BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Imunisasi
2.1.1. Pengertian imunisasi
Pelaksanaan Imunisasi di Indonesia telah dimulai sejak sebelum perang
dunia ke dua dengan tujuan memberantas penyakit cacar. Kemudian kegiatan imunisasi dilaksanakan secara rutin di seluruh Indonesia sejak tahun 1956.
Kegiatan imunisasi ini telah berhasil membasmi penyakit cacar, dibuktikan dengan Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO tahun 1974.
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan
kekebalan tubuh (imunitas) pada bayi atau anak, sehingga terhindar dari penyakit (Depkes RI, 2000).
Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang
sudah dilemahkan atau dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan Eat Anti yang pada akhirnya nanti dipergunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit
yang menyerang tubuh (Hanum, 2015).
Kata imun berasal dari bahasa Latin „immunitas‟ yang berarti pembebasan (kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebahai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Dalam sejarah, istilah ini kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah
penyakit menular. Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif
dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau
racunnya, yang masuk ke dalam tubuh (Hanum, 2015).
Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar
kekebalan diatas ambang perlindungan. Imunisasi diberikan pada bayi antara umur 0-12 bulan, yang terdiri dari imunisasi BCG, DPT (1,2,3), Polio (0,1,2,3),
Hepatitis B (1,2,3), dan Campak (Pedoman penyelenggaraan Imunisasi, 2005). Imunisasi lanjutan adalah imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau untuk memperpanjang masa
perlindungan (Pedoman penyelenggaraan Imunisasi, 2005).
Menurut Litman, Imunisasi yang “didapat” merupakan suatu sistem imun yang didapatkan melalui pemberian imunisasi (adaptive imuno sistem), pada sistem pertahanan tubuh ini, antibody memegang peran penting dan utama, dalam hal ini reseptor yang dipakai untuk mengenal jasad renik tersebut dibentuk dengan
cara menyatukan atau menempelkan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang unik untuk jasad renik tertentu (Hanum, 2015).
Imunisasi adalah proses merangsang sistem kekebalan tubuh dengan cara memasukkan (bisa dengan disuntik atau diminumkan virus atau bakteri hidup yang dilemahkan, virus atau bakteri hidup yang dibunuh, bagian-bagian tubuh dari
bakteri atau virus atau racun dari bakteri yang sudah dimodifikasi. Tujuannya agar tubuh kita tidak “kaget” dan siap untuk melawan bila bakteri atau virus sungguhan
Imunisasi ialah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya daripada beberapa penyakit tertentu. Antibodi daripada ibu akan memberikan
perlindungan sementara selama lebih kurang enam bulan saja, maka bayi perlu diberi imunisasi supaya terlindung daripada penyakit.
Imunisasi yang diberi kepada anak-anak serta bayi merupakan cara yang paling berkesan dan kos efektif untuk melindungi mereka dari penyakit
tuberculosis (TB), difteria, pertusis, tetanus, poliomyelitis, campak, rubella dan hepatitis B.
Walau bagaimanapun masih terdapat anak-anak yang tidak diberi
imunisasi karena kekurangan pengetahuan mengenai vaksin serta jadwal imunisasi, salah faham mengenai kontraindikasi, kerisauan tentang kesan
sampingan serta komplikasi vaksin (DR. Neoh Siew Hong, The Malaysian Pediatric Assocation dalam buku Hanum, 2015).
2.1.2. Tujuan imunisasi
Program imunisasi yang dilakukan adalah untuk memberikan kekebalan kepada bayi sehingga bisa mencegah penyakit dan kematian serta anak yang
disebabkan oleh penyakit yang sering terjangkit. Secara umum tujuan imunisasi antara lain adalah :
a. Imunisasi dapat menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan
mortalitas (angka kematian) pada bayi dan balita.
b. Imunisasi sangat efektif untuk mencegah penyakit menular.
