• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

2.1. Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu. Hal itu karena adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri.

Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi criminal justice system dalam Black’s

Law Dictionary disebutkan sebagai “The system typically has three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors, defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, parole officers)”.59 Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen” dalam sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Disamping itu pengertian diatas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk ”menegakkan hukum pidana”, yaitu fungsi penyidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya.

Berbeda dengan pengertian dalam Black’s di atas, pengertian sistem peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana merupakan

59 Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul,

Minn, h. 381

(2)

suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.60 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu ”jaringan” peradilan, juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan dalam pengertian

Black’s terlihat lebih menekankan pada kelembagaannya (komponen).

Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon B. Davis sebagaimana dikutip Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.61 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistimatis.

Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi

60 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang, h. 4

(3)

yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.62 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan perundang-undangan pidana, praktik administrasi yang dijalankan lembaga peradilan pidana dan pelaksananya.

Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal

justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari

suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.63 Peradilan pidana sebagai ”proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-masing memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai ”sistem” didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya kearah suatu tujuan.

Dari definisi-definisi di atas, terlihat adanya beberapa penekanan, yaitu : Pertama, adanya sistem dari suatu proses yang merupakan proses pelaksanaan tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan pidana. Jadi terdapat tahapan-tahapan yang berjalan secara sistematis dalam melaksanakan peradilan pidana.

62 Romli Atmasasmita, 1996, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h. 14

(4)

Kedua, adanya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang diberikan Mardjono Reksodipoetro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.64 Jadi komponen dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka advokat sudah selayaknya menjadi bagian komponen didalamnya.

Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu kepolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas mengadili, advokat berfungsi melakukan tugas mendampingi dan memberikan jasa bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa/terpidana, serta fungsi lembaga pemasyarakatan yang bertugas menjalankan putusan penghukuman dan pemasyarakatan narapidana, urutan tersebut menunjukkan rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu.

Ketiga, adanya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya sebagai institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan untuk menjalin kerja antar komponen

64 Mardjono Reksodipoetro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada

Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi)”, Pidato Pengukuhan Penerimaan

Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Jakarta, selanjutnya disebut Marjono Reksodipoetro I, h. 1

(5)

secara terkait, sehingga terlaksana seluruh tahap dalam proses peradilan pidana yang sinergis guna mencapai tujuan yang tertentu.

Keempat, adanya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam sistem tersebut. Tujuan disini dipandang sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil bekerjanya seluruh komponen. Oleh karenanya pemahaman tiap-tiap komponen dari seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting dan menjadi peran yang sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka penanggulangan kejahatan.

Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pidana, oleh Alan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodipoetro, dikemukakan bahwa :

Peradilan pidana hanya dapat diberfungsi secara sistimatis apabila setiap bagian sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian lainnya. Dengan kata lain, sistim tersebut tidak akan sistimatis jika hubungan antara polisi dan penuntut umum, polisi dengan pengadilan, penuntut umum dengan lembaga pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan dan hukum dan seterusnya, tidak harmonis. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebut menyebabkan sistim peradilan pidana rentan terhadap perpecahan (fragmentasi) dan tidak efektif.65 Pemahaman di atas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana tentang tujuan sistim peradilan pidana. Apabila tidak tercipta pemahaman yang sama diantara komponen, peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan menggunakan sistem ini

65 Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Matakuliah Sistim Peradilan

(6)

tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodipoetro, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.66

Atas tujuan tersebut, Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu ”integrated criminal justice system”.67 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, oleh Mardjono Reksodipoetro diperkirakan akan terdapat tiga kerugian, yaitu :

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana).

3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.68

Dirangkaikannya istilah “integrated” terhadap criminal justice system, menurut Muladi dipandang sebagai suatu keputusan yang berlebihan (overboding), sebab tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu.69 Hal itu apabila ditarik dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system seharusnya

66 Romli Atmasasmita, Op.cit., h. 15 67 Romli Atmasasmita, Op.cit., h. 15 68 Romli Atmasasmita, Op.cit., h. 15 69 Muladi, Op.cit., h. 119

(7)

sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination).70 Keterpaduan tersebut didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut :

1. Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour).

2. Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism). 3. Sistim selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness). 4. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan sistim nilai tertentu

(transformation).

5. Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness).

6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism).71

Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya merupakan disturbing issue.72 Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang tidak dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, menurut pandangan para ahli hukum dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut dalam penegakan hukum. Adanya wewenang diskresi juga dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan pidana tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama diantara subsistem-subsistem peradilan pidana, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu, dan juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan pidana.

Keserempakan dan keselarasan sebagai kandungan makna dari sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat besifat :

sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam administrasi peradilan pidana (the administration of

70 Muladi, Op.cit., h. 1 71 Muladi, Op.cit., h. 119 72 Muladi, Op.cit., h. 1

(8)

justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum, dapat pula

bersifat sinkronisasi substansial (substancial syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif, dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.73

Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L. Packer, bahwa a pragmatic approach to

the central question of what the criminal law is good for would require both a general assessment of whether the criminal process is a high speed or a lows peed instrument of social control and a series of specific assessment of its fitness for handling particular kinds of antisocial behavior.74 Menurut Packer, bahwa suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses pidana merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah dari penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengantisipasi perilaku anti sosial.

Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut diatas menurut Packer adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model. One way to

do this kind of job is to abstract from reality, to build a model.75 Model yang hendak dibangun adalah :

1. It has considerable utility as an index of current value choices...about

how the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai

indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem diimplementasikan).

