• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wayang Potehi Tiongkok Di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan Dan Teks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wayang Potehi Tiongkok Di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan Dan Teks"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,

yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan

menggambarkan objek yang diteliti yaitu gambaran berupa pengertian-pengertian

yang berkaitan dengan penelitian.

2.1.1 Kebudayaan

Kebudayaan merupakan kebiasaan yang dipelajari. Menurut Veegar dalam

buku Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan adalah hasil pengungkapan diri manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi

warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa

kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya

yang tidak lengkap dan naluri-nalurinya yang tidak terpadu. Jadi menurutnya

kebudayaan adalah faktor kekuatan manusia dalam rangka merespons alam

sekitarnya.

2.1.2 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa mulai masuk ke negara Indonesia pada abad ke-7.

Pada abad ke-11, mereka mulai tinggal di wilayah Indonesia, terutama di pesisir

timur Sumatra dan Kalimantan Barat. Kemudian pada abad ke-14, ada warga

(2)

Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan antara India

dan Tiongkok melalui jalur laut. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan

Cina, berasal dari kata zhonghua. Zhonghua dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di

Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya

yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.

2.1.3 Kota Tebing Tinggi

Kota Tebing Tinggi berada diantara 30°9'3" sampai 30°4'50" Lintang Utara

dan 99°4'1" sampai 99°0'0" Bujur Timur. Terletak sekitar 80 km dari Kota Medan,

Sumatera Utara Indonesia. Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan

kota dari 34 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Luas kota ini berkisar 38,438 km2.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, rerata kepadatan penduduk Kota Tebing

Tinggi adalah 3,777 orang per kilometer persegi. Kota Tebing Tinggi terletak pada

lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah

Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematang Siantar,

Parapat, Balige, dan Siborong-borong.

2.1.4 Wayang Potehi

Wayang merupakan salah satu kebudayaan seni pertunjukkan rakyat yang

masih banyak penggemarnya hingga saat ini. Pertunjukkan wayang dimainkan oleh

seorang dalang dengan menggerakkan tokoh-tokoh pewayangan yang dipilih sesuai

(3)

swarawati atau sindhen dan para penabuh gamelan atau niyaga, sehingga pertunjukkan wayang melibatkan banyak orang (Gunarjo, 2011:9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:538), wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb yang dapat dimanfaatkan untuk

memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb),

biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.

Wayang boneka yang terbuat dari kain ini dimainkan oleh dua yang

masing-masing memegang dua boneka. Dari kedua orang tersebut, satu orang dalang inti

dan satu orang sebagai asisten dalang. Pertunjukan wayang potehi ini menceritakan

tentang sejarah atau tokoh-tokoh penting di Cina dan biasanya dibawakan secara

serial.

Gambar 1: Wayang Potehi

2.1.5 Pertunjukan

Pertunjukan adalah sesuatu yang dipertunjukan atau ditontonkan.

Pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih,

pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima

(4)

tingkah laku yang khas (Murgianto, 1996:156). Dalam sebuah pertunjukan harus

ada pemain, penonton, pesan yang dikirim dan cara penyampaian yang khas.

Berhasilnya sebuah pertunjukan, jika terjadi komunikasi dua arah antara pelaku

seni pertunjukan dengan para penontonnya. Dalam sebuah seni pertunjukan atau

yang lazim juga disebut dengan seni budaya dan budaya pertunjukan, biasanya

dilakukan pada masa tertentu dan ruang tertentu (seperti pentas, lapangan, dan

sejenisnya.

