• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 URAIAN TEORITIS. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris berasal dari communication,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 URAIAN TEORITIS. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris berasal dari communication,"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

URAIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris berasal dari communication,

berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna antara pemberi pesan dengan penerima pesan. Jadi, apabila dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama terdapat kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan.

Beberapa pakar komunikasi memberikan definisi komunikasi diantaranya dikutip oleh Effendi sebagai berikut, Carl I. Hovland dalam Effendi (1986: 63) mendefinisikan komunikasi sebagai “Suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang, biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain (komunikan)”. Jadi, hakikat komunikasi merupakan proses pernyataan antar manusia. Yang berhubungan dengan pikiran, atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Menurut Lewis Caroll, Komunikasi merupakan suatu proses memindahkan, mengoperkan atau menyampaikan sesuatu secara teliti dari jiwa yang satu kepada jiwa yang lain, dan hal itu adalah tepat seperti pekerjaan yang harus kita ulangi dan ulangi lagi (Praktikto, 1983: 10). Untuk mencapai komunikasi yang efektif dan efisien tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan agar pesan atau pernyataan yang disampaikan kepada orang lain bisa dimengerti serta dipahami.

(2)

Komunikasi akan dapat berhasil baik apabila timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan penerima informasi memahami. Tirman Sirait mengemukakan pendapatnya tentang pengertian komunikasi sebagai berikut, “Komunikasi adalah suatu tingkah laku perbuatan atau kegiatan penyampaian atau pengoperan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna-makna informasi dari seseorang kepada orang lain, atau lebih jelasnya suatu pemindahan atau pengoperan informasi mengenai pikiran dan perasaan-perasaan”. (Tirman, 1982: 11)

Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian komunikasi tidak berarti hanya menyampaikan sesuatu kapada orang lain, akan tetapi bagaimana caranya penyampaian itu agar penerima mudah mengerti dan memahami dengan perasaan ikhlas. Keberhasilan suatu komunikasi sangat dibutuhkan oleh faktor manusianya. Karena manusia memiliki akal dan pikiran serta perasaan untuk dapat menentukan sikap, dan manusia merupakan sarana utama terjadinya suatu komunikasi.

2.1.A Tujuan komunikasi

Menurut Devito (1997: 30), ada empat tujuan komunikasi yang perlu dikemukakan yakni :

Menemukan

Salah satu tujuan utama komunikasi adalah penemuan diri (personal discovery), bila anda berkomunikasi dengan orang lain, anda belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain.

Untuk berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain-membina dan memelihara dengan orang lain. Kita ingin merasa dicintai dan disukai dan kita juga ingin, mencintai dan menyukai orang lain.

(3)

Untuk meyakinkan

Kita menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antar pribadi, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima.

Untuk bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk memberikan hiburan pada orang lain. Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan untuk mengikat perhatian orang lain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain. (Devito, 1997: 30)

2.1.B Proses Komunikasi

Di atas telah disinggung bahwa komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Menurut Effendy (2000: 31) proses komunikasi dapat ditinjau dari dua perspektif.

1. Proses Komunikasi dalam Perspektif Psiokologi

Proses komunikasi perspektif ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan. Ketika seorang komunikator berniat akan menyampaikan pesan kepada komunikan, maka, dalam dirinya terjadi proses. Proses ini yakni mengenai isi pesan dan lambang. Isi pesan umumnya adalah pikiran, sedangkan lambang umumnya adalah bahasa. Proses “mengemas” pesan atau “membungkus” pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator itu dinamakan encoding. Hasil encodeng berupa pesan kemudian ia transmisikan atau operkan kepada komunikan.

(4)

Kini giliran komunikan terlibat dalam proses komunikasi intrapersonal. Proses dalam diri komunikan disebut decoding. Seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan yang ia terima dari komunikator tadi. Mengerti isi pesan atau pikiran komunikator, maka komunikasi terjadi. Sebaliknya bilamana tidak mengerti, maka komunikasi tidak terjadi.

