• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi internet pada saat ini dapat membantu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi internet pada saat ini dapat membantu"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi internet pada saat ini dapat membantu keefektifan dan keefisienan operasional perusahaan. Penggunaan internet dalam perusahaan berubah dari fungsi sebagai alat untuk pertukaran informasi secara elektronik menjadi alat untuk aplikasi strategi bisnis, seperti pemasaran, penjualan, dan pelayanan pelanggan. Perusahaan telah banyak menggunakan internet sebagai alat komunikasi dan bisnis untuk menyebarkan dan menyediakan informasi. Menurut Anandrajan (dalam Lim, 2002), internet telah memainkan peran penting dalam membantu usaha untuk mengurangi biaya, mempersingkat waktu peredaran produk, dan pemasaran produk yang lebih efektif.

Selama beberapa tahun terakhir ini internet telah mengubah cara bisnis suatu perusahaan untuk menjangkau informasi secara luas tanpa halangan geografis sehingga mampu meningkatkan proses produksi perusahaan. Namun di sisi lain, terdapat dampak negatif bagi perusahaan dengan adanya teknologi internet, yaitu menimbulkan kemungkinan perilaku menyimpang di tempat kerja seperti mengakses internet pada waktu jam kerja dengan tujuan bukan untuk kepentingan pekerjaan (de Lara dkk., 2006). Internet menyediakan fitur teknologi yang memungkinkan karyawan untuk bersantai dalam melakukan pekerjaan

(2)

harian mereka. Berselancar di intenet untuk kepentingan pribadi telah menjadi hal yang umum saat ini (Ivencevich dkk., 2007).

Beberapa kelompok menggunakan istilah cyberloafing untuk mendeskripsikan para karyawan yang menggunakan situs internet, menulis e-mail atau aktivitas internet menyenangkan lain yang tidak berkaitan dengan perkerjaan. Aktivitas-aktivitas ini sering dilakukan para karyawan ketika seharusnya mereka menyelesaikan tugas pekerjaan. Orang yang melakukannya disebut cyberloafer, aktivitas cyberloafing dapat disebut juga dengan cyberslacking (Permatasari, 2010). Lim (2002) mendefinisikan cyberloafing sebagai tindakan karyawan perusahaan menggunakan akses internet selama jam kerja untuk membuka situs

web yang tidak berkaitan dengan pekerjaan melainkan untuk keperluan pribadi. Cyberloafing merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh

perusahaan-perusahaan yang menggunakan komputer dan internet dalam menjalankan aktifitasnya.

Survei di Amerika menyatakan bahwa 40% karyawan mengakses internet tiap harinya, 88% diantaranya mengakses dengan tujuan bukan untuk kepentingan pekerjaan, dengan 66% mengakses internet sekitar sepuluh menit dan satu jam dalam rata-rata jam kerja (eMarketer dalam Henle & Blanchard, 2008). Selain itu, sebuah survei dari 1000 pekerja di AS mengungkapkan bahwa 64% dari pekerja yang disurvei melakukan surfing internet selama jam kerja (The Straits Times dalam Lim, 2002).

Conlin (2000) menyebutkan bahwa cyberloafing dapat menurunkan produktivitas karyawan 30-40% dan kerugian bagi perusahaan dalam bentuk

(3)

materiil. Seperti yang terjadi pada P.T. Sun Motor, terdapat penurunan produktivitas karyawan pada saat jaringan internet tidak dibatasi penggunaan dibandingkan pada saat dibatasi. Hal ini disebabkan karyawan bebas mengakses internet dengan tujuan bukan untuk kepentingan pekerjaan sehingga melalaikan kewajiban melaksanakan tugas perusahaan. Dengan adanya permasalahan tersebut, P.T. Sun Motor membuat kebijakan membatasi karyawan untuk mengakses internet pada jam kerja dan akses internet dibebaskan kembali hanya pada saat jam istirahat yakni pada pukul 12.00 – 14.00 WIB.

Selain di P.T. Sun Motor, penurunan produktivitas akibat perilaku

cyberloafing juga terjadi pada para PNS di Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga.