Istilah seni pertunjukan atau sering juga disebut seni pertunjukan serta

pertunjukan budaya dalam bahasa Indonesia dan Melayu Malaysia adalah sebagai

padanan istilah perfoming art atau cultural perfomance dalam bahasa Inggris. Menurut Murgiyanto (1995) kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi ke

dalam rumpun-rumpun seni: (a) seni pertunjukan, yang di dalamnya terdiri lagi dari

percabangan seni musik, tari, dan teater. Bidang kajian disiplin ini meluaskan diri

sampai kepada sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman dan

lain-lainnya. (b) Seni visual atau seni rupa yang terdiri dari seni mumi, seni patung,

kerajinan atau kriya, lukis, disain grafis, disain interior, disain eksterior, reklame

dan lain-lainnya. (c) Seni media rekam, yang terdiri dari: televisi, radio, komputer,

intemet dan lain-lainnya. Seni sastra umumnya menjadi bahagian kajian dari ilmu

sastra atau linguistik, seni arsitektur atau seni bina menjadi bahagian kajian ilmu

teknik. Namun kesemua bidang ini saling memiliki hubungan teoretis, metodologis

dan sejarah dalam ilmu pengetahuan manusia.

Ilmu seni pertunjukan telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mencoba

menerapkan berbagai kajian dan metodologi, yang sifatnya integratif dan

(5)

menggunakan pendekatan perbandingan. Bahwa seni pertunjukan dilakukan oleh

manusia dalam perayaan, upacara yang sifatnya sosial. Begitu pula pelbagai

aktivitas yang sifatnya lebih menekankan kepada aspek estetika seperti dalam seni

musik, tari, dan teater.

Seni pertunjukan sebagai sebuah disiplin ilmu coba dikembangkan pelbagai

metode dan teorinya oleh para ilmuwannya. Para ilmuwan seni pertunjukan ini

mencoba mengembangkan sekumpulan konsep dan pendekatan keilmuan yang

bersifat saintifik, menjelajahi pelbagai teori dan metodologi merangkum

disiplin-disiplin antropologi, sosiologi, sejarah, teori sastra, semiotika, analisis struktural,

analisis fungsional, teori feminimisme, etnologi, analisis gerak tari dan teater,

psikologi perseptual, estetika dan teori seni pertunjukan itu sendiri. Dalam rangka

memberikan perspektif pertunjukan yang terintegrasi, tari, musik, dan teater tidak

hanya dipelajari sebagai pertunjukan yang berdiri sendiri tetapi merupakan

bahagian dari teater, upacara dan kehidupan sosiobudaya manusia. Seni

pertunjukan yang didukung oleh musik, tari, dan teater menjadi satu bahagian dari

konsep estetika. Musik sendiri adalah sebuah aktivitas yang material dasamya

adalah bunyi-bunyian yang mengandung nada dan ritem tertentu. Sementara seni

tari menggunakan medium utamanya yaitu gerak-geri tubuh manusia, dan teater

melibatkan pelbagai medium baik bunyi-bunyian, gerak-gerik, alam sekitar maupun

bahasa dan sastera. Dengan demikian dalam seni pertunjukan pendekatan struktural

atau teks dan fungsional atau konteks menjadi bahagian yang saling berintegrasi

dan saling mendukung. Dalam seni pertunjukan biasanya satu genre tertentu telah

mengandung musik atau tari dan teater sekaligus. Namun ada yang mengandung

(6)

2.1.6 Teks dan Konteks

Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari seorang pengarang;

kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau ulasan; bahan tertulis untuk dasar

memberikan pelajaran, pidato, dan sebagainya. Menurut Luxemburg, et.al.

(1992:86, dalam jurnal) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang

menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Teks yang baik harus

mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam

kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam

bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa

maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi.

Konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu

uraian atau kalimat yang dapat kejelasan makana; situasi yang ada hubungannya

dengan suatu kejadian. Konteks bias juga diartikan kondisi dimana suatu keadaan

terjadi. Ada beberapa jenis konteks. Konteks fisik meliputi ruangan, obyek nyata,

pemandangan, dan lain sebagainya. Konteks menurut factor sosio-psikologis

menyangkut faktor-faktor seperti status orang-oraang yang terlibat dalam hubungan

komunikasi, peran mereka, dan tingkat kesungguhannya. Dimensi pemilihan waktu

atau tempo suatu konteks meliputi hari dan rentetan peristiwa yang dirasakan

terjadi sebelum peristia komunikasi (http://id.m.wikipedia.org/wiki/konteks).

