• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa hidup berdampingan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa hidup berdampingan dan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa hidup berdampingan dan saling membutuhkan keberadaan satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya setiap manusia akan memiliki kepentingan masing-masing yang ingin ia penuhi. Lahirnya kepentingan antar individu tersebut membuat mereka saling mengikatkan diri dengan individu yang lain dalam suatu perikatan. Istilah “perikatan” berasal dari bahasa Belanda, yaitu verbintenis. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.1

Berkaitan dengan istilah “perikatan”, Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata menjelaskan pemahamannya mengenai perikatan sebagai berikut:

Perkataan “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam Buku III KUHPerdata diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber dari perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).2

Berdasarkan pemahaman Subekti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah perikatan tidaklah sama dengan istilah perjanjian. Hal tersebut dikarenakan istilah perikatan dimaksudkan kepada seluruh ikatan yang diatur dalam Buku III

1 Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003 (selanjutnya disebut

(2)

2

KUHPerdata, yang artinya meliputi perikatan yang lahir oleh undang-undang maupun perikatan yang lahir dari perjanjian.

Istilah perjanjian mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kontrak. Hal tersebut dilandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), di mana perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract).3 Dalam Bahasa Indonesia pun dijumpai bahwa istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian, namun istilah kontrak lebih mengacu kepada nuansa bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk. Kontrak mempunyai fungsi filosofis, yaitu mewujudkan keadilan bagi para pihak yang membuat kontrak bahkan bagi pihak ketiga yang mempunyai kepentingan hukum terhadap kontrak tersebut.4 Kontrak yang diatur dalam Buku III KUHPerdata pada umumnya bersifat obligatoir, yang artinya melahirkan kewajiban-kewajiban bagi para pihak. Sifat obligatoir ini merupakan sarana utama bagi para pihak untuk menciptakan norma-norma hukum sendiri berdasarkan kesepakatan.

Dalam proses untuk mencapai suatu kesepakatan akan terjadi pertukaran hak dan kewajiban, yang mana nantinya masing-masing pihak harus melaksanakan kewajibannya serta mendapatkan haknya sesuai dengan yang telah disepakati dalam kontrak. Dalam hal ini pihak yang berhak disebut sebagai kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban disebut sebagai debitur. Kreditur berhak untuk menuntut sesuatu yang disebut sebagai prestasi. Prestasi merupakan kewajiban dari debitur

3 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Azas Proposionalitas Dalam Kontrak

Komersial, LaksBang Mediatama bekerja sama dengan Kantor Advokat Hufron & Hans Simaela,

Yogyakarta, 2008, h. 13.

4 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju,

(3)

3

yang dapat berupa tindakan untuk menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Munculnya Corona Virus Disease 2019 atau yang dikenal dengan istilah COVID-19, secara seketika meluluhlantakkan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia diberbagai belahan dunia. Penyebaran COVID-19 yang terjadi begitu cepat dan meluas telah menyebabkan berbagai permasalahan baru, tidak hanya mengancam kesehatan manusia namun juga berdampak pada melemahnya perekonomian suatu negara. Di Indonesia sendiri, berbagai kebijakan-kebijakan baru telah diterbitkan oleh pemerintah guna mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan COVID-19.

Salah satu pihak yang turut merasakan dampak dari kemunculan COVID-19 ini ialah pihak yang terikat dalam suatu hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual adalah hubungan berdasarkan kontrak antara dua pihak (kreditur dan debitur) atau lebih yang terlibat kerjasama. Saat ini sangat dimungkinkan terjadi keadaan dimana pihak yang terikat dalam hubungan kontraktual tidak dapat memenuhi kewajibannya sebab terkena dampak dari kemunculan COVID-19. Menurut perspektif KUHPerdata, pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dapat dikatakan telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) atau lalai dalam menjalankan kewajibannya. Akibat hukumnya telah diatur secara tegas dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yaitu kewajiban penggantian biaya, kerugian dan bunga oleh pihak yang tidak menjalankan kewajibannya seperti yang tertuang dalam perjanjian.5 Namun, dalam prakteknya untuk menentukan kapan terjadinya wanprestasi merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, sebab biasanya para pihak

(4)

4

yang terikat perjanjian tidak menentukan secara tegas waktu untuk melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam perjanjian yang mereka buat.