2. Proses Komunikasi dalam Perspektif Mekanistis

Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan atau tangan jika tulisan pesannya sampai ditangkap oleh komunikan. Penangkapan pesan oleh komunikan itu dapat dilakukan dengan indera telinga atau indera mata, atau indera-indera lainnya.

Proses komunikasi dalam perspektif ini kompleks atau rumit, sebab bersifat situasional, bergantung pada situasi ketika komunikasi itu berlangsung. Adakalanya komunikan seorang, maka komunikasi dalam situasi seperti itu dinamakan komuniksi interpersonal atau komunikasi antarpribadi, kadang-kadang komunikannya sekelompok orang; komunikasi dalam situasi seperti itu disebut komunikasi kelompok; acapkali pula komunikannya tersebar dalam jumlah yang relatif amat banyak sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, maka komunikasi dalam situasi seperti itu dinamakan komunikasi massa.

Dari kutipan diatas dapat disimpulan bahwa proses komunikasi terdiri dari proses psikologis dan mekanistis. Kedua proses tersebut adalah proses penyampaian pesan tetapi ada perbedaan diantara keduanya, dimana proses komunikasi dalam perspektif psikologis menitik beratkan pada proses pengemasan pesan baik itu komunikator maupun komunikan sedangkan proses komunikasi dalam perspektif mekanistis lebih menekankan proses komuniaksi pada penggunaan alat indera dan anggota tubuh lainnya dalam berkomunikasi.

(5)

2.1.2 Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Seluruh kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari komunikasi. Oleh karena itu, semua kegiatan yang dilakukan manusia secara potensial tidak dapat terlepas dari komunikasi. Komunikasi, menurut bentuknya, dapat dikelompokkan menjadi komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Secara teoritis, komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara dua orang, dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk percakapan. Komunikasi jenis ini bisa berlangsung secara berhadapan muka (face to face) bisa juga melalui sebuah medium, seperti telepon. Ciri khas komunikasi antarpribadi ini adalah sifatnya yang dua arah atau timbal balik (Effendy, 1986 : 50).

Adapun pengertian komunikasi yang diungkapkan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1984 : 4) bahwa “komunikasi antarpribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antar dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika”. (Effendy, 1993 : 59).

Menurut Vandeber (1986) bahwa komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan atau perasaan. (Liliweri, 1997 :12). Effendy (1986) mengemukakan juga bahwa “pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan komunikan“. (Liliweri,1997 : 12).

Pada dasarnya komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator mempunyai tujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku komunikan dengan cara mengirimkan pesan dan prosesnya yang dialogis.

(6)

Seperti yang telah dikemukakan oleh Onong Uchjana Effendy (1993 : 61) bahwa “Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah karena komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap muka (face to face) antara komunikator dan komunikan saling bertatap muka, maka terjadilah kontak pribadi (personal contact). Ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan, umpan balik berlangsung seketika dan komunikator mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan “.

a. Fungsi Sosial

Komunikasi antarpribadi secara otomatis mempunyai fungsi sosial karena proses komunikasi beroperasi dalam konteks sosial yang orang-orangnya berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan demikian, maka fungsi sosial komunikasi antarpribadi mengandung aspek-aspek:

1. Manusia berkomunikasi untuk mempertemukan biologis dan psikologis. 2. Manusia berkomunikasi untuk memenuhi kewajiban sosial.

3. Manusia berkomunikasi untuk mengembangkan hubungan timbale balik. 4. Manusia berkomunikasi untuk meningkatkan dan merawat mutu diri manusia. 5. Manusia berkomunikasi untuk menangani konflik.

b. Fungsi pengambilan keputusan

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa manusia sering disebut sebagai makhluk sosial. Namun manusia dikaruniai otak, akal sebagai sarana berfikir yang

(7)

tidak dimiliki oleh dimiliki oleh makhluk lainnya. Karenanya maka ia mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan yang sering diambil manusia dilakukan dengan berkomunikasi karena mendengarkan pendapat, saran, pengalaman, gagasan, pikiran, maupun perasaan orang lain. Pengambilan keputusan meliputi penggunaan informasi dan pengaruh yang kuat dari orang lain. Ada dua aspek dari fungsi pengambilan keputusan jika dikaitkan dengan komunikasi yaitu:

1. Manusia berkomunkasi untuk membagi informasi. 2. Manusia berkomunikasi untuk mempengaruhi orang lain.

Pada dasarnya orang melakukan kegiatan komunikasi baik melalui komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, maupun komunikasi massa yang dilakukan oleh manusia mempunyai tujuan utama ialah : mempengaruhi. Yaitu mempengaruhi untuk memaksa orang lain, mengubah sikap, dan mengambil suatu tindakan tertentu yang sesuai dengan harapan dan keinginan komunikator.

2.1.3 Pengertian Komunikasi Keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya. (Kurniadi, 2001: 271). Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan.

Keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masyarakat, yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan, perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. (Murdok 1949 dikutip oleh Dloyana, 1995: 11).

(8)

Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan pengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memprakarsai

dan memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif.

Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan

Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga adalah pasti membicarakan hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan komunikasi yang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik.

2.1.4 Pola Komunikasi Keluarga

Banyak teori mengenai komunikasi keluarga yang menyatakan bahwa anggota keluarga menjalankan pola interaksi yang sama secara terus menerus. Pola ini bisa negatif ataupun positif, tergantung dari sudut pandang dan akibat yang diterima anggota keluarga. Keluarga membuat persetujuan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dikomunikasikan dan bagaimana isi dari komunikasi itu di interpretasikan. Keluarga juga menciptakan peraturan kapan bisa berkomunikasi, seperti tidak boleh bicara bila orang sedang mencoba tidur, dan sebagainya. Semua peraturan dan

(9)

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikomunikasikan melalui cara yang sama secara terus menerus sehingga membentuk suatu pola komunikasi keluarga.

Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga bisa dinyatakan langsung ataupun hanya disimpulkan dari tingkah laku dan perlakuan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Keluarga perlu mengembangkan kesadaran dari pola interaksi yang terjadi dalam keluarganya, apakah pola tersebut benar-benar diinginkan dan dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga, apakah pola itu membantu dalam menjaga kesehatan dan fungsi dari keluarga itu sendiri, atau malah merusak keutuhan keluarga. Kesadaran akan pola itu dapat dibedakan antara keluarga yang sehat dan bahagia dengan keluarga yang dangkal dan bermasalah.

Pola-pola komunikasi yang lebih kompleks berkembang pada waktu si anak mulai tumbuh dan menempatkan diri ke dalam peranan orang lain. “Menurut Hoselitz, dengan menempatkan pribadi ke dalam peranan orang lain maka si anak juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang lain”. (Liliweri, 1997 : 45).

Berdasarkan pandangan Klinger, Gillin dan Gillin yang dikutip Soekanto, maka kita dapat mengetahui bahwa setiap proses komunikasi didorong oleh faktor-faktor tertentu. Misalnya pada waktu bayi menangis, tangisan itu mempengaruhi ibu sehingga sang ibu segera datang membawa botol susu. Sang bayi mulai belajar dari pengalamannya bahwa setiap tangisan merupakan tanda (sign) yang selalu dapat digunakan untuk menyatakan kebutuhan makan dan minum. (Liliweri, 1997 : 45)

Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi landasan sikap terhadap orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana dilakukan anggota keluarga mereka. Akibatnya mereka belajar menyesuaikan pada kehidupan atas dasar

(10)

landasan yang diletakkan ketika lingkungan untuk sebagian besar terbatas pada rumah.

Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah, mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari.

C. H. Cooley berpendapat bahwa keluarga sebagai kelompok primer, tiap anggotanya memiliki arti yang khas yang tak dapat digantikan oleh anggota lain tanpa mengganggu emosi dan relasi di dalam kelompok”. (Daryanto, 1984 : 64). Anggota-anggota sebuah keluarga, suami isteri dan anak-anaknya mempunyai status dan peranan masing-masing, sehingga interaksi dan inter-relasi mereka menunjukkan pola yang jelas dan tetap. Status anggota-anggota keluarga ini sedemikian pentingnya, sehingga bila salah seorang anggota keluarga keluar dari ikatan atau hubungan keluarga, maka anggota-anggota yang lain akan merasakan sesuatu yang kurang menyenangkan dalam hatinya, di samping itu pola relasi di dalam keluarga itu akan berubah. Tiap anggota keluarga merupakan kepribadian yang khas dan diperlukan sama oleh anggota-anggota yang lain.

“Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di dalam keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai, dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia untuk kehidupan sosial”. (Daryanto, 1984 : 64). Selain itu, kelompok primer bersifat fundamental karena membentuk titik pusat utama untuk memenuhi kepuasan-kepuasan sosial, seperti mendapat kasih sayang atau afeksi, keamanan dan kesejahteraan, dan semuanya itu

(11)

diwujudkan melalui komunikasi yang dilakukan terus menerus dan membentuk sebuah pola.

Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986) mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu :

1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)

Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan inerpersona lainnya. Dalam pola ini tidak ada pemimpin dan pengikut, pemberi pendapat dan pencari pendapat, tiap orang memainkan peran yang sama. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, baik yang sederhana seperti film yang akan ditonton maupun yang penting seperti sekolah mana yang akan dimasuki anak-anak, membeli rumah, dan sebagainya. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Bila model komunikasi dari pola ini digambarkan, anak panah yang menandakan pesan individual akan sama jumlahnya, yang berarti komunikasi berjalan secara timbal balik dan seimbang.

(12)

Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Tiap orang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. 3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)

Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang kontrol. Dalam beberapa kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih besar. Pihak yang kurang menarik atau berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan

(13)

argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan.

4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)

Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat, dan ia berhak atas keputusan akhir. Maka jarang terjadi perdebatan karena semua sudah mengetahui siapa yang akan menang. Dengan jarang terjadi perdebatan itulah maka bila ada konflik masing-masing tidak tahu bagaimana mencari solusi bersama secara baik-baik. Mereka tidak tahu bagaimana mengeluarkan pendapat atau mengugkapkan ketidaksetujuan secara benar, maka perdebatan akan menyakiti pihak yang dimonopoli. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama sekali.

(14)

2.1.5 Teori Belajar Sosial

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Belajar Sosial (Social Learning Teory) dari Albert Bandura. Bandura menyatakan bahwa imitasi/upaya peniruan adalah bentuk pembelajaran seseorang. Menurut Bandura, “Selama periode pembukaan model, rangsang timbul di subjek yang mengobservasi dan rangkaian sensor pengalaman-pengalaman yang berdasar pada gabungan masa lalu menjadi terkumpul secara terpusat dan terstruktur menjadi respons”. (Yusuf, 2002:190). Melalui rangsang, penerima dapat membentuk bayangan atau perwakilan simbolis.

Analisis Belajar Sosial dari Bandura menyatakan bahwa perilaku model adalah sumber informasi bagi pihak pengamat. Teori Belajar Sosial menekankan kepentingan lingkungan, atau situasional, sebagai determinan perilaku. Perilaku merupakan hasil dari interaksi terus menerus antara variabel individu dan lingkungannya. Kondisi lingkungan membentuk perilaku melalui proses belajar, dan selanjutnya perilaku orang tersebut membentuk lingkungan. Orang dan situasi saling mempengaruhi secara timbal balik. Untuk memprediksikan perilaku, kita perlu mengetahui bagaimana karakteristik individual berinteraksi dengan karakteristik situasi.