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Proporsi kematian bayi yang
disebabkan karena tetanus neonatorum (TN) di Indonesia cukup tinggi yaitu 67%. Dalam upaya mencegah TN maka imunisasi diarahkan kepada pemberian
perlindungan bayi baru lahir dalam minggu-minggu pertama melalui ibu. Eliminasi tetanus neonatorum merupakan salah satu target yang harus dicapai
sebagai tindak lanjut dari world summit for children yaitu insidens 1/10.000 kelahiran hidup pada tahun 2000 (Puslitbang Pemberantas Penyakit, Badan Litbang Kesehatan).
2.1.3. Manfaat imunisasi
a. Untuk Anak : Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
b. Untuk Keluarga : Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin
bahwa anaknya akan menjalani masa anak-anak yang nyaman.
c. Untuk Negara : Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang
kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. 2.1.4. Jenis-jenis imunisasi
a. Imunisasi aktif
Merupakan pemberian bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar sistem kekebalan atau imun tubuh dapat merespon secara spesifik dan
dapat mengenali dan meresponsnya. Contoh dari imunisasi aktif adalah imunisasi polio atau campak.
Imunisasi aktif diperoleh dengan memberi vaksin secara suntikan atau melalui mulut. Contoh-contoh vaksin terdiri daripada :
a.1. “Live – attenuated vaccines” (vaksin hidup yang dilemahkan) seperti vaksin poliomyelitis(OPV), campak, rubella dan BCG.
a.2. “Killed vaccines” (vaksin mati) seperti vaksin pertusis dan inactivated poliomyelitis (IPV).
a.3. “Sub – unit vaccine” (vaksin sub unit) seperti vaksin pneumococcus, hepatitis B, influenza.
a.4. “Toxoid” seperti vaksin diphtheria tetanus.
Kebanyakan vaksin memberi perlindungan daripada penyakit dengan merangsangkan sistem imun badan untuk menghasilkan antibodi. Vaksin BCG memberi perlindungan melalui keimunan sel (cell mediated immunity). OPV juga
memberi keimunan tempatan (local immunity) didalam saluran usus.
b. Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat immunoglobulin yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat bayi dari
ibu melalui plasenta). Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah
2.2. Imunisasi Wajib
Imunisasi yang wajib diberikan pada balita dibawah 12 bulan adalah BCG,
DPT, Hepatitis B, Polio, dan Campak. Berfungsi untuk menangkis penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan kematian serta kecacatan. Seperti TBC,
Hepatitis dan Polio. Sedangkan reaksi masing-masing imunisasi juga berbeda-berbeda pada setiap anak, tergantung pada penyimpanan vaksin dan sensitivitas
tubuh tiap anak.
2.2.1. Imunisasi Bacillus Celmette-Guerin (BCG)
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
tuberkulosis (TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan, vaksin
ini mengandung bakteri bacillus calmette-guerrin hidup yang dilemahkan
sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/dosis. Biasanya reaksi yang ditimbulkan oleh imunisasi ini adalah 4-6 minggu di tempat bekas suntikan akan timbul bisul kecil yang akan pecah. Namun jangan kuatir, sebab hal ini merupakan reaksi yang
normal. Namun jika bisulnya dan timbul kelenjar pada ketiak atau lipatan paha, sebaiknya anak segera dibawa kembali ke dokter. Sementara waktu untuk
mengatasi pembengkakan, kompres bekas suntikan dengan cairan antiseptik. Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini menyerang
berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (yang terberat).
Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan, vaksin BCG merupakan vaksin hidup maka tidak diberikan pada pasien dengan imunokompromais (leukemia, anak
yang sedang mendapatkan pengobatan steroid jangka panjang, atau bayi yang telah diketahui atau dicurigai menderita infeksi HIV.
Apabila BCG diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberculin negative.
Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi lokal cepat di tempat suntikan, perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostic tuberculosis).
Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc Nacl 0,9%. Setelah dilarutkan harus segera dipakai dalam waktu 3 jam, sisanya
dibuang. Penyimpanan pada suhu <5°C terhindar dari sinar matahari.
