• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMERDEKAAN PERS DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WARTAWAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS. Endah Lestari D., SH., M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMERDEKAAN PERS DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI WARTAWAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS. Endah Lestari D., SH., M."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

67

NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Endah Lestari D., SH., M.H1 ABSTRAK

Kemerdekaan pers terjadi di Indonesia sejak lahirnya reformasi sehingga pada tahun 1999 dikeluarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Tetapi pemberlakuan UU Pers ini tidak berlaku mulus karena dalam beberapa kasus ternyata penegak hukum tidak menggunakan UU Pers untuk menjerat dugaan adanya kasus delik pers yang dilakukan oleh kaum jurnalis atau wartawan, penegak hukum masih banyak yang menggunakan pasa-pasal dalam KUHP, sehingga bentuk perlindungan hukum bagi kaum jurnalis atau wartawan bisa dikatakan masih belum jelas diatur dalam UU Pers.

Kata Kunci: Kemerdekaan Pers, Perlindungan hukum, UU Pers.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat cepat, baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun penguasaan perangkat lunaknya, sejalan dengan perkembangan massa di dunia. Berita yang disiarkan secara global dapat diterima baik melalui radio, televisi maupun internet.

Pers, baik cetak maupun elektronik, merupakan instrumen dalam tatanan bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Pers juga merupakan refleksi jati diri dari masyarakat di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam sajian pers hakikatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.2

Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan opini, dan media edukasi yang eksistensinya dijamin berdasarkan konstitusi.3 Pergeseran antara pers dengan masyarakat dapat terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau golongan tertentu. Hal ini menuntut satu penyelesaian yang adil dan dapat diterima baik oleh pihak terkait.

Fenomena mengenai pergeseran dimaksud mengemuka dalam bentuk tuntutan hukum masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan betapa penting untuk menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers dengan masyarakat.

Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. KUHP sejatinya tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya, perkara hukum terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini

1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

2

Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal.1

3

(2)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.4

Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di era Orde Baru maupun di era reformasi sebenarnya bukan lagi suatu persoalan, karena di dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas atas eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya. Jika ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke pengadilan senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu pilihan yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang kontrol sosial semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti ditegaskan dalam pasal 3 Undang-Undang Pers (Undang-Undang No. 40 Tahun 1999), yakni pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.5

Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di lembaga pemerintahan maupun lembaga bisnis. Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan kepentingannya.6

Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa majalah Tempo versus Tomy Winatama, yang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara bagi Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo dalam kasus pencemaran nama baik. Menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya Lubis keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. Keputusan sama sekali tidak mempertimbangkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Pembatasan kreatifitas wartawan dalam masa reformasi ini dianggap memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis, menunjukkan aparat hukum menganggap Undang-Undang Pers tidak ada.7

Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).8

Selain itu, jika wartawan ingin menegakkan citra dan posisi mereka sebagai kaum profesional, maka mereka harus memberi perhatian penuh terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik itu harus diawasi secara internal oleh

4

http://www.romeltea.com/2010/01/01/melawan-pers-dengan-delik-pencemaran-nama-baik/

5

Lihat Undang-Undang Pers

6

http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106&Itemid=1 06

7

Ibid

8

(3)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa. Di lain pihak, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan terhadap kebebasan pers (restriksi) menjadi suatu pemikiran paradoksal (artinya terjadinya pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan di depan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum). Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus pencemaran nama baik/penghinaan.

Rumusan Masalah

1. Apakah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memberikan perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia?

2. Apakah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu direvisi?

Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum, yang paling populer dikenal adalah sebagai berikut:9

a. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder.

b. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan.

b. Metode Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah Statute Approach dan Conceptual Approach. Statue Approach merupakan pendekatan yang mendasarkan pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku dan kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Conceptual Approach merupakan pendekatan dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana yang memahami permasalahan yang sedang dibahas.

c. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari:

1) Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu

a) Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) c) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

2) Badan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal

9

Jhony Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2007, hal. 300

(4)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

hukum, majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

3) Bahan hukum tersier berupa semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari, dan memilah-milah bahan hukum tersebut untuk diambil bahan hukum yang ada relevansinya dengan materi yang dibahas, yaitu penyelesaian permasalahan yang berhubungan dengan kemerdekaan pers dan perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia.

