59 BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai modus operandi tindak
kecurangan yang diungkap oleh Direktorat Investigasi Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) di Instansi Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah, serta metode deteksi dalam proses audit investigasi tindak
kecurangan tersebut. Tindak kecurangan yang dibahas adalah kasus-kasus kecurangan
atau penyimpangan yang diungkap oleh Direktorat Investigasi BPKP pada tahun 2009
dikarenakan kasus sudah tuntas dalam proses hukum sehingga tidak ada lagi
perkembangan atau tindak lanjut.
Pembahasan pada tindak kecurangan di Instansi Pemerintah diawali dengan
pengelompokan data atas keseluruhan kasus kecurangan yang diungkap oleh Direktorat
Investigasi BPKP yaitu pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset, pengeluaran
anggaran, dan pengelolaan utang. Kemudian pembahasan lebih mendalam mengenai
jenis kecurangan dan modus operandi yang terdapat di tiap 3 kelompok tersebut, serta
metode deteksi yang dilakukan oleh auditor investigasi BPKP. Terakhir adalah
pembahasan atas jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak kecurangan di
Instansi Pemerintah.
Pembahasan pada tindak kecurangan di BUMN dan BUMD diawali dengan
pengelompokan data atas keseluruhan kasus kecurangan yang diungkap oleh Direktorat
Investigasi BPKP yaitu pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset, pengeluaran
anggaran, dan kecurangan pada laporan keuangan. Kemudian pembahasan lebih
60
kelompok tersebut, serta metode deteksi yang dilakukan oleh auditor investigasi BPKP.
Terakhir adalah pembahasan atas jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak
kecurangan di BUMN dan BUMD.
IV.1 Tindak Kecurangan di Instansi Pemerintah
Berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus kecurangan di Instansi Pemerintah
yang diungkap oleh Direktorat Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap
keuangan dan pembangunan negara, tindak kecurangan di instansi pemerintah secara
garis besar dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kecurangan terhadap
penerimaan anggaran dan pengelolaan asset, pengeluaran anggaran pengadaan barang
dan jasa, serta non pengadaan barang dan jasa (pengeluaran anggaran biaya rutin dan
khusus), dan pengelolaan utang. Yang dimaksud Instansi Pemerintah adalah satuan
organisasi kementerian/departemen, lembaga pemerintah non departemen dan
kesekretariatan lembaga tinggi negara.
BPKP menjelaskan bahwa kecurangan yang terjadi di Instansi Pemerintah dapat
berupa kecurangan dalam penerimaan anggaran baik anggaran pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Kecurangan dalam penerimaan anggaran adalah tindakan yang
mengakibatkan sisi penerimaan keuangan Negara maupun Daerah tidak sepenuhnya
diterima oleh Rekening Kas Negara. Hal tersebut dapat berupa hilangnya
sumber/kekayaan Negara dan penerimaan sumber/kekayaan yang jumlahnya lebih kecil
dari yang seharusnya diterima. Penerimaan Negara berupa penerimaan perpajakan untuk
pajak non migas dan pajak minyak dan gas alam, serta bea dan cukai. Penerimaan kas
61
retribusi. Selain itu, penerimaan keuangan pemerintah juga berasal dari penerimaan
bukan pajak, yaitu dapat berupa pendapatan pertambangan umum dan pendapatan
kehutanan. Penerimaan Negara bukan pajak dapat berupa hasil penjualan atau sewa
aktiva milik Negara/Dearah, penerimaan selisih kurs mata uang asing, dan potongan atau
diskon untuk Negara.
Tindak kecurangan pada pengeluaran anggaran Negara/Daerah meliputi
penyimpangan atas kegiatan pembayaran yang dikeluarkan dari anggaran belanja
pemerintah. Dalam pengeluaran rutin penyimpangan yang sering terjadi adalah
pembayaran ganda, biaya perjalanan fiktif, pengeluaran tanpa bukti
pertanggung-jawaban, pengeluaran tidak sesuai dengan mata anggaran, dan pengeluaran pribadi yang
dibebankan ke pengeluaran Negara. Pada pengeluaran pembangunan penyimpangan
yang terjadi dapat berupa pengadaan barang dan jasa maupun non barang dan jasa.
Penyimpangan tersebut terdapat di seluruh tahapan kegiatan pengadaaan dari tahap
perencanaan yang meliputi kegiatan pembentukan panitia, dokumen pengadaan,
penentuan persyaratan peserta lelang dan pendaftaran, tahap pelaksanaan yang meliputi
pengumuman lelang, penjelasan, dan pembukuan dokumen, hingga tahap penetapan
pemenang lelang. Selain kecurangan pengeluaran anggaran pada pengadaan tindak
kecurangan lainnya dapat terjadi pada dana perimbangan, yaitu kecurangan atas
penentuan alokasi dana, penempatan dana, pengunaan dana alokasi umum.
Pada pengelolaan asset, kecurangan yang terjadi mengakibatkan hilangnya hak
Negara/Daerah yang seharusnya dimiliki menurut aturan yang berlaku atau hak
Negara/Daerah yang diterima lebih kecil dari seharusnya diterima. Kecurangan pada
pengelolaan utang atau pengelolaan pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan
62
luar negeri yang seharusnya tidak ada atau yang menyebabkan kewajiban Negara yang
jumlahnya lebih besar.
Berdasarkan data kasus-kasus kecurangan Direktorat Investigasi BPKP di
instansi pemerintah yang diperoleh, jumlah kasus kecurangan yang telah diungkap dan
tuntas dalam perkara hukumnya di instansi pemerintah pada tahun 2009 secara umum
sebagai berikut:
Tabel IV.1
Kecurangan di Instansi Pemerintah
No Kecurangan Jumlah Kasus Jumlah Jenis Kecurangan Jenis Kecurangan
1. Kecurangan terhadap penerimaan anggaran dan pengelolaan asset
9 3 Skimming,
Lapping, Larceny.
2. Kecurangan terhadap pengeluaran anggaran pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan barang dan jasa.
24 6 Expense reimbursement schemes, Bid rigging. Pass-through vendors, Billing scheme -Shell company, Check tampering, Billing scheme-personal purchase
3. Kecurangan terhadap pengelolaan utang 1 1 Overstated
liabilities
Total 34 10
Tabel diatas menunjukkan bahwa kecurangan paling banyak dan paling sering
terjadi pada pengeluaran anggaran pemerintahan baik untuk pengadaan barang dan jasa,
maupun pengeluaran anggaran belanja rutin pemerintahan atau alokasi dana dari
63
terjadi kecurangan-kecurangan yang timbul dari lemahnya pengawasan terhadap
kegiatan pengeluaran anggaran pemerintahan/daerah dibanding pada penerimaan
anggaran dan pengelolaan aset dan pengelolaan utang. Kecurangan berikutnya yang juga
terjadi di instansi pemerintah yaitu pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset
sebanyak sembilan kasus dan pada pengelolaan utang sebanyak satu kasus.
Dari kecurangan yang terjadi di ketiga klasifikasi diatas, variasi kecurangan
paling banyak terjadi di pengeluaran anggaran. Modus operandi yang beragam dilakukan
oleh pelaku untuk mengambil keuntungan dari aktifitas pengeluaran anggaran
pemerintahan, yaitu enam modus operandi kecurangan pada pengeluaran anggaran
pemerintahan. Tiga modus operandi kecurangan dalam penerimaan anggaran dan
pengelolaan aset, dan satu modus operandi kecurangan pada pengelolaan utang.
IV.1.1. Tindak Kecurangan pada Penerimaan Kas Negara dan Pengelolaan Aset
Selama tahun 2009 Direktorat Investigasi Instansi Pemerintah BPKP telah
menyelesaikan pengungkapan beberapa kasus yang berindikasi kecurangan dalam
penerimaan kas negara baik pemerintah pusat maupun daerah. Kasus tersebut juga telah
selesai didalam proses persidangan sehingga tidak ada lagi perkembangan di dalam
proses penyidikan maupun persidangan. Terdapat sembilan kasus yang digolongkan ke
dalam kecurangan pada penerimaan negara dan pengelolaan aset. Dari kesembilan kasus
yang telah diungkap dan selesai di pengadilan selama tahun 2009 tersebut, berikut
adalah tabel pengelompokkan menurut jenis kecurangan yang diklasifikasikan oleh
64
Berdasarkan kasus-kasus dalam tabel IV.2, empat dari sembilan kasus
merupakan tindak kecurangan Skimming, tiga kasus merupakan tindak kecurangan
Lapping, dan sisanya dua kasus merupakan kecurangan larceny atau penjarahan atas aset milik negara. Dari kesembilan kasus tersebut, lima kasus terjadi di lingkungan
pemerintah daerah, dan sisanya empat kasus terjadi di KBRI dan Departemen
Pemerintahan.