2.2.2. Imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT)
Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah 3 penyakit yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae. Penyakit ini bersifat ganas, mudah menular dan
menyerang terutama saluran pernafasan bagian atas, penularannya bisa disebabkan karena kontal langsung dengan penderita melalui bersin atau batuk atau kontak tidak langsung karena adanya makanan yang terkontaminasi nakteri
difteri. Penderita akan mengalami beberapa gejala seperti demam lebih kurang 38°C, mual, muntah, sakit waktu menelan dan terdapat pseudomembran putih
leher membengkak seperti leher sapi disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak nafas disertai bunyi (stridor).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu
bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurunan panas.
Penyakit Pertusis atau batuk rejan atau dikenal dengan “Batuk Seratus Hari” adalah penyakit infeksi saluran yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
Pertusis. Gejalanya khas yaitu batuk yang terus-menerus sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang-kadang bercampur darah. Batuk diakhiri dengan tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi melengking.
Penularannya umumnya terjadi melalui udara (batuk/bersin). Pencegahan paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan
Difteri sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan.
Penyakit Tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya
Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin. Tetanospasmin
menempel pada syaraf disekitar area luka dan dibawa ke sistem syaraf otak serta tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada aktivitas normal urat syaraf.
Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul di hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus gejala mulai pada dua minggu
pertama kehidupan seorang bayi. Walaupun tetanus merupakan penyakit berbahaya, jika cepat didiagnosa dan mendapat perawatan yang benar maka penderita dapat disembuhkan, penyembuhan umumnya terjadi selama 4-6 minggu.
Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian dari imunisasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak imunisasi dapat terus dilanjutkan
walaupun telah dewasa. Dianjurkan setiap interval 5 tahun : 25, 30, 35 dst. Untuk wanita hamil sebaiknya diimunisasi juga dan melahirkan di tempat yang terjaga kebersihannya.
2.2.3. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi Hepatitis B untuk mencegah penyakit yang disebabkan virus
hepatitis B yang berakibat pada hati. Penyakit itu menular melalui darah atau cairan tubuh yang lain dari orang yang terinfeksi. Virus hepatitis B ditemukan di dalam cairan tubuh orang yang terjangkit termasuk darah, ludah dan air mani.
Vaksin ini diberikan 3 kali hingga usia 3-6 bulan.
Ibu yang menderita penyakit hepatitis B dapat menularkan pada bayinya.
penderita hepatitis B, seperti jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, tranfusi darah dan gigitan manusia, hal ini termasuk hubungan seksual. Penyakit hepatitis
B bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati menimbulkan kematian.
Gejala hepatitis B mirip dengan gejala flu yaitu hilangnya nafsu makan, mual, mudah merasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam, urine menjadi
kuning, sakit perut. 2.2.4. Imunisasi Polio
Imunisasi polio memberikan kekebalan terhadap penyakit polio. Penyakit
ini disebabkan virus, menyebar melalui tinja/kotoran orang yang terinfeksi. Anak yang terkena polio dapat menjadi lumpuh layuh. Penyakit ini dapat menyerang
sistem pencernaan dan sistem saraf. Vaksin polio ada dua jenis, yakni vaccine polio inactivated (IPV) dan vaccine polio oral (OPV). Vaksin ini diberikan pada
bayi baru lahir, 2,4,6,18 bulan dan 5 tahun.
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5
hari. Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar di Indonesia yang umum diberikan adalah vaksin Sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya melalui mulut. Pemberian vaksin polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin
hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulangan diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT. Pemberian imunisasi polio akan menimbulkan kekebalan aktif
Cara memberikan imunisasi polio adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung kedalam mulut anak atau dengan menggunakan
sendok yang dicampur dengan gula manis.
Faktor yang dapat meningkatkan terserang poliomyelitis antara lain
dikarenakan malnutrisi, kurangnya sanitasi lingkungan, karena suntikan dan juga virus yang bisa ditularkan melalui plasenta ibu sedangkan antibody yang
diberikan pasif melalui plasenta tidak dapat melindungi bayi secara adekuat. Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada orang yang menderita defisiensi imunitas. Efek samping imunisasi ini hampir tidak ada.
Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang. Tingkat kekebalan dapat mencapai hingga 90%.
