• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI POLITIK TANDINGAN SEBAGAI ANCAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PARTAI POLITIK TANDINGAN SEBAGAI ANCAMAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PARTAI POLITIK TANDINGAN SEBAGAI ANCAMAN DEMOKRASI

DI INDONESIA

Zulpandi

Mahasiswa S2 Jurusan Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email : zulpandi@mail.ugm.ac.id

Abstract

Rival political parties that emerged in the post-election national politics as a threat in 2014 assessed the development of democracy in Indonesia. The role of political parties which ideally is the cornerstone of democracy is damaged due to the emergence of a rival political party. Present a rival political party caused by factors oligarchy political party, the party's internal divisions and external interferences. So then it is a negative impact on the performance of state institutions, triggering major conflicts and eliminate public confidence in political parties. It is necessary for a thorough transformation of Indonesian political parties in an effort to restore the political parties as the backbone of the course of democracy in Indonesia .

Keywords: Political Parties counterpoint, Democracy, Transformation

Abstrak

Partai politik tandingan yang muncul dalam politik nasional pasca pemilu 2014 dinilai sebagai bentuk ancaman perkembangan demokrasi di Indonesia. Peran partai politik yang secara ideal merupakan tonggak demokrasi rusak karena kemunculan partai politik tandingan. Partai politik tandingan hadir disebabkan oleh faktor oligarki partai politik, perpecahan internal partai dan intervensi pihak luar. Sehingga kemudian hal ini berdampak negatif terhadap kinerja lembaga negara, memicu konflik yang besar dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap partai politik. Untuk itu perlu dilakukan transformasi menyeluruh bagi partai politik Indonesia dalam upaya mengembalikan partai politik sebagai tulang punggung berlangsungnya demokrasi di Indonesia.

(2)

A. Pendahuluan

Studi ini akan melihat fenomena partai politik tandingan sebagai bentuk ancaman dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Demokrasi Indonesia telah dimulai sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa dengan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menandakan bahwa bangsa Indonesia mulai menerapkan sistem demokrasi, karena dalam dasar negara tersebut dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.

Seiring berjalannya waktu, demokrasi di Indonesia semakin berkembang pesat meskipun sering juga jatuh bangun dalam dinamika politik Indonesia. Dalam mengkaji perkembangan demokrasi Indonesia, ada fenomena menarik yang mewarnai pesta demokrasi Indonesia yang berlangsung pada 2014 yang lalu. Fenomena tersebut melanda lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia. Dimana terjadi pergulatan konflik yang kuat hingga berujung perpecahan di internal lembaga demokrasi seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Partai Politik. Lembaga DPR yang terbagi menjadi dua basis kekuatan pasca pemilu 2014 terus menerus terlibat dalam kompetisi dan perdebatan politik. Setidaknya ada dua koalisi partai politik yang terbentuk pasca pemilu 2014 di Indonesia. Kedua koalisi tersebut adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH dimotori oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2014 dan didukung oleh partai politik seperti PKB, Partai Hanura dan Partai Nasdem. Kemudian KMP digerakkan oleh beberapa partai politik besar seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, PAN dan PPP.

(3)

dalam perjalanan partai politik kedepan menjadi pemicu lahirnya perbedaan sikap diantara para elit di internal partai politik.

Pada dasarnya peta koalisi yang terbentuk dari hasil pemilu tersebut merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi. Dalam kerangka pemikiran demokrasi Roberth Dahl ada tiga dimensi utama dalam proses demokrasi yaitu, kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik dan sipil (Sorensen, 1993;19). Konsepsi demokrasi seperti ini merupakan konsepsi dari praktik demokrasi liberal. Praktik demokrasi Indonesia pada saat ini merupakan praktik dari demokrasi liberal, sehingga berdampak pada bebasnya partai politik memilih arah kompetisi politik menjadi hal yang wajar dalam bingkai demokrasi.

Demokrasi liberal yang dipraktikkan oleh sejumlah partai politik dalam menentukan arah politik ternyata berdampak negatif dengan menguatnya konflik internal partai politik. Dalam proses penentuan arah kebijakan politik partai yang saling berbeda mengantarkan perpecahan internal yang berujung pada kemunculan partai politik tandingan. Politik tandingan yang awalnya dilakukan oleh lembaga DPR menjadi tren dikalangan partai politik. Kemunculan partai politik tandingan dalam dinamika politik di Indonesia ini akan menjadi fokus studi ini dalam melihat demokrasi di Indonesia. Dimana kemunculan partai politik tandingan dilihat sebagai bentuk ancaman proses perumbuhan demokratisasi yang terjadi di Indonesia.