73 Muladi, Op.cit., h. 1-2

74 Herbert L. Packer, 1986, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press,

Stanford, California, h. 152

(9)

2. The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from

the law on the books and to describe, as accurately as possible, what actually goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha

untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapkan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari).

3. The kind of model we need is one that permits us to recognize explicitly

the value choices that underlie the details of the criminal process (sebuah

model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu proses pidana).76

Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal di atas menurut Packer adalah model-model normatif, dan dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan lebih dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model dan the crime control

model.77 Terhadap model-model yang dibangun oleh Packer tersebut, Muladi berpendapat terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu :

1. Crime control model, sebagaimana digambarkan oleh John Griffiths sebagai model yang bertumpu pada the proposition that the repression of

criminal conduct is by far the most important function to be performed by the criminal process.78 Model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Menurut Muladi, model ini merupakan bentuk asli dari adversary model dengan ciri-ciri penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan pemidanaan adalah pengasingan.79

2. Due process model, menurut Muladi tidak sepenuhnya menguntungkan, sebab meskipun model ini diliputi oleh the concept of the primacy of the

76 Ibid, h. 152-153 77 Ibid.

78 Muladi, Op.cit., h. 5 79 Muladi, Op.cit., h. 5

(10)

individual and the complementary concept of limitation on official power

dan bersifat anti outhoritarian values, namun tetap berada dalam kerangka adversary model.80 Konsep due process model menempatkan individu pada kedudukan yang istimewa dan pembatasan kekuasaan aparat dan bersifat anti nilai-nilai kepatuhan yang mutlak. Dalam pandangan Muladi, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan falsafah Pancasila, yang melihat pelaku tindak pidana baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial.81

3. Family model dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the

victim of crime) yang memerlukan perhatian serius.82

Berdasarkan penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diri pada konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistim peradilan pidana Indonesia adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.83 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu model yang bertumpu pada konsep daad-daderstrafrecht. Model keseimbangan kepentingan yang bertumpu konsep daad-daderstrafrecht tersebut terlihat belum terakomodir dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

80 Muladi, Op.cit., h.5 81 Muladi, Op.cit., h.5 82 Muladi, Op.cit., h.5 83 Muladi, Op.cit., h.5

(11)

yang bertumpu pada konsep daderstrafrecht yang lebih memberi penekanan pada pelaku tindak pidana.

Keperpihakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada pelaku tindak pidana, terlihat dari sepuluh asas yang terkandung didalamnya, yaitu :

1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2. Praduga tidak bersalah.

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. 4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum.

5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.

6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7. Peradilan yang terbuka untuk umum.

8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis).

9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya.

10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan.84 Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia yang sampai saat ini masih melandaskan diri pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memang dirasakan belum mewakili berbagai kepentingan. Sebagai contoh, mengenai kepentingan korban dalam proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, juga masih ada perbedaan yang menyolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodipoetro, yaitu antara lain menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, agaknya tidak akan terlaksana secara baik.

(12)

Mengambil pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Sedangkan keinginan-keinginan hukum itu sendiri adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum,85 maka dalam proses penegakan hukum oleh para pejabat penegak hukum disini terkait erat dengan peraturan-peraturan hukum yang telah ada. Oleh karenanya menurut Satjipto Rahardjo, perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.86

Memperhatikan pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo di atas, dapat disimpulkan bahwa pembuat hukum (undang-undang) juga dapat diartikan sebagai komponen yang turut menentukan dalam sistem peradilan pidana, karena bagaimanapun juga tindakan-tindakan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum juga terikat aturan-aturan hukum yang berlaku hasil perumusan para pembuat hukum (undang-undang). Dengan selarasnya tindakan antara komponen penegak hukum secara terstruktur, substansial maupun kultural sebagai suatu sistem sebagaimana dikemukakan Muladi diatas dengan bertumpu pada konsep keseimbangan, maka penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia diharapkan dapat mencapai keinginan-keinginan sesuai hukum.

85 Satjipto Rahardjo I, Op.cit., h. 24 86 Satjipto Rahardjo I, Op.cit., h. 24

(13)

2.2. Fungsi Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Pidana

Istilah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hukum positif di Indonesia mulai dikenal sejak negara Indonesia merdeka, yaitu termuat dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan, ”Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang”. Ketentuan tentang peninjauan kembali tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”.

Apabila dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menambah ketentuan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan baik terhadap perkara perdata maupun perkara pidana dan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung. Khusus dalam perkara pidana, istilah peninjauan kembali terakhir termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagaimana diatur dalam Bab XVIII, Bagian Kedua, Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Dalam Pasal 263 KUHAP dinyatakan, ”Terhadap putusan pengadilan

(14)

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

Setelah keluarnya KUHAP pada tahun 1981, istilah peninjauan kembali termuat lagi dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana termuat dalam Pasal 28, Pasal 34 dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Selain termuat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tersebut, juga termuat dalam Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebenarnya dalam praktik peradilan di Indonesia, peninjauan kembali sudah lama dikenal dan diberlakukan. Pada awalnya istilah yang dipergunakan untuk peninjauan kembali untuk perkara perdata adalah Request Civiel (rekes sipil) sebagaimana diatur Reglement op de Rechtsvordering (Rv) (S.1847 jo. 1847-52 jo. 1849-63), sedangkan dalam perkara pidana adalah Herziening sebagaimana diatur dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 360 Titel ke-18 Reglement op de

Strafvordering (Rs) (S. 1847-40 jo. 57), yaitu hukum acara pidana yang berlaku

untuk memeriksa dan mengadili penduduk golongan Eropa, Timur Asing dan Tionghoa ataupun yang dipersamakan dengan mereka. Istilah tersebut seperti disebutkan oleh Oemar Seno Adji, bahwa lembaga hukum ”peninjauan kembali” meliputi baik perkara pidana maupun perkara perdata masing-masing merupakan ”herziening” dan ”request civiel”.87 Sedangkan bagi penduduk asli (Bumi Putera) yang berlaku ketika itu adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) (S.

