BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan
menggambarkan objek yang diteliti yaitu gambaran berupa pengertian-pengertian
yang berkaitan dengan penelitian.
2.1.1 Kebudayaan
Kebudayaan merupakan kebiasaan yang dipelajari. Menurut Veegar dalam
buku Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan adalah hasil pengungkapan diri manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi
warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa
kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya
yang tidak lengkap dan naluri-nalurinya yang tidak terpadu. Jadi menurutnya
kebudayaan adalah faktor kekuatan manusia dalam rangka merespons alam
sekitarnya.
2.1.2 Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa mulai masuk ke negara Indonesia pada abad ke-7.
Pada abad ke-11, mereka mulai tinggal di wilayah Indonesia, terutama di pesisir
timur Sumatra dan Kalimantan Barat. Kemudian pada abad ke-14, ada warga
Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan antara India
dan Tiongkok melalui jalur laut. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan
Cina, berasal dari kata zhonghua. Zhonghua dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa.
Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya
yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.
2.1.3 Kota Tebing Tinggi
Kota Tebing Tinggi berada diantara 30°9'3" sampai 30°4'50" Lintang Utara
dan 99°4'1" sampai 99°0'0" Bujur Timur. Terletak sekitar 80 km dari Kota Medan,
Sumatera Utara Indonesia. Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan
kota dari 34 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Luas kota ini berkisar 38,438 km2.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, rerata kepadatan penduduk Kota Tebing
Tinggi adalah 3,777 orang per kilometer persegi. Kota Tebing Tinggi terletak pada
lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah
Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematang Siantar,
Parapat, Balige, dan Siborong-borong.
2.1.4 Wayang Potehi
Wayang merupakan salah satu kebudayaan seni pertunjukkan rakyat yang
masih banyak penggemarnya hingga saat ini. Pertunjukkan wayang dimainkan oleh
seorang dalang dengan menggerakkan tokoh-tokoh pewayangan yang dipilih sesuai
swarawati atau sindhen dan para penabuh gamelan atau niyaga, sehingga pertunjukkan wayang melibatkan banyak orang (Gunarjo, 2011:9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:538), wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb yang dapat dimanfaatkan untuk
memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb),
biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.
Wayang boneka yang terbuat dari kain ini dimainkan oleh dua yang
masing-masing memegang dua boneka. Dari kedua orang tersebut, satu orang dalang inti
dan satu orang sebagai asisten dalang. Pertunjukan wayang potehi ini menceritakan
tentang sejarah atau tokoh-tokoh penting di Cina dan biasanya dibawakan secara
serial.
Gambar 1: Wayang Potehi
2.1.5 Pertunjukan
Pertunjukan adalah sesuatu yang dipertunjukan atau ditontonkan.
Pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih,
pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima
tingkah laku yang khas (Murgianto, 1996:156). Dalam sebuah pertunjukan harus
ada pemain, penonton, pesan yang dikirim dan cara penyampaian yang khas.
Berhasilnya sebuah pertunjukan, jika terjadi komunikasi dua arah antara pelaku
seni pertunjukan dengan para penontonnya. Dalam sebuah seni pertunjukan atau
yang lazim juga disebut dengan seni budaya dan budaya pertunjukan, biasanya
dilakukan pada masa tertentu dan ruang tertentu (seperti pentas, lapangan, dan
sejenisnya.
Istilah seni pertunjukan atau sering juga disebut seni pertunjukan serta
pertunjukan budaya dalam bahasa Indonesia dan Melayu Malaysia adalah sebagai
padanan istilah perfoming art atau cultural perfomance dalam bahasa Inggris. Menurut Murgiyanto (1995) kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi ke
dalam rumpun-rumpun seni: (a) seni pertunjukan, yang di dalamnya terdiri lagi dari
percabangan seni musik, tari, dan teater. Bidang kajian disiplin ini meluaskan diri
sampai kepada sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman dan
lain-lainnya. (b) Seni visual atau seni rupa yang terdiri dari seni mumi, seni patung,
kerajinan atau kriya, lukis, disain grafis, disain interior, disain eksterior, reklame
dan lain-lainnya. (c) Seni media rekam, yang terdiri dari: televisi, radio, komputer,
intemet dan lain-lainnya. Seni sastra umumnya menjadi bahagian kajian dari ilmu
sastra atau linguistik, seni arsitektur atau seni bina menjadi bahagian kajian ilmu
teknik. Namun kesemua bidang ini saling memiliki hubungan teoretis, metodologis
dan sejarah dalam ilmu pengetahuan manusia.