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Menurut

Koenjaraningrat (dalam jurnal, 2008) bahwa tanpa teori hanya ada pengetahuan

(7)

pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori

yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam

tulisan ini.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori Edy

Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan

selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut

dilaksanakan atau didukung masyarakatnya.

Bagi Umar Kayam (2000:21) mengajukan sebuah teori bahwa seni

pertunjukkan Indonesia memiliki ciri yang istimewa. Ia adalah sosok seni

pertunjukkan yang sangat lentur dan “cair” sifatnya. Ia memiliki sifat yang

demikian karena lingkungan masyarakatnya selalu barada dalam kondisi yang terus

berubah-ubah. Kondisi tersebut berada, pada suatu kurun waktu tertentu, mapan

dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu “tradisi.”

Untuk melihat apa-apa saja komponen dalam sebuah pertunjukan, penulis

memakai teori Milton Singer (dalam jurnal, 1996: 164-165) yang mengungkapkan

bahwa pertunjukan selalu memiliki, waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan

akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton,

tempat pertujukan dan kesempatan untuk mempertunjukannya.

2.2.1 Teori Semiotik Pertunjukan

Untuk mengkaji pertunjukan wayang potehi di Kota Tebing Tinggi

Sumatera Utara ini, penulis menggunakan teori semiotik pertunjukan yang

ditawarkan oleh dua pakar seni pertunjukan yaitu Pavis dan Kowzan. Keduanya

(8)

diterapkan pada seni pertunjukan, bukan bahasa seperti yang diurai oleh saussure

dan Peirce.

Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotik

dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan

dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni.

Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari

Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure

melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari

sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep

(signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri

dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari

lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses

penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,

indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti

foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti

timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai

yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik

Indonesia, maka disebut dengan simbol.

Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis (dalam Turner, 1983) dari Perancis,

(9)

lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5

berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik,

gestur, gerak, make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.

Kowzan dan Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil

untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan

perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian.

Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun

pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup:

(1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi:

(a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan,

(b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan,

(c) koherensi dan inkoherensi,

(d) prinsip-prinsip estetis produksi,

(e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah

momennya kuat, lemah, atau membosankan.

(2) skenografi, yang meliputi:

(a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan,

imitasi tata ruang,

(b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan,

(c) sistem pewarnaan dan konotasinya,

(d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage

(10)

(3) sistem tata cahaya

(4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain

(5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum

antar pemain

(6) pertunjukan:

(a) gaya, individu atau konvensional,

(b) hubungan antara pemain dan kelompok,

(c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara

pemain dan peran,

(d) kualitas gestur dan mimik,

(e) bagaimana dialog dikembangkan.

(7) fungsi musik dan efek suara

(8) tahapan pertunjukan:

(a) tahap keseluruhan,

(b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum,

gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba.

(9) interpretasi cerita dalam pertunjukan:

(a) cerita apa yang akan dipentaskan,

(b) jenis dramaturgi apa yang dipilih,

(c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang

dijelaskan,

(d) bagaimana struktur plot,

(e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana

(11)

(f) termasuk genre apakah teks dramanya.

(10) teks dalam pertunjukan:

(a) terjemahan skenario,

(b) peran yang diberikan, teks drama dalam produksi

(c) hubungan antara teks dan imaji

(11) penonton:

(a) di mana pertunjukan dilaksanakan,

(b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan,

(c) bagaimana reaksi penonton, dan

(d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna.

(12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis:

(a) imaji apa yang menjadi fokus.

(13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan:

(a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan,

(b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan

(dan mengapa).

(14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai

komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan

memperbaiki produksi pertunjukan.