Pengaruh orang lain, hadiah dan hukuman yang mereka berikan merupakan pengaruh penting bagi perilaku seseorang. Perbedaan perilaku individual sebagian besarnya disebabkan perbedaan jenis pengalaman belajar yang ditemui oleh orang itu dalam perjalanan perkembangannya. Sebagian pola perilaku dipelajari melalui pengalaman langsung; individu mendapat hadiah atau hukuman karena perilaku tertentu. Tetapi seseorang mengeluarkan respons tanpa penguatan langsung melalui belajar observasional atau belajar dari pengalaman orang lain. Orang dapat belajar dengan mengobservasi tindakan orang lain dan dengan melihat konsekuensi tindakan tersebut. Proses ini mungkin lambat dan tidak efisien seakan-akan semua perilaku kita

(15)

harus dipelajari melalu penguatan langsung respons kita. Demikian pula, penguatan yang mengendalikan ekspresi perilaku yang dipelajari mungkin langsung (hadiah yang nyata, penerimaan, atau penolakan sosial, atau penghilangan kondisi yang tidak mengenakkan), tidak langsung (melihat orang mendapat hadiah atau hukuman atas perilaku yang mirip dengan perilaku sendiri), atau ditimbulkan diri sendiri (penilaian kemampuan diri sendiri dengan penghargaan dan pencelaan diri sendiri).

Asumsi dasar dari Teori Belajar Sosial adalah manusia mempelajari tingkah laku melalui proses yang terus berjalan. Melalui proses inilah gender diserap dan dikembangkan. Fokus ditujukan pada penguatan peran secara positif atau negatif, yang mana memunculkan tingkahlaku, reaksi yang muncul, perubahan yang terjadi, dan sebagainya. Meniru model merupakan proses berikutnya yang berhubungan dengan keberadaan, kesukaan, dan kuasa dari model itu sendiri. Pelabelan sangat berhubungan dalam mempelajari Gender. Bahasa, Pakaian, dan Aktivitas Melabeli Gender. Gender berperan sebagai mediator, melayani fungsi pengaturan, dan membimbing interaksi sosial. Manusia belajar untuk berlaku sesuai cara yang dianggap pantas dengan labelnya sendiri.

Teori Belajar Sosial mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

1. Tiap individu dalam berbagai usia selalu mempelajari sejarah atau kejadian-kejadian yang pernah terjadi semasa hidupnya yang memacu timbulnya respons dalam asumsi-asumsi tertentu.

2. Tiap situasi memunculkan rangsang umum atau khusus dan memiliki arti spesifik dan kontekstual

3. Faktor-faktor motivasi muncul karena adanya situasi ataupun terjadi begitu saja

(16)

5. Tingkah laku akan dimunculkan dan berkembang bila akibat yang timbul positif

Teori Belajar Sosial mengasumsikan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki, wanita dan pria, akan berlaku secara berbeda dalam posisi dan situasi yang sama tergantung pada kesempatan untuk bertingkah laku dan akibat yang akan diterimanya. Teori Belajar Sosial menyatakan bahwa gender adalah alat ukur yang dapat dipercaya dalam menganalisis tingkah laku sosial dalam kondisi sebagai berikut: situasi yang terjadi mengaharapkan perilaku yang sesuai dengan gender (sesuai peran yang telah ditentukan pada umumnya), dimana kesempatan telah menghasilkan kemampuan yang berbeda-beda sesuai gender masing-masing, dan ada konsekuensi yang berbeda pada wanita dan pada pria untuk tutur kata dan perilaku mereka.

Teori Belajar Sosial juga menyebutkan bahwa anak laki-laki menjadi maskulin dan anak perempuan menjadi feminin karena mereka dituntun berperilaku seperti itu oleh orang tua, guru, dan teman sepermainan. Hadiah dan hukuman diberikan sesuai dengan jenis kelamin, seperti menangis ditolerir untuk anak perempuan tapi bila anak laki-laki yang melakukannya, mereka akan dihukum. Permainan yang kasar dan berbahaya justru dinilai memberikan nilai lebih pada anak laki-laki namun tidak pada anak perempuan, bahkan mereka akan dihukum karenanya.

Anak-anak meniru bertingkah laku sesuai model yang ada disekeliling mereka, dan kebanyakan yang mereka lihat adalah pria bersifat maskulin dan wanita berperan feminin, karena model yang pertama dijumpainya ada dalam keluarganya. Anak perempuan bertingkah laku mengikuti ibunya atau kakak perempuannya dan anak lelaki mengikuti ayahnya dan kakak laki-lakinya. Anak-anak juga dapat belajar diskriminasi dari mengobeservasi model-model yang telah ada. Nilai Gender diserap

(17)

dari pengalaman-pengalaman atau peristiwa, melalui hasil pengamatan, atau melalui penanaman khusus melalui keluarga sebagai lingkungan pertamanya.