Ilmu seni pertunjukan telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mencoba
menerapkan berbagai kajian dan metodologi, yang sifatnya integratif dan
menggunakan pendekatan perbandingan. Bahwa seni pertunjukan dilakukan oleh
manusia dalam perayaan, upacara yang sifatnya sosial. Begitu pula pelbagai
aktivitas yang sifatnya lebih menekankan kepada aspek estetika seperti dalam seni
musik, tari, dan teater.
Seni pertunjukan sebagai sebuah disiplin ilmu coba dikembangkan pelbagai
metode dan teorinya oleh para ilmuwannya. Para ilmuwan seni pertunjukan ini
mencoba mengembangkan sekumpulan konsep dan pendekatan keilmuan yang
bersifat saintifik, menjelajahi pelbagai teori dan metodologi merangkum
disiplin-disiplin antropologi, sosiologi, sejarah, teori sastra, semiotika, analisis struktural,
analisis fungsional, teori feminimisme, etnologi, analisis gerak tari dan teater,
psikologi perseptual, estetika dan teori seni pertunjukan itu sendiri. Dalam rangka
memberikan perspektif pertunjukan yang terintegrasi, tari, musik, dan teater tidak
hanya dipelajari sebagai pertunjukan yang berdiri sendiri tetapi merupakan
bahagian dari teater, upacara dan kehidupan sosiobudaya manusia. Seni
pertunjukan yang didukung oleh musik, tari, dan teater menjadi satu bahagian dari
konsep estetika. Musik sendiri adalah sebuah aktivitas yang material dasamya
adalah bunyi-bunyian yang mengandung nada dan ritem tertentu. Sementara seni
tari menggunakan medium utamanya yaitu gerak-geri tubuh manusia, dan teater
melibatkan pelbagai medium baik bunyi-bunyian, gerak-gerik, alam sekitar maupun
bahasa dan sastera. Dengan demikian dalam seni pertunjukan pendekatan struktural
atau teks dan fungsional atau konteks menjadi bahagian yang saling berintegrasi
dan saling mendukung. Dalam seni pertunjukan biasanya satu genre tertentu telah
mengandung musik atau tari dan teater sekaligus. Namun ada yang mengandung
2.1.6 Teks dan Konteks
Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari seorang pengarang;
kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau ulasan; bahan tertulis untuk dasar
memberikan pelajaran, pidato, dan sebagainya. Menurut Luxemburg, et.al.
(1992:86, dalam jurnal) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang
menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Teks yang baik harus
mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam
kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam
bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa
maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi.
Konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu
uraian atau kalimat yang dapat kejelasan makana; situasi yang ada hubungannya
dengan suatu kejadian. Konteks bias juga diartikan kondisi dimana suatu keadaan
terjadi. Ada beberapa jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata,
pemandangan, dan lain sebagainya. Konteks menurut factor sosio-psikologis
menyangkut faktor-faktor seperti status orang-oraang yang terlibat dalam hubungan
komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi pemilihan waktu
atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan peristiwa yang dirasakan
terjadi sebelum peristia komunikasi (http://id.m.wikipedia.org/wiki/konteks).
2.2 Landasan Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Menurut
Koenjaraningrat (dalam jurnal, 2008) bahwa tanpa teori hanya ada pengetahuan
pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori
yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori Edy
Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan
selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut
dilaksanakan atau didukung masyarakatnya.
Bagi Umar Kayam (2000:21) mengajukan sebuah teori bahwa seni
pertunjukkan Indonesia memiliki ciri yang istimewa. Ia adalah sosok seni
pertunjukkan yang sangat lentur dan “cair” sifatnya. Ia memiliki sifat yang
demikian karena lingkungan masyarakatnya selalu barada dalam kondisi yang terus
berubah-ubah. Kondisi tersebut berada, pada suatu kurun waktu tertentu, mapan
dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu “tradisi.”
Untuk melihat apa-apa saja komponen dalam sebuah pertunjukan, penulis
memakai teori Milton Singer (dalam jurnal, 1996: 164-165) yang mengungkapkan
bahwa pertunjukan selalu memiliki, waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan
akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton,
tempat pertujukan dan kesempatan untuk mempertunjukannya.