87 Oemar Seno Adji, 1981, Herziening Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga,

(15)

57 jo. S. 1926-559) untuk daerah Jawa dan Madura, dan untuk daerah luar Jawa dan Madura diberlakukan Rechtreglement Buitengewesten (RBg) (S. 1927-227). Akan tetapi untuk perkara pidana, HIR maupun RBg sama sekali tidak mengenal tentang peninjauan kembali tersebut.

Selain termuat dalam Reglement op de Strafvordering, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung maupun dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, istilah peninjauan kembali dalam perkara pidana juga dapat dijumpai dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA). Antara lain dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969, PERMA Nomor 1 Tahun 1980 dan terakhir PERMA Nomor 1 Tahun 1982. Keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 1982 mempertegas penggunaan istilah peninjauan kembali baik terhadap perkara pidana maupun perkara perdata. Hal tersebut sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 1982, yang menentukan ”Upaya hukum luar biasa yang selama ini dikenal dengan istilah request civiel/rekes

sipil tidak dipergunakan lagi dan diganti dengan istilah ”peninjauan kembali”.

Apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali dalam hukum positif Indonesia yang ada juga tidak dijelaskan. Dalam beberapa hukum positif hanya disebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dengan beberapa persyaratannya.

(16)

Suatu putusan pengadilan dapat dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), dalam hukum acara pidana yang sekarang berlaku (KUHAP) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sama sekali tidak mengaturnya. Namun dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, disebutkan bahwa putusan pengadilan baru dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tenggang waktu untuk berfikir telah dilampaui 7 (tujuh) hari setelah putusan pengadilan tingkat pertama dan 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan tingkat banding.

Ternyata agak sulit menemukan pengertian istilah peninjauan kembali dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dalam kepustakaan, seperti dikemukakan oleh A. Hamzah dan Irdan Dahlan, diartikan bahwa peninjauan kembali yaitu hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya.88 Pendapat lain seperti dikemukakan oleh H. Adami Chazawi, bahwa peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pemidanaan yang telah tetap dan hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.89 Oemar Seno Adji merumuskan peninjauan kembali sebagai

herziening yang sama halnya dengan ”request civiel” dilakukan oleh Mahkamah

Agung terhadap putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah

88 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara,

Jakarta, h. 4.

89 Adami Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan

Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, selanjutnya disebut

(17)

memperoleh kekuatan hukum yang tetap.90 Black’s Law Dictionary memberi definisi peninjauan kembali atau judicial review sebagai a court’s review of a lower court’s

or an administrative body’s factual or legal findings.91

Rumusan-rumusan pengertian tersebut hampir sama dengan rumusan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Ditinjau dari unsur yang menyertai ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, landasan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana terlihat telah diatur secara limitatif, yaitu pertama, putusan pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Ketiga, diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Ketentuan di atas memperlihatkan bahwa latar belakang dibentuknya lembaga peninjauan kembali adalah semata-mata untuk kepentingan terpidana, yaitu memberikan perlindungan hak terdakwa dari kesalahan penerapan hukum oleh pengadilan. Namun dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.

Pihak-pihak yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut tidak menjelaskan apakah peninjauan kembali terbatas hanya untuk terpidana atau ahli warisnya saja sebagaimana secara limitatif ditentukan dalam KUHAP, ataukah ada pihak lain yang juga boleh mengajukan peninjauan kembali

90 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 51. 91 Bryan A. Garner, Op.cit, h. 852.

(18)

seperti halnya Jaksa Penuntut Umum. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) hanya menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu”, antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.

Pengajuan peninjauan kembali juga harus didasarkan atas alasan yang cukup. Secara doktriner terdapat dua alasan penting dalam pengajuan peninjauan kembali, yaitu adanya ”conflict van rechtspraak” dan adanya ”novum”.92 Yang dimaksud dengan conflict van rechtspraak adalah terdapatnya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi ternyata satu dengan lainnya bertentangan.93 Sedangkan novum adalah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, jika diketahui keadaan itu pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.94

Alasan diperkenankannya pengajuan peninjauan kembali di atas, secara substansial hampir sama dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu :

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b. apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim suatu kekeliruan yang nyata.

92 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 49. 93 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 38. 94 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 39.

(19)

Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP tersebut, terlihat adanya tiga unsur alasan pengajuan peninjauan kembali, yaitu pertama, terdapatnya keadaan baru, kedua, terdapat putusan yang saling bertentangan, dan yang ketiga, terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Di samping harus memenuhi landasan dan alasan yang cukup, pengajuan peninjauan kembali juga harus memenuhi persyaratan tertentu. Sahnya pengajuan peninjauan kembali menurut M. Yahya Harahap adalah adanya surat permintaan peninjauan kembali. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai dasar, permintaan yang demikian dianggap tidak ada.95 Pendapat tersebut menurut M. Yahya Harahap didukung oleh Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP.96

Pasal 264 ayat (1) KUHAP menegaskan, ”Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya”. Pasal 264 ayat (4) KUHAP menegaskan, ”Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera ketika menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan ayat (4) tersebut, maka menurut M. Yahya Harahap, bahwa sebagai syarat formal permohonan peninjauan kembali adalah adanya ”surat permintaan” yang memuat alasan yang menjadi dasar

95 M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi

Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 598.