1. Skimming
Dari data mengenai kasus kecurangan yang terkait dengan penerimaan anggaran
terlihat bahwa penerimaan kas adalah akun yang paling berisiko terjadi kecurangan di
Instansi Pemerintah. Tindak kecurangan yang paling sering terjadi adalah skimming,
dimana pencurian atau penjarahan uang dilakukan sebelum uang tersebut secara fisik
masuk ke perusahaan atau dicatat didalam pembukuan.
a. Modus Operandi
Modus skimming yang terjadi di Departemen Kehutanan pada umumnya
merupakan tindakan pelanggaran kontrak maupun kewajiban yang seharusnya dilakukan
oleh rekanan/perusahaan yang telah mendapat izin dari pemerintah. Berikut adalah
modus operandi pada kasus yang terkait dengan skimming di Departemen Kehutanan:
1) Dalam kasus pelaksanaan program pembangunan kelapa sawit sejuta hektar di
Kalimantan Timur yang diikuti Penerbitan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada
tahun 1999 – 2002 yang tidak sesuai ketentuan, pencurian uang yang terjadi
dilakukan oleh 10 perusahan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang pada
awalnya mengajukan permohonan rekomendasi pembangunan perkebunan
65
melakukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi kepada
Pemerintah. Sepuluh perusahaan tersebut juga tidak melaksanakan kewajiban
membangun perkebunan kelapa sawit. Kerugian negara yang ditimbulkan atas
penjualan kayu oleh 10 perusahaan tersebut, setelah dikurangi jumlah yang
disetorkan ke negara adalah Rp346.823. 970.564,24.
2) Kecurangan pencurian uang lain yang terjadi di departemen kehutanan adalah
dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten P-R tahun 2001
sampai dengan 2006. Lima belas perusahaan yang telah diberikan IUPHHKHT
oleh Kadiv Kehutanan Provinsi kab. P-R melakukan pemanfaatan atas kayu
milik negara dengan melakukan penebangan hutan dan menjual kayu tebang
tersebut. Seharusnya dalam pemberian IUPHHKHT lahan yang
digunakan/diberikan adalah lahan yang telah menjadi lahan kosong atau tidak
terdapat pohon berdiameter lebih dari 10 cm dan kurang dari 200 batang per
hektar. Lima belas perusahaan tersebut tidak meyetorkan uang hasil penjualan
kayu milik negara tersebut. Hal ini mengakibtakan negara mengalami kerugian
sebesar Rp1.208.625.819.554,22.
Modus operandi skimming yang dilakukan di lingkungan KBRI terkait dengan
penetapan tarif keimigrasian dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, para
pelaku pada umumnya mencuri dan menggunakan uang tersebut karena adanya
kesempatan dari ketidakjelasan penetapan peraturan mengenai tarif keimigrasian dan
terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat KBRI. Berikut adalah modus
66
1) Pada kasus Dugaan tindak pidana korupsi dalam pungutan biaya kawat (telex)
pada kedutaan besar RI di C tahun 2000 sampai dengan 2004, pencurian uang
dilakukan oleh Duta Besar RI untuk C dengan tidak meyetorkan uang pungutan
biaya kawat (telex) dalam tarif keimigrasian ke Kas Negara. Dari kecurangan
tersebut negara mengalami kerugian sebesar ¥10.273.238,47 atau sejumlah
Rp93.371.307.073,75.
2) pada Kantor Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kota Kinabalu (KJRI KK)
di T dan kantor penghubung KJRI KK di K-M yang memberlakukan tarif ganda
dalam memberikan pelayanan keimigrasian sehingga merugikan negara.
Pencurian uang yang dilakukan dengan menerapkan tarif tertinggi sebagai dasar
pemungutan biaya jasa keimigrasian di wilayah kota Sr dan Sb oleh Konjen RI
penghubung, lalu menerapkan tarif terendah sebagai dasar untuk menghitung dan
menyetornya ke Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Bendahara KJRI di KK.
Selisih tarif yang diambil oleh oknum KBRI selama periode September 1999
sampai dengan Oktober 2005 adalah senilai RM4.219.830,- atau senilai dengan
Rp11.222.764.479,9
Kecurangan pada penerimaan anggaran negara/derah ini terjadi karena lemahnya
pengendalian di pemerintahan terkait dengan penentuan kriteria perusahaan serta
pengawasan atas pelaksanaan proyek tersebut, selain itu juga lemahnya pengawasan
terhadap implementasi peraturan pemerintah.
b. Metode Deteksi
Untuk pendeteksian tindak kecurangan skimming, metode deteksi yang dilakukan
auditor adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti dokumen yang
67
melakukan perbandingan atas catatan pembukuan penerimaan kas dengan jumlah
perhitungan fisik kas atau jumlah yang terdapat di rekening koran bank. Dalam beberapa
kasus kecurangan dimana perusahaan/rekanan harus menyetorkan uang ke Kas
Negara/daerah, auditor melakukan perhitungan atas kemungkinan (ekspektasi) terhadap
jumlah penerimaan yang akan diterima dan membandingkannya dengan jumlah realisasi
yang didapat. Terakhir, auditor melakukan konfirmasi terhadap pihak independen
seperti bank tentang jumlah uang yang terdapat di rekening. BPKP berkerjasama dengan
Instansi Penyidik (Jaksa & Polisi) untuk pelaksanaan permintaan bukti dan informasi
terkait yang ada di bank, karena penyidik memiliki wewenang untuk meminta barang
bukti.
2. Lapping
Kecurangan yang juga sering terjadi pada penerimaan anggaran negara adalah
lapping, yaitu praktik dimana penerimaan kas disalahgunakan untuk menyembunyikan penerimaan fiksi. Kecurangan lapping identik dengan penundaan proses penerimaan
atau penyetoran kas sehingga pelaku dapat menggunakan uang tersebut lebih dahulu.
Lapping juga dilakukan dengan melakukan transfer atau pengiriman uang melalui rekening bank yang seharusnya ke kas umum namun dikirim ke rekening pribadi atau
rekening pihak lain yang diuntungkan.
a. Modus Operandi
Dari kecurangan dalam bentuk lapping yang terjadi di Instansi Pemerintah,
modus yang sering dilakukan oleh pelaku adalah membuka rekening baru yang
digunakan sebagai media untuk menampung uang yang akan diambil dan menutupi
68
orang lain. Dari seluruh kasus yang terkait dengan lapping, selalu terjadi keterlambatan
dalam penyetoran uang penerimaan negara. Berikut adalah modus operandi pada tiap
kasus yang terkait dengan lapping:
1) Pada kasus indikasi penyimpangan hasil pungutan jasa kepelabuhan yang
diterima dari para agen pelayaran dan para pemilik Dermaga Untuk Kalangan
sendiri (DUKS), modus kecurangan lapping yang dilakukan PNS AR dan S
adalah dengan melakukan pembukaan rekening bank milik AR selaku jabatannya
sebagai Kasie Penjagaan dan Penyelamatan dan S selaku Kasie Angkatan Laut
dan Kepelabuhan. Kemudian pelaku tidak menyetorkannya pungutan jasa
kepelabuhan yang semestinya ke rekening Kas Daerah melainkan ke rekening
baru tersebut. Akibatnya negara harus mengalami kerugian sebesar
Rp6.126.626.476,94.
2) Pada kasus dugaan penyimpangan penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) Kabupaten KH Tahun 2001 sampai dengan
2004. Lapping dilakukan oleh Sdr. D yang ditugaskan untuk melakukan
penagihan dan penyetoran atas Penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan dan
Dana Reboisasi dengan memindahkan sebagian penerimaan berupa 48 bilyet giro
dari total 72 bilyet giro ke pihak lain. Kemudian, Sdr. D menyetor kembali 29
bilyet ke kas Daerah, namun sisanya masih dikuasai dan digunakan pihak lain.
Pada akhirnya Sdr. D menerima imbalan atas pinjaman sementara tersebut.
Akibat tindakan tersebut negara mengalami kerugiaan sebesar
Rp7.182.946.846,00.
3) Pada kasus Penyalahgunaan Penerimaan PBB dan BPHTB bagian Kabupaten
69
yang dilakukan oleh pelaku berawal dari perubahan nomor rekening Kas Daerah
untuk peneriman PBB dan BPHTB bagian Kabupaten BT. Rekening tersebut
tidak dikelola oleh Bendahara Umum Daerah, sehingga tidak tercatat dalam
APBD baik dalam saldo kas maupun rincian neraca. Kemudian Bupati BT
melakukan pencairan atas rekening tersebut dan melakukan setoran atas sebagian
penerimaan tersebut, lalu sebagian dana yang diambil dari penerimaan kabupaten
BT tanpa mekanisme APBD, serta penerimaan provinsi KT yang sebagian juga
tidak diserahkan. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan adalah Rp
27.537.600.000,00.