B. Kerangka Konsep : Partai Politik dalam Sistem Demokrasi

Partai politik merupakan salah satu lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi. Secara ideal setidaknya ada enam lembaga politik yang dibutuhkan dalam sebuah sistem demokrasi. Keenam lembaga politik tersebut diantaranya adalah para pejabat yang dipilih, pemilihan umum yang bebas dan adil serta berkala, kebebasan berpendapat, sumber informasi alternatif, otonomi asosiasional, dan hak kewarganegaraan yang inklusif (Dahl, 1999;118). Dalam definisi Dahl tersebut, partai politik merupakan elemen yang termasuk kedalam lembaga politik otonomi asosiasional. Dimana menurutnya untuk mencapai hak mereka yang beraneka macam itu, termasuk hak yang diperlukan demokrasi, maka warga negara juga berhak membentuk perkumpulan atau organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas.

(4)

proses menghidupi demokrasi. Partai politik secara tidak langsung menjadi tenaga penggerak dari sistem demokrasi. Hal ini bermula dari pemikiran bahwa dalam menjalankan lembaga-lembaga politik lainnya seperti menghadirkan pejabat yang dipilih dan melakukan pemilihan umum dalam sebuah negara yang besar tidak bisa dilakukan tanpa adanya partai politik.

Untuk dapat menjalankan fungsi sesuai hakikatnya yang demokratis, tentu partai politik harus mengalami proses demokratisasi di internal partainya terlebih dahulu. Proses itu disebut sebagai demokrasi internal (Meyer, 2008). Apabila prasyarat ini terpenuhi oleh partai politik, maka ketika partai politik berhasil memenangkan pemilu akan ikut mendukung proses demokrasi dan tidak akan menjadi ancaman bagi proses demokratisasi. Demokratisasi internal menjamin adanya dialog terbuka dalam proses pembentukan kehendak politik. Dalam suatu partai politik harus ada sistem pemilu bebas yang memungkinkan pergantian anggota secara adil dan bisa dipertanggungjawabkan kepada pengadilan publik. Partai politik yang demokratis adalah partai yang menjalankan manajerial partai secara demokratis juga.

Ramlan Surbakti mengemukakan empat konsep tentang idealitas dalam pengelolaan partai politik (Koirudin, 2004). Empat konsep yang dikemukakan olehnya berawal dari kritik keberadaan partai politik yang selama ini ada di Indonesia. Pertama, dapat dikontrol rakyat. Partai politik yang dapat dikontrol rakyat adalah partai yang dibentuk dari kalangan masyarakat, mempunyai basis lokal yang jelas dan kuat, dibentuk berdasarkan kepedulian yang sama pada satu atau lebih isu penting, dari segi keuangan tergantung kepada iuran dan kontribusi anggota dan para pengurus dan calon legislatif dan eksekutif partai dipilih secara langsung, terbuka, dan kompetitif oleh para anggota.

Kedua, sistem kepartaian pluralis. Sistem kepartaian yang baik adalah yang cocok dengan kemajukan masyarakat Indonesia dan menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sistem kepartaian pluralis moderat dipandang mampu untuk mewujudkan hal tersebut. Ketiga, visi demokrasi pimpinan partai. Partai politik hendaknya dikelola oleh para pemimpin dan aktivis yang memahami demokrasi. Visi demokrasi tersebut merupakan upaya memanusiakan kekuasaan (Humanizing Power) dan bukan sekedar kompetisi tetapi juga kompetensi.

(5)

kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga-lembaga negara lainnya) dimana yang dapat berkiprah dalam posisi kekuasaan tidak hanya orang-orang yang dipersiapkan dan diajukan oleh masyarakat sendiri, c) informasi yang urgen untuk diketahui oleh publik dan bertindak transparan kepada publik seluas mungkin untuk berinteraksi dengan partai politik tersebut.

Empat konsep ideal partai politik seperti yang diatas merupakan konsep yang mengantarkan partai politik pada kondisi demokrasi internal. Apabila partai politik mampu menjalankan peran dan fungsi partai secara ideal dan baik maka posisi partai dalam menjadi tulang punggung demokrasi akan seamkin kuat. Namun jika tidak, maka partai politik akan menjadi beban bagi perkembangan demokrasi.