(20)

permintaan peninjauan kembali.97 Sedangkan yang menjadi syarat materiil pengajuan peninjauan kembali agar permintaan peninjauan kembali dapat diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, menurut H. Adami Chazawi adalah (1) adanya keadaan baru (novum), (2) ada beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict

van rechtspraak), dan (3) putusan memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau

kekeliruan nyata.98 Syarat materiil tersebut termuat dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

Keadaan baru (novum) yang dapat dijadikan landasan permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat, yaitu :

1. Jika keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. atau

2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. atau 3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan

menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.99

Parameter yang dapat dijadikan dasar bahwa pengaruh keadaan baru tersebut sangat kuat adalah :

1. Didukung oleh sekurang-kurangnya minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP.

2. Berdasarkan hukum pembuktian, ”keadaan baru” tersebut mempunyai hubungan dan pengaruh langsung, karenanya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membatalkan putusan pemidanaan semula yang dilawan dengan upaya hukum peninjauan kembali.

3. Berupa syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dijatuhkannya amar pembebasan, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum

97 Ibid.

98 Adami Chazawi I, Op.cit., h. 61. 99 M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 598.

(21)

tidak dapat diterima, atau diterapkannya aturan pidana yang lebih ringan.100

Maksud dari syarat materiil kedua, yaitu adanya beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak) adalah apabila dalam pelbagai putusan terdapat :

1. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti.

2. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara.

3. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.101

Beberapa putusan yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak) dimaksud di atas harus memenuhi syarat, yaitu :

1. Antara pelbagai putusan itu harus terdapat hubungan yang erat.

2. Dua atau lebih putusan tersebut harus sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.102

Maksud dari syarat materiil ketiga pengajuan peninjauan kembali, yaitu putusan memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Menurut H. Adami Chazawi adalah kekhilafan atau kekeliruan putusan itu harus nyata, artinya terang benderang, mudah dilihat atau mudah diketahui, tanpa harus menggunakan kekuatan pikir dan nalar secara khusus yang ditujukan untuk menguji kebenarannya.103 Kekhilafan atau kekeliruan hakim secara nyata dapat terjadi pada pertimbangan hukum dan amar putusan yang dibuatnya. Antara pertimbangan hukum dan amar putusan berkaitan erat, karena amar putusan tidak boleh menyimpang dari

100 Adami Chazawi, Op.cit., h. 65. 101 M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 600. 102 Adami Chazawi, Op.cit., h. 80. 103 Adami Chazawi, Op.cit., h. 84.

(22)

pertimbangan hukumnya. Tiap amar putusan harus didasari pertimbangan hukum, sehingga apabila pertimbangan hukumnya tidak mendukung amar putusan, maka putusan itu dapat dipandang sebagai putusan yang memperlihatkan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.

Setelah memperhatikan alasan maupun persyaratan pengajuan peninjauan kembali di atas, maka perlu diketahui terhadap putusan apa saja yang dapat dimintakan peninjauan kembali. Mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP, maka kiranya dapat diketahui bahwa putusan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah sebagai berikut :

1. Semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Semua putusan pengadilan.

3. Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Peninjauan kembali terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) baru terbuka setelah upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi telah tertutup. Artinya, sudah tidak ada lagi upaya hukum biasa yang harus dilalui lagi atau karena batas waktu pengajuan upaya hukum biasa telah terlampaui. Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan pada semua tingkat, yaitu putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) maupun putusan pengadilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung), asalkan putusan-putusan disetiap tingkat tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Meskipun permintaan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap putusan semua tingkat pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi

(23)

undang-undang menentukan pengecualian. Pengecualian dimaksud adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag

rechts vervolging).

Pengecualian tersebut oleh undang-undang dimaksudkan semata-mata untuk kepentingan terpidana, yaitu memberi kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar dapat terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karenanya, dari sisi ini dipandang sangat logis pengecualian tersebut, karena sangat tidak wajar bagi terpidana yang telah dibebaskan dari pemidanaan atau telah dilepaskan dari segala tuntutan hukum, ia mengajukan keberatan dengan melakukan pengajuan peninjauan kembali. Atas dasar itulah menurut sejarahnya upaya peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak diperkenankan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

2.3. Perkembangan Pengaturan Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa di Indonesia

Lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam sejarah perkembangan peradilan di Indonesia sebenarnya telah lama dikenal. Hal tersebut dapat diketahui dari hukum acara yang dipergunakan dalam pengadilan untuk golongan Eropah ketika itu, yaitu Reglement op de Rechtsvordering (S.1847 jo. 1847-52 jo. 1849-63) untuk perkara perdata dan Reglement op de Strafvordering (S. 1847-40 jo. 57) untuk perkara pidana. Kedua hukum acara tersebut telah mengatur tentang peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan

(24)

tetap. Menurut Reglement op de Rechtsvordering, Peninjauan kembali dalam perkara perdata disebut dengan istilah Request Civiel, sedangkan menurut Reglement op de

Strafvordering, peninjauan kembali dalam perkara pidana disebut dengan istilah herziening.