Dari modus operandi kasus diatas menunjukkan bahwa pengawasan terhadap
jumlah penerimaan yang harus masuk ke kas negara sangat lemah, tidak adanya sistem
yang mengingatkan atau me-notifikasi waktu penerimaan kas. Di dalam sistem
penerimaan itu sendiri tidak adanya pembagian tugas dan otoritas yang jelas terhadap
penerimaan kas tersebut maupun kepemilikian rekening sebagai akun yang menampung
penerimaan tersebut.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian tindak kecurangan lapping, auditor BPKP menggunakan
konfirmasi sebagai kunci dalam pengungkapan. Sebelum melakukan konfirmasi auditor
lebih dahulu melakukan peninjauan terhadap Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dari
kegiatan penerimaan uang dan pencatatan pembukuan sebagai dasar untuk melakukan
konfirmasi. Auditor melakukan perbandingan atas tanggal transaksi didalam pembukuan
dengan tanggal pada slip/voucher maupun SPJ sehingga terlihat apakah terdapat
70
3. Larceny
Kecurangan penyalahgunaan (misuse) terhadap pengelolaan aset di instansi
pemerintah kerap terjadi di Pemerintah Daerah.
a. Modus Operandi
Kecurangan pada pengelolaan aset milik negara yang terjadi di instansi
pemerintah selalu terkait dengan pihak ketiga diluar pemerintah, modus yang dilakukan
oleh pelaku dengan menjadikan aset negara yang ada sebagai suatu proyek baru, melalui
perbaikan maupun tukar tambah. Pelaku mengambil keuntungan dari proses pembaruan
atau pemindahan aset negara tersebut dan mengambil uang milik negara dengan tidak
melunasi kewajibannya atau dengan menetapkan biaya atas pengeloaan aset yang terlalu
tinggi. Berikut adalah modus operandi pada kasus yang terkait dengan penjarahan aset:
1) Pada kasus pelaksanaan perjanjian kerja sama yang menyimpang dan tanpa
persetujuan DPRD, terdapat penyimpangan atas pembangunan pasar IA milik
pemerintah daerah kota B dimana kerja sama tersebut tanpa persetujuan dari DPRD.
Pada kasus tersebut terdapat perjanjian antara PT. GJW dan Pemerintah Daerah B
tentang kewajiban PT. GWJ untuk membayar kepada pemerintah atas retribusi pasar
IA selama 2 tahun pembangunan pasar tersebut dan kompensasi subsidi pergantian
uang sewa selama 25 tahun, serta melunasi kredit inpres pasar IA setelah bangunan
selesai utuh, namun nyatanya PT. GWJ hanya menyetor ke Kas Daerah sebesar
Rp1.000.000.00,00. PT. GWJ yang ditunjuk untuk mengelola 17 sarana pendukung
pasar IA selama 3 bulan sejak 30 mei 2004 hingga 30 agustus 2004 namun PT. GWJ
mengembalikan pengelolaan tersebut kepada pemerintah daerah kota B pada tanggal
penyalah-71
gunaan aset pemerintah daerah tersebut, negara harus mengalami kerugian sebesar
Rp7.332.361.516,00.
2) Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada kasus Ruislag dan ganti rugi tanah dan
bangunan eks Bupati L tahun 2004 yang merupakan tindakan penjualan aset
pemerintah berupa tanah dengan sistem persetujuan Ruislag (tukar-menukar) dengan
PT. V, sebagai pertukarannya pemerintah kota mendapatkan pembangunan gedung
baru di tempat pemindahan Ibu kota baru Kabupaten LB. Setelah dilakukan kembali
perhitungan atas nilai tanah yang dijual kepada PT. V dan nilai gedung baru yang
dibangun ternyata nilainya tidak sesuai, sehingga negara mengalami kerugian
sebesar Rp36.540.159.818,00.
Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan pemerintah daerah terhadap
pengelolaan aset yang dilakukan oleh pihak ketiga sangat lemah. Hal tersesbut
mengakibatkan timbulnya kecurangan yang merugikan negara, karena tidak adanya
monitoring berkala yang dilakukan instansi pemerintah. b. Metode Deteksi
Dalam pengungkapan penjarahan atas aset negara, auditor melakukan
pengecekan fisik atas aset pemerintah. Auditor juga melakukan penghitungan kembali
atas aset maupun uang kas, kemudian melakukan perbandingan atas data dalam
pencatatan dengan data hasil penghitungan sendiri tersebut.
IV.1.2. Tindak Kecurangan pada Pengeluaran Anggaran Negara
Tindak kecurangan yang terjadi pada aktifitas pengeluaran anggaran di instansi
pemerintah yang diungkap oleh BPKP berkaitan erat dengan aktifitas pengadaan dalam
72
pengadaan barang dan jasa kecurangan yang kerap terjadi adalah dengan mengarahkan
pemenang tender pada rekenan tertentu, melalui proses pelelangan atau penunjukan
langsung yang tidak sesuai dengan ketentuan, serta kecurangan didalam pembuatan
Berita Acara Pemeriksaan dan atau penerimaan pekerjaan, dan beberapa kecurangan
lainnya.
Tindak kecurangan lainnya yang terjadi dalam pengeluaran anggaran non
pengadaan barang dan jasa adalah penyalah-gunaan dalam penggunaan anggaran dana
yang telah dianggarkan atau dialokasikan kepada berbagai kegiatan di lingkungan
instansi pemerintah.
Kasus kecurangan yang berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa serta
penggunaan dana anggaran pemerintah yang telah diungkap dan selesai pada tahun 2009
terdapat dua puluh empat kasus. Dari kasus-kasus tersebut, berikut adalah tabel
pengelompokkan menurut jenis kecurangan yang diklasifikasikan oleh AFCE dalam
tabel IV.3 lampiran 2.
Berdasarkan tabel kasus tersebut, terdapat tiga belas kasus yang berkaitan dengan
kecurangan pada aktifitas pengadaan baik dalam bentuk barang maupun jasa, serta
sebelas kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan pengeluaran dana anggaran
pemerintah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada pengeluaran pemerintahan,
kecurangan sering terjadi pada proses pengadaan. Dari keseluruhan data kecurangan
diatas yang terjadi di instansi pemerintah terkait dengan pengeluaran anggaran
pemerintah kasus kecurangan yang paling banyak terjadi yaitu sepuluh kasus adalah
kecurangan Expense reimbursement schemes. Tiga kasus termasuk kedalam bid rigging.
Lima kasus terkait dengan kecurangan jenis pass-through vendors. Satu kasus termasuk
73 company atau perusahan fiktif. Tiga kasus termasuk dalam Billing scheme – Personal Purchase. Dari keseluruhan kecurangan pengeluaran anggaran di instansi pemerintah 13 kasus terjadi di pemerintah daerah dan sisanya di berbagai departemen pemerintah di
pusat maupun daerah.
1. Expense reimbursement schemes
Expense reimbursement schemes merupakan kecurangan yang terkait dengan pembayaran biaya atau beban yang disalahgunakan. Terdapat sebelas kasus yang terkait
dengan kecurangan dengan skema pembayaran beban atau biaya. Expense
reimbursement schemes juga terdiri dari beberapa kecurangan yaitu mischaracterized expense, yaitu kesalahan dalam karakterisasi pengeluaran, overstated expense yaitu pengeluaran yang ditinggi-tinggikan, fictious expense, yaitu pengeluaran fiksi atau palsu,
dan multiple reimbursement, yaitu pembayaran yang berlipat.
a. Modus Operandi
Pada kecurangan expense reimbursement scheme di Instansi pemerintahan
modus yang dilakukan pelaku dengan meninggikan jumlah biaya pengeluaran atas
kegiatan-kegiatan khusus, seperti pengadaan, permohonan bantuan dana,
penyelenggaraan pertemuan atau seminar dan juga membuat pengeluaran fiktif. Untuk
mempertanggungjawabkannya pelaku membuat SPJ palsu dengan kerjasama dengan
pihak ketiga atau rekanan. Pelaku juga cenderung akan menyebarkan
penerimaan/pembayaran atas beban/biaya tersebut ke beberapa rekening pihak lain,
sehingga sulit untuk diawasi. Berikut adalah modus operandi dari kasus yang terkait
74
1) Pada kasus penggunaan tenaga ahli yang tidak sesuai dengan kontrak dalam
pengadaan jasa Kegiatan Penyusunan Rencana Tata Kota 4 wilayah Kecamatan
Kabupaten L Tahun 2006 merupakan overstated expense. Modus operandi yang
dilakukan dengan meninggikan jumlah biaya tenaga ahli. Pekerjaan penyusunan
laporan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk 4 kecamatan di Kabupaten L
diberikan kepada CV C, kemudian dalam pelaksanaan jumlah tenaga ahli dan
asisten tenaga ahli yang digunakan lebih sedikit dibandingkan jumlah menurut
kontrak dan tidak diketahui spesifikasi keahliannya. Selisih pembayaran tersebut
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp402.814.699,00.
2) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dan adanya
Laporan Perkembangan fiktif dalam pembangunan gedung rawat inap kelas III
RSUD Soe pada Kabupaten TTS provinsi NTT tahun anggaran 2007 merupakan
tindak kecurangan overstated expense. Modus operandi yang dilakukan adalah
dengan memberikan laporan palsu atas pekerjaan pembangun gedung. PT AS
sebagai rekanan dalam pembangunan gedung rawat inap kelas III RSUD Soe
memiliki jangka waktu kontrak yang berakhir pada 30 Deccember 2007.
Berdasarkan laporan bulanan konsultan pengawas sampai dengan akhir masa
kontrak, realisasi fisik pekerjaan baru mencapai 8,72%, namun untuk
mengamankan anggaran panitia FHO dan FHO membuat berita acara
pemeriksaan penyelesaian pekerjaan 100%. Berdasarkan dokumen terkait sisa
dana sebesar Rp1.637.799.520,00. sebesar Rp1.522.902.870,00 setelah dikurangi
retensi kontrak dicairkan dari Kas Daerah ke rekening rekanan, kemudian
ditransfer kembali ke rekening penampung milik RSUD Soe dan lalu ditransfer
75
para ahli ada kekurangan pekerjaan senilai Rp65.075.187,00 yang menjadi
kerugian negara.
3) Pada kasus penyimpangan pada pengadaan tanah untuk perluasan Waduk/Situ
Bambon di Kelurahan Kelapa Dua Wetan kecamatn C Kotamadya JT tahun
anggaran 2006 merupakan tindak kecurangan fictious expense. Modus operandi
yang dilakukan oleh Pengelola Anggaran dalam Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
Kotamadya JT dengan menyusun daftar nominatif fiktif dalam rangka realisasi
pembayaran ganti rugi tanah untuk perluasan waduk. Dalam merealisasikan
pembayaran Pengelola Anggaran tidak melaksanakan pembayaran sesuai dengan
nama dan nilai pembayaran yang tertera dalam daftar nominatif yang dibuat dan
pelaksanaan realisasi pembayaran tidak disaksikan oleh P2T. Terdapat
pembayaran diluar kantor Suku Dinas PU tata air Kotamadya JT dan
merealisasikan pembayaran kepada pihak-pihak yang tidak berhak. Akibat
tindakan tersebut negara mengalami kerugian sebesar Rp17.984.545.800,00.
4) Pada kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi pada proyek penanggulangan bencana
alam provinsi B tahun anggaran 2007 merupakan tindak kecurangan overstated
expense. Modus operandi yang dilakukan Dinas PU Provinsi B dengan mencairkan dana dari Kas Daerah sebesar Rp7.836.453.693,00 dan dimasukkan
kedalam rekening Dinas PU dalam rangka penyediaan dana untuk pekerjaan
penanggulangan bencana alam. Pekerjaan tersebut dibagi dalam 12 paket dan
dilaksanakan oleh seluruh rekanan tanpa ada ikatan kontrak lebih dulu. Pencairan
dana dari rekening dinas untuk pembayaran rekanan dilakukan dengan cek atas
nama rekanan yang ditanda-tangani oleh PNS 1 dan PNS 3. Namun ternyata
76
Rp4.268.397.554,00 sehingga sisanya tidak dibayarkan ke rekanan dan tidak
jelas pertanggungjawabannya. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari
kecurangan tersebut adalah sebesar Rp2.712.084.489,00.
5) Pada kasus perubahan belanja stimulan menjadi dana talangan pada APBD Kota
B tahun 2004/2005 merupakan tindak kecurangan mischaracterized expense.
Belanja stimulan merupakan pos belanja dalam APBD pemda Kota B. Belanja
stimulan untuk merelokasi 1930 PKL yang tersedia dalam APBD tahun anggaran
2004/2005 dalam pelaksanaanya dirubah menjadi dana talangan (pos
pembiayaan) dengan cara memberikan pinjaman kepada pengelola PKL (CV
UM) untuk menyewa gedung dari pihak ketiga seharga Rp 2,5 M selama 5 bulan.
Pengelola berhak menarik uang sewak lapak dari PKL dengan tarif yang
ditentukan oleh pengelola, dan pada akhir masa sewa CV UM wajib
mengembalikan dana talangan tersebut. Kenyataannya dana talangan tersebut
tidak pernah dikembalikan oleh CV UM ke kas daerah. Akibat dari tindak
kecurangan ini negara mengalami kerugian sebesar Rp2.500.000.000,00.
6) Pada kasus penyalahgunaan Silpa (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) tahun
2002-2007 untuk investasi ke pihak III dan dana tidak kembali ke pemerintah
merupakan tindak kecurangan mischaracterized expense. Modus operandi yang
terjadi bermula dari adanya tujuan untuk memperoleh Penerimaan Asli Daerah
yang lebih tinggi. Dana dari kas daerah yang belum digunakan sebesar
Rp86.093.000.000,00 ditempatkan dalam bentuk deposit on call (DOC) di Bank
B agar mendapatkan bunga lebih tinggi. Namun, realisasinya dana tersebut
diinvestasikan ke PT. SAF dan atau PT SAU dengan perantara Bank B, dimana
77
undang-undang yang berlaku. Dana tersebut dikembalikan lagi oleh PT SAU
sebesar Rp42.343.000.000, namun ada indikasi kuat oknum pejabat Pemkab S
dan Kepala Cabang Bank B serta pihak ketiga menerima hasil keterkaitan
penempatan dana di PT SAF dan PT SAU sebesar Rp7.244.329.729,00 dan
akibatnya negara mengalami kerugian sejumlah tersebut.
7) Pada kasus Penyalahgunaan anggaran Belanja Makan-Minum Sekretaris Daerah
Kabupaten M tahun anggaran 2008 merupakan tindak kecurangan
mischaracterized expense. Modus operandi yang dilakukan bendahara pengeluran Sekretaris Daerah Kabupaten Kota M dengan mencairkan dana
sebesar Rp4.258.190.950,00 yang telah dipergunakan dan
dipertanggungjawabkan dalam SPJ. Atas SPJ tersebut diantaranya sebesar
Rp481.592.000,00 dilangkapi bukti yang sah, sedangkan sisanya merupakan
pengeluaran yang tidak benar. Dari tindakan tersebut negara mengalami kerugian
sebesar Rp3.776.598.950,00.
8) Pada kasus dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah Kota B tahun
2006 merupakan tindak kecurangan fictious expense. Sdr. I melakukan modus
kecurangan dengan pencairan dana Kas Daerah Kota B yang tersimpan di dua
bank sebesar Rp18.744.061.686,00. Sdr. I menerbitkan cek tunai yang
ditanda-tangani Sdr. I sebanyak 19 kali senilai Rp9.212.802.600,00 dan pemindahan
buku dengan surat perintah Sdr. I dari rekening Kas Derah ke Rekening pihak
lain atau rekening pribadi sebanyak 11 kali sebesar Rp 9.531.259.286,00. Untuk
mempertanggung-jawabkan penggunaan dana sebesar Rp 18.78.813.607,00
tersebut maka Sdr. I dibantu pejabat dan pegawai pemerintah Kabupaten B serta
78
dana tersebut digunakan untuk kegiatan bantuan bibit tanaman dan biaya tanam
untuk kelurahan se-kota B, pembuatan taman kota B, pembangunan dan
rehabilitasi gedung sekolah, pengadaan kendaraan dinas roda empat,
pemeliharaan jalan provinsi dan kota, pengadaan tanah, penadatan dan
pematangan tanah lokasi gedung kantor, dan proposal bantuan. Dari tindakan
yang dilakukan pihak-pihak yang ingin menguntukan diri sendiri dan orang lain
tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp18.744.061.686,00.
9) Pada kasus pertanggungjawaban penggunaan dana untuk biaya pengurusan dana
perimbangan dan biaya pengurusan bantuan bus tidak didukung bukti yang sah
merupakan tindak kecurangan fictious expense. Pada kasus tersebut terdapat
anggaran belanja untuk pihak ketiga – Biaya Jasa Tenaga Kerja Non Pegawai
yaitu berupa biaya pengurusan dana perimbangan ke pusat sebesar Rp
1.081.319.008,00 dan biaya pengurusan Bus subsidi BBM sebesar Rp
60.000.000,00 yang disalahgunakan. Pemegang Kas BPKD Kabupaten X Sdr N
dengan diketahui dan disetujui oleh Sdr k mengajukan Surat Permintaan
Pembayaran kepada Bupati X. selanjutnya dikeluarkan SPMU untuk penyetujuan
SPM tersebut, dan kemudian atas dasar SPMU tersebut Sdr N mencairkan dana
secara tunai dan bertahap di Kas Kabupaten Daerah X di Bank A. uang tersebut
kemudian diserahkan ke kepala BPKD yaitu Sdr K. Penggunaan dana oleh
saudara K terjadi sejak januari 2004 sampai dengan November 2004, yaitu
sebanyak 25 kali. Dalam bukti pengeluaran kas tersebut pada bagian penerima
uang ditandatangani oleh Sdr K. Bukti ini kemudian dipertanggungjawabkan
79
pendukung pengeluaran lainnya yang sah. hal ini menimbulkan kerugian negara
sebesar Rp 1.141.319.088,00.