2.2.1 Teori Semiotik Pertunjukan
Untuk mengkaji pertunjukan wayang potehi di Kota Tebing Tinggi
Sumatera Utara ini, penulis menggunakan teori semiotik pertunjukan yang
ditawarkan oleh dua pakar seni pertunjukan yaitu Pavis dan Kowzan. Keduanya
diterapkan pada seni pertunjukan, bukan bahasa seperti yang diurai oleh saussure
dan Peirce.
Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotik
dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan
dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni.
Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari
Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure
melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari
sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep
(signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri
dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,
indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti
foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti
timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai
yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik
Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis (dalam Turner, 1983) dari Perancis,
lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5
berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik,
gestur, gerak, make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Kowzan dan Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil
untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan
perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian.
Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun
pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup:
(1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi:
(a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan,
(b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan,
(c) koherensi dan inkoherensi,
(d) prinsip-prinsip estetis produksi,
(e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah
momennya kuat, lemah, atau membosankan.
(2) skenografi, yang meliputi:
(a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan,
imitasi tata ruang,
(b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan,
(c) sistem pewarnaan dan konotasinya,
(d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage
(3) sistem tata cahaya
(4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain
(5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum
antar pemain
(6) pertunjukan:
(a) gaya, individu atau konvensional,
(b) hubungan antara pemain dan kelompok,
(c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara
pemain dan peran,
(d) kualitas gestur dan mimik,
(e) bagaimana dialog dikembangkan.
(7) fungsi musik dan efek suara
(8) tahapan pertunjukan:
(a) tahap keseluruhan,
(b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum,
gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba.
(9) interpretasi cerita dalam pertunjukan:
(a) cerita apa yang akan dipentaskan,
(b) jenis dramaturgi apa yang dipilih,
(c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang
dijelaskan,
(d) bagaimana struktur plot,
(e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana
(f) termasuk genre apakah teks dramanya.
(10) teks dalam pertunjukan:
(a) terjemahan skenario,
(b) peran yang diberikan, teks drama dalam produksi
(c) hubungan antara teks dan imaji
(11) penonton:
(a) di mana pertunjukan dilaksanakan,
(b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan,
(c) bagaimana reaksi penonton, dan
(d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna.
(12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis:
(a) imaji apa yang menjadi fokus.
(13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan:
(a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan,
(b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan
(dan mengapa).
(14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai
komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan
memperbaiki produksi pertunjukan.
2.2.2 Teori Linguistik Sistemik Fungsional
Penelitian ini mengunakan pendekatan Linguistik Systemic Functional
sistem arti dan sistem. Konsep sistem dan arti yang digagas Halliday dirangkum
dalam linguistik. Dalam penelitian konsep yang mendasari yaitu:
(a) Bahasa adalah suatu sistem semiotik,
(b) Bahasa merupakan teks berkonstrual (saling menentukan dan merujuk)
dengan konteks sosial,
(c) penggunaan bahasa adalah fungsional,
(d) Fungsi bahasa membuat makna,
(e) bahasa adalah sistem,
(f) hubungan bahasa dan teks direalisasikan melalui konteks sosial.