C. Peran Partai Politik dalam Sistem Demokrasi Indonesia

Partai politik merupakan salah satu lembaga yang mampu mendorong berlangsungnya proses demokratisasi di Indonesia. Partai politik merupakan ruh dari sistem demokrasi, karena keberadaan partai politik dan sistem kepartaian yang di bangun merupakan barometer demokrasi atau tidaknya sebuah sistem politik dalam sebuah negara (Koirudin, 2004). Sejatinya keberadaan partai politik sangat berperan dalam menunjang keberlangsungan sebuah sistem demokrasi. Hal ini terlihat dalam beberapa definisi partai politik seperti yang diungkapkan oleh para pakar seperti Carl J. Friedrich, Sigmund Neuman dan Giovanni Sartori.

Carl J. Friedrich mendefinsisikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil. Sedangkan menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian Giovanni Sartori mengatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (Budiardjo, 2008;404).

(6)

(2008) dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menyatakan bahwa dalam kondisi negara yang demokratis, partai politik dapat menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa. Sehingga dengan demikian politik kepartaian dalam dimensi demokrasi menempatkan partai politik sebagai aktor utama yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah.

Partai politik di Indonesia sejatinya juga harus berperan menjadi kawah candradimuka dalam proses demokrasi yang sedang berlangsung. Dalam melihat peran partai politik dalam proses demokrasi di Indonesia dapat ditinjau melalui alur periode demokrasi yang berlangsung. Dalam sejarah politik Indonesia, setidaknya ada lima periode demokrasi yang terjadi. Pertama, periode demokrasi awal kemerdekaan (1945-1950). Semangat demokrasi pada masa ini dibarengi oleh semangat bangsa Indonesia yang baru merdeka dari rezim penjajahan. Ada beberapa hal yang menonjol dari proses demokratisasi Indonesia dalam periode ini. Afan Gaffar (1999;11) menyebutkan ada tiga poin yang fundamental dalam peletakkan dasar demokrasi untuk fase selanjutnya di Indonesia.

Poin pertama menurutnya adalah political franchise yang menyeluruh. Dimana pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, semua warga negara yang sudah dianggap dewasa memiliki hak-hak politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber dari ras, agama, suku dan kedaerahan. Selanjutnya poin kedua yang juga penting adalah presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi seorang diktator, dibatasi kekuasaannya dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai pengganti parlemen. Kemudian poin terakhir berkaitan dengan peran partai politik. Periode ini merupakan awal mula bagi partai politik untuk berkontribusi dalam proses demokrastisasi. Periode ini membuka peluang terbentuknya sejumlah partai politik setelah adanya maklumat wakil presiden yang mengizinkan pembentukan partai politik. Hal ini yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian di Indonesia.

(7)

bisa dilaksanakan. Oleh sebab itu tidak banyak yang bisa dikaji dalam gerak langkah partai politik saat itu.

Kedua, periode demokrasi parlementer (1950-1959). Masa demokrasi parlementer pada saat itu didukung oleh landasan konstitusional melalui penerapan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945 di Indonesia. Afan Gaffar (1999;11) menyebutkan masa demokrasi parlementer sebagai masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan dalam perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia. Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen pada saat itu berada dalam posisi yang kuat. Hal ini berdampak terhadap kehidupan sistem kepartaian Indonesia yang memperoleh peluang untuk berkembang semakin maksimal. Pertumbuhan partai politik saat itu begitu pesat, sehingga Indonesia ketika itu menganut sistem multi partai. Partai politik mengikuti pemilihan umum untuk pertama kali pada tahun 1955. Dalam pemilu yang dilaksanakan dengan demokratis itu partai politik di Indonesia berkompetisi dengan sangat intensif. Sehingga peranan partai politik saat itu semakin jelas terlihat dalam mewarnai proses demokratisasi di Indonesia.

Ketiga, periode demokrasi terpimpin (1959-1967). Pasca pemilu 1955 berlangsung, Presiden Soekarno mulai gelisah dengan kondisi partai politik di Indonesia yang lebih berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh (Gaffar, 1999;11). Kondisi ini memicu terjadinya pergolakan luar biasa dalam sistem politik di Indonesia. Hal ini memuncak dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.

Dekrit ini berisi amanat untuk membubarkan konstituante dan menyatakan kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945. Secara otomatis kondisi ini melemahkan posisi parlemen dalam sistem politik Indonesia. Lebih lanjut kondisi ini juga berpengaruh terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Menurut Afan Gaffar (1999;29), demokrasi terpimpin membuat sistem kepartaian Indonesia menjadi kabur. Kehadiran partai-partai politik bukan untuk mempersiapkan diri dalam kontestasi politik, tetapi lebih menjadi elemen penopang dari tarik menarik antara Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia.