2.1.7 Nilai Gender

Kata Gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Untuk memahami konsep Gender harus dibedakan kata Gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara biologis, alat reproduksi yang melekat pada laki-laki dan perempuan tidak bisa dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap; kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Misalnya saja zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat daripada laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah dipedesaan lebih kuat dibandingkan laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta

(18)

berbeda dari tempat ke tempat yang lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.

2.1.7 Teori Feminisme

Dalam terminologi feminis, gender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, gender juga sering disebut sebagai ‘jenis kelamin sosial’. Dari definisi ini, dalam persepsi feminisme, gender hanya merupakan produk budaya (nurture), bukan alami (nature), yakni sekadar ‘hasil persepsi’ suatu masyarakat atau bahkan bisa jadi hanya mitos atas apa yang disebut dengan sifat paten (kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) perempuan.

Karena merupakan produk budaya, menurut pengusungnya, gender dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanen, yakni dapat berubah sejalan dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut. Berdasarkan kerangka berpikir ini, para pemujanya kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Tidak boleh, misalnya, hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan (feminitas) seperti sifat lembut, keibuan, dan emosional sehingga secara kodrati perempuan harus menjalani fungsi-fungsi keibuan dan

(19)

kerumahtanggaan. Tidak boleh pula, laki-laki yang dianggap lahir dengan sifat-sifat maskulinitasnya, lalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan

2.1.8 Gender dalam Keluarga

Sarwono dalam buku “Psikologi Sosial: Individu dan teori-teori Sosial” menyebutkan:

“Peranan seks sudah tampak sejak seorang ibu melahirkan bayinya. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada dukun, bidan atau dokter adalah tentang jenis kelamin anak. Sejak itu perlakuan ibu, ayah, keluarga, tetangga dan sebagainya ditentukan oleh jenis kelamin anak tersebut. Kalau laki-laki ia diberi baju biru, selimut biru, mobil-mobilan, dan sebagainya. Kalau sudah agak besar ia pun boleh memanjat pohon atau bermain layangan. Sebaliknya, kalau anak itu perempuan ia diberi baju dan selimut warna merah jambu dan boneka. Kalau sudah agak besar, mainannya adalah rumah-rumahan. Pada gilirannya pola perlakuan orang tua ini berpengaruh pada perilaku anak.” (1978:167).

Perbedaan pandangan dan perlakuan antara anak perempaun dan laki-laki pada umumnya didasarkan atas kodrat perempuan untuk mengandung ataupun mempunyai anak. Dengan sistem reproduksinya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, yang wajib dilindungi. Dengan kodrat yang berbeda dengan laki-laki itu seakan-akan ada peran yang melekat pada perempuan, yaitu peran di rumah tangga yang berurusan dengan penyediaan makanan, yang berkaitan dengan menjaga kebersihan rumah, berkaitan pula dengan pendidikan anak yang diwajibkan menjadi tanggungjawab perempuan baik semasa bayi masih dalam kandungan dan setelah anak dilahirkan.

(20)

Domestikasi perempuan yang banyak berperan di dalam rumah akan direkam dan dilihat oleh seorang anak walaupun orang tua tidak mengajarkannya. Peristiwa “modeling” ini akan berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya apabila tidak ada perubahan sistem di dalam keluarga ataupun didalam masyarakat yang masih menganggap perempuan tidak sepenting laki-laki. Peniruan yang dilakukan oleh seorang anak pada masa perkembangan akan mempengaruhi perkembangan psikologi individunya.