2.2.5. Imunisasi Campak
Imunisasi campak bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Campak, measles atau rubella adalah penyakit virus akut yang
disebabkan oleh virus campak. Penularan melalui udara ataupun kontak langsung dengan penderita. Gejala-gejalanya adalah demam, batuk, pilek dan bercak-bercak
merah pada permukaan kulit 3-5 hari setelah anak menderita demam. Bercak mula-mula timbul di pipi bawah telinga yang kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota tubuh lainnya.
Komplikasi dari penyakit campak ini adalah radang paru-paru, infeksi pada telinga, radang pada saraf, radang pada sendi dan radang pada otak yang
yang teratur dan istirahat yang cukup, dan paling efektif cara pencegahannya adalah dengan melakukaan imunisasi. Pemberian imunisasi akan menimbulkan
kekebalan aktif dan bertujuan untuk melindungi terhadap penyakit campak hanya dengan sekali suntikan, dan diberikan pada usia anak sembilan bulan atau lebih.
2.3. Jadwal Imunisasi
2.3.1. Program Imunisasi Nasional (PIN)
Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atau expanded program on immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1997. Program PPI merupakan program pemerintah dalam
bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization (UCI) pada akhir 1982.
Program imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terjangkitnya penyakit tertentu yaitu Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I), antara lain Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, Polio dan
Campak. Target UCI pada tahun 2013 adalah 95% dan tahun 2014 sebesar 100%. Meskipun cakupan UCI desa cenderung meningkat, namun untuk mencapai 100%
pada tahun 2014 dibutuhkan upaya lebih.
Program imunisasi nasional disusun berdasarkan keadaan epidemiologi penyakit yang terjadi saat ini. Program imunisasi nasional terdiri dari imunisasi
dasar yang harus diselesaikan sebelum usia satu tahun.
Besar cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan
80%. Namun pada kenyataannya, cakupan imunisasi belum memuaskan seperti Data : Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP Depkes 2004,
*Profil kesehatan tahun 2005, #Balitbangkes Depkes, Riskesdas 2007 @Profil Kesehatan tahun 2009 **tad= tidak ada data
2.3.2. Jadwal imunisasi
Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi
atau imunisasi harus diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain tergantung kepada lembaga kesehatan yang
berwewenang mengeluarkannya.
Berikut ini adalah jadwal imunisasi :
Tabel 2.2. Ringkasan jadwal imunisasi berdasarkan umur pemberian Jenis
2.3.3. Pencatatan imunisasi
Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi berupa
kartu imunisasi yang dipegang oleh orang tua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data
yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orang tua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa
membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi :
a. Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
b. Tanggal melakukan vaksinasi c. Efek samping bila ada
d. Tanggal vaksinasi berikut
e. Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin
Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/paramedis
sebelumnya, maka data tentang hal-hal tersebut di atas harus dilengkapi oleh petugas yang melanjutkannya. Sehingga kartu imunisasi yang lengkap, baik
jadwal maupun efek samping yang akan merupakan informasi penting untuk dokter/paramedis yang akan memberikan vaksin berikutnya. Kartu vaksinasi ini sebaiknya dipegang oleh orang tuanya. Diharapkan para dokter yang memberikan
vaksinasi mempunyai sistem untuk mengingatkan orang tua untuk melakukan vaksinasi berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah ditetapkan.
(misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari sebelum hari libur, mengingat apabila terjadi demam ibu berada di rumah).
Pentingnya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah vaksin yang diberikan dan bagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk pasien
dengan imunisasi tidak lengkap dan cara mengejar (catch up) imunisasi yang tertinggal.
2.4. Status Imunisasi
Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta
hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali
imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga
dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.
Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan
buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi,
disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan. Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”, (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur 12-23
bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur diatasnya.
Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum,
ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena
subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan
pencatatan.
Cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tuga kali DPT-HB, empat
kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%) (Riskesdas,
Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di pedesaan (53,7%) dan terdapat 11,7% anak umur 12-23 bulan di
pedesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Sedangkan persentase anak umur 12-23 yang belum pernah diberikan imunisasi sekitar 8,7%. Alasan utama
anak tidak diimunisasi adalah takut anak menjadi panas (28,8%), keluarga tidak mengizinkan anaknya diimunisasi (26,3%) (Riskesdas, 2013).
2.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Anak Batita
Keberhasilan pemberian imunisasi kepada bayi memerlukan kerjasama dan dukungan dari semua pihak terutama kesadaran ibu-ibu yang mempunyai bayi
untuk membawa bayinya ke fasilitas pelayanan imunisasi, seperti Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Bersalin, Praktik Dokter atau Bidan.
Adapun faktor yang mempengaruhi imunisasi dasar pada bayi adalah sebagai berikut :
a. Umur ibu
Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risk
serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur individu tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Ali Muhammad (2002) dengan desain cross
sectional, didapatkan bahwa usia ibu berhubungan dengan pengetahuan dan
b. Pendidikan ibu
Pendidikan orang tua merupakan faktor penting dalam bidang ekonomi,
kemasyarakatan, dan mengurus keluarga/rumah tangga, termasuk dalam hal pemberian imunisasi kepada anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian Muamalah Siti (2006) dengan desain cross sectional, didapatkan bahwa pendidikan ibu berhubungan dengan status imunisasi
DPT dan campak (p < 0,05). c. Pekerjaan ibu
Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu
bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak
dicapainya, dan orang berharap bahwa aktifitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada sesuatu keadaan yang lebih memuaskan dari pada keadaan sebelumnya.
Bagi pekerja wanita, mereka adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai beban dan hambatan
lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti wanita harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangganya, termasuk urusan imunisasi anaknya.
Berdasarkan penelitian Khalimah (2007) dengan desain cross sectional, didapatkan bahwa pekerjaan ibu berhubungan dengan penerapan imunisasi
d. Efek samping imunisasi
Vaksin sebagai suatu produk biologis dapat memberikan efek samping
yang tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak selalu sama reaksinya antara penerima yang satu dengan penerima lainnya. Efek samping imunisasi yang
dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setalah menerima imunisasi yang diduga berhubungan dengan
imunisasi. penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi terbagi atas empat macam, yaitu kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi, induksi vaksin, faktor kebetulan dan penyebab yang tidak diketahui. Gejala klinis KIPI dapat dibagi
menjadi dua yaitu gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal seperti nyeri, kemerahan, pembengkakan pada lokasi suntikan. Gejala sistemik antara lain panas, gejala
gangguan pencernaan, lemas, rewel dan menangis yang berkepanjangan. 2.6. Status Gizi
2.6.1. Pengertian status gizi
Istilah “gizi” dan “ilmu gizi” di Indonesia baru dikenal sekitar tahun
1952-1955 sebagai terjemahan kata bahasa Inggris nutrition. Kata gizi berasal dari bahasa Arab “ghidza” yang berarti makanan. Menurut dialek Mesir, ghidza dibaca
ghizi. Selain itu sebagian orang menterjemahkan nutrition dengan mengejanya sebagai “nutrisi”. Terjemahan ini terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
Badudu-Zain tahun 1994.
WHO mengartikan ilmu gizi sebagai ilmu yang mempelajari proses yang
pengolahan zat padat dan cair dari makanan yang diperlukan untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan, berfungsinya organ tubuh dan menghasilkan energi.
Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme,
dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi.
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam sel tubuh (Supariasa, 2002).
Jadi, status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi menjadi penting karena merupakan salah
satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berdistribusi terhadap kesehatannya dan juga kemampuan dalam proses pemulihan.
Status gizi diartikan sebagaai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masalah zat gizi. Status gizi sangat
ditentukan oleh ketersediaan zat gizi dalam jumlah cukup dan dalam kombinasi waktu yang tepat di tingkat sel tubuh agar berkembang dan berfungsi secara normal. Status gizi ditentukan oleh spenuhnya zat gizi yang diperlukan tubuh dan
faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan, dan penggunaan zat-zat tersebut (Triaswulan, 2012).
anak balita, aktifitas, pemeliharaan kesehatan, penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit dan proses biologis lainnya di dalam tubuh. Kebutuhan bahan
makanan pada setiap individu berbeda karena adanya variasi genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses metabolisme. Sasaran yang dituju yaitu
pertumbuhan yang optimal tanpa diserta oleh keadaan defisiensi gizi. Status gizi yang baik akan turut berperan dalam pencegahan terjadinya berbagai penyakit,
khususnya penyakit infeksi dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak yang optimal (Depkes RI, 2008).