(8)

mana partai boleh mempergunakan kekuasaannya dan menampilkan jati dirinya, benar-benar ditentukan oleh setting politik yang berlaku dan sesuai dengan kemauan elit berkuasa. Namun yang perlu menjadi catatan dan modal bagi kekuatan partai politik adalah meskipun secara ruang gerak secara nasional ruang demokrasi partai politik dibatasi, tetapi partai politik masih memiliki otonomi dalam proses internalnya.

Keempat, periode demokrasi pancasila (1967-1998). Periode demokrasi pancasila merupkan periode yang paling panjang dalam sejarah demokrasi Indonesia. Dimana periode ini merupakan periode disaat Presiden Soeharto memimpin bangsa ini selama kurang lebih 32 tahun lamanya. Pada hakikatnya perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan sistem politik Indonesia kearah yang lebih demokratis. Namun pada akhirnya harapan tersebut tidak sejalan dengan apa yang dijalankan oleh rezim Soeharto selama kurun waktu 32 tahun tersebut. Soeharto dalam praktiknya lebih mengedepankan sistem yang otoriter. Nilai-nilai demokrasi hanya bersifat formalitas semata, segala keputusan politik sangat bergantung dengan kepentingan Soeharto pada saat itu.

Didalam kondisi politik dan pemerintahan yang berada dibawah kontrol penuh oleh Soeharto ini, sistem kepartaian Indonesia juga mengalami kondisi yang semakin buruk. Rezim saat itu membungkam kekuatan partai politik dengan menggalang kekuatan dari ranah birokrasi dan militer. Soeharto pada awalnya membentuk kendaraan politik Sekretariat Bersama dari Organisasi-Organisasi Fungsional, Golongan Karya diluar partai politik yang telah ada untuk mendukung kerja politiknya. hal ini terjadi karena partai politik yang ada pada saat itu seperti PNI dan NU menolak permintaan Soeharto untuk menjadi benteng pertahanan politik Soeharto dalam upaya melanggengkan kekuasaanya (Djojosoekarto & Sulaksono, 2008;21).

Dalam perjalanannya Sekretariat Bersama ini kemudian bertransformasi menjadi sebuah kekuatan yang melebihi partai politik. Dengan adanya kebijakan keikutsertaan golongan karya dalam proses pemilu, eksistensi Soeharto dalam memimpin Indonesia terus terjaga. Dalam setiap pemilu yang berlangsung Golongan Karya selalu menjadi pemenang. Sehingga kekuatan partai politik menjadi semakin melemah. Bahkan memasuki pemilu 1977, masa depan partai politik di Indonesia semakin suram dengan adanya kebijakan penyederhanaan partai politik (fusi) oleh pemerintah saat itu.

(9)

Posisi partai menjadi sangat lemah karena energi banyak dihabiskan untuk mengurus konflik-konflik yang ada di internalnya. Partai politik kehilangan fokus dalam proses kontestasi pemilu yang berlangsung selama rezim itu berkuasa. Sehingga dapat dirasakan bahwa ruang demokrasi yang ada pada masa itu berada dalam bayang-bayang rezim berkuasa.

Kelima, periode demokrasi pasca reformasi (1998-sekarang). Pasca jatuhnya rezim orde baru, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia politik dan pemerintahannya. Dimana fase ini dikenal sebagai era reformasi. Era ini ditandai dengan kembalinya kekuatan partai politik sebagai lokus utama kekuasaan. Demokrasi kembali bangkit setelah sekian lama terkungkung dibawah kendali rezim orde baru. Kebebasan pers juga muncul sejalan dengan semangat reformasi tersebut. Pola sistem kepartaian Indonesia juga turut berubah ketika itu. Diawal masa reformasi ini hal yang paling menonjol dalam sistem kepartaian Indonesia adalah kemunculan sekitar 184 partai politik baru di Indonesia. Meskipun yang lolos untuk mengikuti pemilu 1999 hanya 47 partai politik, tetapi hal ini tetap mampu mengkonfirmasi kebangkitan kekuasaan partai politik dalam sistem demokrasi (Djojosoekarto & Sulaksono, 2008;34).

Secara prosedural, demokrasi yang berjalan sejak reformasi bergulir di Indonesia memang dianggap sebagai suatu praktik yang diharapkan oleh bangsa ini. Era keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat dan proses pemilu demokratis merupakan buah dari demokrasi itu. Hal ini pada dasarnya dianggap baik dan sesuai dengan keinginan mayoritas. Namun dalam perjalanannya ternyata praktik demokrasi Indonesia pasca reformasi yang cenderung mengadopsi demokrasi liberal ini menemui berbagai macam tantangan. Tantangan tersebut adalah banyaknya muncul praktik politik yang buruk di negara ini. Mulai dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin berkembang, budaya patron-klien sampai oligarki partai politik terus mengganggu keberlangsungan proses demokratisasi. Hal yang nyata dan masih segar sedang melanda partai politik di Indonesia adalah fenomena kemunculan partai politik tandingan. Partai politik tandingan menjadi tantangan baru dalam proses demokrasi di Indonesia.