Bahasa lisan dan tulisan adalah bahasa yang difungsikan sesuai dengan
fungsi – fungsi bahasa yang disebut metafungsi yang memiliki sistem – sistem yaitu
sistem ideasional. interpesona dan tekstual. Tiga sistem di atas dikenal dengan tiga
konsep fungsional yaitu konsep pertama bahwa bahasa teruktur berdasarkan fungsi
bahasa dalam kehidupan manusia. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia
terdiri atas tiga hal yaitu (1) fungsi memaparkam atau menggambarkan, (2)
mempertukarkan, dan (3) merangkaikan pengalaman manusia. Kedua konsep
bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional berlaku terhadap unit yang lebih besar,
yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian seperti ini grup
nomina, verba, preposisi klausa sisipan, atau unit lain berfungsi dalam tugas masing
masing untuk membangun klausa. Konsep keempat menetapkan teks atau wacana
dalam kontek sosial. Teks sebagai unit bahasa yang fungsional dalam kontek sosial
adalah unit bahasa yang fungsional memberi arti atau unit semantik bukan unit tata
Selanjutnya untuk menganalisis teks berupa prolog, dialog, dan epilog yang
diucapkan atau dituturkan oleh dalang, maka penulis juga menggunakan teori
Linguistik Systemic Functional (LSF) dari Martin. Menurutnya, secara global dan umum, bahwa bahasa merupakan bahagian dari kebudayaan. Menurut Martin
peranan bahasa dalam konteks sosial adalah:
(1) bahasa tidak hidup dan berkembang secara sendirian, bahasa merupakan
bahagian dari lingkungan atau konteks sosial,
(2) untuk mengetahui bahasa tersebut, maka para pengkaji bahasa mestilah
melihat kenapa dan mengapa bahasa tersebut mencerminkan makna-makana
dalam konteks sosial,
(3) untuk mengetahui bahasa dan hubungannya dengan konteks sosial di
mana hasa itu hidup,
(4) untuk mengetahui para penutur bahasa tersebut menggunakan bahasa
untuk berbicara sesama mereka;
(5) hubungan antara bahasa dan konteks sosial adalah terekspresi dari
konstruksi keduanya;
(6) hubungan itu adalah: bahasa sebagai sistem semiotik mengekspresikan
konteks sosial sebagai sistem. Hubungan bahasa dengan konteks sosial
Bagan Hubungan antara Bahasa dan Konteks Sosial
(Martin, 1993:142)
Dalam konteks penelitian ini, bahasa yang dituturkan oleh dalang wayang
potehi, yang penulis sebut sebagai teks pertunjukan, akan dianalisis berdasarkan
konteks sosialnya. Teks itu sendiri sebagai bahasa memiliki struktur internalnya
seperti diksi, susunan atau sintaksis, serta lebih jauh makna-makna semantiknya.
Untuk itu, penulis nantinya di dalam skripsi sarjana ini akan mengkaji teks
2.3Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah ,menyelidiki
atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Penulis menemukan beberapa buku, skripsi yang isinya relevan dengan judul
penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu :
Dinanike (1997), dalam skripsi yang berjudul “Pertunjukan Wayang Potehi
di Tempat Ibadat Tri Dharma Hok Tek Bio, Gombong.” Dalam skripsi ini ,
penulisnya menjelaskan sejarah munculnya wayang potehi di Cina, sejarah masuknya wayang potehi di Indonesia serta menjelaskan tentang bagaimana struktur konteks pertunjukan wayang potehi di Gombong, Jawa Tengah. Dengan membaca skripsi ini penulis dapat mengetahui bahwa wayang potehi telah ada di Indonesia sejak tahun 1930. Dinanike juga menuliskan unsur-unsur pendukung dalam
pertunjukan wayang potehi seperti adanya panggung, alat musik, wayang boneka, sehingga penulis mengetahui apa-apa saja instrumen yang digunakan selama
pertunjukan wayang potehi berlangsung di Gombong.
Dwi (2004), dalam makalahnya yang berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam makalah ini, pembicara menjelaskan sejarah masuknya wayang Tiongkok-Jawa serta wayang potehi ke Indonesia. Ia juga mengungkapkan adanya asimilasi antara budaya Tionghoa dengan budaya Indonesia sehingga adanya
perpaduan wayang Tionghoa dan wayang Jawa sehingga memunculkan wayang
Tiongkok-Jawa. Dengan membaca makalah ini penulis dapat mengetahui adanya
dengan budaya Indonesia dan mengetahui apa-apa saja perubahan yang telah terjadi
dari wujud asalnya seperti adanya perubahan bahasanya.
Veronica (2011), dalam artikel berjudul Kebudayaan Tionghoa. Dalam tulisan ini Veronica mengungkapkan cerita-cerita yang sering dilakonkan dalam
pementasan wayang potehi berupa legenda Tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dan lain-lain. Dengan membaca jurnal ini penulis lebih mengetahui lakon-lakon apa saja yang lebih sering dimainkan dalam
pertunjukan wayang potehi dan bagaimana cara melakonkannya.
Ananda dan Anastasi (2013), dalam bukunya berjudul Pecinan Semarang.
Dalam bukunya ini, penulis menjelaskan sekilas tentang sejarah munculnya wayang
potehi. Penulis juga menceritakan biografi dari seorang Tiong Gie sebagai salah satu ikon pecinan yang cukup terkenal dan bisa dibilang sebagai dalang wayang
potehi yang paling senior di pulau Jawa. Adapun manfaat buku ini bagi penulis yaitu dapat membantu penulis memaparkan sejarah awal munculnya wayang potehi
di Negeri Tiongkok dan persebarannya di Indonesia terutama di Semarang, Jawa