Tubuh membutuhkan gizi dalam jumlah dan ragam yang sesuai untuk
dapat tumbuh optimal. Ukuran umum kebutuhan gizi dikenal dengan istilah Angka Kecukupan Gizi (AKG), yang berbeda-beda pada setiap orang karena
perbedaan umur dan berat badan. Pemenuhan gizi yang tepat adalah gizi seimbang, yaitu terpenuhinya bermacam-macam zat gizi sesuai jumlah yang dibutuhkan.
Menurut Notoatmodjo (2003), kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan anak balita. Oleh
sebab itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah melalui status gizi balita.
Menurut Kemenkes RI (2010), pemeliharaan status gizi anak sebaiknya :
a. Dimulai sejak dalam kandungan. Ibu hamil dengan gizi yang baik, diharapkan akan melahirkan bayi dengan status gizi yang baik pula.
c. Pemberian makanan pendampingan ASI bergizi, mulai usia 6 bulan secara bertahap sampai anak dapat menerima menu lengkap keluarga.
d. Memperpanjang masa menyusui selama ibu dan bayi menghendaki.
2.7. Epidemiologi Masalah Gizi 2.7.1. Distribusi berdasarkan orang
Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah
gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menetukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang
anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan.
Masa balita merupakan masa dimana terjadi pertumbuhan badan yang
cukup pesat sehingga memerlukan zat-zat yang tinggi di setiap kilo gram berat badannya. Dalam keadaan seperti ini anak balita justru paling ssering mengalami kekurangan gizi sehingga anak balita merupakan kelompok umur yang rentan
menderita kekuranga gizi.
2.7.2. Distribusi dan frekuensi menurut tempat dan waktu
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita pada tahun 2013 yang diukur berdasarkan BB/U adalah 5,7% dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,9%. Prevalensi nasional nasional untuk gizi buruk dan kurang adalah 19,6%. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target
Diantara 33 provinsi di Indonesia, 19 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang diatas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2% sampai
dengan 33,1%. Urutan ke-19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4)
Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12)
Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua; (18) Sumatera Barat; (19) Jambi.
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki
prevalensi gizi buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu : (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung. Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila
prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0%-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30% (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi gizi
buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah gizi
berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori
prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat (28,3%), Papua Barat (30,5%) dan Nusa Tenggara Timur (34,7%).
2.7.3. Determinan masalah gizi
Proses riwayat terjadinya penyakit pada masalah gizi (gizi kurang) melalui berbagai tahap yaitu diawali dengan terjadinya interaksi antara pejamu, sumber
simpanan zat gizi dalam tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya
terjadi kemerosotan jaringan. Proses ini berlanjut sehingga menyebabkan malnutrisi, walupun hanya ditandai dengan penurunan berat badan dan
pertumbuhan terhambat.
Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensi, dipengaruhi oleh
berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan dengan masalah pangan. Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat bahkan keluarga, karena anak tidak tampak sakit.
a. Agen
Kekurangan gizi sering diidentikkan dengan konsumsi makanan yang
tidak mencukupi kebutuhan atau anak sulit untuk makan. Penyebab langsung timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan
cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya
tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan, akhirnya berat badan anak menurun.
Faktor penyebab tidak langsung timbulnya kurang gizi pada anak balita yaitu : (1) tidak cukup tersedia pangan atau makanan di keluarga, (2) pola
Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan.
b. Host
b.1. Berat badan lahir anak balita
Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah
lahir. Berat badan lahir berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak di masa mendatang. Bayi dengan BBLR akan mengalami gangguan dan belum sempurna pertumbuhan dan pematangan organ atau alat-alat tubuh,
akibatnya BBLR sering mengalami komplikasi yang berakhir dengan kematian. Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam
kandungan. Apabila status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan akan menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa hasil penimbangan berat
badan waktu lahir 10,2% lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Persentase BBLR pada perempuan (11,2%) lebih tinggi daripada laki-laki (9,2%).
persentase BBLR tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,9%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%).
b.2. Tingkat pendidikan ibu
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang
menjadi lebih baik. Masalah gizi sering timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai.
Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan keadaan gizi anak balita. Pertama, tingkat pendidikan kepala keluarga secara
langsung. Kedua, pendidikan ibu modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga, juga berperan dalam pola penyusunan makanan rumah tangga
maupun dalam pola pengasuhan anak. b.3. Pekerjaan ibu
Dalam hal mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlibat
sehingga pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan anak. Meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk tugas-tugas pemeliharaan
anak, kurang pemberian ASI.
b.4. Jumlah anak dalam keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi makanannya jika yang harus diberi
makan jumlahnya sedikit. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan.
Sebagian memang demikian, sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa
c. Environment (Lingkungan)
Faktor lingkungan juga meliputi ketersediaan pangan. Tidak cukupnya
persedian pangan di keluarga. Artinya kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun kebutuhan gizinya, bagi seluruh anggota
keluarganya belum terpenuhi. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik hasil produksi maupun dari pasar atau sumber lain),
harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan
kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan
keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi.
2.8. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Ada beberapa cara mengukur status gizi anak, yaitu dengan pengukuran antropometrik, klinik, laboratorik. Diantara ketiganya, pengukuran antropometrik
adalah yang paling relatif sederhana dan banyak dilakukan.
Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dan metros. Antropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi, antropometri adalah ukuran dari
tubuh. Pengertian dari sudut pandang gizi, antrometri adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
Dari beberapa pengukuran tersebut berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan sesuai dengan dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam
survei gizi. Untuk keperluan perorangan dan keluarga, pengukuran Berat Badan (BB) dan kadang-kadang Tinggi Badan (TB) atau Panjang Badan (PB) adalah
pengukuran yang paling banyak dilakukan.
Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis
pengukuran paling sederhana dan praktis larena lebih mudah dilakukan, murah, cepat, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar, serta hasil pengukurannya lebih akurat. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh
manusia. Antropometri merupakan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat usia dan tingkat gizi.
Tujuan yang hendak dicapai dalam pemeriksaan antropometris adalah besaran komposisi tubuh yang dapat dijadikan isyarat dini perubahan status gizi.
Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur. Ada beberapa indeks
antropometri yang umum dikenal yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggt Bada menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).
Indeks BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan
menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini.
2.8.1. Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indikator BB/U dapat normal, lebih, rendah, atau lebih tinggi setelah
dibandingkan dengan standar WHO. Apabila BB/U normal, digolongkan pada status gizi baik, BB/U rendah dapat berarti status gizi kurang atau buruk.
Sedangkan BB/U tinggi sapat digolongkan status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun status gizi lebih kedua-duanya mengandung risiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U di dalam ilmu gizi dikelompokkan kedalam kelompok “berat badan rendah” (BBR) atau
underweight. Menurut tingkat keparahannyaa BBR dikelompokkan lagi kedalam
kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat buruk.
Menurut Standar Antropometri WHO 2005 maka indikator BB/U
dikelompokkan atas gizi lebih, gizi baik dan gizi kurang. Tabel 2.3. Status Gizi dengan Indikator BB/U menurut WHO
Z-Score Kategori
>2,0 SD Status gizi lebih
-2,0 SD s/d 2,0 SD Status gizi baik
-3 SD s/d <-2,0 SD Status gizi kurang
<-3,0 SD Status gizi buruk
Penggunaan indikator BB/U sebagai indikator status gizi memiliki
kelebihan dan kelemahan. Kelebihan indikator BB/U yaitu dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan
terdapat pembengkakan atau oedema, data umur yang akurat sering sulit diperoleh terutama di negara-negara yang sedang berkembang, kesalahan pada saat
pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas/dikoreksi dan anak yang bergerak terus, masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua
untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap sebagai barang dagangan. 2.8.2. Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Seorang yang tergolong pendek “pendek tak sesuai umurnya” (PTS U) kemungkinan keadaan
gizi masa lalu tidak baik. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif
kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama.
