• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI TIKET PESAWAT DAN WANPRESTASI. A. Perjanjian dalam Jual Beli dan Jual Beli Tiket Pesawat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI TIKET PESAWAT DAN WANPRESTASI. A. Perjanjian dalam Jual Beli dan Jual Beli Tiket Pesawat"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN DALAM JUAL BELI TIKET PESAWAT DAN WANPRESTASI

A. Perjanjian dalam Jual Beli dan Jual Beli Tiket Pesawat

Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata pasal 1313, disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut

perikatan.12 Dengan demikian, tampak jelas bahwa dalam suatu perikatan

(verbintenis) terkandung hal - hal sebagai berikut, yaitu:

1. Adanya hubungan hukum;

2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda; 3. Antara dua orang/pihak atau lebih;

4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur; 5. Meletakkan kewajiban pada pihak lain, yaitu debitur; 6. Adanya prestasi

Perjanjian yang dibuat harus memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian yang mengacu pada ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang

12

(2)

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Dalam suatu perjanjian tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak yang saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu atau a meeting of the minds agar bisa tercapai kesepakatan secara bebas13.

Sebagai hal yang mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sahapabila diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi, kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat (defective agreement).

Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi, yaitu:

1. Kemungkinan pertama adalah pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalannya dimintakan kepada hakim/melaluipengadilan. Hal ini disebut dapat dibatalkan

13

(3)

2. Kemungkinan kedua adalah perjanjian itu batal dengan sendirinya,

artinya batal demi hukum.14

Kesepakatan atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, misalnya si penjual mengingini sejumlah uang, dan si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual.

2. Kecakapan untuk Sahnya Perjanjian

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan dalam bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam hal membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya, seorang yang dianggap berwenang untuk

14

(4)

bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut,

juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.15

Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:

1. Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum;

2. kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XVI dibawah judul “Pemberian Kuasa”;

3. kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau

wakil dari pihak lain.16

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam pasal 1329 sampai dengan pasal1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang

15

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 127

16

(5)

Hukum Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa:

Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : 1) Anak yang belum dewasa

2) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan

3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang

dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.17

3. Hal Tertentu dalam Perjanjian

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.18

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai:

a) jenis barang;

b) kualitas dan mutu barang;

c) buatan pabrik dan dari negara mana; d) buatan tahun berapa;

e) warna barang; 17

Kansil, Op.Cit., hlm. 226

18

(6)

f) ciri khusus barang tersebut; g) jumlah barang;

h) uraian lebih lanjut mengenai barang itu.19

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenismya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Tentang sebab yang halal

Syarat keempat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah adanya sebab (causa) yang halal. Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu

kuat.20

Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal 1337 Kitab Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 hingga pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam pasal 1320 Kitab

19

Kansil, Op.Cit., hlm. 227

20

(7)

Undang-Undang Hukum Perdata, hanya saja dalam pasal 1335 dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1. bukan tanpa sebab; 2. bukan sebab yang palsu; 3. bukan sebab yang terlarang;

Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikian pun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur esensalia

dalam perjanjian tersebut.21

Sebab yang halal dalam pasal 1337 KitabUndang-Undang Hukum Perdata adalah prestasi dalam perikatan yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.

Jual-beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli)

21

(8)

berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Pihak yang satu (pihak penjual) menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam salah satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga” ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga itu berupa barang, maka

bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar-menukar atau barter.22

Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal-balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu”verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Barang yang menjadi objek perjanjian jual-beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak

miliknya kepada si pembeli.23

Unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Sifat konsensual darri jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi : “Jual-beli

22

Subekti, Op.Cit., hlm. 79

23

(9)

dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka

mencapai sepakat tentang barang dan harga”.24

Perjanjian jual-beli meletakkan hak dan kewajiban secara timbal-balik antara kedua belah pihak, yaitu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, dan pada saat itu juga memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui kepada pembeli. Di pihak lainnya, meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan atas haknya untuk menuntut penyerahan

hak milik atas barang yang dibelinya.25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menganut sistem bahwa perjanjian jual-beli itu hanya obligatoir, artinya baru meletakkan hak dan kewajiban secara timbal-balik. Sistem ini menimbulkan hak pada penjual serta kewajiban pada pembeli, dan secara bersamaan menimbulkan hak pada pembeli serta kewajiban pada penjual. Adapun yang menjadi kewajiban penjual adalah sebagai berikut

1. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli

2. Kewajiban penanggungan atau Vrijwaring yaitu keadaan dimana penjual menanggung penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram, serta menanggung cacat tersembunyi atas barang yang dijualnya agar dapat dipergunakan untuk keperluan yang dimaksudkan tanpa mengurangi

24

Ibid., hlm. 3

25

(10)

fungsi pemakaiannya 26 . Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi dari jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan hakim yaitu

menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut.27

Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Pada pasal 1514 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar di tempat dan waktu dimana penyerahan barang (levering). Berdasarkan asas yang dianut, yaitu hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap atau optional law, para pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk para pihak, penjual atau pembeli.

Sesuai dengan pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa terjadinya jual beli ialah sebagai berikut:

1. Apabila kedua belah pihak telah sepakat mengenai harga dan barang, walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum

26

Ibid., hlm. 160

27

(11)

dibayar, perjanjian jual beli ini dianggap sudah terjadi.

2. Jual beli yang memakai masa percobaan dianggap terjadi untuk sementara. Sejak disetujuinya perjanjian jual beli secara demikian, penjual terus terikat, sedang pembeli baru terikat kalau jangka waktu percobaan itutelah lewat, dan telah dinyatakan setuju.

3. Sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang muka, kedua belah pihak tidak dapat membatalkan perjanjian kedua belah pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli itu, meskipun pembeli membiarkan uang muka tersebut kepada penjual atau penjual membayar kembali uang muka itu kepada pembeli.

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut

mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.28 Dikatakan

adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal yang lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut jual beli tetap

tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan.29 Akan tetapi, jika para pihak telah

menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-

28

Ahmad Miru, Op.Cit., hlm. 125

29

(12)

undangan atau biasa disebut unsur naturalia.

Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik,

yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.30

Kesepakatan dalam jual beli yang pada umumnya melahirkan perjanjian jual beli tersebut, juga dikecualikan apabila barang yang diperjualbelikan adalah barang yang biasanya dicoba dulu pada saat pembelian, karena apabila yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut adalah barang yang harus dicoba dulu untuk mengetahui apakah barang tersebut baik atau sesuai keinginan pembeli, perjanjian tersebut selalu dianggap dibuat dengan syarat tangguh, artinya perjanjian tersebut hanya mengikat apabila barang yang menjadi objek perjanjian adalah baik (setelah dicoba).

Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya

obligatoir saja.31 Ini berarti, menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Apa yang dikemukakan di sini mengenai sifat jual beli ini tampak jelas dari pasal 1459, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah

30

Ibid., hlm. 127

31

(13)

berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan (menurut

ketentuan-ketentuan yang bersangkutan).32

Jual beli tiket pesawat adalah salah satu contoh dari jual beli antara pelaku usaha dan konsumen. Mengenai jual beli antara pelaku usaha dan konsumen tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi juga dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999. Walaupun sama-sama merupakan jual beli, namun jual beli antara pelaku usaha dan konsumen lebih memberikan kemudahan kepada konsumen lebih memberikan kemudahan kepada konsumen (pembeli) dibanding perlindungan pembeli pada umumnya karena dalam jual beli antara pelaku usaha dan konsumen banyak membatasi

kebebasan pelaku usaha untuk mencantumkan klausul baku tertentu.33

Kegiatan jual beli tiket pesawat pada awalnya dilakukan layaknya kegiatan jual beli biasa. Calon penumpang dapat membeli dari pihak maskapai langsung maupun melalui travel perjalanan. Namun seiring berkembangnya teknologi, perjanjian jual beli tiket pesawat dapat dilakukan melalui internet atau aplikasi resmi yang di install pada telepon genggam.