Seorang ibu ataupun seorang bapak dalam melakukan pendidikan di rumah secara sadar ataupun tidak sadar, akan mengaharapkan dan memposisikan anak perempuan aktif di dalam rumah. Hal tersebut tercermin dari berbagai pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepada anak perempuan. Untuk menjalankan tugas di rumah, anak perempuan diajari memasak, mencuci, menggosok baju supaya rapi, membersihkan rumah dan tempat tidur, dan mengasuh adik. Didikan yang diharapkan pada anak perempuan yang berkaitan, dengan tugas-tugas domestik sangat jarang diberikan kepada anak laki-laki. Ada kekhawatiran apabila anak laki-laki di didik seperti anak perempuan yang harus terampil dengan pekerjaan rumah tangga, maka ia akan menjadi banci. Anak laki-laki lebih banyak diarahkan pada kegiatan yang bersifat kompetitif di luar rumah. Dengan demikian, di sektor publik anak laki-laki akan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dan hal tersebut akan sangat bermanfaat ketika mereka menjadi dewasa nanti. Pembagian kerja yang diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki akan melahirkan stereotip-stereotip peran gender laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian, tidak hanya faktor budaya atau kebiasaan yang secara turun-temurun berlaku di suatu masyarakat, yang mengakibatkan perbedaan peran dan kedudukan, aktivitas, serta partisifasi perempuan dan laki-laki, melainkan juga sistem

(21)

yang dikembangkan dan ditegakkan dalam keluarga, yang didalamnya terkandung unsur pendidikan yang menimbulkan ketidakadilan gender. Bagi keluarga yang masih memegang teguh pranata-pranata yang bersifat konservatif, yang kurang memperhatikan demokrasi, yang kurang memperhatikan hak asasi, yang membedakan nilai anak perempuan dan anak laki-laki, peluang terjadinya ketidakadilan gender yang merugikan perempuan itu semakin besar dibandingkan dengan keluarga yang berwawasan modern, yang demokratis, yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak perempuan untuk maju, untuk mendapatkan pengalaman dari dunia politik yang akan memberikan bekal kepada anak perempuan setelah dewasa nanti untuk berkompetisi secara sehat di dunia publik.

Awal ketidakadilan gender yang terjadi di dalam keluarga dapat dikurangi apabila setiap keluarga menyadari dan memahami pentingnya setiap insan pembangunan tanpa memandang jenis kelaminnya. Pendidikan bebas gender yang diterapkan di rumah akan memberikan kesempatan pada laki-laki dan perempuan untuk berkompetisi; siapa yang lebih terampil menggosok baju, siapa yang lebih cocok melakukan negosiasi, dan sebagainya tanpa memperhatikan laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, kompetisi didasarkan atas keterampilan yang mereka kuasai atau kepandaian yang mereka miliki, dan bukan karena tampilan fisik. Dengan keterampilannya, diharapkan mereka akan membangun keluarga dengan baik sehingga menjadi keluarga yang sehat sejahtera lahir bathin.

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan berbicara ini merupakan kemampuan mengolah kalimat untuk mengungkapkan sesuatu secara jelas dan mudah dipahami yang memungkinkan untuk memvisualisasikan atau

Skripsi dengan judul “Jenis-jenis Krustasea (Subkelas Malacostraca) di Hutan Mangrove Daerah Pesiisr Tanjung Api-api Sumatera Selatan dan Sumbangannya pada Pembelajaran

Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur acoustic backscattering strength dasar perairan pada berbagai tipe substrat di perairan Selat Gaspar dan sekitarnya...

dengan menggunakan 30 dari 40 peserta latihan dari ektrakurikuler bolavoli SMK Negeri 6 Malang. Pada pengembangan model latihan block bolavoli ini data diperoleh dari

Secara umum,alat penukar kalor adalah alat yang memindahkan panas diantara dua fluida yang memiliki temperatur yang berbeda tanpa mencampurkan kedua fluida tersebut

Harapan antara pegawai dan perusahaan atau organisasi berkaitan dengan hubungan kerja yang mereka jalani dan hal ini berlangsung sejak pegawai tersebut memilih untuk menjadi

Tujuan dan Manfaat Tujuan akhir ultimate goal dari penyelenggaraan sub unsur pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan, yang merupakan salah satu sub unsur dari

(7) Jika permohonan diajukan oleh warga negara asing anak eks WNI dan warga negara asing yang orang tua kandungnya WNI, penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud