• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hak-hak penduduk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hak-hak penduduk"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Isu-isu di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hak-hak penduduk asli telah menjadi sumber perdebatan dalam beberapa tahun terakhir ini. Perkembangan untuk memecahkan isu-isu sekitar pokok masalah ini tidaklah mudah mengingat rumitnya pokok masalah ini dan kontradiksi-kontradiksi untuk mengakui bentuk-bentuk perlindungannya. Sejumlah kasus yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah mengenai penyalahgunaan terhadap sumber daya biologis, sumber daya genetika, dan/atau yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional telah menyoroti kebutuhan masyarakat dan menekankan urgensi untuk memusatkan perhatian pada isu ini, karena meningkatnya “biopiracy” tanpa persetujuan atau izin dari para pemegang hak dan tanpa kompensasi yang memadai.

Industri meubel ukiran di Jepara Jawa Tengah bisa menjadi salah satu contoh terhadap penyalahgunaan pengetahuan tradisional. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukiran Jepara mempunyai ciri khas tersendiri bagi bangsa Indonesia, tetapi hak cipta dan hak paten ukir-ukiran itu dipegang oleh para pengusaha dari Australia, Kanada, maupun Amerika Serikat. Jadi para pengrajin ukiran di Jepara, hanya sekedar buruh yang bekerja sesuai pesanan pengusaha pemegang hak paten tersebut. Sementara porsi keuntungan terbesar dari ekspor

(2)

2 meubel Jepara lebih banyak diminati para pemegang paten tersebut. Hal sama juga terjadi pada perusahaan meubel rotan di Cirebon. Walaupun pesanan dari Amerika Serikat semakin meningkat, pengusaha mulai mengeluh, karena marjin keuntungan yang sedikit termakan kewajiban untuk membayar royalti. Hal ini terjadi karena teknologi menekuk rotan sudah dipatenkan di Amerika, sehingga setiap meubel rotan yang menggunakan teknologi tersebut, ketika masuk ke Amerika, wajib membayarkan royalti ke pemegang paten tekuk rotan tersebut (Ignatius Haryanto, 2002: iii-iv). Desain batik tradisional juga telah didaftarkan oleh orang asing di Belanda, Jerman, Jepang, Amerika Serikat dan Malaysia, sehingga para pengusaha batik Indonesia tidak dapat mengekspor produk batiknya ke luar negeri.(Hasanudin, 2001: 18).

Perlindungan bagi pengetahuan tradisional (traditional knowledge) telah menjadi isu yang sangat mendesak bagi Indonesia mengingat sebagaian besar keuntungan ekonomi dari perdagangan internasional mengenai warisan asli (tradisional) dinikmati oleh pihak-pihak asing dan institusi luar yang bukan penduduk asli. Akan tetapi dalam lima tahun terakhir terdapat peningkatan kesadaran atas pentingnya perlindungan bagi pengetahuan tradisional yang dianggap sebagai warisan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap eksploitasi yang semena-mena dari pihak luar, khususnya eksploitasi dengan tujuan komersial. Ada anggapan bahwa untuk hal-hal tertentu, sistem yang ada sekarang ini cenderung memihak mereka yang memiliki teknologi dan mengorbankan pemilik sejati kekayaan intelektual.

(3)

3 Tuntutan untuk adanya perlindungan bagi pengetahuan tradisional merupakan isu baru dalam kaitannya dengan perlindungan HKI. Kemunculannya berawal dengan ditandatanganinya Convention on Biologicial Diversity 1992 (CBD) (Agus Sardjono, 2004: 1). Sejak saat itu berbagai pertemuan tingkat dunia, terutama dalam World Intellectual Property Organization (WIPO) terus diselenggarakan untuk merumuskan sistem perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional tersebut.