Berbeda dengan hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropah, dalam hukum acara yang berlaku di pengadilan (Landraad dan Raad van Justitie) untuk golongan Bumi Putera dan golongan Timur Asing, yaitu Het Herziene Indonesisch

Reglement (HIR) (S. 1848-57 jo. S. 1926-559) untuk daerah Jawa dan Madura,

sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diberlakukan Rechtreglement

Buitengewesten (RBg) (S. 1927-227), ternyata dalam kedua hukum acara tersebut

tidak diatur mengenai lembaga peninjauan kembali, baik untuk perkara perdata (request civiel) maupun untuk perkara pidana (herziening).

Ketika terjadi pendudukan Bala Tentara Jepang pada tahun 1942, dengan

Osamu Serei Nomor 34 Tahun 1942 telah menghapuskan badan peradilan yang

dibentuk Pemerintahan Kolonial Belanda untuk golongan rakyat Eropah, yaitu

Residentiegerecht, Raad van Justitie dan HoogGerechtshof. Osamu Serei Nomor 34

Tahun 1942 menetapkan Tihoo Hooin sebagai pengganti Landraad, Kootoo Hooin sebagai pengganti Raad van Justitie dan Saikoo Hooin sebagai pengganti

Hoog-Gerechtshof.104 Badan-badan peradilan bentukan Bala Tentara Jepang tersebut menjadi pengadilan untuk rakyat pada umumnya (termasuk golongan Eropah) baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana pada tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi.

104 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia

(25)

Pemberlakuan Osamu Serei yang menghapuskan pengadilan untuk golongan Eropah tersebut, menghapus pula hukum acara yang diatur dalam Reglement op de

Rechtsvordering (BRv) dan Reglement op de Straf vordering (RRv). Oleh karenanya

badan peradilan seperti Tihoo Hooin, Kootoo Hooin dan Saikoo Hooin dalam mengadili perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana menggunakan hukum acara yang diatur dalam HIR dan RBg. Dengan berlakunya HIR dan RBg tersebut lembaga peninjauan kembali tidak ada lagi, karena dalam kedua hukum acara tersebut tidak mengatur lembaga peninjauan kembali.

Pada tahun 1945 yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti dengan pemberlakuan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menentukan ”Segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, maka HIR dan RBg sebagai hukum acara dalam pemeriksaan perkara di pengadilan tetap berlaku. Oleh karena HIR dan RBg tidak mengenal lembaga peninjauan kembali, maka dengan demikian lembaga peninjauan kembali dalam praktik peradilan tidak pernah ada.

Kemudian pada tahun 1951 ketika diberlakukan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan bahwa ”Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan padanya dan oleh Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, ”Reglemen Indonesia yang dibaharui” (Staatsblad 1941 No. 44)

(26)

seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil”.

Melalui Pasal 393 Reglemen Indonesia yang dibaharui (Staatsblad 1941 No. 44) atau HIR, sebenarnya telah diberi kemungkinan dalam hal-hal yang sangat diperlukan menggunakan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang ditentukan dalam Reglemen Hukum Acara Perdata yang dipakai pengadilan golongan Eropah seperti

Raad van Justitie dan Hooggerechtshof oleh beberapa Pengadilan Negeri kota besar

seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, dengan seijin Gouverneur-Generaal (Presiden Republik Indonesia) setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung Indonesia), seperti halnya terhadap lembaga peninjauan kembali (request civiel). Namun hal itu dalam praktik tidak pernah dijumpai. Untuk perkara pidana, dalam HIR tidak ada ketentuan yang menunjuk dapat digunakannya lembaga peninjauan kembali (herziening) seperti yang diatur dalam Reglement op de Straf

vordering (RSv).

Penggunaan lembaga peninjauan kembali dalam perkara pidana terhadap putusan-putusan pengadilan yang dianggap keliru atau kurang tepat dalam praktik muncul kembali pada sekitar tahun 1960-an. Namun berdasarkan yurisprudensi, pada umumnya permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana ketika itu dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), karena dianggap tidak ada dasar hukumnya.105

Keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terlihat pada Pasal 15 yang

(27)

menetapkan, bahwa ”Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang”. Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa sejak saat itu lembaga peninjauan kembali sebagai hukum positif dapat dipergunakan dalam perkara pidana. Namun ketentuan tersebut masih memerlukan peraturan pelaksananya, seperti terlihat pada penjelasan Pasal 15 undang-undang tersebut, yaitu ”Syarat-syaratnya ditetapkan dalam hukum acara”. Sedangkan hukum acara mengenai lembaga peninjauan kembali ketika itu belum ada, sehingga menimbulkan kesulitan dalam praktik pengadilan.

Karena begitu lamanya belum ada juga peraturan pelaksana mengenai lembaga peninjauan kembali tersebut, maka untuk mengisi kekosongan hukum dan demi kesatuan serta kepastian hukum dalam menangani perkara peninjauan kembali oleh pengadilan, pada tanggal 19 Juli 1969 Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1969 mengenai tambahan hukum acara Mahkamah Agung dengan lembaga ”peninjauan kembali” suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap beserta peraturan pelaksanaannya. PERMA tersebut mengatur secara terperinci alasan-alasan maupun tata cara pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Ternyata keluarnya PERMA tersebut menimbulkan keberatan dari Menteri Kehakiman, karena menganggap bahwa PERMA tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, yang menentukan bahwa

