• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan asal Belanda yang bergerak di industri gula dan teh mendirikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perusahaan asal Belanda yang bergerak di industri gula dan teh mendirikan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tenaga listrik pada saat ini merupakan kebutuhan yang sangat vital, karena semua kegiatan seperti kalangan industri, komersial, dan masyarakat umum dapat dipastikan menggunakan energi listrik. Penggunaan energi listrik dapat dilihat secara langsung baik di lingkungan rumah tangga, sekolah, rumah sakit, perkantoran dan industri-industri.

Usaha kelistrikan di Indonesia telah ada pada awal abad XIX ketika beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di industri gula dan teh mendirikan pembangkit listrik untuk keperluan pabriknya sendiri.1 Kemudian pada tahun 1942 sampai tahun 1945 terjadi pengalihan pengelolaan listrik dari Belanda kepada pihak sekutu, setelah Belanda menyerah kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II. Pada masa itu perusahaan kelistrikan berbentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) yang dibentuk di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga tanggal 27 Oktober 1945.2

Berdasarkan UU No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, Perusahaan negara Jawatan Listrik dan Gas kemudian diubah menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang bergerak di bidang listrik dan gas.

1

PT. PLN (Persero), Laporan Bekerja Secara Berkelanjutan 2011 Sustainable Report PT. PLN (Persero), (Jakarta: Sekretaris PT. PLN, 2011), hal. 13.

2

(2)

Kemudian tanggal 1 Januari 1965 BPU-PLN dibubarkan dan diganti menjadi 2 (dua) perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) khusus mengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) khusus mengelola gas.3

Kemudian pemerintah mengeluarkan Inpres No.17 Tahun 1967 yang menginturksikan untuk menyederhanakan semua perusahaan negara ke dalam tiga bentuk usaha yakni Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perseroan (Persero).4 Dalam rangka peningkatan pembangunan khususnya di bidang ketenagalistrikan, melalui Keppres No.18 Tahun 1968, pemerintah mengubah status PLN dari Perjan menjadi Perum dengan mengalihkan struktur organisasi Direktorat Jenderal Tenaga dan Listrik (Ditjen Gatrik) dari Departemen Perindustrian Dasar Ringan dan Tenaga kepada Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Dep. PUTL).5

Berdasarkan UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, sehingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu Perjan untuk usaha murni public service dalam artian tidak mencari keuntungan/laba, Perum untuk usaha pelayanan umum tidak memperoleh

3

PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera, “Sejarah PLN dan Kelistrikan Indonesia”, http://www.plnsumatera-1.co.id/?action=sejarah, diakses tanggal 11 Oktober 2012.

4

Sugiharto, dkk., BUMN Indonesia, Isu, Kebijakan, dan Strategis, (Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2005), hal. 78. Lihat juga: Dahlan Iskan, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) 2010-2019, (Jakarta: Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, 2010), hal. 7.

5

F. Suryanto, Dasar-Dasar Tenaga Listrik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 12-13. Lihat juga: PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera, http://www.pln.co.id/sumut/?p=62, diakses tanggal 11 Oktober 2012.

(3)

keuntungan/laba, dan Persero untuk kategori perusahaan negara yang murni mencari keuntungan/laba.6

Berdasarkan PP No.17 Tahun 1972 tentang Perubahan Status Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara (PULN), usaha kelistrikan kemudian diubah dari status Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara (PULN) dan ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Kemudian berdasarkan Keppres No.15 Tahun 1978, struktur organisasi Departemen Pertambangan diubah menjadi Departemen Pertambangan dan Energi, sehingga kedudukan Perum Listrik Negara dipindahkan dari jajaran Dep. PUTL ke dalam jajaran kewenangan Departemen Pertambangan dan Energi.7

Kemudian Pemerintah mengeluarkan PP No.36 Tahun 1979 yang menetapkan pengusahaan ketenagalistrikan tidak hanya dilakukan oleh PLN melainkan dapat juga dilakukan oleh pihak swasta dan koperasi.

Berdasarkan historis singkat perubahan status PLN di atas, tampak bahwa tugas-tugas PLN yang semula bersifat pembinaan, pengawasan dan perencanaan kebijaksanaan untuk kepentingan umum, secara bertahap diambil alih kembali oleh Pemerintah yakni berada di bawah Kementerian Pertambangan dan Energi.

8

6

Sugiharto, dkk., hal. 78.

Selanjutnya Menteri Pertambangan dan

7

PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera, Op. cit..

8

Fauzi Yusuf Hasibuan, dkk., Hutang di Balik Listrik Swasta, (Jakarta: Fauzi & Partner, 2002), hal. 58. Kehadiran listrik swasta saat ini berpotensi membangkrutkan PLN dan membebani perekonomian nasional. Fauzi Yusuf dan kawan-kawan menganalisis bahwa kebijakan pemerintah orde baru melalui produk hukum yang memberikan peluang kepada swasta untuk mendirikan listrik merupakan kebijakan yang tidak tepat dan salah.