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional telah menandatangani kesepakatan World Trade Organization (WTO) dengan cara meratifikasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu pengaturan yang terdapat dalam WTO, yaitu pada Lampiran 1C mengenai Understanding on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (Persetujuan mengenai Aspek-Aspek Dagang yang terkait dengan HKI, termasuk Perdagangan Barang Palsu) yang biasa disingkat dengan Persetujuan TRIPs. Untuk itu pemerintah Indonesia harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan kerangka WTO, khususnya mengenai TRIPs.

Konsekuensi penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan TRIPs membawa pengaruh bagi Indonesia untuk mengakomodasi semua peraturan HKI, yang diatur dalam TRIPS (Point 2 Port 1 Article 1), termasuk undisclosed information yang terdapat dalam Section 7 Article 39 (2) TRIPs Agreement.

(4)

4 Adanya pengaturan HKI dalam Persetujuan TRIPs menyebabkan tidak lagi semata-mata merujuk pada peraturan lokal negara tertentu, tetapi sudah merupakan komitmen dunia (internasional) untuk menciptakan iklim perlindungan yang lebih adil, terjamin dan mempunyai kepastian hukum, sehingga membawa manfaat bagi masyarakat di seluruh dunia terhadap perlindungan karya intelektual mereka. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa berpangkal pada desakan negara-negara maju yang kuat secara ekonomi dan politik, sehingga menghasilkan kesepakatan TRIPs yang isinya masih menunjuk diberlakukannya berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan perlindungan HKI seperti yang tercantum dalam Paragraph 3 Article 1 TRIPs, (Achmad Zen Umar Purba, 2001: 30) yaitu:

a. Paris Convention for the Protection of Industial Property 1967 (disingkat Paris Convention), yang mengatur tentang perlindungan atas Hak Milik Perindustrian yang meliputi perlindungan terhadap penemuan-penemuan baru, merek dagang, dan desain produk industri serta pencegahan-pencegahan terhadap persaingan curang yang berkaitan langsung dengan praktek persaingan curang dalam industri dan perdagangan bukan dalam hak-hak eksklusif. Konvensi ini merupakan Akta Stockholm dari konvensi tertanggal 14 Juli 1967 yang telah direvisi beberapa kali dan terakhir pada Tahun 1979;

b. The Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic 1986 (disingkat Bern Convention), yang mengatur tentang perlindungan terhadap Karya Tulis dan Seni dan merupakan Akta Paris dari konvensi tersebut tertanggal 24 Juli 1971;

c. Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organization (disingkat Rome Convention) yang mengatur tentang perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukan, Prosedur Phonogram, Produsen Rekaman Musik dan Organisasi Siaran yang disepakati di Roma pada tanggal 26 Oktober 1961;

d. Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (disingkat Washington Treaty) adalah traktat tentang HKI atas Integrated Circuits (IPIC Treaty) yang disepakati di Washington pada tanggal 26 Mei 1989 dan mengatur perlindungan produk-produk sirkuit terpadu.

(5)

5 Terkait tentang regulasi dan ketentuan yang khusus mengatur mengenai pengetahuan tradisional, penulis memahami bahwa ketentuan tersebut sebenarnya telah menjadi pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT) dimana isi dari RUU tersebut memberikan perlindungan tidak hanya pengetahuan tradisional namun juga melindungi Ekspresi Budaya Tradisional. Penulis menduga ada sesuatu kepentingan-kepentingan dibalik RUU tersebut yang mengakibatkan RUU tersebut tidak kunjung disahkan. Walau begitu menurut pendapat penulis ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) dapat digunakan sebagai bahan dan bentuk perlindungan terkait dengan pengetahuan tradisional karena pengetahuan tradisional itu sendiri tercipta atas dasar pemikirian dan kreasi dari manusia yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan, budaya, seni maupun sastra. Hal ini selaras dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra”. Oleh karena itu perlindungan terkait dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional secara tidak langsung sebenarnya telah diatur sejalan dengan ketentuan tersebut di atas. Lebih lanjut apabila dilihat dari sistem dari Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang ditetapkan dalam bidang Industri, Ilmu Pengetahuan, sastra dan seni maka secara logis hal tersebut juga merupakan bagian dari pengetahuan tradisional dimana

(6)

6 proses dari pengetahuan tradisional adalah merupakan hasil inovasi maupun kreasi dari manusia baik dari segi pengetahuan, seni dan sastra.

WIPO mendefinisikan pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan yang berbasis pada tradisi (Afrillyanna, Gazalba Saleh dan Andriana Krinawati, 2005: 36) seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi. Pada sisi lainnya menurut Achmad Zen Umar Purba, pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus (Afrillyanna, Gazalba Saleh dan Andriana Krinawati, 2005: 36).

Dalam berbagai kesempatan, telah disampaikan bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas sistem perlindungan HKI di tanah air dan lebih memberdayakan sistem HKI dalam proses pengalihan dan pengembangan teknologi serta peningkatan maupun percepatan pertumbuhan ekonomi, banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Di bidang hukum misalnya, pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan yang lengkap di bidang HKI, yang meliputi Undang-undang Hak Cipta, Undang-undang Paten, Undang-undang Merek, Undang-undang Desain Industri, Undang-undang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-undang Rahasia Dagang, dan Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman. Indonesia pun telah meratifikasi beberapa

(7)

7 konvensi internasional di bidang HKI sebagaimana disyaratkan oleh Perjanjian TRIPs.

Disamping bidang-bidang HKI sebagaimana disebutkan di atas, beberapa bidang HKI seperti Indikasi Geografis, Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge), Sumber Daya Genetika, serta Folklore, masih memerlukan bentuk perlindungan yang tepat dan memadai. Mengingat sifatnya yang berbeda, dimana Hak Cipta, Paten, Merek maupun Desain Industri bentuk perlindungannya bersifat individual, sedangkan Indikasi Geografis, Pengetahuan Tradisional, maupun Sumber Daya Genetika lebih bersifat komunal.

Sebagaimana diketahui, pemanfaatan sumber daya genetis untuk berbagai kepentingan (antara lain sebagai bahan obat, makanan, minuman, pengawet, atau sebagai benih) yang semakin meningkat dengan dukungan perkembangan ilmu di bidang bioteknologi, telah menarik perhatian perusahaan-perusahaan besar di negara maju/berkembang. Namun sayangnya, pembagian keuntungan yang adil, dan pengalihan teknologi yang sungguh-sungguh dari perusahaan besar tersebut ke negara penghasil/penyuplai sumber daya genetis yang umumnya berasal dari negara sedang berkembang sejauh ini dirasa masih belum memadai. Untuk itulah perlu mengembangkan suatu sistem perlindungan yang tepat dan memadai, apakah sistem perlindungannya melalui peraturan perundangan di bidang HKI yang telah ada atau secara sui generis.

Salah satu kelemahan dalam mengembangkan sistem perlindungan terhadap pengetahuan tradisional adalah sangat terbatasnya data, dokumentasi, dan

(8)

8 informasi mengenai pengetahuan tradisional yang sebenarnya telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Tidak adanya dokumen tertulis mengenai pengetahuan tradisional ini telah menjadi salah satu sebab diberikannya paten oleh kantor paten dengan pertimbangan tidak adanya dokumen pembanding (prior art) yang dapat menggugurkan invensi yang bersangkutan. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi masyarakat asli/setempat (indigenous people) selaku pemilik pengetahuan tradisional tersebut.

Berbicara mengenai HKI, perlu dipahami kembali bahwa HKI bukan masalah perlindungan hukum semata. HKI juga terkait erat dengan alih teknologi, pembangunan ekonomi dan martabat bangsa. Dalam suatu hasil kajian yang dilakukan oleh WIPO dinyatakan bahwa HKI merupakan sebuah kekuatan yang dapat dipergunakan untuk memperkaya kehidupan seseorang dan masa depan suatu bangsa secara material, budaya dan sosial (Hamid Awaluddin, 2005: 6). Dengan demikian, pengembangan sistem HKI nasional sebaiknya tidak hanya dilakukan dengan pendekatan hukum (legal approach) tapi juga dengan pendekatan teknologi dan bisnis (business and technological approach) (Hamid Awaluddin, 2005: 6).