(28)

hal ini harus ditentukan dengan undang-undang.106 Menteri Kehakiman menganggap, bahwa Mahkamah Agung telah membuat ”law making”, yang merupakan wewenang Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan “rule making” yang merupakan wewenang Mahkamah Agung, yang hanya dapat membuat ”interne

regeling” untuk pengadilan saja.107 Menanggapi keberatan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman dan untuk menenggang rasa terhadap pendapat Menteri Kehakiman tersebut, maka Mahkamah Agung menunda berlakunya PERMA dan mempersilahkan pengadilan membentuk yurisprudensi tentang peninjauan kembali perkara perdata dan pidana dengan mengacu pada isi PERMA itu.108

Lembaga peninjauan kembali (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa, kembali serius dibicarakan oleh kalangan hukum setelah munculnya kasus Sengkon Bin Yakin dan Karta alias Karung alias Encep Bin Salam, yang dikenal secara luas dengan kasus Sengkon dan Karta. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 2/K.T.S/Bks/1977 tanggal 20 Oktober 1977, Sengkon dan Karta masing-masing dihukum dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan 7 (tujuh) tahun atas perbuatan pembunuhan, dan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dalam tingkat banding, putusan pengadilan tingkat pertama tersebut dikuatkan. Namun karena Sengkon dan Karta tidak mengajukan kasasi, maka putusan tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap, sehingga mereka menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan. Ternyata didalam Lembaga Pemasyarakatan ada narapidana lain bernama Gunel yang mengakui bahwa dialah yang membunuh korban dan bukan Sengkon dan Karta sebagai pelakunya. Atas pengakuannya itu Gunel diajukan

106 Ibid, h. 137 107 Ibid. h. 137 108 Ibid. h. 137

(29)

kemuka sidang pengadilan dan dihukum melakukan pembunuhan, dan terhadap putusan tersebut Gunel menerima putusan pengadilan.

Berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atas nama Gunel tersebut, para kuasa hukum Sengkon dan Karta mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Kuasa hukum Sengkon dan Karta mendesak terus agar perkara peninjauan kembali tersebut dapat diperiksa. Kasus Sengkon dan Karta menjadi mengemuka dan terus menjadi perbincangan oleh para pakar hukum. Kemudian Mahkamah Agung atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, sebagai pengaturan sementara sebelum diatur dengan undang-undang.

PERMA Nomor 1 Tahun 1980 pada intinya tidak banyak berbeda dengan PERMA Nomor 1 Tahun 1969, yaitu mengatur permasalahan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik dalam perkara perdata dan maupun perkara pidana. Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 tersebut Mahkamah Agung mengadili Permohonan peninjauan kembali yang diajukan kuasa hukum Sengkon dan Karta. Dalam putusannya Mahkamah Agung membebaskan kedua terhukum Sengkon dan Karta dari segala tuduhan.109

Meskipun ketika itu pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 tersebut menjadi masalah yang kontroversial dikalangan para pakar hukum, karena dianggap tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, namun tetap dipandang

(30)

sebagai suatu pemecahan yuridis, yaitu untuk menampung permasalahan yang muncul akibat kekhilafan atau kekeliruan aparat peradilan, seperti halnya kasus Sengkon dan Karta.

Pada tahun 1981, yaitu dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hukum acara pidana yang berasal dari zaman kolonial, yaitu HIR dan RBg dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam Bab XVIII bagian Kedua KUHAP telah diatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sejak berlakunya KUHAP sebagai landasan hukum acara pidana, maka sejak saat itu pula lembaga peninjauan kembali dalam perkara pidana telah diatur dengan undang-undang. Dengan demikian peraturan mengenai lembaga peninjauan kembali sebagaimana termuat dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1980 harus dicabut. Kemudian berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1982 sebagai penyempurnaan PERMA Nomor 1 Tahun 1980, dinyatakan bahwa peraturan tentang peninjauan kembali perkara pidana dicabut, sedangkan peraturan tentang perkara perdata dipertahankan dan diperinci lebih lanjut.

2.4. Hak Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana

Asas due process of law sebagai manifestasi pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang sangat penting dan harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum. Asas due process of law sebagai asas utama perlindungan hak warga negara melalui

(31)

proses hukum yang adil, juga merupakan jaminan atas hak-hak yang dimiliki tersangka atau terdakwa maupun terpidana. Hak warga negara (civil rights) tersebut merupakan hak seseorang untuk membela diri dan menuntut hak-haknya dengan pengakuan asas kebersamaan kedudukannya didalam hukum (equality before the

law) melalui proses hukum yang adil (due process of law) yang dalam hal ini adalah

mekanisme proses peradilan pidana.110

Hak due process of law dalam pelaksanaan tindakan penegakan hukum, bersumber dari cita-cita “negara hukum” yang menjunjung tinggi “supremasi hukum” (the law is supreme) yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum” dan “bukan oleh orang” (government of law and not of men).111 Dari asas tersebut, dalam pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa, setiap institusi pada setiap tingkat pemeriksaan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya harus berpegang pada ketentuan hukum yang ada, dalam hal ini adalah hukum acara pidana. Oleh karenanya prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang jujur” sebagai konsep due

process of law sebagai wujud perlindungan hukum terhadap tersangka atau terdakwa

dapat terpenuhi.

Asas due process of law dalam KUHAP menurut Mardjono Reksodiputro, tercermin dari sepuluh prinsip perlindungan hak warga negara sebagaimana ditemukan dalam penjelasan KUHAP, yaitu :

1. perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2. praduga tidak bersalah.

3. hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. 4. hak untuk mendapatkan bantuan hukum.

5. hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.

110 I Gusti Ketut Ariawan, Op.cit., h. 8-9 111 M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 95

(32)

6. peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7. peradilan yang terbuka untuk umum.

8. pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis).

9. kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu, termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.

10. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.112

Negara Republik Indonesia yang dalam konstitusi telah mengikrarkan diri sebagai negara hukum sebagaimana terlihat pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang memberikan jaminan persamaan kedudukan dalam hukum bagi setiap warga negaranya, juga merupakan konsekuensi dari suatu negara hukum. Karena sebagai negara hukum menurut Sri Sumantri, harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :

1. pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.

2. adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara). 3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.113

Pendapat yang hampir sama juga diutarakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa suatu negara hukum ditandai oleh adanya empat unsur pokok, yaitu :

1. pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. 2. negara didasarkan pada teori Trias Politica.

3. pemerintah didasarkan pada undang-undang (wetmatig bestuur).

4. ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige

overheidsdaat).114

Dari kedua pendapat diatas menunjukkan arti, bahwa negara mempunyai tanggung jawab atas perlindungan hak-hak warga negara sebagai perwujudan

112 Mien Rukmini, Op.cit., h. 84-85

113 Sri Sumantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, h. 29

(33)

penghargaan akan hak asasi manusia. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut apabila terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang, termasuk dalam proses peradilan pidana, akan memberi harapan bagi setiap orang, termasuk dalam hal ini adalah bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan hak-haknya secara seimbang pula.

Kesimbangan dalam hidup yang dimiliki oleh setiap orang tersebut merupakan salah satu aspek perlindungan hak asasi manusia. Dalam hal tersebut, dikatakan oleh Djoko Prakoso dan Agus Ismunarso, bahwa pada dasarnya hak asasi manusia ditandai oleh dua ciri. Pertama, kesimbangan antara hak dan kewajiban. Kedua, kesimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum (masyarakat). Jadi, perlindungan HAM meliputi dua unsur, yaitu hak asasi perseorangan dan hak asasi masyarakat.115

Nilai keseimbangan tersebut ditinjau dari segi hukum, menurut Barda Nawawi Arief, adalah keseimbangan antara aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan, mengandung makna antara hak-hak perorangan (individual) disatu pihak dan hak-hak kemasyarakatan (sosial) dilain pihak. Dengan perkataan lain, hukum harus merupakan manifestasi dan sekaligus pelindung HAM secara individual dan HAM sebagai satu kesatuan hak komunitas.116

Pendapat di atas dapat dipahami karena pada dasarnya hak asasi manusia seperti dikemukakan Masyhur Effendi, adalah hak asasi / hak kodrat / hak mutlak milik umat manusia, orang per orang, dimiliki umat manusia sejak lahir sampai

115 Djoko Prakoso dan Agus Ismunarso, 1987, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi

Dalam Kontek KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, h. 9

116 Barda Nawawi Arief, 1992, ”Perlindungan HAM Dalam Hukum Positif di Indonesia”,

dalam, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II, h. 89.

(34)

meninggal dunia. Dalam pelaksanaannya didampingi kewajiban dan bertanggungjawab.117

Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia setiap warga negara sebagai salah satu unsur negara hukum, dalam proses peradilan pidana menjadi aspek yang fundamental. Oleh karena adanya asas persamaan kedudukan didalam hukum dalam proses peradilan pidana, menjadi tuntutan yang harus diwujudkan. Implementasi dalam proses peradilan pidana di Indonesia, terhadap pihak-pihak yang berhadapan, yaitu terhadap terdakwa disatu pihak dan penuntut umum di pihak yang lain, hakim dituntut bersikap tidak memihak (impartial).

Asas persamaan kedudukan dimuka hukum sejak proses penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum untuk melindungi baik bagi kepentingan negara maupun kepentingan terdakwa, serta lebih jauh tentunya juga bagi kepentingan korban. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak bagi terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum. Hak-hak dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP, yaitu :

1. Hak untuk segera diperiksa dan diajukan ke pengadilan serta diadili (Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP).

117 H. A. Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum

(35)

2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan butir b KUHAP).

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP).

4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP).

5. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP).

6. Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati atau lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, dengan biaya cuma-cuma (Pasal 56 KUHAP).

7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2) KUHAP).

8. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan (Pasal 58 KUHAP). 9. Hak pemberitahuan tentang penahanan atas diri tersangka atau terdakwa

kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya (Pasal 59 KUHAP).

(36)

10. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60 KUHAP).

11. Hak untuk menghubungi dan menerima sanak keluarganya secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61 KUHAP). 12. Hak untuk berhubungan melalui surat menyurat dengan penasihat

hukumnya atau dengan sanak keluarganya (Pasal 62 KUHAP).

13. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan (Pasal 63 KUHAP).

14. Hak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP).

15. Hak untuk mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (a de charge) (Pasal 65 KUHAP).

16. Hak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67 KUHAP).

17. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP). Dari rumusan hak-hak sebagaimana tersebut di atas setidak-tidaknya negara telah menjamin kepastian hukum perlindungan hak asasi terhadap terdakwa. Akan tetapi, apabila dilihat kembali dari asas persamaan kedudukan didalam hukum

(37)

(equality before the law) dalam proses peradilan pidana, masih terlihat kurang adanya keseimbangan perhatian khususnya bagi korban tindak pidana. Perhatian negara lebih banyak merangkum kepentingan terdakwa dalam proses peradilan pidana. Namun sebaliknya perhatian terhadap korban tindak pidana belum banyak dijamin dalam proses peradilan pidana.