D. Faktor Penyebab Kemunculan Partai Politik Tandingan

(10)

demokrasi di negeri ini. Beberapa studi sudah mengkonfirmasi bahwa ada beberapa praktik politik yang menjadi koreksi dalam demokrasi di Indonesia. Seperti tulisan Hanif (2009) yang menjelaskan bahwa praktik klientelisme di tengah semangat demokrasi masih terjadi di Indonesia saat ini. Selain itu ada juga tulisan Dwipayana (2009) yang menggambarkan kekhawatirannya terhadap proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang dihadapkan dengan harga demokrasi yang memakan biaya tinggi dalam praktik politik di Indonesia.

Sejauh ini partai politik di Indonesia belum mampu melepaskan diri dari praktik kotor seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, budaya patron-klien sampai oligarki partai politik. Proses demokratisasi sebagai upaya menuju sistem demokrasi mengalami cerita yang berbeda dari apa yang diharapkan. Dalam praktiknya tidak sedikit partai politik di Indonesia yang masih mengedepankan budaya patron-klien di internalnya. Sehingga internal partai politik sendiri bersifat oligarki, sangat kontradiktif dengan upaya demokratisasi yang diusung untuk Indonesia. Praktik oligarki dalam partai politik ini berdampak pada gejolak konflik yang terjadi di beberapa partai politik di Indonesia. Konflik tersebut semakin terlihat jika memasuki masa kontestasi pemilu. Pertarungan elit partai yang akan membawa arah haluan partai akan memuncak jika keputusan partai tidak dilalui oleh mekanisme demokrasi di internal partai politik. Dampak ekstrim dari konflik ini adalah terjadinya perpecahan di internal partai politik tersebut. Dimana diantara beberapa pihak yang saling berbeda pandangan akan membentuk kekuatan tandingan sebagai upaya mempertahankan pendapatnya.

Dalam sejarah partai politik di Indonesia, kejadian seperti ini sudah pernah terjadi pada era orde baru. Dimana konflik yang terjadi di PDI berujung pada terpecahnya partai tersebut menjadi dua. Pasca reformasi hal ini juga masih terjadi, seperti yang dialami oleh partai Golkar. Meskipun tidak terjadi pepecahan intstitusi, tetapi perpecahan elit partainya berdampak pada kemunculan partai politik baru yan di motori oleh elit partai Golkar yang berkonflik tersebut. Kemudian pasca pemilu 2014 yang lalu, beberapa partai politik juga mengalami hal serupa. Seperti yang terjadi pada partai PPP dan Partai Golkar.

(11)

kepengurusan kedua (Tempo, 2014). Kemudian akibat pergulatan konflik antara elitnya partai Golkar juga mengalami perpecahan dengan kemunculan Partai Golkar tandingan. Dimana Musyawarah Nasional IX Partai Golkar tandingan yang digelar Presidium Penyelamat Golkar di Jakarta memutuskan kepenguruan Partai Golkar tandingan yang diketuai oleh Agung Laksono (Kompas, 2014).

Kehadiran partai politik tandingan dalam kancah politik nasional Indonesia tidak lepas dari beberapa faktor yang menjadi latar belakangnya. Sedikitnya ada tiga faktor utama yang terlihat paling dominan dalam terbentuknya partai politik tandingan ini. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Oligarki dalam Partai Politik

Dalam Soehino (2001), dapat dilihat pandangan Aristoteles tentang oligarki yaitu negara dimana pemerintahannya itu dipegang oleh beberapa orang tetapi sifatnya jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan mereka, si pemegang pemerintahan itu sendiri. Mengelaborasi pendapat Aristoteles tentang oligarki tersebut, maka dapat dikaitkan dengan oligarki yang terjadi dalam partai politik. Dimana oligarki partai politikl adalah sekelompok orang yang memerintah partai politik dengan cara yang buruk dan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Dalam bangunan partai politik di Indonesia, budaya oligarki partai politik masih menjadi penyakit yang merusak bangunan partai politik sampai hari ini. Oligarki yang terdapat dalam partai politik Indonesia telah mempengaruhi kinerja dan pelaksanaan fungsi partai politik. Seperti contohnya dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik. Menurut hasil laporan penelitian Pusat Kajian Politik FISIP UI (2014), oligarki partai politik masih terjadi dalam proses rekrutmen caleg pada pemilu 2014. Dalam melihat rekrutmen caleg perempuan, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa basis rekrutmen caleg perempuan masih didominasi oleh ikatan kekerabatan yang justru melanggengkan kesenjangan kuasa politik dan ekonomi serta resistensi terhadap kesetaraan peluang partisipasi politik. Kondisi ini disebut sebagai politik gender oligarki.