Berdasarkan informasi yang didapat dari situs online Suaramerdeka.com, menyebutkan bahwa para PNS di Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga sering menggunakan internet untuk keperluan pribadi seperti bermain facebook, game

online, dan mengunduh musik, sehingga hal itu membebani daya internet di

lingkungan Pemkot Salatiga. Padahal adanya hotspot dan jaringan internet seharusnya digunakan untuk menunjang kerja dan kinerja mereka, seperti mendownload peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya (Hariwoto, 2010).

Dampak lain dari perilaku cyberloafing yang mengkhawatirkan adalah mahalnya biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat ulah karyawan dalam menyalahgunakan internet dalam pekerjaannya. Seperti yang terjadi di Amerika, karyawan yang mengakses internet ketika bekerja mendekati 34 juta orang, sehingga berdampak pada hilangnya waktu produktivitas yang mengakibatkan

(4)

kerugian 200,6 juta dolar per minggu (Debt Cubed dalam Lim dan Cheb 2009). Oleh karena itu secara keseluruhan angka-angka ini memberikan bukti betapa potensi karyawan dalam menyalahgunakan akses internet yang disediakan di tempat kerja sangat besar. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena mempengaruhi penurunan produktivitas dan pada akhirnya mempengaruhi pendapatan perusahaan secara keseluruhan.

Perusahaan tampaknya perlu menelusuri sebab-sebab karyawan terdorong untuk menghabiskan banyak waktu menggunakan akses internet selama jam kerja untuk membuka situs web yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Sejumlah peneliti berusaha menyelidiki kemungkinan aspek psikologis yang mempengaruhi perilaku cyberloafing. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Henle dan Blanchard (2008), karyawan melakukan cyberloafing untuk mengatasi stres yang mereka alami di tempat kerja. Stres di tempat kerja merupakan hal yang wajar bagi karyawan, dan tentunya karyawan tersebut akan berusaha untuk menanggulangi stres yang mereka alami. Cyberloafing merupakan salah satu cara karyawan dalam menanggulangi stres. Dengan melakukan cyberloafing, karyawan berharap bisa mengatasi stres mereka (Permatasari, 2010).

Penelitian terdahulu tentang keterkaitan antara stres kerja (tekanan di tempat kerja) dan cyberloafing yang dilakukan oleh Henle dan Blanchard (2008), menunjukkan bahwa komponen dari stres kerja yaitu role ambiguity, role conflict,

dan role overload merupakan penyebab signifikan dari perilaku cyberloafing.

Wijono (2010) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi dari hasil penghayatan subjektif individu berupa interaksi antara individu dan lingkungan

(5)

kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis, dan sikap individu. Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2006) menambahkan, bahwa stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakteristikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Luthans (2006) berpendapat, bahwa stres kerja sebagai respons adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi.

Selain stres kerja, ada faktor lain yang secara implisit juga mempengaruhi perilaku cyberloafing. Menurut Kidwell (2010) karyawan yang melakukan

cyberloafing memberi kesan bahwa karyawan tersebut sibuk bekerja di depan

komputer, dan seakan-akan mereka bekerja keras namun sebenarnya tidak. Permasalahan psikologis yang dimiliki karyawan tersebut cenderung menggambarkan individu yang memiliki etos kerja rendah. Pernyataan ini diperkuat Sinamo (2011), bahwa salah satu karakteristik etos kerja adalah bekerja dengan penuh tanggung jawab. Karyawan yang memiliki etos kerja tinggi harus bekerja penuh tanggung jawab, yang berarti tidak menyalahgunakan uang dan fasilitas organisasi serta tidak menggunakan jam kerja untuk kepentingan pribadi. Sebagai contoh, hasil observasi pra penelitian yang dilakukan peneliti di P.T. PLN (Persero) area Surakarta, peneliti melihat beberapa karyawan mengakses internet saat jam kerja untuk membuka situs web yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, sehingga memberi kesan bahwa mereka sibuk bekerja.

(6)

Tasmara (1995) menjelaskan bahwa etos kerja merupakan suatu totalitas kepribadian dari individu mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna terhadap suatu yang mendorong individu untuk bertindak dan meraih hasil yang optimal. Karyawan yang menganggap pekerjaan sebagai beban dapat dikatakan sebagai karyawan yang mempunyai etos kerja rendah (Sutrisno, 2010). Faktor yang mempengaruhi etos kerja dapat bersifat internal atau eksternal. Yang bersifat internal, timbul dari faktor psikis misalnya dari dorongan kebutuhan dengan segala dampaknya, mencari kebermaknaan kerja, frustasi, faktor-faktor yang menyebabkan kemalasan dan sebagainya. Sedangkan faktor yang bersifat eksternal datangnya dari lingkungan pergaulan, budaya, pendidikan, pengalaman, dan latihan, keadaan politik, ekonomi, imbalan kerja, serta janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran agama (Asifudin, 2004).

Dalam penelitian ini, objek penelitiannya adalah karyawan P.T. PLN (Persero) area Surakarta. Peneliti memilih P.T. PLN (Persero) area Surakarta sebagai tempat penelitian dengan berbagai alasan seperti, para karyawan P.T. PLN (Persero) area Surakarta sudah menggunakan sistem komputerisasi yang terkoneksi dengan internet dalam melakukan pekerjaannya pada semua bagian perusahaan. Selain itu, berdasarkan survei pra-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, P.T. PLN (Persero) area Surakarta tidak membatasi penggunaan akses internet bagi karyawan, sehingga mendorong karyawan berperilaku tidak disiplin saat bekerja seperti perilaku cyberloafing.

Latar belakang masalah di atas menjadi alasan bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

(7)

lebih lanjut karena fenomena yang ada di tempat penelitian, yakni adanya perilaku

cyberloafing pada karyawan P.T. PLN (Persero) area Surakarta. Dengan

munculnya perilaku cyberloafing pada karyawan ini apakah ada keterkaitan dengan stres di tempat kerja? Adakah keterkaitan etos kerja karyawan dengan munculnya perilaku cyberloafing saat bekerja? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan masalah yang menjadi latar belakang peneliti untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara stres kerja dan etos kerja dengan perilaku

cyberloafing pada karyawan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Apakah ada hubungan antara stres kerja dengan perilaku cyberloafing pada karyawan?

2. Apakah ada hubungan antara etos kerja dengan perilaku cyberloafing pada karyawan?

(8)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan perilaku cyberloafing

pada karyawan.

2. Untuk mengetahui hubungan antara etos kerja dengan perilaku cyberloafing pada karyawan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis :

Memberikan masukan dalam bidang psikologi industri dan organisasi, terutama yang berkaitan dengan masalah stres kerja, etos kerja, dan perilaku

cyberloafing.

2. Manfaat Praktis :

Memberikan informasi dan referensi bagi instansi yang bersangkutan untuk lebih memperhatikan sebab-sebab stres di tempat kerja dan meningkatkan etos kerja karyawan karena hal itu dapat mempengaruhi perilaku

cyberloafing karyawan, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Format XML memberikan kebebasan pada penggunanya untuk merancang sendiri tag-tag dan struktur dalam dokumen XML. Pada penelitian ini, format penulisan XML pada Undang-undang

Dapat diikuti oleh mahasiswa yang mendapatkan hu ruf mutu D untuk seluruh kategori mata kuliah dengan persetujuan dosen koordinator mata kuliah. Tidak dapat diikuti

Pembelajaran yang dilakukan perlu melatihkan keterampilan-keterampilan sains sehingga peserta didik terbiasa melakukan hal-halyang berhubungan dengan kegiatan seperti:

Seperti diungkapkan oleh Elida Prayitno bahwa individu yang memiliki konsep diri secara positif realistis, cenderung me- nampilkan tingkah laku sosial yang positif dalam arti

Variabel yang diteliti yaitu kartu bergambar tiga dimensi yang divalidasi oleh pakar, tanggapan guru, tanggapan siswa mengenai kartu bergambar tiga dimensi sebagai

Senyawa pirazolin PF-3Br-2OMe didapatkan melalui reaksi one-pot tiga komponen antara 3-bromoasetofenon, 2-metoksibenzaldehid dan fenilhidrazin menggunakan katalis NaOH 3N

Kandidat entitas merupakan enti- tas yang akan menjadi bagian dari perenca- naan arsitektur perusahaan, sehingga penentuannya dapat didasarkan pada kondisi fungsi bisnis