Perhatian terhadap korban tindak pidana dalam KUHAP terlihat hanya mengenai permasalahan ganti kerugian seperti dirumuskan dalam Pasal 98 KUHAP, yaitu ”Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Perhatian terhadap korban tindak pidana seperti itu dipandang sebagai pendekatan yang terlalu sempit. Hal tersebut karena hanya memusatkan perhatian pada penggantian kerugian yang bersifat finansial, tidak memikirkan dampak lainnya yang bersifat psikologis. Padahal, korban tindak pidana atau korban kejahatan menurut Muladi, harus diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran).118

Demikian juga dalam hal pengajuan upaya hukum terhadap suatu putusan pengadilan, terdakwa atau terpidana oleh KUHAP masih diberi ruang untuk mempertahankan hak-haknya melakukan tinjauan ulang melalui upaya banding, kasasi dan bahkan pengajuan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang

(38)

telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal upaya hukum di atas, memang disamping terdakwa atau terpidana, KUHAP juga memberikan hak kepada jaksa/penuntut umum untuk melakukan upaya banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan yang dipandang kurang tepat. Posisi jaksa/penuntut umum disini tentunya atas nama negara untuk mempertahankan kepentingan umum. Namun KUHAP tidak secara tegas menentukan apakah memberi hak kepada jaksa/penuntut umum untuk dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan tetap atau tidak.

Menurut ketentuan Pasal 67 KUHAP, terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Sedangkan menurut Pasal 244 KUHAP, menentukan bahwa terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dari kedua ketentuan tersebut, jelas bahwa terhadap putusan pengadilan tingkat pertama yang dianggap kurang tepat, terdakwa atau penuntut umum diberi hak untuk melakukan banding dan terhadap putusan pengadilan tingkat banding, terdakwa atau penuntut umum diberi hak untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Diberikannya hak yang sama kepada terdakwa dan penuntut umum oleh undang-undang dalam melakukan upaya hukum banding maupun kasasi, menunjukkan antara terdakwa dan penuntut umum didudukkan sebagai pihak yang

(39)

sama dalam kepentingan hukumnya. Namun dalam kepentingan pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, KUHAP baru memberi peluang kepada terpidana atau ahli warisnya saja. Hal itu dapat disimpulkan dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Di sini KUHAP belum mengakomodir kepentingan korban tindak pidana yang dalam hal ini diwakili oleh jaksa. Apabila dilihat dari sisi kepentingan korban tindak pidana, asas persamaan kedudukan didalam hukum dalam KUHAP terlihat belum terpenuhi.

Sejarah telah memperlihatkan bahwa terjadinya ketidaktertiban dalam masyarakat dan negara dipengaruhi oleh adanya hubungan-hubungan sosial di masyarakat yang tidak harmonis. Ketidakharmonisan yang terjadi di masyarakat selalu melibatkan adanya pelaku dan adanya korban. Dalam sejarah perkembangan hukum pidana juga memperlihatkan, bahwa pada awalnya reaksi atas terjadinya suatu tindak pidana merupakan hak dari korban, sehingga berakibat adanya saling dendam yang berkelanjutan dan tidak berkesudahan. Untuk mengatasi masalah tersebut kemudian muncul gagasan ganti kerugian dengan sejumlah harta atas terjadinya tindak pidana. Namun ternyata dalam perkembangannya, atas terjadinya suatu tindak pidana dirasakan tidak hanya melibatkan pelaku dan korban saja, melainkan juga telah menimbulkan gangguan ketertiban masyarakat. Dari keadaan seperti itu menurut Marjono Reksodiputro, yang muncul adalah hubungan antara pelaku dengan masyarakat (negara) yang pada akhirnya yang perlu diperhatikan

(40)

adalah ketertiban masyarakat serta negaralah yang menuntut ganti rugi pada pelaku dan sekaligus hilanglah hak korban untuk menuntut ganti kerugian.119

Mengingat begitu luasnya dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya tindak pidana, maka dengan mempertimbangkan segi ketertiban masyarakat (social order) yang lebih besar, masalah upaya hukum dalam perkara pidana khususnya hak pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, perlu penyelarasan kembali mengingat bahwa hak asasi bukanlah monopoli golongan tertentu, melainkan adalah milik seluruh makhluk hidup. Sehingga ke depan asas persamaan kedudukan didepan hukum (equality

before the law) betul-betul dapat menyentuh setiap golongan. Hal tersebut untuk

tujuan mencapai keseimbangan kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat (negara).

119 Marjono Reksodiputro, 1994, HAM dalam Sistim Peradilan Pidana Kumpulan

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) Dinas Pertanian, Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar merupakan media akuntabilitas yang digunakan

kehilangan  kesempatan  mengolah  pengalaman  penderitaan  itu  sebagai  proses   pertumbuhan

Dengan semakin meningkatnya jumlah dan jenis transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional tentu akan semakin menyulitkan otoritas pajak suatu negara untuk

Metode Geolistrik merupakan suatu metode Geofisika yang dapat mendeskripsikan lapisan bawah permukaan bumi berdasarkan nilai resistivitas dari litologi batuan

Ariawati (2005) melakukan penelitian menggunakan teknik analisis regresi berganda dan dapat disimpulkan bahwa variabel besaran perusahaan, reputasi penjamin emisi

Berdasarkan pengamatan karakter morfologi serbuk sari dari tujuh varietas Coleus scutellarioides dapat disimpulkan bahwa unit serbuk sarinya adalah tipe monad

Pengembangan usaha strawberry untuk skala komersial, baik secara agribisnis maupun agroindustri, diperlukan perencanaan yang cermat, terutama dalam hal teknik