(4)

Energi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 11/PM/Pertamben/1981 tentang Ijin Usaha Ketenagalistrikan (IUK) yang semula dikeluarkan oleh PLN diambil alih menjadi kewenangan Departemen Pertambangan dan Energi.

Dasar hukum operasional PLN saat ini adalah UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti UU No.15 Tahun 1985, selain itu dapat dikaitkan dengan UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disingkat UU BUMN), dan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT). Berdasarkan UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, usaha penyediaan tenaga listrik tidak sepenuhnya lagi dilaksanakan oleh PLN tetapi dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh BUMN.

Dengan demikian pengelolaan sektor ketenagalistrikan diatur sepenuhnya oleh pemerintah yang teknis pelaksanaannya dilaksanakan oleh PLN, maka seluruh rencana kerja PLN diserahkan kepada pemerintah untuk mendapatkan persetujuan sebelum dilaksanakan. Sehingga pelaksanaan kerja PLN merupakan pekerjaan yang terintegrasi secara vertikal (vertival integrated) dalam hal melaksanakan pengelolaan kelistrikan mulai dari sisi pembangkitan, transmisi, dan distribusi ke seluruh wilayah Indonesia.

Oleh sebab itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, pemerintah membuka kesempatan luas untuk usaha penyediaan tenaga listrik yang tidak sepenuhnya lagi dilaksanakan oleh PLN tetapi juga dapat dilaksanakan oleh koperasi dan badan usaha lain baik yang berbentuk badan hukum

(5)

maupun yang tidak berbadan hukum, diberikan kesempatan seluas-luasnya berdasarkan ijin usaha ketenagalistrikan guna meningkatkan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan terhadap listrik secara merata.9

Usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan terhadap listrik dan kesejahteraan rakyat, pemerintah mengeluarkan PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perum Listrik Negara menjadi Persero. Status PLN berubah lagi dari Perum menjadi Persero dan tetap sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Pada Pasal 2 PP No.23 Tahun 1994, ditentukan maksud dan tujuan PT. PLN (Persero) adalah:

1. Menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum sekalipun memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan;

2. Mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam jumlah dan mutu yang memadai dengan tujuan:

a. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi;

b. Mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai pengembangan penyediaan tenaga listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat.

3. Merintis kegiatan-kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik;

4. Menyelenggarakan usaha-usaha lain yang menunjang usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP No.23 Tahun 1994 tersebut, maka PT. PLN (Persero) sebagai PKUK berkewajiban melaksanakan fungsi sebagai:

1. Bisnis yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented), sebagai suatu badan usaha melakukan kegiatan usaha berdasarkan hakikat perseroan

9

Kesempatan yang diberikan kepada koperasi dan badan usaha lain untuk terlibat langsung menjadi salah satu pemain di sektor ketenagalistrikan terlaksana secara penuh setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1991, yang isinya mengijinkan pihak swasta untuk masuk ke dalam pengusahaan sektor ketenagalistrikan di sisi pembangkitan, transmisi, dan distribusi.

(6)

yang sehat guna menjamin keberadaan dan pengembangan dalam jangka panjang.

2. Pelayan sosial yakni sebagai agen pembangunan masyarakat dengan melakukan kegiatan yang bersifat program pembangunan sebagaimana layaknya, maupun yang bersifat sosial dan perintis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sekalipun kegiatan tersebut tidak mendapat keuntungan finansial.

Berdasarkan kedua fungsi PT. PLN (Persero) tersebut di atas, PT. PLN dihadapkan pada dua masalah yang sangat mendasar, di satu sisi mencari keuntungan dan di sisi lain melaksanakan fungsi sosial atau agen pembangunan masyarakat. Sesungguhnya, sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu infrastruktur utama dari kegiatan perekonomian. Fasilitas kelistrikan menjadi pendorong utama untuk seluruh kegiatan ekonomi dan pembangunan yang pasti membutuhkan energi listrik.

Oleh karena itu, dalam status PT. PLN sebagai BUMN Persero, maka terdapat tiga hal permasalahan di sektor pengelolaan ketenagalistrikan yaitu:

1. Menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik. Dengan rasio elektrifikasi yang didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah menggunakan energi listrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada, secara nasional dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 58,3 % pada tahun 2005 menjadi 65% pada tahun 2009. Dari rasio elektrifikasi kelistrikan tahun 2009, jumlah pengguna tenaga listrik yang paling besar terdapat pada sisi rumah tangga sebesar

(7)

36.897.000 unit (89,90%) dari total seluruh pelanggan listrik sebesar 41.044.400 unit.10

2. Harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Menjadi permasalahan bagi PT. PLN (Persero) sebagai perseroan, disebabkan harga jual tenaga listrik ditetapkan oleh Pemerintah, di mana harga jual tenaga listrik kepada konsumen lebih rendah daripada Biaya Pokok Produksi (BPP), biaya pokok rata-rata produksi per-Kwh sebesar Rp.1.187,- (seribu seratus delapan puluh tujuh rupiah) sedangkan harga jual rata-rata per-Kwh sebesar Rp.703,- (tujuh ratus tiga rupiah).

11

3. Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Dari rasio elektrifikasi bahwa baru 65% konsumen yang dapat menikmati tenaga listrik pada tahun 2009, menjadi permasalahan tersendiri bagi pembangunan fasilitas ketenagalistrikan. Pembangunan yang berkelanjutan sangat bergantung pada kebijaksanaan Pemerintah untuk membiayai pendanaan yang diperlukan PT. PLN (Persero) untuk pembangunan di sisi pembangkitan, transmisi, dan distribusi. Sementara pemberian ijin kepada swasta dalam negeri atau asing hanya untuk membangun pusat-pusat pembangkitan tenaga listrik yang akan disalurkan ke jaringan transmisi PT. PLN (Persero).

12

10

Dahlan Iskan, Op. cit., hal. 21.

11

Ibid., hal. 20-21. Lihat juga: Sri Lestari Rahayu, “Studi Efektivitas Pemberian Subsidi Listrik”, Jurnal Kajian dan Ekonomi, Vol.12 No.1 Maret 2008, hal. 59.

12

(8)

Sistim ketenagalistrikan nasional memiliki karakteristik spesifik, karena sistim ketenagalistrikan di wilayah Indonesia, secara teknis sangat sulit untuk membuat suatu sistim yang terintegrasi dan efisien.13 Hal ini disebabkan negara Indonesia terdiri dari beberapa pulau-pulau besar dan beribu-ribu pulau-pulau kecil dengan penduduk dan kondisi ekonomi yang variatif, menyebabkan cukup sulit untuk membuat sistem kelistrikan secara interkoneksi. Sehingga wilayah kerja operasional PT. PLN (Persero) sekarang dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu Indonesia bagian Barat (meliputi Sumatera dan Propinsi Kalimantan Barat), Jawa-Bali (meliputi seluruh pulau Jawa dan Bali), dan Indonesia bagian Timur (meliputi Kalimantan kecuali Kalimantan Barat, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua).14

Berdasarkan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PT. PLN (Persero) bukan lagi sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), melainkan sebagai BUMN.

15

13

Purnomo Yusgiantoro, Rencana Umum Ketenagalistrikan Indonesia, (Jakarta: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2004), hal. 3.

Kemudian PT. PLN (Persero) sebagai BUMN menurut Pasal 2 ayat (1) huruf b UU No.19 Tahun 2003 dinyatakan tujuan BUMN mengejar

14

Ibid., hal. 12.

15

Sugiharto, dkk., Op. cit., hal. 68. Kegiatan usaha BUMN hampir seluruh sektor ekonomi, seperti pertanian, manufaktur, pertambangan, perdangangan, keuangan, (bank dan non bank), telekomunikasi, transportasi, kelistrikan, konstruksi, dan lain-lain. Beberapa diantaranya bergerak di bidang industri yang vital seperti PLN.

(9)

keuntungan, demikian pula hakikat perseroan menurut UUPT juga untuk mengejar keuntungan (profit oriented).16

Namun, di samping itu terdapat pula pengaturan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menugaskan BUMN untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum,

17

demikian pula terdapat ketentuan Pasal 74 UUPT tentang tanggung jawab sosial perusahaan yang mengandung konsekuensi kepada PT. PLN (Persero) untuk berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan untuk menjaga keberlanjutan usahanya pada tiga pilar utama yakni kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial.18 Sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, kepercayaan investor, kepada PT. PLN (Persero) dibebankan untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).19

Adanya beberapa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, berarti PT. PLN (Persero) ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan kewajiban melaksanakan fungsi sosial. Sementara pada sisi lain PT. PLN (Persero) juga harus melaksanakan

16

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 22. Ketentuan dalam undang-undang perseroan jelas disebutkan maksud dan tujuan didirikannya perseroan adalah untuk mencari keuntungan (profit).

17

Direktorat Jenderal Keuangan Kementerian Negara Republik Indonesia, http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=193, diakses tanggal 11 Oktober 2012. Dasar hukum PSO adalah Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.

18

PT. PLN (Persero), Laporan Bekerja Secara Berkelanjutan 2011 Sustainable Report PT. PLN (Persero), Op. cit., hal. 5, hal. 10-11.

19

(10)

ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UUPT untuk mencari keuntungan.

Pelaksanaan tugas kewajiban pelayanan umum yang dilaksanakan oleh beberapa BUMN khususnya BUMN PT. PLN (Persero) saat ini sangat populer dengan istilah Public Service Obligation (selanjutnya disingkat PSO).20 Sesuai dengan kata ”Obligation” terkandung makna segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanakan kewajiban di satu sisi dan pelaksanaan hak di sisi lain.21

Belum ada defenisi yang universal dapat dipergunakan untuk menjelaskan kewajiban pelayanan umum atau PSO. Belum ada definisi universal yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan kewajiban pelayanan umum dalam bentuk PSO. Istilah Public Service Obligation (PSO) diterjemahkan berbeda-beda dari sektor ke sektor lainnya, juga tergantung kepada karakteristik masing-masing sektor. Secara terminologi istilah pelayanan umum atau public service berkaitan dengan pelayanan yang diberikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat.

22

Pelaksanaan PSO oleh PT. PLN (Persero) diartikan bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh

20

Sugiharto, dkk., Op. cit, hal. 22. Pemerintah memberikan proritas kepada BUMN melalui PSO.

21

Bappepanas, Laporan Akhir Prakarsa Strategis Percepatan Pembangunan Infrastruktur: Aspek Kebijakan Subsidi dan PSO, (Jakarta: Kedeputian Sarana dan Prasarana Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Bappenas, 2006), hal. 3.

22

Ibid., hal. 8. PSO diartikan dalam Buku Laporan Akhir Prakarsa Strategis Percepatan Pembangunan Infrastruktur: Aspek Kebijakan Subsidi dan PSO, yaitu: sebagai suatu kewajiban yang diberikan oleh pemerintah kepada satu atau lebih penyedia/operator jasa infrastruktur tertentu untuk memberikan pelayanan yang menjadi kepentingan masyarakat luas dengan spesifikasi dan kondisi yang ditetapkan oleh pemerintah dengan tarif yang disubsidi.

(11)

Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik).23

PSO merupakan suatu kewajiban yang diberikan oleh pemerintah kepada satu atau lebih penyedia/operator jasa infrastruktur tertentu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, dengan spesifikasi dan kondisi yang ditetapkan oleh pemerintah.24 Dalam kenyataannya terdapat lima pelaku utama yang terikat dalam PSO saat ini yaitu:25

1. Departemen teknis yang bertugas menginterpretasikan kebijakan umum pemerintah ke dalam penugasan PSO secara speksifik;

2. Departeman keuangan, yang mengevaluasi permintaan dana PSO dari departemen teknis dan mengajukan anggaran tahunan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

3. Menteri Negara BUMN yang menyetujui kesepakatan kompensasi dan PSO atas nama BUMN;

4. DPR yang menyetujui RAPBN yang didalamnya terdapat alokasi PSO;

5. Badan Penyusunan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) yang menyiapkan Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) dan terlibat dalam proses konsultasi penyusunan RAPBN sebelum disampaikan kepada DPR.

Kewajiban Pelayanan Umum melalui PSO merupakan bagian dari kebijakan pemerintah (policy/beleidsregel)26

23

Direktorat Jenderal Keuangan Kementerian Negara Republik Indonesia, Op. cit. PSO berbeda dengan subsidi. PSO adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). Sedangkan subsidi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pasar dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin.

, seperti ketentuan yang terdapat pada Pasal 2 ayat

24

Bappepanas, Laporan Akhir Prakarsa Strategis Percepatan Pembangunan Infrastruktur, Loc. cit.

25

Eddy Satriya, Dengan PSO Menjembatani Kesenjangan Infrasutruktur, (Jakarta: Kementerian Perekonomian Gedung PAJK Lantai II, 2007), hal. 1.

26

Wuri Adriani, “Persero Dalam Hukum Publik dan Hukum Privat (IV)” http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/03/16/persero-dalam-hukum-publik-dan-hukum-privat-bagian-iv/, diakses tanggal 12 Oktober 2012.

(12)

(1) huruf c dan Pasal 66 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah “menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Selanjutnya Pasal 66 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, menentukan:

1. Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN;

2. Setiap penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/Menteri.

Meskipun BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah melalui pemberian kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.27

Pada dasarnya penyelenggaraan kemanfaatan umum untuk memberikan perlindungan kepada rakyat. Penyelenggaraan kemanfaatan umum memiliki kaitan erat dengan kepentingan umum dalam pemenuhan hajat hidup orang banyak. Sehingga pemerintah memberikan modal kepada BUMN yang kegiatan operasionalnya dianggap vital.

28

27

Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN

Kepentingan umum tersebut merupakan

28

(13)

kepentingan negara yang meliputi kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat. Sedangkan PLN sebagai persero diwajibkan juga untuk memperoleh keuntungan.29

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dirasa penting untuk dilakukan penelitian atas kontradiksi peran PT. PLN (Persero), pada satu sisi berfungsi melaksanakan pelayanan kepentingan umum, di sisi lain PT. PLN (Persero) mengejar keuntungan. Sehingga dipilih ”Perubahan Status Perusahaan Listrik Negara Dari Perum Menjadi Perseroan Dalam Kaitannya Dengan Public Service Obligation (PSO)”, sebagai judul dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimanakah alasan-alasan yang menjadi dasar perubahan status Perusahaan Listrik Negara dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Persero?

2. Bagaimanakah kondisi perubahan-perubahan status Perusahaan Listrik Negara sebelum dan sesudah menjadi Persero?

3. Bagaimanakah pengelolaan PLN dengan status Persero yang diwajibkan melaksanakan Public Service Obligation (PSO)?

29

(14)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui alasan-alasan yang menjadi dasar perubahan status Perusahaan Listrik Negara dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Persero. 2. Untuk mengetahui kondisi perubahan-perubahan status Perusahaan Listrik

Negara sebelum dan sesudah menjadi Persero.

3. Untuk mengetahui pengelolaan PLN dengan status Persero yang diwajibkan melaksanakan Public Service Obligation (PSO).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut, bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya nasabah atau konsumen perbankan. Pembangunan ilmu hukum pada umumnya, sebagai masukan untuk perbaikan regulasi mengenai pengelolaan ketenagalistrikan.

2. Secara praktis bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran tentang perlunya sinkronisasi antar peraturan-peraturan terkait tentang pengelolaan kelistrikan kepada pengelola PLN atau pihak-pihak yang terlibat di dalam pengelolaan listrik negara, diantaranya: Pemerintah, pihak PT. PLN (Persero)

(15)

itu sendiri, pihak Departemen teknis dalam hal ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral beserta jajarannya, Departeman Keuangan, Menteri Negara BUMN, DPR, Badan Penyusunan Perencanaan Nasional (BAPPENAS).

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan permasalahan yang sama di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran (searching) di situs-situs resmi perguruan tinggi melalui media internet dan diperoleh bahwa tidak ada judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini dengan judul, ”Perubahan Status Perusahaan Listrik Negara Dari Perum Menjadi Perseroan Dalam Kaitannya Dengan

Public Service Obligation (PSO)”. Hasil dari pemeriksaan hanya diperoleh judul

diantaranya:

1. Pengaturan Perum Bulog Sebagai BUMN PSO (Public Service Obligation), atas nama Bahrensah Ananda Hasibuan (NIM: 087005107), dan

2. Implikasi Perubahan Bentuk Perum Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kreta Api Indonesia, atas nama Supardi (NIM: 177005134). Fokus permasalahan pada judul pertama di atas adalah pengaturan PSO pada Bulog sedangkan fokus permasalahan yang dibahas pada judul yang kedua adalah hak-hak karyawan PT. Kreta Api Indonesia setelah perubahan status dari Perum menjadi Persero. Terhadap permasalahan dari kedua judul penelitian di atas, berbeda

(16)

dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini yang memfokuskan pembahasannya pada pengelolaan PLN dengan status Persero yang diwajibkan PSO.

Oleh sebab itu, penelitian ini baru pertama kali dilakukan, tidak plagiat dengan cara menduplikat dari hasil penelitian orang lain, penelitian ini sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya apabila ternyata dikemudian hari terdapat unsur plagiat atau duplikasi dari penelitian ini terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perubahan status badan hukum PLN dari Perjan menjadi BUMN Perum kemudian yang terakhir adalah BUMN Persero, berimplikasi pada banyak aspek, salah satunya adalah aspek hukum. Ketika PLN berubah status menjadi BUMN Persero, maka sesungguhnya PLN menghadapi dua undang-undang sekaligus yakni UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Hakikat bisnis dalam UUPT jelas berbeda dengan hakikat bisnis dengan model BUMN.

Pertentangan tujuan dari keduanya menghendaki pemerintah tampak ingin mencampurkan bidang hukum privat dengan hukum publik yang pada prinsipnya kedua bidang hukum ini jelas-jelas kontradiktif. Menurut Pure Theory of Law dari

(17)

Hans Kelsen mengatakan keduanya sebagai ”Dualisme Hukum Privat dan Hukum Publik” yang tidak mudah untuk dipadukan, sebab hubungan antara norma umum dengan norma privat berbeda karakteristik, hakikat, dan tujuannya.30

PLN dikatakan sebagai Persero akan tunduk pada ranah hukum privat dan memiliki tujuan profit oriented, sedangkan jika PLN dikatakan sebagai BUMN akan tunduk pada ranah hukum publik (dalam tanda kutip ”sebahagian”) dan memiliki tujuan public service. Tampaknya apa yang dimaksud Hans Kelsen pada Pure Theory

of Law di atas, terasa sulit untuk diterapkan pada status PLN saat ini, bahkan telah

diungkapkan jauh sebelumnya Hans Kelsen telah menulis karyanya yang berjudul ”Introduction to The Problem of Legal Theory di tahun 1996.

Kendatipun Hans Kelsen mengatakan teorinya demikian, tetapi di penghujung pandangannya, Hans Kelsen juga tidak mampu memecahkan persoalan tersebut. Berikut ini pandangan akhir dari Hans Kelsen, ”Apa yang menjadi bentuk peraturan yang lebih memuaskan atau lebih adil tetap menjadi persoalan terbuka di sini. Pure

Theory of Law tidak berusaha memecahkan persoalan tersebut, dan tidak bisa

menyelesaikannya”.31

Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah status badan hukum PLN dari perusahaan murni sebagai pelayan publik menjadi perusahaan BUMN Persero, secara norma, kaidah, dan asas, bukan sesuatu hal yang dilarang oleh hukum. Sekalipun dalam konteks Hukum Perdagangan Internasional,

30

Hans Kelsen (diterjemahkan oleh: Siwi Purwandari), Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 143.

31

(18)

Negara juga diakui sebagai subjek hukum, itu sebabnya, dalam mencari sumber lain pendapatan, negara juga boleh bertindak sebagai pelaku bisnis dalam posisinya sebagai pedagang, maka tidak jarang negara-negara mendirikan BUMN di tanah airnya untuk mengeksplorasi dan memasarkan hasil-hasil alamnya.32

Sejenak pemikiran diarahkan pada teori munculnya negara. Teori tentang negara yang mula-mula berkembang di benua Eropa adalah teori negara penjaga malam (nachtwachterstaats). Konsep dari teori negara penjaga malam didasarkan pada fungsi yang harus dijalankan oleh negara (penguasa) untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman. Tugas utama negara adalah memelihara ketertiban dan ketenteraman sedangkan urusan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dianggap sebagai urusan masing-masing individual. Peran negara demikian dijalankan oleh negara agar masing-masing individu dapat melakukan aktivitasnya dengan aman dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Benar-benar dipisahkan antara tugas negara dan tugas rakyatnya.

33

Kemudian berkembang teori negara hukum formal atau teori negara hukum berdimensi kepastian hukum. Konsepnya tetap mempertahankan konsep negara penjaga malam tetapi dilengkapi dengan unsur lain yaitu campur tangan pemerintah

32

Sanwani Nasution dan Mahmul Siregar, Hukum Dagang Internasional, (Medan: Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanpa tahun), hal. 58-59.

33

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1961), hal. 21.

(19)

secara terbatas dalam kehidupan individu dianggap perlu dalam rangka pemerataan pendapatan ekonomi, paling tidak kesejahteraan rakyat dapat diselenggarakan.34

Kemudian muncul pula teori negara hukum materil atau negara hukum berdimensi pelayanan publik. Konsep negara dalam teori ini meninggalkan teori negara penjaga malam35 dan memfokuskan konsepnya pada pelayanan publik yang maksimal baik dari sisi politis, sosial, budaya, dan ekonomi sehingga konsep yang dimilikinya sangat kompleks dan campur-campur.36

Teori yang terakhir ini mirip dengan teori negara hukum versi negara kesejahteraan (welfare state). Negara di sini berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum (welvaarsstaat atau verzorgingsstaat) sekaligus merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggung jawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

37

Teori negara kesejahteraan (welfare state theory) menentang atau anti thesis dari teori ”Negara Penjaga Malam” dimana bahwa administrator negara kesejahteraan dilibatkan sepenuhnya untuk turut berperan aktif untuk mensejahterakan rakyatnya, Teori negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus digunakan sebagai teori umum (grand

theory) untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang diakui dalam konsitusi.

34

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 29.

35

Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 1980) hal. 74.

36

Hotma P. Sibuea, Op. cit., hal. 37.

37

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 166-167.

(20)

inilah yang dinamakan dengan konsep negara modern.38

Teori negara penjaga malam (nachtwakerstaat) tumbuh dan berkembang di abad XVIII hingga pertengahan abad XIX yang terlalu menerjemahkan negara hanya bertindak sebagai penjaga malam atau negara hukum dalam arti sempit (rechtstaat in

engere zin).

Sehingga di samping tetap memperhatikan fungsinya sebagai public servant juga memperhatikan tujuan sebagai

profit oriented.

39

Pemerintah hanya pempertahankan dan melindungi ketertiban sosial serta ekonomi berlandaskan teori laissez faire atau laissezaller.40 Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Administrator negara hanya bertugas dan berfungsi untuk mempertahankan prinsip pemisahan negara dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat atau yang disebut dengan staatsonthouding.41

Namun dalam teori welfare state menentang keras konsep nachtwakerstaat tersebut, yaitu pemerintah dalam arti luas diwajibkan bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara

38

E. Utrecht, Op. cit, hal. 21.

39

Ibid.

40

Ditulis dalam Sribd, “Teori Laissez Faire Versi Adam Smith Dalam Perkembangan Ekonomi”, http://id.scribd.com/doc/57112185/Teori-Laissez-Faire-Dalam-an-Ekonomi, diakses tanggal 11 Oktober 2012. Dalam buku Adam Smith, berjudul The Wealth of Nation tahun 2000, seorang ekonom kapitalis, menyebutkan laissez faire adalah “In economics, Laissez-faire meansallowing industry to be free of government restriction, especially restrictions in the formof tariffs and government monopolies”. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis yangdigunakan pertama kali oleh parapsiokratdi abad XVIII sebagai bentuk perlawananterhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebasyang ketat selama awal dan pertengahan abad XIX. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanyacampur tangan pemerintah dalam perekonomian.

41

(21)

agar mencapai suatu standar hidup yang sejahtera atau setidak-tidaknya mencapai standar hidup yang minimal.42

Lemaire, mengatakan negara berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum (welvaarsstaat atau verzorgingsstaat) merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggung jawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

43

Dalam rangka melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat terkadang membentur pada persoalan-persoalan hukum.44

Konstitusi mengandung norma dasar dengan menganut konsep welfare state yang terdapat dalam pembukaan alinea keempat UUD 1945, menentukan, “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial…”. Norma tersebut mengandung esensi fungsi pelayanan publik diselenggarakan oleh negara dengan cara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia.

Menurut Jimly Asshiddiqie konsep welfare state dalam perundang-undangan untuk pertama kali dikenal dengan istilah “negara pengurus”.45

42

Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 1980) hal. 74.