10)Pada kasus pemotongan Dana Bantuan Sosial melaui anggota dewan merupakan
tindak kecurangan overstated expense. Modus operandi yang terjadi yaitu
pemerintah daerah JB memberikan bantuan sosial kepada organisasi masyarakat
yaitu kepada mesjid dan pondok pesantren, dan sebelum menerima bantuan
tersebut organisasi masyarakat calon penerima mengajukan prosposal terlebih
dahulu. Dalam pelaksanaanya dana bantuan sosial tersebut tidak diterima secara
utuh dan sebagian besar digunakan oleh anggota DPRD untuk konstituennya dan
untuk kepentingan pribadi. Jumlah bantuan yang disalahgunakan dan menjadi
kerugian negara adalah sebesar Rp 1.475.012.000,00.
Dari kesepuluh modus operandi tersebut membuktikan bahwa dalam aktifitas
pengendalian tidak adanya peraturan khusus yang menetapkan prosedur pembayaran
atas beban atau pengadaan barang dan jasa, serta dalam penilaian risiko instansi
pemerintah masih lemah, karena tidak ada penilaian yang lengkap dan teliti terhadap
harga maupun rekanan. Di instansi pemerintah juga tidak terdapat control antar
pembukuan, karena biasanya dalam instansi pemerintah hanya ada satu pembukuan
(single journal).
b. Metode Deteksi
Dalam mengungkap kasus yang terkait dengan expense reimbursement scheme,
auditor investigasi mengandalkan konfirmasi sebagai bukti yang kuat. Auditor akan
melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait atas aktifitas dan jumlah biaya yang
sebenarnya terjadi. Auditor cenderung lebih percaya dengan konfirmasi karena pada
80
segi pencatatan akuntansi akan terlihat betul semua. Auditor sebelumnya melakukan
penelusuran terhadap dokumen terkait dan slip/voucher atas transaksi untuk mengetahui
jumlah uang dan pihak-pihak yang terlibat.
2. Bid rigging
Bid rigging, merupakan tindak kecurangan dimana para pegawai/pejabat dengan sengaja membantu vendor untuk memenangkan sebuah kontrak atau proyek pengadaan.
Vendor atau rekanan biasanya telah menerima informasi terlebih dahulu dari pihak
dalam yaitu pegawai/pejabat tentang proyek pengadaan tersebut, sehingga mereka
melakukan kolusi dalam proses penunjukan pemenang rekanan hingga proses akhir
pelaksanaan proyek tersebut.
a. Modus Operandi
Dari ketiga kasus yang terkait dengan bid rigging di instansi pemerintah, modus
operandi yang dilakukan pegawai/pejabat pemerintahan dengan tetap melakukan proses
pelelangan secara umum seperti yang diatur dalam peraturan, namun proses tersebut
hanya rekayasa. Mereka sudah menyatakan dan menunjuk pemenenang pengadaan
sebelumnya dan membuat data-data atau dokumen palsu tentang proses pelelangan
tersebut. Dalam proses lelang, harus ada pembandingan dari 3 sumber yang lain selain
rekanan yang akan ditunjuk, tetapi biasanya para rekanan sudah melakukan rekayasa
atas data 3 sumber tersebut, sehingga dia pasti dimenangkan. Berikut adalah modus
operandi kasus yang terkait dengan bid rigging:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran
V 80 ASM yang menggunakan dana APBD Provinsi R tahun Anggaran 2003,
81
langsung oleh Gubernur R yang pada awalnya telah diberitahu oleh Dirjen
OTODA untuk menganggarkan pengadaan mobil kebakaran dalam APBD. Hal
ini merupakan bid rigging karena gubernur R secara sengaja langsung
memenangkan PT. IS dalam proyek pengadaan tanpa proses pelelangan umum
yang telah ditetapkan didalam peraturan pemerintah. Pada akhir proyek
pengadaan, tim tenaga ahli dari ITB melaporkan dalam Laporan Pemeriksaan
Fisik dan Teknis bahwa harga yang ditetapkan oleh PT. IS terlalu tinggi, hingga
mengakibatkan kerugian yang dibebankan ke negara/daerah sebesar
Rp4.719.020.005,00.
2) Pada kasus dugaan pengadaan tinta Pemilu Legistlatif tahun 2004 di KPU,
modus yang dilakukan oleh panitia pengadaan di KPU adalah dengan
memenangkan delapan perusahaan yang menjadi rekanan pengadaan tinta sidik
jari untuk Pemilu. Dalam proses pelelangan tidak ada bukti dokumen tertulis
mengenai evaluasi prakualifikasi yang sebelumnya diumumkan oleh Ketua
Divisi Logistik KPU untuk diadakan proses prakualifikasi. Terjadi pula selisih
nilai pembayaran pengadaan tinta antara jumlah yang tertera di kontrak dengan
jumlah yang dinegosiasikan. Karena hal tersebut negara mengalami kerugian
sebesar Rp1.382.367.515,00.
3) Pada kasus dugaan tindak pidana pengadaan obat-obatan dan alat kesehatan di
Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan tahun 2007, modus yang dilakukan
oleh pelaku adalah dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan dan Penerimaan
Barang yang tidak benar. Dalam proses pelelangan pantia langsung menunjuk
PT. HM sebagai rekanan pengadaan obat-obatan dan alat kesehatan melalui
82
tanggal proses pelelangan. Panitia hanya menandatangani dokumen-dokumen
pengadaan yang dibuat oleh YA dan tidak ada Berita Acara Hasil Evaluasi
Penawaran. Pada pelaksanaanya PT. HM juga tidak memenuhi kewajibannya
sesuai dengan yang tertera di kontrak. Tindakan kecurangan ini menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp1.460.893.120,00.
Dalam tahapan pembayaran proyek pengadaan, negara selalu membayar lebih
tinggi dari nilai yang tertera di kontrak maupun lebih tinggi dari nilai wajar, yang pada
akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian
terhadap pelaksanaan pengadaan sangat lemah. Walaupun sudah ada ketetapan yang
mengatur bahwa proyek pengadaan harus dengan proses pelelangan didalam penetapan
perusahaan yang menjadi rekanan, namun dalam pelaksanaanya masih ada instansi
pemerintah yang menunjuk langsung rekanan atau dengan merekayasa proses
pelelangan. Hal ini timbul karena adanya konflik kepentingan antara pegawai/pejabat
pemerintahan dengan perusahaan yang menjadi rekanan.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian bid rigging, auditor investigasi melakukan konfirmasi ke
para peserta lelang umum dan melakukan wawancara terhadap peserta yang kalah.
Auditor melakukan penelaahan terhadap berita acara dalam proses pelelangan, dan
melihat apakah terdapat hal-hal yang ganjil atau yang menjadi indikasi kecurangan.
Dalam penunjukkan langsung, auditor akan melakukan perbandingan perjanjian
kerjasama dengan peraturan pemerintah apakah sesuai atau tidak. Penunjukkan langsung
bisa dilakukan apabila barang yang ingin diadakan merupakan barang yang spesifik, hal
83
melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang paham atau mengerti dengan barang
tersebut.
3. Pass-through vendors
Pass-through vendors adalah kecurangan dimana vendor mengirimkan barang yang dipesan tetapi harga yang dibayar terlalu tinggi. Pelaku membuat perusahaan semu
untuk menipu karyawan agar membayar sejumlah barang atau jasa yang dipesan dan
kelebihannya diambil untuk pelaku
a. Modus Operandi
Modus operandi yang cenderung dilakukan pelaku adalah dengan membuat
perusahaan semu untuk memenangkan proyek kemudian menyerahkan proyek yang
akan ditangani ke perusahaan lain dibandingkan harus membuat perusahaan semu lalu
mengerjakan proyek tersebut sendiri dan mengambil keuntungan. Pelaku membuat
perusahaan semu (bayangan) atau perantara dan mengambil imbalan dari selisih harga
yang ditetapkan ke instansi pemerintah dengan harga yang mereka ambil dari pihak lain.
Hanya satu kasus yang melakukan modus operandi dengan membuat perusahaan semu
lainnya untuk kepentingan administratif. Pada dasarnya perusahaan yang melakukan
tindak kecurangan pass-through vendor tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
proyek pengadaan karena bukan dibidangnya, namun mereka telah menyiapkan
perusahaan cadangan untuk mengerjakan proyek tersebut. Biasaya perusahaan yang
mendapatkan proyek merupakan perusahaan-perusahaan kecil.
