• Tidak ada hasil yang ditemukan

Welly Wiliarni, Priyo Wahyudi, Priyanto Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Welly Wiliarni, Priyo Wahyudi, Priyanto Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

UJI RESISTENSI Staphylococcus aureus DARI PASIEN INFEKSI KULIT DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI TANGERANG BANTEN TERHADAP OKSASILIN,

VANKOMISIN, KLINDAMISIN, DAN LEVOFLOKSASIN

SUSCEPTIBILITY TEST OF Staphylococcus aureus OF SKIN INFECTION PATIENTS AT SILOAM HOSPITAL KARAWACI TANGERANG BANTEN AGAINST OXACILLIN,

VANCOMYCIN, CLINDAMYCIN, AND LEVOFLOXACIN Welly Wiliarni, Priyo Wahyudi, Priyanto

Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta

ABSTRAK

Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab penyakit infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri diterapi menggunakan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang irrasional dan intensif dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk tidak terbunuh atau tidak terhambat pertumbuhannya oleh antibiotika. Uji resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri terhadap antibiotika, sehingga pengobatan efektif dan tepat guna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resistensi S. aureus patogen infeksi kulit dari pasien infeksi kulit terhadap beberapa antibiotika pilihan terapi. Isolat S. aureus berasal dari pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Uji penentuan resistensi bakteri dilakukan dengan metode difusi cakram. Antibiotika yang digunakan yaitu oksasilin, vankomisin, klindamisin dan levofloksasin. Analisis data dengan membandingkan diameter zona bening di sekitar cakram antibiotika uji dengan diameter zona hambat standar CLSI 2007. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi resistensi S. aureus terhadap oksasilin 40%, vankomisin 40%, klindamisin 50%, dan levofloksasin 50%.

Kata Kunci: Staphylococcus aureus, infeksi kulit, resistensi, antibiotika ABSTRACT

Staphylococcus aureus is a bacteria that cause infectious diseases. Infections caused by bacteria treated with antibiotics. Irrational use of antibiotics and intensive application might cause resistance. Resistance is the ability of bacteria to not killed or inhibited by antibiotics. This study aim at determining the resistance pattern of S. aureus to oxacillin, vancomycin, clindamycin, and levofloxacin. The bacteria that isolated from skin infection patients at Siloam Hospital Karawaci Tangerang Banten on period of Desember 2013-January 2014. Disc diffusion method was used in this study. Diameter of inhibition zone measure and compared to CLSI 2007. The result showed that S. aureus already resisted to oxacillin 40%, to vancomycin 40 %, to clindamycin 50%, and to levofloxacin 50%.

(2)

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia (Mardiastuti dkk. 2007). Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan, prevalensi dan jumlah kasus penyakit infeksi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain (Anonim 2011). Di Indonesia, penyakit infeksi merupakan penyakit utama dan penyebab kematian pertama (Priyanto 2010). Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan penyakit infeksi (Mardiastuti dkk. 2007). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, mulai dari infeksi yang ringan sampai infeksi yang mengancam jiwa dan fatal. Berbagai infeksi yang dapat ditimbulkan oleh S. aureus seperti infeksi kulit, perikarditis, osteomielitis, artritis septik, endokarditis, dan sindrom syok toksik (Garna 2012).

Menurut profil kesehatan Kabupaten Tangerang, gangguan lain kulit dan jaringan lunak termasuk 20 besar penyakit di Kabupaten Tangerang tahun 2010 (Anonim 2010). Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten merupakan salah satu rumah sakit yang berada di Kabupaten Tangerang. Penyakit infeksi kulit menjadi perhatian di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang, karena banyaknya jumlah pasien infeksi kulit yang disebabkan S. aureus.

Antibiotika sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi (Utami 2012). Obat pilihan pertama terapi antibiotika untuk penyakit infeksi oleh S. aureus adalah penisilin, sedangkan obat alternatif adalah sefalosporin generasi pertama, vankomisin (Katzung 2010), imipenem, meropenem, fluorokuinolon dan klindamisin (Brooks et al. 2007). Intensitas penggunaan antibiotika yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika (Kemenkes 2011). Resistensi adalah kemampuan suatu bakteri untuk tidak terbunuh atau tidak terhambat

pertumbuhannya oleh suatu antibiotika (Priyanto 2010).

Masalah resistensi ini menjadi serius karena selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat (Kemenkes 2011). Uji resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri terhadap antibiotika, sehingga pengobatan yang dilakukan akan efektif dan tepat guna.

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian uji resistensi S. aureus dari isolat pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten, untuk mengetahui persentase resistensi S. aureus terhadap beberapa antibiotika pilihan terapi

BAHAN DAN METODE

Sebanyak sepuluh isolat bakteri S. aureus yang digunakan berasal dari pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten. Medium uji adalah Nutrient Agar (Merck) dan Mueller Hinton Agar (Acumedia). Cakram antibiotika yang digunakan adalah oksasilin 1 µg (Oxoid), vankomisin 30 µg (Becton), klindamisin 2 µg (Oxoid), levofloksasin 5 µg (Oxoid). Bahan lain yang digunakan yaitu pewarna Gram, etanol 70%, NaCl fisiologis 0,9%, akuadest. Pengambilan Isolat Bakteri

Isolat bakteri S. aureus diambil secara acak dari pus dan darah 10 pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Pembiakan Isolat Bakteri

Satu ose biakan bakteri S. aureus stok isolat dari Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten diinokulasi dengan menggunakan jarum ose, kemudian dipindahkan ke dalam medium NA pada cawan Petri dengan cara digores. Diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam dalam inkubator. Dilakukan pengamatan makroskopis terhadap S. aureus pada cawan Petri tersebut. Sebanyak satu ose biakan bakteri S. aureus dari cawan Petri diinokulasikan dengan menggunakan jarum

(3)

ose ke medium NA miring dengan cara digores. Diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam dalam inkubator.

Pembuatan Suspensi Bakteri

Pembuatan suspensi bakteri sesuai dengan Mc Farland 0,5. Satu ose isolat bakteri S. aureus diambil, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi larutan fisiologis NaCl, dihomogenkan dan dibiarkan selama beberapa menit. Kekeruhan suspensi disesuaikan secara visual dengan larutan Mc Farland 0,5 (merupakan standar untuk bakteri).

Penetapan Resistensi Isolat S. aureus Terhadap Antibiotika

Pengujian resistensi S. aureus patogen infeksi kulit terhadap beberapa antibiotika dilakukan dengan menggunakan metode difusi. Diambil sebanyak 20 ml Mueller Hinton Agar dimasukkan ke dalam cawan Petri, dibiarkan menjadi padat. Secara aseptis, sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri dipindahkan ke medium agar dengan menggunakan mikro pipet. Suspensi bakteri diratakan menggunakan spatel Drugalsky, dibiarkan

beberapa menit. Masing-masing cakram antibiotika oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin diletakkan di atas medium agar dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Dilakukan tiga kali pengulangan pada cawan Petri yang berbeda. Pengamatan zona hambat antibiotika uji terhadap pertumbuhan S. aureus dilakukan setelah 24 jam inkubasi. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona bening di luar cakram tersebut dengan jangka sorong. Koloni bakteri yang sensitif terhadap antibiotika dilihat dengan adanya zona hambatan berupa daerah bening di sekitar cakram antibiotika. Diameter daerah bening diukur dengan jangka sorong. Sensitivitas kuman terhadap antibiotika ditentukan oleh diameter zona hambat yang terbentuk dalam millimeter (mm). Semakin besar diameter maka semakin terhambat pertumbuhan kuman. Hasil uji ini dirujuk dengan tabel CLSI 2007 (tabel 1) untuk menentukan susceptible (S), intermediate (I) atau resistant (R).

Tabel 1. Diameter Zona Hambat Standar Menurut CLSI Untuk Bakteri Staphylococcus aureus

No Antibiotika Disk content

Diameter zona hambat (mm) Resistant Intermediate Susceptible

1 Oksasilin 1 µg ≤ 10 11–12 ≥ 13

2 Vankomisin 30 µg - - ≥ 15

3 Klindamisin 2 µg ≤ 14 15-20 ≥ 21

4 Levofloksasin 5 µg ≤ 15 16-18 ≥ 19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Makroskopis dan Mikroskopis Isolat S. aureus

Isolat S. aureus yang digunakan diperoleh dari pus dan darah pasien infeksi kulit yang telah diisolasi di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Isolat S. aureus dipindahkan ke medium NA miring, untuk mengurangi kontaminasi dan untuk memudahkan proses pengerjaan. Medium NA digunakan karena merupakan medium yang paling umum dalam mikrobiologi yang menunjang pertumbuhan sebagian besar mikroba (Waluyo 2010).

Karakteristik mikroskopis isolat S. aureus dilakukan dengan pewarnaan Gram. Menurut Waluyo (2010), pewarnaan Gram merupakan tahap penting untuk membedakan bakteri yang satu dengan bakteri yang lain, memudahkan melihat mikroba pada mikroskop, dan untuk mengetahui struktur bakteri uji yang digunakan, sehingga pewarnaan Gram dapat dilakukan sebagai salah satu tahap identifiksi bakteri dan memastikan tidak terjadi kontaminasi pada isolat bakteri. Berikut adalah hasil karakteristik makroskopis dan mikroskopis isolat S. aureus pada media pertumbuhan NA (tabel 2).

(4)

Pada pengatamatan makroskopis, 10 isolat S. aureus yang tumbuh pada medium NA berbentuk bulat kecil dan berwarna kuning. Hasil ini sesuai dengan Brooks et al. (2007), koloni S. aureus pada medium padat berbentuk bulat dan membentuk koloni kuning emas. Bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram positif. Pada pengamatan mikroskopis di mikroskop perbesaran 640

kali, terlihat bahwa 10 isolat bakteri S. aureus yang telah diwarnai berwarna ungu yang menandakan S. aureus termasuk bakteri Gram positif, berbentuk kokus atau bulat dan dan berkoloni cenderung berkelompok menyerupai buah anggur. Hasil ini sesuai dengan Radji (2010), S. aureus berbentuk bulat, dan koloni mikroskopik cenderung berbentuk menyerupai buah anggur.

Tabel 2. Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat S. aureus dari Pasien Infeksi Kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten

No Isolat Ciri Makroskopis Ciri Mikroskopis

Bentuk Warna Bentuk Warna (Gram)

1 SA1 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

2 SA2 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

3 SA3 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

4 SA4 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

5 SA5 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

6 SA6 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

7 SA7 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

8 SA8 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

9 SA9 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

10 SA10 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif)

Tabel 3. Rerata Zona Hambat dan Kategori Kepekaan Isolat S. aureus dari Pasien Infeksi Kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten terhadap Antibiotika Oksasilin, Vankomisin, Klindamisin, dan Levofloksasin

No Isolat Rerata Zona Hambat (mm) dan Kategori Sensitivitas Oksasilin Vankomisin Klindamisin Levofloksasin 1 1 14,65 ( S ) 23,43 ( S ) 13,40 ( R ) 28,91 ( S ) 2 2 4,97 ( R ) 3,47 ( R ) 4,58 ( R ) 3,32 ( R ) 3 3 15,33 ( S ) 5,40 ( R ) 3,63 ( R ) 5,72 ( R ) 4 4 10,43 ( R ) 13,41 ( R ) 21,70 ( S ) 13,29 ( R ) 5 5 3,42 ( R ) 14,13 ( R ) 8,27 ( R ) 8,18 ( R ) 6 6 14,55 ( S ) 16,35 ( S ) 1,37 ( R ) 28,29 ( S ) 7 7 20,75 ( S ) 17,24 ( S ) 25,40 ( S ) 29,12 ( S ) 8 8 21,64 ( S ) 15,92 ( S ) 26,40 ( S ) 26,85 ( S ) 9 9 18,84 ( S ) 15,47 ( S ) 26,00 ( S ) 27,06 ( S ) 10 10 5,71 ( R ) 20,37 ( S ) 30,40 ( S ) 7,34 ( R ) Persentase (%) R : 40% 40% 50% 50% I : 0% 0% 0% 0% S : 60% 60% 50% 50%

Ket: R (resisten), I (intermediet), S (sensitif)

Hasil Penetapan Resistensi Isolat S. aureus Terhadap Antibiotika

Uji resistensi dilakukan pada medium Mueller Hinton Agar yang merupakan

medium yang sensitif karena kaya nutrisi, sehingga cocok untuk menguji sensitivitas mikroorganisme (Safitri dan Novel 2010). Antibiotika uji yang digunakan adalah

(5)

oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin karena merupakan antibiotika pilihan yang digunakan pada terapi infeksi kulit oleh S. aureus. Uji resistensi dilakukan dengan menggunakan metode difusi (tes Kirby & Bauer) karena merupakan metode untuk menentukan aktivitas antibiotika. Antibiotika pada disk cakram akan berdifusi ke medium agar dan menghambat pertumbuhan S. aureus. Terhambatnya pertumbuhan S. aureus dilihat dengan adanya zona bening yang terbentuk di sekitar cakram antibiotika (Brooks et al. 2007). Zona bening yang terbentuk di ukur diameternya dan di bandingkan dengan standar pengukuran bagi masing-masing antibiotika yang di tetapkan CLSI untuk mengetahui kategori sensitivitas isolat S. aureus. Data pengukuran diameter zona hambat antibiotika dapat dilihat pada lampiran 5. Berikut adalah hasil kategori sensitivitas S. aureus terhadap antibiotika uji (tabel 3).

Dari pengujian resistensi isolat S. aureus terhadap antibiotika, didapatkan hasil: sebanyak 6 isolat (SA1, SA3, SA6, SA7, SA8 dan SA9) sensitif terhadap oksasilin, sedangkan 4 isolat lainnya resisten (SA2, SA4 SA5 dan SA10). Isolat S.aureus yang sensitif terhadap vankomisin sebanyak 6 isolat (SA1, SA6, SA7, SA8, SA9, SA10) dan 4 isolat lainnya (SA2, SA3, SA4, SA5) resisten. Terhadap klindamisin, sebanyak 5 isolat sensitif (SA4, SA7, SA8, SA9, SA10) dan 5 isolat lainnya resisten (SA1, SA2, SA3, SA5, SA6). Sebanyak 5 isolat sensitif terhadap levofloksasin (SA1, SA6, SA7, SA8, SA9), dan 5 isolat lainnya resisten (SA2, SA3, SA4, SA5, SA10).

Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa isolat SA1 sensitif terhadap oksasilin, vankomisin dan levofloksasin, namun resisten terhadap klindamisin. Resistensi isolat S. aureus terhadap antibiotika uji tertinggi terlihat pada isolat SA2 dan isolat SA5, isolat telah resisten terhadap semua antibiotika uji (oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin). Pada isolat SA3, isolat resisten terhadap 3 antibiotika uji (vankomisin, klindamisin dan levofloksasin) dan sensitif terhadap oksasilin. Pada isolat SA4, isolat sensitif terhadap klindamisin, namun telah

resisten terhadap oksasilin, vankomisin dan levofloksasin. Pada isolat SA6, isolat sensitif terhadap oksasilin, vankomisin dan levofloksasin dan resisten terhadap klindamisin. Sensitivitas isolat S. aureus terhadap antibiotika uji tertinggi terlihat pada isolat SA7, SA8, SA9, yang sensitif terhadap semua antibiotika uji (oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin). Isolat SA10 resisten terhadap oksasilin dan levofloksasin, sensitif terhadap vankomisin dan klindamisin.

Antibiotika uji yang digunakan merupakan obat pilihan pertama yaitu oksasilin, dan obat alternatif: vankomisin (Katzung 2010), klindamisin, dan levofloksasin (Brooks et al. 2007), untuk pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus. Berdasarkan uji resistensi, didapatkan hasil persentase resistensi antibiotika oksasilin dan vankomisin sebesar 40%. Namun hasil persentase resistensi isolat S. aureus lebih tinggi terhadap klindamisin dan levofloksasin, yaitu sebesar 50%.

Adanya peningkatan tingkat resistensi isolat S. aureus terhadap obat pilihan alternatif (vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin), serta terjadinya perbedaan sensitivitas dari masing-masing isolat S. aureus terhadap antibiotika uji disebabkan karena penggunaan antibiotika yang meluas, kurang tepat (irrasional) serta intensitas penggunaan yang tinggi, seperti penggunaan obat yang terlalu singkat, dosis yang digunakan terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, pemilihan antibiotika yang keliru pada pengobatan infeksi terhadap bakteri yang telah resisten, tingkat kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, dan penggunaan antibiotika pada keadaan yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotika (Utami 2012).

Oksasilin merupakan antibiotika golongan β-laktam dan merupakan obat pilihan pertama pada pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus. Mekanisme kerja penisilin menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam sintesis dinding sel. Ada 4 mekanisme resistensi terhadap laktam yaitu: (1) inaktivasi antibiotika oleh β-laktamase, (2) modifikasi Penicillin-Binding-Protein (PBP) target, (3) gangguan penetrasi

(6)

obat untuk mencapai PBP sasaran, dan (4) efluks (Katzung 2010).

Vankomisin termasuk antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Mekanisme kerja vankomisin dengan berikatan secara kuat pada ujung D-Ala-D-Ala pada pentapeptida peptidoglikan yang baru terbentuk, sehingga menghambat reaksi transglikosilasi, yang mencegah elongasi peptidoglikan lebih lanjut serta ikatan silang. Resistensi S. aureus terhadap vankomisin karena adanya perubahan PBP, yaitu modifikasi tempat ikatan D-Ala-D-Ala pada peptidoglikan. Pada keadaan ini ujung D-Ala digantikan oleh D-laktat atau D-Ser.

Perubahan ikatan ini menyebabkan hilangnya ikatan hidrogen yang memfasilitasi tingginya afinitas ikatan vankomisin dengan target, sehingga aktivitas vankomisin hilang (Katzung 2010).

Pada klindamisin, mekanisme kerja dengan menghambat sintesis protein pada bakteri (Brunton et al. 2010). Resistensi terhadap klindamisin terjadi melalui mekanisme: (1) mutasi lokasi reseptor ribosomal, (2) modifikasi reseptor oleh metilase yang diekspresikan secara konstitutif, dan (3) inaktivasi klindamisin oleh enzimatik (Katzung 2010).

Tabel 4. Mekanisme Aktivitas dan Mekanisme Resistensi Antibiotika Antibiotika Golongan Mekanisme Kerja Mekanisme Resistensi

Oksasilin Β-laktam (Penisilin)

Menghambat sintesis dinding sel dengan mengganggu reaksi peptidasi

(1) Inaktivasi antibiotika oleh β-laktamase

(2) Modifikasi

Penicillin-Binding-Protein (PBP)

target

(3) Gangguan penetrasi obat untuk mencapai PBP sasaran (4) Efluks

Vankomisin Vankomisin

Menghambat sintesis dinding sel dengan menghambat transglikosilase

Perubahan pada target bakteri (perubahan PBP), yaitu perubahan target D-Ala-D-Ala menjadi D-Ala-D-Laktat atau D-Ala-D-Ser

Klindamisin Klindamisin

Menghambat sintesis protein pada bakteri dengan menghambat perpindahan rantai asam amino yang baru dengan tRNA-nya bergeser dari lokasi akseptor ke lokasi peptidil

(1) Mutasi lokasi reseptor ribosomal

(2) Modifikasi reseptor oleh metilase yang diekspresikan secara konstitutif

(3) Inaktivasi klindamisin oleh enzimatik

Levofloksasin Fluorokuinolon

Menghambat sintesis DNA mikroba dengan menghambat DNA gyrase dan Topoisomerase IV

(1) Membuat target menjadi tidak sensitif (mutation

ofgyrase genes)

(2) Pengeluaran antibiotika secara aktif (active efflux)

Levofloksasin merupakan antibiotika golongan fluorokuinolon. Mekanisme kerja fluorokuinolon yaitu menghambat sintesis DNA mikroba (Brooks et al. 2007), melalui penghambatan DNA girase dan topoisomerase IV. Menurut Sudoyo dkk.

(2006), resistensi terhadap fluorokuinolon terjadi dengan membuat target menjadi tidak sensitif melalui mutasi gen kromosom bakteri yang mengode DNA girase (mutation ofgyrase genes) dan pengeluaran antibiotika

(7)

dari bakteri melalui transpor aktif (active efflux).

Satu bakteri yang telah resisten terhadap suatu antibiotika bisa menyebar dari satu orang ke orang lain, sehingga memperbesar potensinya dalam proporsi epidemik. Penyebaran ini dipermudah oleh lemahnya kontrol infeksi dan penggunaan antibiotika yang luas. Penggunaan antibiotika di rumah sakit harus dilakukan dengan tepat (rasional) dan hati-hati dengan melibatkan diagnosis klinik dan bakteriologik untuk menegaskan diagnosa serta melakukan pemantauan pola kepekaan bakteri secara berkala dan berkesinambungan sebagai pedoman pemberian antibiotika pada pengobatan infeksi. Pencegahan terhadap resistensi dapat dilakukan dengan cara: menggunakan antibiotika kombinasi untuk mengurangi timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotika, menjaga kebersihan terutama pada tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien untuk mencegah penularan galur baru yang telah resisten, dan edukasi terhadap pasien (Utami 2012).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil uji resistensi bakteri S. aureus dari pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten terhadap antibiotika pilihan terapi, menunjukkan telah terjadi resistensi terhadap oksasilin sebesar 40%, terhadap vankomisin sebesar 40%, terhadap klindamisin sebesar 50% dan terhadap levofloksasin sebesar 50%.

UCAPAN TERIMA KASIH:

Terimakasih kepada Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten yang telah menyediakan isolat untuk diuji pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Tangerang 2010. Tangerang: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang; Hlm. 12.

Anonim. 2011. Infeksi Sulit Dieliminasi. http://nasional.kompas.com/read/2011 /12

/20/03304966/.Infeksi.Sulit.Dielimina si. Diakses 8 oktober 2014.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick dan Adelberg. Edisi 23, Terjemahan: Elferia RN, Ramadhani D, Karolina S, Indriyani F, Rianti SSP, Yulia P. EGC, Jakarta. Hlm. 166-167, 266-267.

Brunton LL, Parker KL, Blumenthal D, Buxton I. 2010. Goodman and Gilman Manual Farmakologi dan Terapi, Terjemahan: Manurung J, Aini N, Hadinata AH, Fazriyah Y, Vidhayanti H. EGC, Jakarta. Hlm. 675, 693, 698, 706-707, 709.

Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI). 2007. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Testing. Seventeenth Informational Suplement. Wayne, Pa. hlm 18-22, 44-51.

Garna H. 2012. Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Sagung Seto, Jakarta. Hlm. 687-690.

Katzung BG. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10, Terjemahan: Nirmala WK, Yesdelita N, Susanto D, Dany F. EGC, Jakarta. Hlm. 748-749, 756, 759-762, 857.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; Hlm. 8-9.

Mardiastuti HW, Anis K, Ariyani K, Ikaningsih, Retno K. 2007. Emerging Resistance Pathogen: Situasi Terkini di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, 57(3) : 75-79. Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar untuk

Mahasiswa Farmasi dan

Keperawatan. Edisi 2. Leskonfi, Depok. Hlm 84.

Radji M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi: Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. EGC, Jakarta. Hlm. 179-181,184, 186,189-190.

(8)

Safitri R, Novel SS. 2010. Medium Analisis Mikroorganisme (Isolasi dan Kultur). Trans Info Media, Jakarta. Hlm 46. Sudoyo AW, Setiyohadi B. Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Indonesia, Jakarta. Hlm. 1700-1701, 1703.

Utami ER. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Malang. Sainstis, 1 (1): 124-125, 127, 131.

Waluyo L. 2010. Teknik dan Metode Dasar Mikrobiologi. UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Hlm 89-92, 133.

Referensi

Dokumen terkait

pengaruh faktor formulasi terhadap profil disolusi dan nilai AUC total berdasarkan data yang diperoleh (C6, A4, P5) orang-orang yang mau berpikir Perkuliahan di awali

Mahasiswa mampu melakukan pemisahan protein dari cairan biologi dengan menggunakan larutan garam divalen konsentrasi tinggi (salting out).. (A3, C3,

 Ketepatan dalam memahami cara preparasi sampel dan analisis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Bentuk Penilaian :

Mampu menjelaskan produk ophtalmik: sediaan mata, pembagian sediaan mata, anatomi saluran mata, karakteristik komponen sediaan mata, sediaan mata bentuk larutan dan dispersi,

Pada mata kuliah ini mahasiswa belajar tentang metode numerik secara umum, deret taylor dan analisis galat dan menggunakan beberapa metode penyelesaian masalah berdasarkan

Walaupun penentuan oleh Sanger mengenai urutan dari 51 residu asam amino dalam insulin mengantarkankita pada era perangkaian protein, namun kemajuan teknologi

Berdasarkan hasil penelitian Sudjono (2010) di populasi umum di wilayah Yogyakarta menunjukkan beberapa faktor risiko yang memiliki hubungan dengan toksoplasmosis, antara lain

Konsekuensi lanjutan dari hasil ini adalah pengujian korelasi pada convergent-discriminant serta uji reliabilitas split half akan menggunakan teknik korelasi