Transaksi melalui internet atau yang sering disebut e-commerce (electronic commerce), pada dasarnya sudah dikenal di Indonesia dalam waktu yang cukup lama, terutama sejak dikenalnya credit cards, automated teller machines, dan telephone banking. Hanya saja akhir-akhir ini istilah tersebut

semakin banyak dikenal karena telah dipergunakan untuk keperluan yang luas,

32

Ibid., hlm. 81

33

(14)

seperti dalam jual beli. Hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang menggunakan fasilitas internet tersebut berdasarkan subjek hukum yang terlibat,dapat dikelompokkan dalam:

1. business to business; 2. business to customer; 3. customer to customer; 4. customer to bussiness;

5. customer to government.34

Walaupun terdapat lima kelompok sebagaimana disebutkan di atas, namun pada dasarnya yang terkait dengan perjanjian jual beli hanya tiga kelompok yang pertama karena customer to business pada dasarnya melibatkan pihak yang sama dengan kelompok kedua di atas sedangkan customer to government jika terkait dengan jual beli, dapat dikelompokkan ke dalam kelompok kedua juga sedangkan kalau menyangkut kepentingan lain seperti pembayaran pajak, hal itu tidak terkait dengan ketentuan hukum dalam jual beli.

Mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang jual beli melalui internet ini, kita tidak dapat mengingkari bahwa hal ini pun tunduk pada ketentuan tentang jual beli pada umumnya karena yang membedakan antara keduanya hanyalah media yang digunakan sehingga ada pula dampak-dampak hukum tertentu yang perlu dicarikan ketentuan hukum yang mengatur tentang

dampak-dampak tersebut.35 34 Ibid., hlm. 143 35 Ibid., hlm. 143

(15)

Perjanjian jual beli tiket pesawat melalui internet dengan perjanjian jual beli tiket secara biasa tidak jauh berbeda, yang membedakan hanya pada bentuk dan berlakunya. Dalam perjanjian jual beli tiket melalui internet hanya ada form atau blanko klausul perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dan ditampilkan dalam media elektronik tersebut, dan calon pembeli mengisi form tersebut apabila sesuai dengan keinginannya.

Perjanjian yang ada dalam jual beli tiket elektronik (e-ticket) muncul pada saat pihak konsumen menentukan pada hari dan jam berapa akan melakukan penerbangan dan harga dari tiket elektronik (e-ticket) pun sudah tertera berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan. Jika konsumen sepakat dengan harga

yang sudah tertera maka selanjutnya konsumen meng-klik tombol

“next/berikutnya” untuk melakukan pembayaran atas tiket yang sudah di pesan. Pembayaran tiket dapat dilakukan dengan sistem ATM, pembayaran cash, atau dengan perantaraan pihak ketiga seperti kartu kredit online. Setelah konsumen melakukan pembayaran maka perjanjian sudah terjadi dan ketentuan mengenai perjanjian dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata telah berlaku bagi para pihak.

B. Prestasi dan Wanprestasi serta Bentuk Prestasi dan Wanprestasi

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak. Prestasi pokok tersebut dapat berwujud:

1. benda;

(16)

3. tidak berbuat sesuatu.36

Menurut pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi dibagi dalam 3 macam: yaitu prestasi untuk menyerahkan sesuatu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi dari “menyerahkan sesuatu”, namun dalam rumusan yang ditemukan dalam pasal 1235 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan

menyerahkan/memberikan sesuatu adalah prestasi yang mewajibkan debitur untuk menyerahkan suatu kebendaan. Adapun yang dimaksud dengan kebendaan adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu setiap barang dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik. Sebagai contoh dapat dikemukakan perjanjian jual beli yang melahirkan kewajiban pada pihak penjual untuk menyerahkan barang atau hak (piutang) yang dijual kepada pembeli pada tempat dan waktu yang ditentukan, dan kewajiban pembeli untuk menyerahkan uang kepada penjual sebagai nilai harga jual yang

telah disepakati.37 Prestasi kedua ialah prestasi untuk melakukan atau berbuat

sesuatu. Prestasi untuk melakukan atau berbuat sesuatu berhubungan dengan kewajiban debitor untuk melaksanakan pekerjaan atau jasa tertentu untuk kepentingan kreditor. Bergantung pada sifat dari pekerjaan atau jasa yang akan dilakukan, maka pihak yang berkewajiban melakukan pekerjaan atau jasa tersebut dapat bersifat spesifik, dengan pengertian bahwa suatu jenis pekerjaan atau jasa hanya dapat dilakukan orang perorangan tertentu yang dalam hal ini adalah

36

Ahmad Miru, Op.Cit., hlm. 68

37

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan pada Umumnya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 60