Dalam KUHPerdata, tepatnya pada Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata terdapat ketentuan yang mengatur bahwa dalam suatu keadaan memaksa, pihak yang lalai dalam menjalankan kewajibannya dapat dibebaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian sebagaimana yang diatur pada Pasal 1243 KUHPerdata.6 Dalam hal pihak yang dianggap telah melakukan wanprestasi atau lalai dalam menjalankan kewajibannya adalah debitur, maka apabila debitur tersebut digugat ke pengadilan ia dapat membela dirinya untuk menghindari hukuman dengan cara mengajukan pembelaan telah terjadi keadaan memaksa (force majeure) di luar kekuasaannya yang menyebabkan debitur tersebut tidak dapat berprestasi.

Keadaan memaksa (force majeure) merupakan salah satu klausula yang pada umumnya dituangkan ke dalam perjanjian. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menyebabkan hak dan kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. Seorang berwajib dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut asal ia dapat membuktikan bahwa tidak dapat terpenuhinya kontrak tersebut karena betul-betul disebabkan oleh keadaan memaksa.7 Menurut Munir Fuady, dalam bukunya yang berjudul Konsep Hukum Perdata,

Yang dimaksud dengan force majeure dalam hukum perjanjian adalah suatu keadaan di mana seseorang yang berkewajiban (debitur) terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga dan tidak dapat diantisipasi pada saat dibuatnya perjanjian yang menerbitkan

6 Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Penggantian biaya, kerugian dan

bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

7 Dyah Hapsari Prananingrum dan Christiana Tri Budhayati, Hukum Kontrak, Griya

(5)

5

kewajiban tersebut, dan keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur yang bersangkutan, sedangkan debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.8

Secara umum, keadaan memaksa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu keadaan memaksa absolut dan keadaan memaksa relatif. Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur, misalnya barang yang diperjanjikan sudah hapus karena telah terjadi bencana alam. Sedangkan keadaan memaksa relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih dimungkinkan untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan tersebut harus dilakukan dengan pengorbanan besar yang tidak seimbang seperti kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Ketentuan mengenai keadaan memaksa (force majeure) dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata memberikan kelonggaran bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada pihak yang merasa dirugikan, sebab telah terjadi suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. Secara prinsipil, pihak yang harus membuktikan terjadinya keadaan memaksa adalah debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak.9

Saat ini penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia sudah semakin meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara yang diiringi dengan jumlah kasus terinfeksi COVID-19 dan/atau jumlah kematian sebab COVID-19. Peningkatan tersebut tentunya berdampak pada aspek politik, ekonomi,

8 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015

(selanjutnya disebut Munir Fuady I), h. 214.

9 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif

Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju,

(6)

6

sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu melakukan percepatan penanganan COVID-19 dalam bentuk tindakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menekan penyebaran COVID-19 semakin meluas. Dasar hukum pemberlakuan PSBB tersebut ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).10

Pada tanggal 13 April 2020, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional (selanjutnya disebut Keppres No. 12 Tahun 2020).11 Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (selanjutnya disebut UU Penanggulangan Bencana), “Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal moderenisasi, epidemi dan wabah penyakit”.12 Terbitnya Keppres No. 12 Tahun 2020 pada akhirnya menimbulkan

polemik terkait dengan legitimasi COVID-19 sebagai suatu keadaan memaksa (force majeure). Sejumlah pihak mengatakan dengan terbitnya Keppres No. 12 Tahun 2020 dapat menjadi dasar untuk mengatakan bahwa COVID-19 merupakan bentuk keadaan memaksa (force majeure) sehingga membuat perjanjian atau

10 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar

Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

11 Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

12 Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

(7)

7

kontrak menjadi lebih fleksibel, bahkan bisa batal tanpa adanya penggantian biaya, bunga dan rugi.