2. Perpecahan Internal Partai Politik

(12)

yang terdiri dari faksi reformis, oportunis dan militan. Faksi reformis adalah mereka yang berorientasi pada upaya mencapai tujuan-tujuan pragmatis partai, utility function secara maksimum. Faksi oportunis adalah mereka yang menggunakan partai sebagai kendaraan untuk mencapai karir politik yang lebih tinggi, sehingga sasaran mereka adalah memenangkan sebanyak mungkin suara pemilih. Sedangkan faksi militan adalah mereka yang berupaya untuk mengartikulasikan kebijakan partai sedekat mungkin dengan rumusan kebijakan yang ideal. Kepentingan dari faksi-faksi yang saling berbeda inilah yang menyebabkan perpecahan dalam internal partai politik.

Menurut Chudry Sitompul (2010), perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional, yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran. Perpecahan internal partai politk yang disebabkan oleh adanya faksionalisasi seperti dijelaskan diatas berpengaruh terhadap kemunculan partai politik tandingan di Indonesia.

Faksi-faksi dalam partai politik yang kalah dalam internal partai tersebut membangun gerakan-gerakan makar. Gerakan seperti ini dipandang mereka sebagai solusi agar kepentingannya bisa tetap terakomodir. Hal inilah yang melandasi elit-elit partai politik yang tergabung dalam faksionalisasi yang sama untuk membentuk partai politik tandingan. Sehingga terjadi konflik dan persaingan diantara faksi-faksi yang ada dalam internal partai politik tersebut. 3. Intervensi Pihak Luar

Menurut Yudi Latif, munculnya fenomena politik seperti partai terpecah dan memunculkan partai tandingan dengan munasnya masing-masing dinilai sebagai cerminan eksekutif yang tidak cukup percaya diri (RMOLJabar, 2014). Menurutnya karena ketidak percayaan diri dari eksekutif dalam menghadapi gelombang tekanan politik maka eksekutif masuk untuk mengintervensi internal partai politik. Keterlibatan eksekutif atau presiden dalam konflik internal partai-partai politik itulah yang mengakibatkan terjadi instabilitas politik.

(13)

ideologinya sangat jauh berbeda sekalipun bisa membangun kerja sama politik seperti kekuatan koalisi. Kaburnya garis ideologi partai ini merupakan celah masuknya banyak intervensi dalam setiap partai politik. Partai politik yang basis dukungannya cukup banyak menjadi sasaran bagi setiap partai politik untuk masuk mengintervensi. Sehingga jika faksi yang memenangkan kontestasi internal didalam partai politik tersebut berasal dari pihak yang didukungnya, maka kerja sama partai politik baik ditingkat lokal maupun nasional lebih mudah terjalin.

E. Partai Politik Tandingan Ancaman Bagi Demokrasi

Kemunculan partai politik tandingan seperti yang terlihat dalam sistem kepartaian Indonesia pasca pemilu 2014 merupakan salah satu bentuk kelemahan partai politik di Indonesia. Hal ini berujung pada dampak yang serius terhadap proses demokratisasi yang sedang berjalan. Partai politik tandingan muncul sebagai titik ekstrim dari kehidupan partai politik yang sudah keluar dari konsep ideal sebagai lembaga politik pendukung demokrasi. Buramnya proses demokrasi dalam perjalanan partai politik Indonesia telah mengantarkan partai politik kedalam ruang yang gelap dan merusak tatanan demokrasi yang ada dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Lebih jauh, kehadiran partai politik tandingan kemudian dinilai sebagai bentuk ancaman dari proses demokratisasi di Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa lembaga partai politik sebagai aktor demokratisasi ditanah air ternyata berdiri diatas bangunan yang jauh dari suasana yang demokratis. Sehingga tidak heran jika sampai hari ini banyak para pengamat yang memberi penilaian bahwa demokrasi yang terjadi di Indonesia masih stagnan pada tataran demokrasi prosedural. Belum masuk pada bagian demokrasi substansial yang menjadi idaman bagi setiap negara. Ada beberapa alasan yang membuat partai politik tandingan menjadi ancaman baru terhadap proses demokratisasi Indonesia.