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, jelas pula bahwa pengembangan sistem HKI nasional bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab satu instansi, dalam hal ini Direktorat Jenderal HKI, tapi juga perlu didukung oleh berbagai pihak. Jalinan kerja sama dan koordinasi yang baik dengan berbagai instansi pemerintah terkait dan juga kalangan swasta akan sangat membantu pencapaian

(9)

9 tujuan sistem HKI nasional. Hal yang tidak kalah penting adalah partisipasi masyarakat yang semakin memahami dan sadar akan keberadaan dan pentingnya HKI.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk menulis dalam bentuk tesis dengan judul sebagai berikut: “Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional sebagai Salah Satu Karya Cipta Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan tesis adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sistem perlindungan hukum mengenai pengetahuan tradisional

dapat diterapkan di masyarakat menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?

2. Apakah yang menjadi kendala bagi Indonesia sehingga belum menerapkan konsep benefit sharing terhadap pengetahuan tradisional dan bagaimana cara mengatasinya?

C. Keaslian Penelitian

Menurut pengetahuan peneliti, bahwa penelitian tentang Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional sebagai Salah Satu Karya Cipta Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, belum pernah dilakukan. Peneliti telah melakukan penelusuran baik di Perpustakaan Fakultas

(10)

10 Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dan sumber-sumber lainnya, termasuk Internet. Apabila ternyata pernah dilakukan penelitian serupa, maka hasil penelitian ini dapat melengkapi dengan tidak mengurangi materi penelitian yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini.

Adapun beberapa peneliti yang hasil penelitiannya telah dipublikasikan mengenai hak cipta, khususnya Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional sebagai berikut:

1. Zainal Daulay, dengan judul buku (dari disertasi) Pengetahuan Tradisional Konsep Dasar Hukum dan Praktiknya, penerbit PT Radja Grafindo Persada Jakarta 2011. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada warisan budaya dan sumber daya, dan difokuskan pada pengetahuan obat tradisional, dan bentuk-bentuk perlindungan baik skala nasional maupun internasional serta pengaturan perlindungan pengetahuan obat tradisional dibeberapa negara. 2. Agus Sardjono, judul disertasi yang telah dijadikan buku, diterbitkan oleh

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta pada tahun 2004 dengan judul Pengetahuan Tradisional, Studi Mengenai Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual atas Obat-obatan.

Dalam disertasinya dikatakan bahwa tuntutan adanya perlindungan bagi pengetahuan tradisional, termasuk bidang obat-obatan, muncul dengan ditandatanganinya Convention on Biological Diversity 1992 (CBD). Sejak saat itu berbagai pertemuan tingkat dunia, terutama dalam kerangka World Intellectual Property Organisation (WIPO) terus diselenggarakan untuk merumuskan sistem perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional tersebut. Indonesia sebagai negara peserta CBD dan anggota WIPO belum memiliki perundang-undangan yang dapat diterapkan untuk melindungi pengetahuan tradisional.

(11)

11 Penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan pengetahuan tradisional Indonesia, khususnya di bidang obat-obatan menjadi penting, setidak-tidaknya karena tiga alasan, yaitu (1) keuntungan ekonomi, (2) keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan (3) perlunya perlindungan hak masyarakat lokal.