Menurut penulis, terbitnya Keppres No. 12 Tahun 2020 tidak dimaksudkan untuk menjadikan COVID-19 sebagai alasan untuk membatalkan suatu kontrak, akan tetapi dapat dijadikan sebagai jalan masuk bagi para pihak agar kembali melakukan negosiasi untuk mengubah isi kontrak atau mengupayakan restrukturisasi dalam suatu hubungan kontraktual. Oleh sebab itu, penulis berpendapat kalaupun COVID-19 memenuhi unsur untuk disebut sebagai salah satu bentuk keadaan memaksa (force majeure), maka COVID-19 ini haruslah diklasifikasikan sebagai bentuk keadaan memaksa (force majeure) yang bersifat relatif dan sementara. Hal tersebut dikarenakan implikasi dari COVID-19 sebagai bentuk keadaan memaksa (force majeure) bukanlah untuk membatalkan kontrak, melainkan untuk menunda pelaksanaan kewajiban secara sementara sebab tidak dimungkinkannya pelaksanaan kewajiban dalam keadaan tersebut, atau membuka kesempatan bagi para pihak untuk melakukan renegosiasi atau restrukturisasi kontrak.

Disamping itu, penulis berpendapat sekalipun COVID-19 dapat dikualifikasikan sebagai suatu bentuk keadaan memaksa (force majeure), hal tersebut belum cukup untuk membuktikan bahwa salah satu pihak yang terikat dalam hubungan kontraktual dapat secara otomatis dilepaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian karena tidak dapat memenuhi prestasinya. Perlu dibuktikan adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang nyata antara COVID-19 dengan ketidakmampuan seseorang untuk menjalankan kewajiban kontraktualnya.

(8)

8

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap COVID-19 sebagai salah satu bentuk keadaan memaksa (force majeure) dalam hubungan kontraktual. Oleh sebab itu, penulis membuat skripsi yang berjudul: CORONA VIRUS DISEASE 2019 SEBAGAI BENTUK KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) DALAM HUBUNGAN KONTRAKTUAL.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan suatu bentuk keadaan memaksa (force majeure) dalam hubungan kontraktual?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis teori hukum keadaan memaksa (force majeure).

b. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan yang mengatur keadaan memaksa (force majeure).

c. Untuk menjelaskan dan menganalisis bahwa Corona Virus Disease 2019 sebagai bentuk keadaan memaksa (force majeure) dalam hubungan kontraktual.

D. Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian di atas, maka diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(9)

9 a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis manfaat penelitian ini adalah dalam rangka pengembangan ilmu hukum perdata, khususnya hukum perikatan. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman terkait Corona Virus Disease 2019 sebagai bentuk keadaan memaksa (force majeure) dalam hubungan kontraktual.

b. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, yaitu: 1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca bahwa Corona Virus Disease 2019 sebagai bentuk keadaan memaksa (force majeure) dalam hubungan kontraktual.

2. Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan menulis bagi penulis.

3. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana.

E. Keaslian Penulisan

Suatu karya ilmiah merupakan bagian yang saling berkesinambungan dengan pemikiran dari karya-karya ilmiah yang telah ada sebelumnya. Sehingga untuk menghindari kesan pengulangan maka penulis merasa perlu untuk menjelaskan adanya beberapa tulisan yang sama halnya berkaitan dengan keadaan memaksa (force majeure).

Berdasarkan pengetahuan dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, sejauh ini belum ada yang menulis skripsi Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bentuk Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Hubungan Kontraktual. Namun

(10)

10

demikian, penulis menemukan beberapa judul skripsi yang berkaitan dengan judul skripsi yang akan ditulis oleh penulis, antara lain:

1. Skripsi yang ditulis oleh Dini Ajeng Wulandari dengan judul “Wanprestasi Debitur Akibat Force Majeure (Bencana Alam) Dalam Perjanjian Kredit”. Adapun yang menjadi titik berat dalam pembahasan skripsi ini, yakni apakah bencana alam yang merupakan alasan keadaan memaksa (force majeure) dapat dijadikan sebagai alasan kreditur untuk menstrukturisasi hutang debitur dengan memperhatikan pertimbangan hakim yang terdapat dalam Putusan Nomor 25/PDT.G/2010/PN.SMI.