2.2.2 Teori Linguistik Sistemik Fungsional

Penelitian ini mengunakan pendekatan Linguistik Systemic Functional

(12)

sistem arti dan sistem. Konsep sistem dan arti yang digagas Halliday dirangkum

dalam linguistik. Dalam penelitian konsep yang mendasari yaitu:

(a) Bahasa adalah suatu sistem semiotik,

(b) Bahasa merupakan teks berkonstrual (saling menentukan dan merujuk)

dengan konteks sosial,

(c) penggunaan bahasa adalah fungsional,

(d) Fungsi bahasa membuat makna,

(e) bahasa adalah sistem,

(f) hubungan bahasa dan teks direalisasikan melalui konteks sosial.

Bahasa lisan dan tulisan adalah bahasa yang difungsikan sesuai dengan

fungsi – fungsi bahasa yang disebut metafungsi yang memiliki sistem – sistem yaitu

sistem ideasional. interpesona dan tekstual. Tiga sistem di atas dikenal dengan tiga

konsep fungsional yaitu konsep pertama bahwa bahasa teruktur berdasarkan fungsi

bahasa dalam kehidupan manusia. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia

terdiri atas tiga hal yaitu (1) fungsi memaparkam atau menggambarkan, (2)

mempertukarkan, dan (3) merangkaikan pengalaman manusia. Kedua konsep

bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional berlaku terhadap unit yang lebih besar,

yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian seperti ini grup

nomina, verba, preposisi klausa sisipan, atau unit lain berfungsi dalam tugas masing

masing untuk membangun klausa. Konsep keempat menetapkan teks atau wacana

dalam kontek sosial. Teks sebagai unit bahasa yang fungsional dalam kontek sosial

adalah unit bahasa yang fungsional memberi arti atau unit semantik bukan unit tata

(13)

Selanjutnya untuk menganalisis teks berupa prolog, dialog, dan epilog yang

diucapkan atau dituturkan oleh dalang, maka penulis juga menggunakan teori

Linguistik Systemic Functional (LSF) dari Martin. Menurutnya, secara global dan umum, bahwa bahasa merupakan bahagian dari kebudayaan. Menurut Martin

peranan bahasa dalam konteks sosial adalah:

(1) bahasa tidak hidup dan berkembang secara sendirian, bahasa merupakan

bahagian dari lingkungan atau konteks sosial,

(2) untuk mengetahui bahasa tersebut, maka para pengkaji bahasa mestilah

melihat kenapa dan mengapa bahasa tersebut mencerminkan makna-makana

dalam konteks sosial,

(3) untuk mengetahui bahasa dan hubungannya dengan konteks sosial di

mana hasa itu hidup,

(4) untuk mengetahui para penutur bahasa tersebut menggunakan bahasa

untuk berbicara sesama mereka;

(5) hubungan antara bahasa dan konteks sosial adalah terekspresi dari

konstruksi keduanya;

(6) hubungan itu adalah: bahasa sebagai sistem semiotik mengekspresikan

konteks sosial sebagai sistem. Hubungan bahasa dengan konteks sosial

(14)

Bagan Hubungan antara Bahasa dan Konteks Sosial

(Martin, 1993:142)

Dalam konteks penelitian ini, bahasa yang dituturkan oleh dalang wayang

potehi, yang penulis sebut sebagai teks pertunjukan, akan dianalisis berdasarkan

konteks sosialnya. Teks itu sendiri sebagai bahasa memiliki struktur internalnya

seperti diksi, susunan atau sintaksis, serta lebih jauh makna-makna semantiknya.