1. Partai Politik Tandingan akan Berpengaruh Terhadap Kinerja Lembaga Negara

(14)

politik tandingan tersebut akan menghambat kinerja lembaga legislatif yang anggotanya merupakan kader-kader dari partai politik.

Kemudian bagi lembaga eksekutif keberadaan partai politik tandingan juga akan menghambat kinerjanya. Dalam sistem demokrasi Indonesia, kinerja eksekutif terkadang sangat bergantung pada lembaga legislatif. Seperti dalam hal anggaran belanja negara, tanpa adanya persetujuan dari DPR pemerintah tidak bisa menggunakan anggaran negara untuk menjalankan program-programnya. Selama partai politik tandingan masih menjadi problem bagi DPR, maka Pemerintah tentu akan semakin terhambat proses pembahasan anggarannya. 2. Partai Politik Tandingan akan Memicu Konflik yang Besar

Kemunculan partai politik tandingan merupakan buah dari faksionalisasi yang memuncak dalam internal partai politik. Lahirnya partai politik tandingan merupakan bentuk dari penyampaian aspirasi kelompok faksi yang kepentingannya tidak terakomodir dalam sebuah partai politik. Jika cara-cara yang ditempuh untuk menyalurkan aspirasi yang kalah ini selalu dengan gerakan makar, maka gerakan makar yang lebih besar akan bisa terjadi di negara ini. Seperti misalnya beberapa waktu yang lalu muncul Gubernur DKI Jakarta tandingan yang merupakan bentuk protes terhadap kinerja Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tahaja Purnama (Tribunnews, 2014).

Meskipun pada akhirnya gerakan ini tidak sampai memuncak, namun perlu disadari bahwa gerakan-gerakan makar seperti ini akan mempengaruhi stabilitas keamanan persatuan dan kesatuan negara. Kemudian konflik lain yang juga akan muncul adalah konflik antar sesama kader partai politik. Bahwa setiap partai politik tandingan tentu didukung oleh kader dan simpatisan setianya. Pergulatan konflik internal partai politik akan membuat konflik yang besar ditataran kader partai politik tersebut.

3. Partai Politik Tandingan akan Menghilangkan Kepercayaan Publik Terhadap Partai Politik

(15)

Berdasarkan hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) mayoritas publik tidak lagi mempercayai partai politik. Publik yang tidak percaya parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Menurut Direkur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap parpol, yaitu banyaknya kader parpol yang terjerat kasus korupsi, konflik internal partai yang muncul di publik, adanya pelanggaran etika yang dilakukan kader parpol (Kompas, 2014).

Ketiga alasan yang menjadikan partai politik tandingan sebagai ancaman demokrasi seperti yang telah digambarkan diatas merupakan sedikit ulasan yang mengharuskan untuk bagaimana partai politik tandingan ini dicegah dalam lingkungan demokrasi. Keberadaan partai politik tandingan merupakan bentuk dilematis dari pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Bahwa definisi kebebasan berpendapat dimaknai dengan salah oleh sebagian elit di negeri ini. Gerakan-gerakan makar dalam internal partai politik terjadi akibat pemaknaan dan pelaksanaan demokrasi yang salah kaprah tersebut.

F. Transformasi Partai Politik Solusi Menyelamatkan Demokrasi

Kehadiran partai politik tandingan merupakan salah satu prestasi buruk yang diraih oleh partai politik sebagai lembaga demokrasi di Indonesia. Sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam mengemban tugas utama dalam proses demokratisasi, maka perlu evaluasi dan proyeksi terhadap partai politik di Indonesia. Dari berbagai macam polemik partai politik tandingan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu ada langkah besar bagi perbaikan partai politik kedepan. Langkah besar yang dimaksud dalam hal ini adalah melakukan transformasi partai politik.

(16)

politik melakukan transformasi partai politik untuk melanjutkan agenda reformasi yang mungkin telah dilakukan oleh beberapa partai politik di Indonesia, namun belum memberikan hasil yang memuaskan.

Transformasi tidak hanya melakukan perbaikan sistem ataupun bagian-bagian dan aspek dari partai politik yang rusak kemudian diperbaiki. Tetapi transformasi dilakukan untuk mendekontruksi ulang partai politik yang rusak kemudian dibangun yang baru (Djojosoekarto, Sulaksono dan Darumurti, 2008;51). Agenda transformasi lebih tepat untuk dijadikan sebagai solusi atas problematika partai politik tandingan yang menjangkiti tubuh beberapa partai politik di Indonesia saat ini.