(17)

debitor dalam perikatan. Di samping itu juga tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu pekerjaan atau jasa dapat dilaksanakan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan dan atau keahlian yang serupa, dengan hasil yang sesuai atau setidaknya serupa, mirip atau sepadan dengan yang diharapkan oleh kreditur dari perikatannya, dan yang ketiga ialah prestasi untuk berbuat atau tidak melakukan sesuatu. Prestasi untuk berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat diketahui bahwa hal ini bersifat larangan, yang jika dilanggar akan menyebabkan debitor terikat pada suatu perikatan baru, yaitu untuk; memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga sebagai akibat dilakukannya perbuatan yang tidak diperbolehkan tersebut, yang menerbitkan kerugian pada kreditur; dan atau menghapuskan segala sesuatu yang dilakukan secara bertentangan dengan perikatan; dan atau membayar segala biayadan ongkos yang dikeluarkan oleh kreditur guna mengembalikan segala sesuatu yang dilakukan oleh debitur secara bertentangan dengan perikatan, dalamhal debitur tidak melaksanakan sendiri kewajibannya untuk menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuatnya secara

bertentangan dengan perikatan.38

Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan dan Undang-Undang.

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan.

c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.39

38

Ibid., hlm. 67

39

(18)

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term”dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Supaya objek perikatan itu dapat dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu:

a. Prestasi harus sudah tertentu dan dapat dilakukan

Sifat ini memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu dan tidak dapat ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).

b. Prestasi itu harus mungkin

Artinya prestasi ini dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).

c. Prestasi itu harus dibolehkan (halal)

Artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi itu tidak halal maka prestasi itu batal (nietig). d. Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditur

Artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar).

e. Prestasi itu terdiri atas suatu perbuatan atau serentetan perbuatan Jika prestasi berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan

(19)

lebih dari satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir

mengakhiri perikatan.40

Apabila seseorang telah ditetapkan prestasinya sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau menaatinya. Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi tersebut berarti telah terjadi ingkar

janji atau disebut wanprestasi.41

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi merupakan suatu istilah yang menunjuk pada ketiadalaksanaan prestasi oleh pihak yang membuat perjanjian. Wanprestasi menurut Abdulkadir Muhammad mempunyai arti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan

dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian.42 J. Satrio

menjelaskan bahwa wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan dimana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan

debitur punya unsur yang salah atasnya.43 Wanprestasi dapat berupa empat

macam, yaitu :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

40

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 241

41

Ibid., hlm. 70

42

Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 20

43

J. Satrio, Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yurispudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 3

(20)

2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana mestinya/melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat/tidak melaksanakan

kewajibannya pada waktunya;

4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. Dalam hal debitor memang secara sengaja tidak mau melaksanakannya, maka hal tersebut diatur dalam pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa debitor adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada kreditor, apabila ia telah membawa dirinya kedalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaanya atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya. Juga diatur dalampasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu apabila kreditor tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalamkewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

Debitor tidak mungkin dipaksa untuk melakukan segala sesuatu yang tidak mau dilaksanakan olehnya, oleh karena itu terhadap ketentuan ini berlakulah ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terhadap debitor yang dengan sengaja tidak memenuhi perikatannya dan memiliki dua atau lebih kredito, maka ketentuan Undang-Undang Kepailitan dapat diterapkan, agar kreditor dapat memperoleh haknya yang diberikan oleh undang-undang.

(21)

Penjelasan yang diuraikan di awal, dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah kewajiban dalam suatu hubungan hukum perikatan. Sebagai suatu bentuk kewajiban dalam lapangan harta kekayaan, prestasi dapat terwujud dalam kewajiban untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dalam bahasa Belanda, setiap pelaksanaan prestasi yang tidak baik, prestasi yang buruk, prestasi yang tidak memadai, prestasi yang tidak beres disebut dengan wanprestatie, yang berarti prestasi yang tidak dipenuhi dengan baik. Rumusan wanprestasi tersebut serupa dengan istilah “default” dalam bahasa Inggris. Menurut Black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan “default” adalah :

By its derivation, a failure. An omission of that which ought to be done.... Specfically, the omission or failure to perform a legal or contractual duty...; to observe a promise or discharge an obligation;... or to perform an agreement. The term is also embraces the idea of dishonesty, and of wrongful act....

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat dilihat bahwa “default” memang tidak spesifik menunjuk hanya pada cidera janji, melainkan pada wanprestasi, atau tidak dipenuhinya suatu kewajiban hukum, yang juga memberikan arti kepada suatu tindakan yang melawan hukum.