Sebagai negara kesejahteraan berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan

43

S.F. Marbun, Op. cit, hal. 166-167.

44

Ibid., hal.167-168.

45

Jimly Asshiddiqie dalam Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Penyelesaian Sengketa Admnistrasi di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2005), hal. 18.

(22)

kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public service) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.

Penyelenggaraan fungsi negara sebagai pelayanan publik kemudian diakui di dalam UU BMUN. Salah satu maksud dan tujuan BUMN menurut Pasal 2 ayat (1) huruf d UU BUMN adalah menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Dalam hal ini fungsi BUMN dibagi dua:

a. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan (fungsi business). Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN.

b. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum (fungsi agent of development) untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

Berdasarkan stufenbau theory dari Hans Kelsen yang menempatkan konstitusi sebagai norma dasar (grundnorm atau basic norm)46

46

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispridence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 63.

dapat dipahami bahwa norma di edalam UUD 1945 sekaligus sebagai konstitusi mengandung konsep welfare state

(23)

tepatnya pada pembukaan dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di mana negara dalam hal ini berarti penyelenggara fungsi pelayanan publik diakui kedudukannya secara konstitusional. Di sinilah fungsi BUMN sebagai pelayanan kemanfaatan umum (fungsi agent of development).

Norma melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial, tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Norma yang terkandung di sini mengandung esensi pengelolaan kekayaan negara dilaksanakan oleh negara yang pada hakikatnya untuk kemanfaatan umum dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 66 ayat (1) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, masih menugaskan kepada PLN sebagai pelayan publik walaupun dirinya juga tunduk pada UUPT. Sesungguhnya perubahan nama tersebut tanpa mengurangi fungsinya sebagai pelayan publik dan tetap tunduk pada UUPT. Norma yang terkandung dalam Pasal 66 ayat (1) UU BUMN mengandung fungsi pelayanan publik atau Public Service Obligation (PSO) bagi BUMN-BUMN yang menjalankan fungsi sebagai agent of development.

Perkembangan masyarakat bangsa Indonesia yang terus-menerus berlangsung mengakibatkan perubahan secara mendasar atas peran dan fungsi negara atau pemerintah dalam menata kehidupan rakyat bahkan sampai pada tingkat ekonomi

(24)

rakyat. Dalam hal tersebut pemerintah tetap dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan dan fungsi-fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai.

Dalam upaya mencapai tujuan, tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh berbagai kelompok sosial maupun kelompok ekonomi yang terdapat pada negara, akan tetapi juga diperlukan kebijakan untuk menciptakan kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.47 Sebagai konsekuensi fungsi pelayan publik tersebut menurut Miriam Budiardjo, administrator negara semakin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan, serta menyediakan program kesejahteraan rakyat.48

Peran negara dalam melaksanakan fungsi kemanfaatan umum sejalan dengan teori Jeremy Bentham setidak-tidaknya meletakkan dasar pendistribusian fungsi PLN sebagai pelayan publik dan hasil-hasil keuntungan dari kegiatan PLN sebagai BUMN Persero. Teori utilitiarisme Bentham yang paling dikenal adalah the greatest good for

the greatest number. Kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya

tujuan kesejahteraan bersama.

49

Konsep penting dalam teori ini memandang bahwa perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.

50

47

E. Utrecht, Op. cit., hal. 22-23.

Pengambilan keputusan menurut Bentham harus berdasarkan etika

48

Miriam Budiardjo, Op. cit., hal. 76.

49

Achmad Ali, Op. cit, hal. 76.

50

(25)

dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak, sehingga semakin bermanfaat akan semakin banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga orientasinya pada hasil perbuatan.51

Teori-teori manfaat tersebut dikemukakan Jeremy Bentham dalam karyanya yang berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.52 Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.53

Teori negara kesejahteraan (welfare state theory) dan teori utilitiarisme dari Jeremy Bentham, digunakan untuk mematahkan Pure Theory of Law Hans Kelsen. Perubahan status PLN dari BUMN Perum menjadi BUMN Persero dalam kaitannya dengan Public Service Obligation (PSO), jauh akan lebih membuat rakyat sejahtera

51

Erni R. Ernawan, Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 93.

52

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006), hal. 13. Jeremy Bentham (1748-1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Menurut Bentham: Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka. Asas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum.

53

Ibid., hal. 14. Lihat juga: Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2, hal. 14.