Dengan agenda transformasi partai politik tersebut diharapakan proses demokratisasi internal partai politik bisa berjalan dengan baik. Praktik oligarki partai politik bisa dihindari dan buadaya patro-klien bisa ditinggalkan. Lebih jauh transformasi partai politik ini adalah solusi utama dalam menjawab permasalahan hilangnya kepercayaan publik terhadap partai politik.

Partai politik harus melakukan perbaikan pelembagaan partai agar mampu menciptakan proses musyawarah berjenjang. Musyawarah secara berjenjang di internal partai sangat berguna untuk menciptakan fungsi-fungsi kepartaian yang solid secara organisasi dan sekaligus tetap memberikan dampak yang maksimal tidak saja bagi internal partai bersangkutan tetapi bagi kehidupan demokrasi dalam arti yang lebih luas. Sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi gerakan-gerakan makar partai politik ketika terjadi perbedaan pendapat antar sesame kader partai.

Referansi

Buku :

Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi, Cetakan ke-3). Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

Dahl, Robert A. (1999). Perihal Demokrasi. Terjemahan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

Djojosoekarto, A & Sandjaja, U (Eds). (2008). Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia : Model, Strategi dan Praktik. Jakarta. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

(17)

Koirudin. (2004). Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Meyer, Thomas. (2008). Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi : Sembilan Tesis (Cetakan ke-3). Jakarta. Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia

Roemer, Jhon E. (2006). Political Competition : Theory and Application, 5th. Ed. Harvard

University Press

Soehino. (2001). Ilmu Negara. Yogyakarta. Liberty

Sorensen, Georg. (1993). Demokrasi dan Demokratisasi; Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang berubah. Terjemahan Tadjuddin Noer Effendi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Jurnal dan Penelitian :

Dwipayana, AAGN Ari. (2009). Demokrasi Biaya Tinggi. Dimensi Ekonomi dalam Proses Demokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Vol. 12 No. 3 Maret 2009

Hanif, Hasrul. (2009). Politik Klientalisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Vol. 12 No. 3 Maret 2009 Pusat Kajian Politik FISIP UI. 2014. Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014 : Oligarki Politik Dibalik Keterpilihan Caleg Perempuan. Laporan Penelitian Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia

Internet :

5 Tanda Partai Politik Bakal Bubar.

http://www.tempo.co/read/news/2014/12/05/078626457/5-Tanda-Partai-Politik-Bakal-Bubar-/1/2. Diakses 25 Desember 2014

'Gubernur Tandingan DKI' Bertekad Turunkan Ahok.

http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/12/01/gubernur-tandingan-dki-bertekad-turunkan-ahok. Diakses pada 26 Desember 2014

Ini Susunan Pengurus Golkar Versi Munas di Ancol.

http://nasional.kompas.com/read/2014/12/08/13205911/Ini.Susunan.Pengurus.Golkar.V ersi.Munas.di.Ancol. Diakses 25 Desember 2014

Muncul Partai Tandingan, Akibat Eksekutif Tidak percaya Diri.

(18)

Sitompul, Chudry. 2010. Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multi Partai di Indonesia. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/437- konflik-internal-partai-sebagai-salah-satu-penyebab-kompleksitas-sistem-multi-partai-di-indonesia.html. Diakses 25 Desember 2014

Survei: Mayoritas Publik Tak Percaya Partai Politik.

Referensi

Dokumen terkait

Kesehatan lingkungan (PHBS) dan kesehatan lingkungan.. 1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan : Yang dimaksud tenaga kesehatan disini seperti dokter, bidan dan tenaga

1.5 Struktur Organisasi Karya Tulis Ilmiah

Saya akan bekerja purna waktu dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu;.. Saya tidak akan menerima dalam bentuk apapun dari

Pemberian mulsa organik kulit tanduk kopi menghasilkan jumlah anakan yang paling banyak, dan berbeda nyata dengan jumlah anakan pada mulsa sekam padi dan tanpa

Negara Tiongkok telah berhasil dalam menciptakan label bahwa Panda merupakan simbol penyelamatan dan pelestarian lingkungan, maka diplomasi Panda pun juga dilakukan

Dalam sumber daya manusia terkait dengan masih sedikitnya jumlah petugas yang ada dalam hal melaksanakan pelayanan, penanganan, dan penanggulangan kemiskinan di

Satir adalah suatu gaya/aliran dalam penulisan (yang juga ditemukan di bidang lain seperti musik, film, politik, dan lain-lain) yang menertawakan, mengolok-olok,

LKM yang digunakan adalah LKM Terbimbing dimana LKM Terbimbing ini dapat membantu mahasiswa dalam memahami dan menyelesaikan persoalan yang ada pada perkuliahan Struktur