Jadi ini berarti wanprestasi adalah suatu pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya meliputi cidera janji atau tidak melaksanakan perikatan yang lahir dari

(22)

perjanjian, tetapi juga segala macam kewajiban (dalam hal ini kewajiban dalam

lapangan harta kekayaan; perikatan) yang dibebankan oleh hukum.44

Jelaslah bahwa wanprestasi memiliki pengertian yang jauh lebih luas dari sekedar cidera janji, oleh karena cidera janji hanya berbicara atau berhubungan dengan kelalaian atau ketidaklaksanaan suatu prestasi yang merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian. Sedangkan prestasi itu sendiri berbicara soal pelaksanaan prestasi yang buruk, yang tidak sesuai, yang tidak hanya lahir dari perjanjian semata-mata melainkan juga terhadap perikatan yang lahir dari undang-undang sebagaimana digariskan dalam pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.45

Ini berarti wanprestasi mewakili makna cidera janji (atau wanprestasi dalam pengertian sempit, yang sering dipergunakan dalam praktek hukum sehari-hari) dan terjadinya perbuatan melawan hukum (sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang secara eksklusif seringkali hanya disebut dengan nama perbuatan melawan hukum saja tanpa mengaitkannya dengan makna wanprestasi secara luas tersebut)

C. Faktor Penyebab Timbulnya Wanprestasi dan Akibat Hukum Timbulnya Wanprestasi

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya segi-segi hukum perjanjian, yang

dimaksud dengan wanprestasi adalah : “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau tidak dilakukan menurut selayaknya. Kalau begitu seorang

44

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm.87

45

(23)

debitur disebutkan dan beradadalam keadaan wanprestasi, apabila ia dalam melakukan pelaksanaan terhadap perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut

sepatutnya atau selayaknya.46

Dalam keadaan normal perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa gangguan ataupun halangan. Tetapi pada waktu tertentu yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu faktor dari luar dan faktor dari dalam diri pihak. Faktor dari luar adalah peristiwa yang diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat. Sedangkan faktor dari dalam manusia/para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak

sebelumnya telah mengetahui akibat yang muncul dari perbuatannya tersebut.47

Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, atau dengan kata lain pihak tersebut bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:

46

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 60

47

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 12

(24)

1. Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi)

2. Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi)48

Sanksi yang diberikan kepada pihak wanprestasi adalah sebagai berikut;

Ganti rugi ; sering diperinci dalam tiga unsur yaitu biaya, rugi dan bunga

(dalam bahasa Belanda: Kosten, Schaden en interesten).49 Yang dimaksud dengan

biaya adalah segala pengeluaran atau perongsokan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Yang dimaksud dengan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur, dan yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (winstderving) yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan itu merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian seorang debitur yang lalai atau alpa masih juga dilindungi oleh

undang-undang terhadap kewenangan si kreditur.50 Seperti yang terdapat dalam

pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau disedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.

Jadi dapat dilihat bahwa ganti rugi itu dibatasi hanya meliputi kerugian

48

Ahmad Miru, Op.Cit., hlm. 77

49

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 13

50

(25)

yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Apabila suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Dengan kata lain, perjanjian itu ditiadakan.

Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pengaturannya pada pasal 1266 “syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.

Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “yang dimaksudkan dengan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang menjadi objek perjanjian.

Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berkut;

1. pemenuhan perjanjian;

2. pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3. ganti rugi saja;

4. pembatalan perjanjian;

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun ada salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi yaitu mengenai syarat kecakapan para pihak perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh

Perjanjian jual beli melalui internet juga harus memenuhi syarat-syarat sah nya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 BW yang dapat dibuktikan dan

Yang dimaksud dengan pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilakukan adalah berhentinya kewajiban debitur bersifat sementara dikarenakan debitur berhenti bekerja

Mengenai suatu hal tertentu didalam syarat sah suatu perjanjian adalah dapat menentukan apakah objek tersebut adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak

berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja, adapun syarat kecakapan diatur melalui Pasal 1330 KUHPerdata yang memberikan

Para ahli hukum Indonesia, umumnya berpendapat syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak yang

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan

Hasil Penelitian: Hasil yang di dapat dari penelitian ini adalah perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan oleh kedua belah pihak merupakan perjanjian yang sah secara hukum dan