Tabel 2.4. Status Gizi dengan Indikator TB/U menurut WHO
Z-Score Kategori
Penggunaan indikator TB/U sebagai indikator status gizi memiliki
kelebihan dn kelemahan. Kelebihan indikator TB/U yaitu dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau dan dapat dijadikan indikator
sering sulit diperoleh di negara-negara berkembang, kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non profesional.
2.8.3. Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Pengukuran antropometrik yang terbaik adalah menggunakan indikator
BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik.
Tabel 2.5. Status Gizi dengan Indikator BB/TB menurit WHO
Z-Score Kategori
> 2,0 SD Gemuk
- 2,0 SD s/d 2,0 SD Normal
-3 SD s/d <-2,0 SD Kurus/wasted
< - 3,0 SD Sangat kurus
Penggunaan indikator BB/TB sebagai indikator status gizi memiliki
kelebihan dan kelemahan. Kelebihan indikator BB/TB yaitu independen terhadap umur dan ras dan dapat menilai status kurus dan gemuk dan keadaan marasmus
atau KEP berat lain. Sedangkan kelemahan indikator BB/TB yaitu kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas/dikoreksi dan anak
bergerak terus, masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan, kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok usia balita,
kesalahan sering dijumpai pada pembaca skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non profesional, tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut
2.9. Pencegahan Masalah Gizi 2.9.1. Pencegahan Tingkat Pertama
Pencegahan tingkat pertama mencakup promosi kesehatan dan perlindungan khusus dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan
kepada masyarakat terhadap hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi. Tindakan yang termasuk dalam pencegahan tingkat pertama :
a. Hanya memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan b. Memberikan MP-ASI setelah umur 6 bulan
c. Menyusui diteruskan sampai umur 2 tahun
d. Menggunakan garam beryodium
e. Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A, tablet Fe) kepada anak
balita
f. Pemberian imunisasi dasar lengkap
2.9.2. Pencegahan Tingkat Kedua
Pencegahan tingkat kedua lebih ditujukan pada kegiatan skrining kesehatan dan deteksi dini untuk menemukan kasus gizi di dalam populasi.
Pencegahan tingkat kedua bertujuan untuk menghentikan perkembangan kasus gizi kurang menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan. Tindakan yang termasuk dalam pencegahan tingkat kedua :
a. Pemberian makanan tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita yang berat badannya tidak naik atau gizi kurang
c. Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi)
d. Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk
e. Pemantauan Status Gizi (PSG)
2.9.3. Pencegahan Tingkat Ketiga
pencegahan tingkat ketiga ditujukan untuk membatasi atau menghalangi ketidakmampuan, kondisi atau gangguan sehingga tidak berkembang ke arah
lanjut yang membutuhkan perawatan intensif. Pencegahan tingkat ketiga juga mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi saat masalah gizi sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan. Tindakan
yang termasuk dalam pencegahan tingkat ketiga :
a. Konseling kepada ibu-ibu yang anaknya mempunyai gangguan
pertumbuhan
b. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada anak
c. Menangani kasus gizi buruk dengan perawatan puskesmas dan rumah sakit d. Pemberdayaan keluarga untuk menerapkan perilaku sadar gizi
e. Melakukan pencegahan meluasnya kasus dengan koordinasi lintas program dan lintas sektoral dengan cara memberikan bantuan pangan, pengobatan penyakit, penyediaan air bersih, dan memberikan penyuluhan
2.10. Kerangka Konsep
Adapun yang menjadi kerangka konsep menurut tinjauan teoritis dan
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Pemberian Imunisasi
Kelengkapan Imunisasi Dasar Waktu Imunisasi
Status Gizi Anak Batita Karakteristik Ibu :
Umur Pendidikan Pekerjaan Jumlah Anak
Karakteristik Anak Batita Umur