2. Skripsi yang ditulis oleh Mutia Kartika Putri dengan judul “Pembuktian Keadaan Memaksa (Force Majeure) Oleh Debitur Dalam Sengketa Wanprestasi”. Pembahasan dalam skripsi ini lebih mengarah kepada beban

pembuktian yang dilakukan oleh debitur dalam membuktikan adanya suatu keadaan memaksa (force majeure) serta bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan peristiwa force majeure. 3. Skripsi yang ditulis oleh Anandisa Syakbandiah dengan judul “Tinjauan

Hukum Terhadap Wanprestasi Akibat Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeure) : Studi Putusan Nomor 3087 K/Pdt/2001 Mahkamah Agung”. Skripsi ini membahas terkait kesesuaian pertimbangan hakim dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan kesesuaian antara Putusan Mahkamah Agung Nomor 3087 K/Pdt/2001 dengan asas keadilan hukum.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian jelas harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. Menurut Johnny Ibrahim,

(11)

11

“...konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya”.13 Oleh

sebab itu, maka metode penelitian merupakan instrumen penting dalam keberhasilan melakukan penelitian.

1)

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang berasal dari data sekunder. Menurut Titon Slamet Kurnia, dkk., dalam buku Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia, “Penelitian hukum adalah penelitian hukum. Penambahan ajektif tertentu (normatif atau sosiologis) tidak diperlukan karena hanya akan menimbulkan salah pengertian tentang hakikat penelitian hukum itu sendiri”.14

Penelitian dalam tulisan ini menggunakan jenis penelitian normatif guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keadaan memaksa (force majeure) dan Corona Virus Disease 2019, serta penelusuran terhadap berbagai literatur di perpustakaan, skripsi, jurnal hasil penelitian, situs internet dan sebagainya.

13 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif: Edisi Revisi,

Bayumedia Publishing, Malang, 2008, h. 28.

14 Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi dan Dyah Hapsari P., Pendidikan Hukum,

(12)

12

2)

Jenis Pendekatan

Dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yang mana dengan pendekatan tersebut peneliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.15 Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan analitis (analytical approach).

1. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.16 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan melihat dan mempelajari kesesuaian atau konsistensi antara perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang keadaan memaksa (force majeure) dan Corona Virus Disease 2019.

2. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.17 Penulis menggunakan pendekatan konseptual untuk menjelaskan pengertian, konsep maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan terkait Corona Virus Disease 2019 sebagai bentuk keadaan memaksa (force majeure) dalam hubungan kontraktual. 3. Pendekatan analitis adalah menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, Prenada Media Group,

Jakarta, 2017, h. 133.

16 Ibid., h. 137. 17 Ibid., h. 135.

(13)

13

mengetahui penerapannya dalam praktik-praktik putusan hakim.18 Penulis menggunakan pendekatan analitis untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang digunakan sehingga memperoleh makna yang terkandung di dalam aturan hukum yang bersangkutan.

3)

Bahan Hukum

Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum yang dijabarkan sebagai berikut: a. Bahan hukum primer terdiri dari:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

4. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional

b. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum, hasil penelitian dan karya ilmiah tentang hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum kontrak dan keadaan memaksa (force majeure).

18 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif: Edisi Revisi,

(14)

14

c. Bahan hukum non hukum yakni sebagai penunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain internet, hasil diskusi ataupun wawancara.

Referensi

Dokumen terkait

(27) Terdapat dua jenis gel yang digunakan, (1) stacking gel, dengan pori-pori relatif besar berguna untuk menyamaratakan posisi seluruh molekul protein baik yang besar

(1) Pembantu Ketua I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, merupakan tenaga dosen yang mempunyai tugas membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan kegiatan pendidikan

Namun harapan untuk mendapatkan hal tersebut sulit dicapai secara memuaskan, hal ini disebabkan adanya kondisi-kondisi dimana pengasuh tersebut tidak dapat sepenuhnya menjadi

1) Kegunaan teoritis dari penelitian ini sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang ilmu hukum terutama hukum perdata yang berkenaan dengan

Perumusan masalah dalam tinjauan literature ini mengacu kepada fenomena yang di dapatkan yakni mengenai penatalaksanaan pada pasien covid-19 dengan pemberian

Secara perbandingan, keluasan kawasan tanah pertanian komoditi adalah lebih kurang 7 kali ganda daripada keluasan tanah untuk tanaman makanan di Semenanjung

PNPME, melalui evaluasi terhadap  Melakukan kegiatan pembinaan berdasarkan perencanaan yang dibuat  Merancang target laboratorium yang akan di bina serta materi pembinaan

Komitmen normatif adalah komitmen yang menunjukkan perasaan individu yang berkewajiban untuk tetap bekerja pada organisasinya, dan juga menunjukan adanya kewajiban