3. Cita Citrawinda Priapantja, dalam bukunya mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual Tantangan Masa depan, Penerbit Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2003, dalam pembahasannya mengatakan sebagai berikut:

Isu HKI yang berkaitan dengan sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan folklore telah muncul pada berbagai bidang kebijakan termasuk makanan dan pertanian, keanekaragaman hayati dan lingkungan, hak asasi manusia, kebudayaan, perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pada sistem HKI, ciptaan-ciptaan, inovasi-inovasi dan inovasi-inovasi yang dilindungi sebagian besar berasal dari negara-negara maju; Bagi Indonesia perlindungan terhadap hal ini masih hanya sebatas pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dari ketiga peneliti di bidang HKI tersebut penulis berkesimpulan bahwa menyangkut perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional belum secara lengkap khusus diatur secara tersendiri. Hal ini dimungkinkan karena Pemerintah kurang serius dalam hal pengaturan tersendiri tentang perlindungan hukumnya, untuk ke depan seiring dengan telah diratifikasinya WTO, dan sistem pendaftaran HKI didasarkan pada siapa yang mendahului mendaftar, maka kiranya hal ini harus diperhatikan secara serius agar semua hasil ciptaan masyarakat tidak didaftar atau dimiliki oleh warga negara asing. Mengingat globalisasi saat ini keberadaan badan hukum asing di suatu wilayah tidak dapat dihindari lagi, seperti halnya badan-badan asing yang melakukan riset di bidang IPTEK untuk kemakmuran bangsa, walaupun dijalankan dengan tujuan-tujuan tertentu.

(12)

12 Dari ketiga penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas, maka perbedaan yang dibahas dalam penelitian ini adalah dalam hal ketegasan pemerintah mengenai pengaturan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dengan Undang-undang, kemudian di dalam Undang-undang tersebut harus pula mengatur tentang bentuk pembagian keuntungan yang jelas antara pemilik maupun dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dengan pihak-pihak asing maupun swasta nasional yang menggunakan/ memproduksi/memperbanyak karya-karya hasil dari masyarakat tradisional tersebut.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji sistem perlindungan hukum mengenai

pengetahuan tradisional dapat diterapkan di masyarakat berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; dan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala Indonesia dalam menerapkan konsep benefit sharing terhadap pengetahuan tradisional dan cara mengatasinya.

E. Kegunaan Penelitian

(13)

13 1. Secara teori dapat menambah wacana hukum tentang Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional sebagai Salah Satu Karya Cipta Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, hal ini dapat dimaklumi bahwa hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional secara memadai serta belum secara khusus diatur dalam undang-undang tersendiri; dan

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang ingin lebih mengembangkan/mendalami penelitian ini.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Pada pembahasan tesis ini penulis memberikan batasan waktu penelitian terkait peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam kurun waktu tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Apabila ada peraturan baru yang mengganti peraturan di dalam penelitian ini maka peraturan yang baru tersebut tidak digunakan sebagai pembahasan dalam penelitian ini.

BAB II

Referensi

Dokumen terkait

PT Hadji Kalla (Toyota) Cabang Pinrang telah menerapkan Sistem Informasi Akuntansi Penjualan yang cukup baik, dengan digunakannya formulir, catatan, prosedur, laporan, sumber

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Utami dkk (2013) yang berjudul “ Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dismenorea Pada Remaja Putri Di Sman 1 Kahu

Untuk analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove yang mengacu pada Adrianto (2006) yaitu: (1) Nilai manfaat langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan

Keberadaan suatu kawasan perumahan sedikit banyaknya akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya dari suatu wilayah. Selain dikarenakan adanya aktifitas dari warga perumahan,

permasalahan setara yang akan dibahas siswa dalam kelas. Tahap 3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. 1) Guru memberi kesempatan luas kepada siswa untuk berfikir

Selain menggunakan bantuan ilmu sosial untuk mengontrol penerapan hukum, penulis juga berpendapat bahwa diperlukan peraturan pertanahan khusus yang mengatur tentang status

Selain itu, hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya komposisi dewan komisaris dengan aspek keahlian akuntansi maupun perpajakan yang memadai untuk

issue memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan kurs rupiah terhadap harga saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Ramya & Right issue Event study, t Right issue Bhuvaneshwari dan Harga