukan gagasan manusia dan tatanan baru dengan mendasarkan pada persatuan nilai Barat dan Timur. Era tahun 1920-an hingga 1942-an kecenderungan yang muncul diantaranya adalah tidak mengingkari adanya hibriditas dan justru mendorong memunculkan keragaman nilai lokalitas. Hal ini dilakukan untuk mendukung upaya persatuan keindonesiaan atau sebagai upaya mewujudkan konsep bangsa yang beragam.

Dalam menghadapi perjumpaan dengan Barat, kelompok intelektual pengarang ini pada masa awalnya (sekitar 1900 hingga 1920-an) menolak dengan tegas internalisasi pemikiran Barat seperti yang dilakukan oleh Gouw Peng Liang. Sementara itu, tahun 1920-an terjadi sikap mendua atau ambivalen terhadap perjumpaannya dengan Barat. Sikap ambivalen ini muncul sebagai akibat isu pembaratan seperti yang dilakukan oleh Tio Ie Soei. Sementara itu, tahun berikutnya dari 1925-1942-an, kecenderungan yang muncul adalah menolak nilai dan tradisi Barat, tetapi tidak bersifat anti terhadap Barat. Nilai dan tradisi Barat dijadikan instrumen atau alat untuk mencapai tujuan dan cita-cita Timur atau Tionghoa seperti yang dilakukan oleh Kwee Tek Hoay, Liem Khing Hoo, dan Njoo Cheong Seng. Secara umum, kelompok intelektual ini menolak internalisasi nilai, pemikiran, dan cita-cita Barat, tetapi mereka mempelajarinya sebagai sarana atau instrumen untuk tujuan Timur. Namun, Liem Khing Hoo menginternalisasi nilai Barat hanya untuk menunjukkan tatanan masyarakat, tetapi cita-cita manusia dalam tatanan masyarakat yang hibrid itu adalah cita-cita manusia Timur.

(7)

369 Gagasan mengenai manusia yang ideal dalam teks sastra peranakan Tionghoa menunjukkan bahwa teks sastra ini menjadi arena pergulatan dan pembangun identitas masyarakat peranakan Tionghoa. Gagasan manusia yang ideal dalam teks sastra ini merupakan satu upaya tandingan atas munculnya gagasan manusia modern versi dunia Barat. Ketionghoaan yang diungkapkan dalam teks sastra bukanlah atas dasar darah dan ras, melainkan atas dasar kontekstualisasi ajaran leluhur, terutama Kong Hucu. Nilai moralitas dan upaya mencapai keseimbangan menjadi ciri ketionghoaan yang dikembangkan oleh teks sastra ini. Gagasan manusia ideal yang dimaksudkan oleh teks sastra itu bukan hanya untuk manusia Tionghoa, tetapi untuk manusia Timur. Istilah “dunia Timur” yang ada dalam teks sastra ini merujuk pada gagasan bangsa Timur. Gagasan ini menunjukkan bahwa teks sastra ini membangun konsep bangsa dan nasionalisme dengan cara yang berbeda, yakni nasionalisme atas dasar keragaman lokalitas yang disatukan oleh kesamaan sebagai manusia Timur dan dalam wadah yang satu, yakni bangsa Timur atau bangsa Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan informan (narasumber) yang dijadikan penelitian adalah pegawai yang terdiri dari bagian Divisi Operasional/ Agency, Internal Audit dan Branch Head PT

Setelah melakukan studi pendahuluan berupa studi pustaka (mengaji ruang lingkup bahan ajar, prosedur dan prinsip penyusunan modul, ruang lingkup pendidikan kecakapan hidup

0 = 0% Dari hasil presentase diatas dapat kita lihat bahwa dalam buku teks siswa PAI kelas XII, jumlah nilai-nilai multicultural berupa, toleransi sebanyak 6 topik merupakan

Kadar Senyawa yang Larut dalam Etanol Sebanyak 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL etanol 96% menggunakan labu bersumbat sambil dikocok selama 6 jam

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe cabai yang berpotensi toleran dan peka Al melalui metode penapisan panjang akar dan evaluasi karakter agronomi,

dikeluarkan,sehingga tidak memerlukan tindakan. Abortus komplite adalah proses abortus dimana.. keseluruhan hasil konsepsi telah keluar melalui jalan lahir. Dari

a. Nilai Pagu Dana s.d. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana di atas Rp. Nilai Pagu Dana

Konsep desain LBWR tanpa pengisian bahan bakar di lokasi akan memiliki siklus operasi yang lebih panjang dengan menerapkan kisi teras yang lebih rapat ( Vm/Vf rendah).