(26)

jika PLN sebagai BUMN Persero dapat menjalankan fungsinya sekaligus yakni sebagai pelayan publik dan sebagai pelaku ekonomi yang berorientasi keuntungan.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional digunakan sebagai konseptual berdasarkan tinjauan kepustakaan dengan tujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru serta memberikan pedoman yang sama, diantaranya adalah:

a. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.

b. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronik, atau isyarat. c. Perusahaan Listrik Negara adalah perusahaan negara berbadan hukum persero

untuk menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen dan pelayanan publik.

d. Perusahaan Umum (Perum) adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas, saham yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. e. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau

sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

(27)

f. Perusahaan Persero (Persero) adalah BUMN yang berbentuk Persero Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % ( lima puluh satu persen ) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuannya mengejar keuntungan.

g. Perseroan Terbatas (Persero) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksananya.

h. Public service Obligation (disngkat PSO) adalah sebagai kewajiban yang diberikan oleh pemerintah kepada satu atau lebih penyedia/operator jasa infrastruktur tertentu untuk memberikan pelayanan yang menjadi kepentingan masyarakat luas dengan spesifikasi dan kondisi yang ditetapkan oleh pemerintah dengan tarif subsidi.

i. Negara Kesejahteraan adalah suatu teori yang memiliki konsep pelayanan umum yang merupakan konsepsi negara hukum modern dengan menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Pemerintah dalam arti luas diwajibkan bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang sejahtera atau setidak-tidaknya mencapai standar hidup yang minimal.

(28)

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.54 Sedangkan penelitian adalah sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apa yang telah dan sedang terjadi serta memecahkan masalahnya atau suatu kegiatan pencarian kembali pada kebenaran.55

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dengan demikian metode penelitian hukum adalah suatu cara kerja atau upaya ilmiah untuk memahami, menganalisis, memecahkan, dan mengungkapkan suatu permasalahan hukum berdasarkan metode tertentu.

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by

the judge through judicial process.56

54

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

55

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 19.

56

Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Yuridis normatif atau penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.

(29)

Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis melalui pendekatan perundang-undangan (statute aproach).57

2. Sumber Data

Deskriptif analitis dalam penelitian ini dimaksudkan yaitu berusaha menjelaskan, memaparkan, menguraikan secara analitis tentang asas-asas, norma-norma, dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait dnegan BUMN dan ketenagalistrikan.

Sebagai data utama dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu:

1) UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti UU No.15 Tahun 1985;

2) UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN); 3) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT);

4) PP No.17 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara; 5) PP No.12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);

6) PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan perseroan (Persero);

7) PP No.3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No.10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik;

8) PP No.26 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas PP No.10 Tahun

57

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96.

(30)

1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik;

9) PP No.45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum serta Kamus Bahasa Inggris.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library

research) dan studi dokumen-dokumen di PT. PLN (Persero) mengenai bahan-bahan

yang relevan dengan permasalahan yang sedang ditelaah untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan, teori-teori, konsepsi, dan doktrin, pendapat atau pemikiran dari peneliti terdahulu yang relevan dengan objek yang ditelaah. Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier, dan bahan non hukum semuanya diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar dan materi kuliah serta mendownload melalui media internet. Kemudian data tersebut diinventarisasi dan klasifikasikan berdasarkan materinya guna memperoleh

(31)

pasal-pasal, kaidah-kaidah, norma-norma dalam perundang-undangan terkait dengan pengelolaan tenaga listrik.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan kaidah-kaidah yang terkandung dalam pasal-pasal perundang-undangan terkait dengan pengelolaan PLN yang mengakibatkan terjadinya perubahan status badan hukum PLN dari Perum menjadi Persero dan penugasan kepada PLN untuk melaksanakan kewajiban pelayanan umum.

Tahap-tahap analisis data kualitatif dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan data sekunder lainnya yang relevan dengan masalah penelitian.

b. Memilih peraturan-peraturan dan bahan-bahan hukum sekunder untuk mengetahui kaidah hukum dan asas atau konsep yang terkandung dalam peraturan tersebut.

c. Mengkategorisasikan konsep-konsep yang ditemukan sehingga didapatkan konsep-konsep yang berhubungan dengan yang lain.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara data dengan menggunakan teori sebagai kerangka berfikir.

Data akan diungkapkan secara deduktif yakni penalaran secara logika dari umum ke khusus atau dengan maksud lain menarik kesimpulan dari hal-hal yang

(32)

bersifat umum misalnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan PLN sehingga mengarah pada yang bersifat khusus yakni ketiga permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. Semua data sekunder yang dianalisis diungkapkan secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat dijawab.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PHPU.D-X/2012, tanggal 6 Juli 2012, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Puncak Jaya diperintahkan untuk

secara jelas dalam pasal 173 tentang terhalangnya untuk menjadi ahli waris adalah perbedaan agama bukan berarti ahli waris beda agama mendapat bagian dari harta pewaris

Untuk variabel Pemahaman Perpajakan memiliki nilai signifikansi sebesar 0,067 dimana nilai tersebut dibawah atau lebih besar dari 0,05 (>0,05) sehingga dapat

Pemerintahan desa merupakan organisasi pemerintah terendah yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Camat.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, umur berbunga jantan, umur berbunga betina, umur panen, jumlah biji per

Siswa diminta untuk melakukan latihan kelincahan (agility), kekuatan, dan daya tahan untuk meningkatkan derajat kebugaran jasmani yang dilakukan berpasangan (reciprocal),.

(3) Dalam hal anggota Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri tidak terbukti

Digester biogas berbahan baku eceng gondok terbuat dari drum plastik berukuran 200 liter agar tahan terhadap kondisi asam dan tidak mengalami kobocoran untuk