Tindak kecurangan perusahaan semu ini sering terjadi di lingkungan instansi
pemerintah. Banyak pegawai yang berkolusi dengan pihak ketiga untuk membuat
84
seorang makelar yang bisa memberikan nama-nama perusahaan, sesuai dengan yang
diinginkan oleh pelaku. Makelar tersebut mengambil dan menyalin data-data atau
dokumen dari berbagai perusahaan yang ada dan diikutsertakan dalam pelelangan tanpa
sepengetahuan perusahaan tersebut. Berikut adalah modus operandi tiap kasus yang
terkait dengan pass-through vendor:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan pembangunan jembatan pada
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten PB tahun anggaran 2007, modus operandi
yang dilakukan adalah dengan melakukan pemindahan pemegang proyek dari
semula PT BS menjadi AS yang kemudian diserahkan lagi ke WBA. Oleh WBA
pekerjaan tersebut diberikan lagi ke CV PBP dan D2. Menurut Kepala Dinas
Kimpraswil pekerjaan tersebut adalah milik AS, kemudian PT BS setuju untuk
memberikan proyek tersebut kepada AS dengan ganti rugi pengurusan tender.
Pada tanggal 18 desember 2007 realisasi pembangunan jembatan telah sampai
74.447% atas dasar realisasi fisik, sehingga dilakukan pembayaran kepada PT.
BS. Ternyata setelah dilakukan uji terhadap jembatan tersebut, kualitas mutu dan
beton jembatan dinyatakan tidak layak dan tidak dapat diterima. Hal tersebut
mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1.555.747.250,00.
2) Pada kasus pemecahan paket pengadaan dalam kasus dugaan tindak pidana
korupsi pengadaan bibit kakao pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota S
tahun anggaran 2005, modus operandi yang dilakukan oleh pelaku dengan
melakukan pemisahan pada paket pengadaan bibit kakao menjadi 19 paket agar
bisa langsung menunjuk rekanan tanpa ada proses lelang. CV. L yang ditunjuk
langsung mengerjakan 3 paket pengadaan penangkaran bibit kakao dan sisanya
85
paket tersebut bukan hasil penangkaran rekanan, namun berasal dari pembelian
dari penangkar lain. Jumlah kerugian negara yang timbul dari selisih pembayaran
dengan kontrak adalah sebesar Rp290.770.000,00.
3) Pada kasus penyimpangan dalam pengadaan bibit sawit pada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten TJT, modus operandi yang dilakukan pelaku yaitu
dengan menjadikan CV A sebagai perusahaan semu yang melakukan
penangkaran bibit sawit bersertifikat. Dari 36.000 bibit sawit, CV A membeli
24.996 bibit dari perusahaan lain yang bersertifikat dan sisanya 9.004 batang
merupakan bibit palsu yang tidak dilengkapi sertifikasi dari IP2MB Dinas
Perkebunan J sehingga harus dimusnahkan. Padahal awalnya Pantia
Pemeriksa/Tim Pengawas Penerima Pekerjaan telah menyatakan bahwa
pekerjaan telah selesai 100% dan sesuai dengan kontrak. Akibat penyimpangan
tersebut negara harus mengalami kerugian sebesar Rp 177.829.000,00.
4) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi atas kegiatan pengadaan tanah oleh
pemerintah kota P tahun anggaran 2007, modus operandi yang dilakukan oleh
pelaku adalah dengan membentuk pantia pengadaan tanah yang beranggotakan
pegawai pemerintah itu sendiri dan Walikota P sebagai Ketua Panitia. Panitia
pengadaan tanah menetapkan harga tanah lebih tinggi dari nilai wajar yang
dihitung oleh Ahli penilai tanah dari KPP Kota P dan melakukan pembayaran ke
pemilik tanah lebih rendah dari harga penetapan tersebut. Kerugian negara yang
ditimbulkan dari tindak kecurangan ini adalah sebesar Rp1.363.625.000,00.
5) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan pengadaan komputer
untuk Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) penerima Blockgrant tahun anggaran
86
perusahaan yang menjadi rekanan pemasok komputer untuk SKB. Pengadaan
tersebut hanya dilaksanakan oleh 2 perusahaan dan 5 perusahaan lainnya
merupakan perusahaan fiktif yang dibuat untuk memenuhi persyaratan
administratif. Dalam pelaksanaannya rekanan menetapkan harga barang yang
lebih tinggi dari harga resmi dari distributor dan mengambil keuntungan dari
selisih tersebut. Hal tersebut menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar
Rp3.489.013.242,00.
Kecurangan ini timbul karena tidak adanya sistem penilaian awal terhadap
rekanan yang menjadi pemenang dalam pengadaan dan tidak adanya evaluasi bahwa
tidak ada unsur konflik kepentingan antara rekenan dengan pegawai pemerintahan.
Dalam penilaian awal nama perusahaan, jenis perusahaan, bentuk perusahaan,
keberadaan perusahaan, dan bagaimana operasional perusahaan tersebut harus jelas,
sehingga dapat mengurangi dan mencegah timbulnya keikutsertaan perusahaan semu
dalam proses pelelangan.
b. Metode Deteksi
Untuk mendeteksi perusahaan fiktif, auditor melakukan konfirmasi kepada
perusahaan-perusahaan yang didaftarkan dalam proses pelelangan apakah benar
perusahaan tersebut ada dan ikut dalam pelelanganm, namun terkadang sulit
mendapatkan pernyataan tertulis dari perusahaan tersebut, karena mereka cenderung
tidak ingin terlibat. Sebelum melakukan konfirmasi, auditor melakukan penelusuran
ulang atas berita acara lelang maupun SPJ atas pengadaan, mengurutkan kejadian dari
awal hingga akhir kemudian baru melakukan konfirmasi atas kejadian tersebut kepada
87
4. Check Tampering
Check tampering merupakan tindakan kecurangan dengan melakukan pemalsuan terhadap cek. Pemalsuan tersebut dapat berupa pemalsuan atas tanda-tangan yang
memiliki otoritas, pemalsuan atas nama atau alamat tujuan, atau pemalsuan atas
dokumen pendukungnya.
a. Modus Operandi
Modus yang biasanya terjadi adalah orang-orang tertentu sudah mengetahui dan
mendapatkan informasi mengenai pengadaan tersebut contohnya pengadaan tanah dan
gedung, kemudian pelaku melakukan kolusi dengan orang tertentu mengenai negosiasi
harga. Lalu pihak ketiga biasanya melakukan pemalsuan terhadap surat kuasa agar
mendapatkan dana sesuai dengan negosiasi dari pemerintah kemudian membeli tanah
tersebut dengan harga yang lebih murah. Berikut adalah modus operandi kasus yang
terkait dengan check tampering:
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan tanah untuk gedung
workshop Dinas PU Kabupaten K tahun anggaran 2007. Modus operandi yang terjadi adalah dengan memalsukan surat kuasa atas tanah yang akan dibeli oleh
Pemerintah. Tanah yang awalnya milik A dijual kepada N dan kemudian dijual
lagi ke DZ tanpa melibatkan PPAT, sehingga sertifikat tanah masih milik A.
melalui perantara N Dinas PU membeli tanah dari DZ dengan menyertakan surat
kuasa dari A kepada N untuk melaksnaakan transaksi jual beli tanah beserta
sertifikatnya. Kemudian dilakukan pembayaran uang muka kepada N pada 10
juli 2006 dan pelunasan pada tanggal 27 november 2007 yang totalnya sejumlah
Rp150.000.000,00. Berdasarkan musyawarah ganti rugi tanah oleh PPAT dan N
88
PPh final 5% yaitu Rp12.800.000,00. Lalu diterbitkan SP2D untuk pengadaan
tanah dicairkan pada 22 desember 2007 sebesar Rp256.000.000,00 dengan
potongan BPHTB final sebesar Rp12.800.000,00 dan untuk biaya admnistrasi
Rp85.056.000,00 dengan potongan pajak-pajak sebesar Rp3.900.000,00., tetapi
pada akhirnya pihak BPN tidak dapat memproses usulan pengajuan hak untuk
balik nama sertifikat dari A ke Pemkab K, karena adanya pengakuan bahwa surat
kuasa terhadap jual beli palsu. Karena tindak kecurangan ini, negara mengalami
kerugian sebesar Rp324.356.000,00.
Kecurangan ini timbul karena tidak adanya pengecekan terhadap keotentikan
surat-surat maupun dokumen yang terkait dengan transaksi jual-beli. Kecurangan ini
juga terjadi karena kurangnya informasi yang terkait dengan proyek tersebut.
b. Metode deteksi
Kecurangan ini dapat dideteksi dengan peninjauan langsung kepada barang atau
tanah, dan melakukan penelaahan atau pengujian keotentikan dokumen-dokumen yang
terkait, serta melakukan konfirmasi kepada pemilik maupun orang-orang disekitarnya.
5. Billing scheme – Shell Company
Dari kasus-kasus kecurangan pada pengeluaran anggaran, hanya terdapat dua
kasus yang berkaitan dengan perusahaan fiktif (Shell company). Perbedaan antara shell
company dengan pass-through vendor adalah pada shell company perusahaan yang akan didanai/dibayar sepenuhnya merupakan perusahaan fiktif atau palsu, sehingga dana yang
diberikan sepenuhnya langsung ke pelaku, sedangkan pass-through vendor pelaku
membuat perusahaan perantara untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan tetap
89
a. Modus Operandi
Modus operandi yang terjadi di dua kasus terkait dengan perusahaan fiktif, para
pelaku membentuk perusahaan/organisasi fiktif yang bertujuan untuk mengambil dana
dari pengeluaran anggaran. Pencairan atas dana yang dialokasikan kepada perusahaan
tersebut tidak diberikan langsung ke pengelola perusahaan/organisasi melainkan ke
pejabat pemerintahan yang mengajukan permohonan dana
1) Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pada bantuan perkuatan dana untuk
pengembangan usaha produksi di Bidang Pengadaan pabrik pencetak briket
batubara tahap II kepada Koperasi Serba Usaha (KSU) RM di Kabupaten L
tahun anggaran 2006, modus operandi adalah dengan pengajuan permohonan
modal kerja dan investasi pengembangan briket batu-bara oleh Kantor Koperasi
Kabupaten L untuk Koperasi Serba Usaha (KSU) RM. Kemudian Menteri
Negara Koperasi dan UKM RI menerbitkan SPM pada tanggal 12 december
2006 ke Bendaharawan Umum KPPN Jakarta 1 perihal pemberian modal kerja
sebesar Rp910.000.000,00. untuk KSU RM Kabupaten L yang ditransfer melalui
bank. Kemudian pengurus Koperasi RM secara bertahap mencairkan dana
tersebut.Faktanya pada tanggal 14 juli 2008 Camat W Kabupaten L menyatakan
bahwa KSU RM tidak pernah ada di Keacamatan W Kabupaten L, pengurus
KSU RM juga tidak berdomisili disana, dan tidak pernah ada pembangunan
pabrik pengolahan/pencetakan briket batu-bara. Akibat dari penyimpangan
tersebut, keuangan negara mengalami kerugian sebesar Rp910.000.000,00.
2) Pada kasus tindak pidana korupsi penyimpangan penyaluran bantuan dana APBD
kepada Yayasan B tahun anggaran 2003. Yayasan B didirikan untuk
90
kemasyarakatan lainnya, namun pada nyatanya Yayasan B tidak pernah
melakukan kegiatan/usaha yang sebagaimana tertera didalam akta pendiriannya
dan tidak pernah menyelenggarakan pembukuan. Pada tahun anggaran 2003
bantuan kepada Yayasan B dianggarkan dalam RAPBD setelah pengurus
Yayasan B meminta bantuan melalui pembicaraan informal dengan Bupati,
Ketua, dan Sekretaris Tim Anggaran Eksekutif. Kemudian penyaluran bantuan
terdiri atas dua tahap yang totalnya berjumlah Rp2.837.500.000,00. Setelah dana
itu diterima langsung dibagikan kepada pimpinan dan anggota DPRD kabupaten
P. Dari tindakan tersebut negara mengalami kerugian sebesar
Rp2.837.500.000,00.
Dengan munculnya kasus kecurangan ini membuktikan bahwa pengawasan
pemerintah pusat terhadap unitnya di daerah sangat lemah, yaitu tidak adanya sistem
monitoring berlanjut atas pendanaan dan tidak adanya sistem pemeriksaan awal atau penilaian awal atas pengajuan permintaan dana.
b. Metode Deteksi
Auditor investigasi dalam mengungkap kecurangan ini dengan melakukan
konfirmasi atas keberadaan dan kegiatan perusahaan tersebut kepada orang-orang
disekitar perusahaan tersebut. Auditor juga melakukan analisa terhadap bentuk, jenis,
operasi dan legalitas perusahaan tersebut apakah layak dan wajar.
6. Billing scheme – Personal Purchase
Kecurangan yang berkaitan dengan billing scheme di Instansi Pemerintah
terdapat pada tiga kasus. Satu kasus terjadi di pemerintah daerah dan dua kasus terjadi di
91
a. Modus Operandi
Dalam kecurangan personal purchase, pelaku membebankan pembelian untuk
kepentingan pribadinya kepada pemerintah. Untuk menutupi tindak kecurangannya
tersebut, para pelaku pasti melakukan pembuatan laporan atau SPJ fiktif.
1) Pada kasus penyalahgunaan dana APBD pemerintah Kabupaten TB dari mata
anggaran alokasi penyertaan modal pemerintah kepada PT. TBJ digunakan untuk
kepentingan pribadi, kecurangan billing scheme yang dikategorikan kedalam
personal purchase ini menggunakan modus operandi dengan merealisasikan penyertaan modal kepada BUMD PT TBJ dari anggaran Pemerintah Kabupaten
TB sebesar Rp2.000.000.000,00, sehingga pada tanggal 20 december 2006
bendahara daerah membuat Bukti Pengeluaran Kas (BPK) dan lalu diserahkan ke
PNS bagian perekonomian yang seharusnya langsung diserahkan ke PT TBJ.
Kemudian dikeluarkanlah Surat Permintaan Pembayaran Beban Tetap oleh
Kepala Bakuda tentang penyertaan modal pemda tersebut dan melakukan
pembayaran kepada rekening Bank L (milik PNS staf bagian perekonomian)
yang sama dengan tertera di BPK. Pada tanggal 27 December 2006, dana
tersebut masuk ke rekening Bank L dan dana tersebut digunakan tidak sesuai
dengan ketentuan. Dari tindakan kecurangan ini negara mengalami kerugian
sebesar Rp2.000.000.000,00.
2) Pada kasus Penyalahgunaan dana program non regular dan kerja sama sertifikasi
Politeknik Negeri S tahun 2003 dan 2004, modus operandi yang dilakukan oleh
pelaku awalnya dengan menampung penerimaan pembayaran SPP Politeknik
92
Bendaharawan yang dibuka untuk penerima dan pengguna Program D III non
regular dan kerjasama sertifikasi. Kemudian atas perintah SB sebagai direktur
politeknik negeri S dan HS Ketua Program Non Reguler dan Kerjasama
Sertifikasi, bendaharawan penerima Program D III non regular dan kerjasama
sertifikasi menarik dana sejumlah Rp1.575.120.000,00 untuk disetorkan ke
rekening lain yang dibuka oleh SB dan HS atas nama yang bersangkutan.
Kemudian dana tersebut tidak dapat dipertanggung-jawabkan penggunaanya
serta tidak ada bukti-bukti mengenai penggunaan dana tersebut. Akibat tindak
kecurangan ini negara mengalami kerugian sebesar Rp1.575.120.000,00.
3) pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pemotongan dan pengeluaran fiktif
Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan tahun anggaran 2007 pada
Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten L, modus operandi yang dilakukan
dengan memotong Dana Alokasi Khusus oleh Kepala Dinas kepada 75 sekolah
dengan alasan pungutan pajak yang ternyata untuk kepentingan pribadi sebesar
Rp3.290.067.270,00. Kepala Dinas juga membuat SPJ fiktif seolah-olah dari
kepala sekolah tentang pengadaan sarana pendidikan sebesar Rp607.000.000,00
dan membuat SPJ seolah-olah ada jasa pengawasan untuk sekolah dengan
pembuatan kontrak fiktif antara kepala sekolah dan konsultan, dan juga membuat
daftar nominatif honor fiktif dari biaya monitoring sebesar Rp90.460.000,00.
Tindak kecurangan ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp
4.147.527.270,00.
Tindakan ini terjadi karena lemahnya lingkungan pengendalian di instansi
93
manajemen yang dimilki oleh petingginya buruk. kecurangan tersebut juga terjadi
karena lemahnya pengawasan terhadap pengeluaran rutin anggaran.
b. Metode Deteksi
Dalam pendeteksian tindak kecurangan ini auditor dapat melihat dari catatan
pembukuan dan SPJ, serta melakukan konfirmasi kepada pihak yang terkait apakah
pengeluaran/kejadian tersebut terjadi dan dalam jumlah yang benar. Kecurangan ini juga
dapat dideteksi dengan melihat dan menganalisa tren jumlah dan jenis pengeluaran yang
terjadi apakah masih wajar atau tidak.
IV.1.3. Tindak Kecurangan pada Pengelolaan Utang
Kecurangan pada pengelolaan utang pada pemerintahan merupakan tindak
kecurangan yang mengakibatkan timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih
besar dari seharusnya. Kasus yang terkait dengan kecurangan pada pengelolaan utang
yang diungkap dan tuntas secara hukum pada tahun 2009 hanya terdapat 1 kasus, yaitu
kasus penyelesaian utang PT PPSU oleh pemerintah Provinsi SU lebih besar dari saldo
utang yang seharusnya diselesaikan.
a. Modus Operandi
Pada kasus tersebut terjadi tindak kolusi dari seluruh pihak yang terkait atas
pemasluan terhadap data utang yang dimiliki oleh PT PPSU pada Program Penjualan
Aset Kredit 3 (PPAK 3). Hal ini dilakukan agar Pemerintah membayar utang lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah yang sebenarnya.
Kepemilikan saham PT PPSU 19% dimiliki oleh Pemprov SU, 44% Pemprov B,
dan sisanya milik Pemkab M.B,B dan pihak swasta. PT PSPU yang mempunyai kredit
94
BPPN dengan jumlah utang sebesar Rp 88.116.362.061,00. Akhirnya pada bulan maret
2003 BPPN memasukkan aset kredit PT PPSU ke dalam Program Penjualan Aset Kredit
3 (PPAK 3) yakni lelang. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh tim negosiasi utang PT
PPSU (terdiri dari tim eksekutif dan legistlatif Provinsi SU). Untuk mempersiapkan
perusahaan pembeli PT PSSU melalui lelang memanfaatkan perusahaan jasa konsultasi
PT TM. Asisten Ekonomi dan Pembangunan yang menerima kuasa dari Gubernur SU
menunjuk PT TM sebagai konsultan keuangan untuk mencari lembaga dan perusahaan
yang ikut lelang (PT.BS), menyiapkan perusahaan khusus yang menampung utang PT
PSSU (PT KPS), dan escrow account (Agen Penampung untuk melaksanakan hak dan
kewajiban yang ditetapkan dalam Perjanjian) atas nama JS dan PT TM sebesar Rp 18 M
pada Bank B. setelah pihak BPPN memasukkan PT PPSU ke dalam lelang - PPAK 3,
segera PT TM, Tim negosiasi utang PT PPSU dan PT BS serta melibatkan oknum BPPN
membuat rekayasa peserta lelang. Untuk mendapatkan bukti formal bahwa penguasaan
aset kredit PT PPSU tidak lagi di PT BS maka dibuat rekaya jual beli piutang PT PPSU
antara PT BS dengan PT KPS pada 9 februari 2004. Pemerintah Provinsi SU
mengeluarkan dana dari kas daerah untuk penyelesaian utang PT PPSU sebesar Rp 18
M, namun nilai rill penyelesaian utang hanya Rp 8,6 M sehingga negara mengalami
kerugian sebesar Rp11.199.548.325,00.
Tindak kecurangan ini terjadi karena pengawasan pelaksanaan lelang.
Pemerintah juga tidak melakukan penilaian risiko atas aktivitas pengelolaan utang,
terhadap pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian utang
b. Metode Deteksi
Pendeteksian kecurangan yang dilakukan untuk mengungkap kasus ini pertama
95
laporan keuangan, dan kontrak. Kemudian auditor juga melakukan analisa terhadap
kemampuan keuangan entitas dan hubungan antar pihak-pihak yang terkait. Auditor juga
melakukan konfirmasi kepada oknum-oknum dan pihak bank.
IV.1.4. Kerugian Negara dari Kecurangan di Instansi Pemerintah
Dari keseluruhan data kecurangan di instansi pemerintah yang diperoleh, berikut
adalah tabel jumlah kerugian negara yang ditimbulkan oleh kecurangan pada
penerimaan anggaran dan pengelolaan aset, pengeluaran anggaran dan pengelolaan
utang:
Tabel IV.4
Jumlah Kerugian Negara di Pemerintahan
No. Kecurangan Jumlah Kasus Total
1. Kecurangan terhadap penerimaan
anggaran dan pengelolaan asset 9 Rp 1,744,763,556,329.05 2. Kecurangan terhadap pengeluaran
anggaran pengadaan barang dan jasa dan non pengadaan barang dan jasa.
24 Rp 82,279,610,030.00
3. Kecurangan terhadap pengelolaan
utang 1 Rp 11,199,548,325.00
TOTAL 34 Rp 1,838,242,714,684.05
Tabel diatas menunjukkan bahwa tindak kecurangan yang paling banyak
menimbulkan kerugian pada keuangan negara adalah kecurangan pada penerimaan
anggaran dan pengelolaan aset. Hampir 95% atau keseluruhan kerugian diakibatkan oleh
adanya tindak pidana atas hilangnya atau berkurangnya hak negara atas uang maupun
aset lainnya. Jumlah kerugian negara atas tindak kecurangan pada penerimaan dan
96
pemerintahan Negara/Daerah jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari berbagai
tindak kecurangan sebesar Rp 82 Miliar, dan kecurangan pada pengelolaan utang hanya
Rp 11 Miliar. Tindak kecurangan yang terjadi pada pengeluaran anggaran yang memiliki
24 kasus kecurangan hanya memberikan kerugian 4,5% dari total keseluruhan kerugian
di instansi pemerintahan. Pada pengelolaan utang jumlah kerugian hanya sebesar Rp 11
Miliar atau sekitar 0,5%.
Tabel IV.5 lampiran 4 menjelaskan kerugian negara pada penerimaan anggaran
dan pengelolaan asset yang dikelompokkan berdasarkan jenis kecurangan. Dari data
tabel IV.5 lampiran 4, skimming merupakan tindak kecurangan yang paling banyak
menimbulkan kerugian pada negara, bahkan pada keseluruhan kerugian negara yaitu
sebesar Rp 1,66 Triliun atau sebesar 95% dari keseluruhan jumlah kerugian yang
diakibatkan kecurangan penerimaan anggaran dan pengelolaan aset. Kasus yang paling
besar memberikan dampak atas kerugian negara adalah kasus dugaan tindak pidana
korupsi dalam pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman (IUPHHKHT) di Kabupaten P-R Tahun 2001 sampai dengan 2006, kurang
lebih Rp 1,2 Triliun.
Pada ketiga kasus lapping yang terjadi di instansi pemerintahan total kerugian
yang ditimbulkan sebesar Rp 40 Milliar atau sebesar 2,3% dari total keselurahan
kerugian pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset. Pada kasus yang berkaitan
dengan larceny atau pengambilan aset atau keuangan negara atas pengelolaan aset
pemerintah merugikan keuangan negara sebesar Rp 43 Milliar atau sebesar 2,2% dari
total keselurahan kerugian pada penerimaan anggaran dan pengelolaan aset.
Dalam tindak kecurangan atas pengeluaran anggaran tabel IV.6 lampiran 6
97
IV.6 lampiran 6 menunjukkan bahwa kerugian yang jumlahnya paling banyak
ditimbulkan oleh tindak kecurangan expense reimbursement schemes atau skema
kecurangan yang berkaitan dengan kegiatan pembayaran atas beban atau biaya dengan
total kerugian negara yang ditimbulkan sekitar Rp 56 Miliar atau sebesar 68% dari total
keseluruhan kerugian pada pengeluaran anggaran. Kasus dugaan penyimpangan
pengelolaan keuangan daerah Kota B tahun 2006, merupakan kasus yang paling banyak
menimbulkan kerugian pada pengeluaran anggaran yaitu sebesar Rp 18 Miliar. Rata-rata
jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari jenis kecurangan expense reimbursement
schemes adalah sebesar Rp 5 Miliar.
Jumlah total dari ketiga kasus bid-rigging yang terjadi di instansi pemerintah
adalah sebesar Rp 7,5 Miliar atau sebesar 9% dari total keseluruhan Rp 82,2 Miliar.
Jumlah kerugian tertinggi dari bid rigging adalah Rp 4,7 Miliar dan sisanya Rp 1,4
Miliar dan Rp 1,3 Miliar. Pada kecurangan pass through vendors total kerugian yang
ditimbulkan sebesar Rp 6,8 Miliar. Pada check tampering sebesar Rp 324 Juta. Pada
kecurangan shell company sebesar Rp 3,7 Miliar dan personal purchase sebesar Rp 7,7
Miliar. Pada pengelolaan utang hanya terjadi satu kasus yang menimbulkan kerugian
kepada negara senilai Rp 11 Miliar atau sebesar 13%.
Jumlah kerugian keuangan tersebut tersebut menjadi bahan pertimbangan oleh
pengadilan dalam memberikan putusan hukum kepada pihak-pihak yang terkait atau
yang sudah ditetapkan menjadi pelaku oleh pengadilan. Kerugian negara tersebut diganti
dengan penarikan/penyitaan aset dari para pelaku yang jumlahnya ditentukan oleh hakim