Untuk itu, penulis nantinya di dalam skripsi sarjana ini akan mengkaji teks

(15)

2.3Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah ,menyelidiki

atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Penulis menemukan beberapa buku, skripsi yang isinya relevan dengan judul

penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu :

Dinanike (1997), dalam skripsi yang berjudul “Pertunjukan Wayang Potehi

di Tempat Ibadat Tri Dharma Hok Tek Bio, Gombong.” Dalam skripsi ini ,

penulisnya menjelaskan sejarah munculnya wayang potehi di Cina, sejarah masuknya wayang potehi di Indonesia serta menjelaskan tentang bagaimana struktur konteks pertunjukan wayang potehi di Gombong, Jawa Tengah. Dengan membaca skripsi ini penulis dapat mengetahui bahwa wayang potehi telah ada di Indonesia sejak tahun 1930. Dinanike juga menuliskan unsur-unsur pendukung dalam

pertunjukan wayang potehi seperti adanya panggung, alat musik, wayang boneka, sehingga penulis mengetahui apa-apa saja instrumen yang digunakan selama

pertunjukan wayang potehi berlangsung di Gombong.

Dwi (2004), dalam makalahnya yang berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam makalah ini, pembicara menjelaskan sejarah masuknya wayang Tiongkok-Jawa serta wayang potehi ke Indonesia. Ia juga mengungkapkan adanya asimilasi antara budaya Tionghoa dengan budaya Indonesia sehingga adanya

perpaduan wayang Tionghoa dan wayang Jawa sehingga memunculkan wayang

Tiongkok-Jawa. Dengan membaca makalah ini penulis dapat mengetahui adanya

(16)

dengan budaya Indonesia dan mengetahui apa-apa saja perubahan yang telah terjadi

dari wujud asalnya seperti adanya perubahan bahasanya.

Veronica (2011), dalam artikel berjudul Kebudayaan Tionghoa. Dalam tulisan ini Veronica mengungkapkan cerita-cerita yang sering dilakonkan dalam

pementasan wayang potehi berupa legenda Tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dan lain-lain. Dengan membaca jurnal ini penulis lebih mengetahui lakon-lakon apa saja yang lebih sering dimainkan dalam

pertunjukan wayang potehi dan bagaimana cara melakonkannya.

Ananda dan Anastasi (2013), dalam bukunya berjudul Pecinan Semarang.

Dalam bukunya ini, penulis menjelaskan sekilas tentang sejarah munculnya wayang

potehi. Penulis juga menceritakan biografi dari seorang Tiong Gie sebagai salah satu ikon pecinan yang cukup terkenal dan bisa dibilang sebagai dalang wayang

potehi yang paling senior di pulau Jawa. Adapun manfaat buku ini bagi penulis yaitu dapat membantu penulis memaparkan sejarah awal munculnya wayang potehi

di Negeri Tiongkok dan persebarannya di Indonesia terutama di Semarang, Jawa

Gambar

Gambar 1: Wayang Potehi

Referensi

Dokumen terkait

Desain eksterior New Honda Brio semakin stylish dengan berbagai penambahan detail baru, memberikan Kamu gaya berkendara lebih percaya diri dan penampilan yang semakin trendi..

[r]

Jika kinerja leading indicator yang jauh lebih baik dibandingkan kinerja lagging indicator ini artinya proses untuk mencapai hasil akhir yang diharapkan institusi

Suatu sistem logika dapat digambarkan dengan suatu blok yang mempunyai satu set input yang menerima data biner dan mempunyai satu jalur output atau lebih.. Jika sistem itu adalah

Berdasarkan hasil refleksi ternyata terdapat beberapa kelebihan yang didapatkan dalam pelaksanaan tindakan siklus I, berikut ini kelebihan yang terjadi selama

PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA BIDANG BINA M ARGA. DINAS PEKERJAAN UM UM KABUPATEN KLATEN

Kerugian finansial akibat kemacetan ditinjau dari bahan bakar minyak tertinggi di ruas jalan Jendral Ahmad Yani pada Minggu kesatu untuk kendaraan dengan jenis bahan bakar premium

Berdasarkan pengamatan hasil belajar siswa ranah afektif dalam siklus I pertemuan 1 (tabel 4.8) diketahui ada 3 siswa (30%) yang hasil belajar afektifnya tergolong baik,