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Wartawan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

1. Pengertian Tentang Delik Pers

Secara sederhana, delik pers dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaarfeit) yang dilakukan dengan atau menggunakan pers. Dengan kata lain, delik pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana baik kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan dengan atau menggunakan pers.10

Umar Senoadji membedakan pers dalam arti sempit dan luas. Pers dalam arti sempit adalah media cetak, sedangkan pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua bentuk media (termasuk media elektronik: radio dan televisi).11

Bagi beberapa ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu terminologi hukum, karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa delik pers bukanlah delik yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi, karena jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan yang definisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum.12

Tidak semua delik bisa dikategorikan sebagai delik pers. Menurut Van Hattum, yang dikutip oleh ahli Hukum Pidana Indonesia, Prof. Oemar Senoadji, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers: 13

1. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan;

2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan;

10

R. Soebijakto, Delik Pers: Suatu Pengantar, Jakarta: IND-Hill, 1990, hal. 1

11

Umar Senoadji, Mass Media dan Hukum, Jakarta: Erlangga, 1973, hal. 12-13.

12

Komariah E. Sapardjaja, “‘Delik Pers’ dalam KUHP dan RKUHP” dalam Kebebasan

Pers dan Penegakan Hukum, Jakarta: Dewan Pers, 2003, hlm. 45.

13

Dikutip dalam Rudy S. Mukantardjo, “Tindak Pidana Pers dalam RKUHP Nasional”, Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RKUHP

(5)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

3. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kejahatan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.

Dari tiga kriteria tersebut, kriteria yang ketiga adalah kriteria paling penting, dan bisa membedakan mana delik yang termasuk ke dalam delik pers dan mana yang bukan. Kriteria yang ketiga secara khusus mengangkat suatu delik mendapat sebutan delik pers dalam arti yuridis.14 Perbuatan pidana yang dilakukan dengan menggunakan pikiran atau perasaan, tidak dapat dikatakan sebagai delik pers selama belum dipublikasikan. Sebagai contoh, meskipun tindakan membuka atau mempelajari rahasia negara sudah termasuk dalam delik pidana, tetapi tindakan itu belum bisa disebut sebagai delik pers. Tindakan tersebut masuk dalam kategori delik pers jikalau seseorang mempublikasikan rahasia negara tersebut, misalnya dimuat dalam media cetak dan atau media lainnya. Contoh lain, tindakan fitnah atau mencemarkan nama baik, adalah tindakan pidana, tetapi tindakan ini baru masuk ke dalam delik pers jikalau fitnah atau pencemaran nama baik itu dipublikasikan (diberitakan lewat media). Selama fitnah atau pencemaran nama baik itu tidak dipublikasikan, ia hanya menjadi delik pidana biasa.

Tidak kurang dari 36 pasal dalam KUHP berkaitan dengan delik pers. Setiap tindak pidana yang berkaitan dengan pengungkapan pikiran atau perasaan, selalu disertai dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan publikasi atas pernyataan tersebut. Sebagai contoh, tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (Pasal 134, 136 bis). Delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dirumuskan dalam pasal ini adalah delik yang menyertakan serangkaian tindakan berupa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan dan gambar (Pasal 137).15 Contoh lain adalah tindak pidana pencemaran nama baik terhadap orang yang sudah meninggal (Pasal 320). Tindak pidana pencemaran nama baik terhadap orang yang meninggal yang dirumuskan dalam pasal ini juga dilakukan lewat upaya menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan gambar dan tulisan (Pasal 321). Ilustrasi ini menunjukkan bahwa dalam KUHP terdapat banyak pasal mengenai delik pers karena pidana yang berkaitan dengan pengungkapan pikiran atau perasaan (misalnya, penghinaan, penghasutan, pencemaran nama, permusuhan, membuka rahasia, dan sebagainya) selalu diikuti oleh pasal-pasal yang berkaitan dengan publikasi pikiran atau perasaan tersebut lewat pers.

Dari berbagai dinamika pers di atas, satu hal yang menarik dan selalu menjadi masalah bahkan mungkin momok yang menakutkan bagi dunia pers adalah delik pers yang katanya identik dengan upaya pengekangan kebebasan pers. Kebanyakan delik pers dimulai dari pengaduan pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib dengan menggunakan pasal "pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang dinilai kalangan pers sebagai kriminalisasi terhadap pers, di mana menggunakan ketentuan KUHP, padahal sudah ada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

14

Ibid

15

Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui keputusan Mahkamah Konstitusi RI No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

(6)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

2. Makna Delik Pers dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Etika Profesi Wartawan

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 diundangkan pada 23 September 1999. Dalam sejarah perkembangan pers, telah terjadi beberapa kali amandemen, yang mana sebelumnya ada Undang-Undang No 11 Tahun 1966, Undang-Undang No. 4 Tahun 1967, dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982.

Sebagai negara hukum, setiap orang harus taat hukum, termasuk kalangan pers. Artinya kalangan pers harus bekerja profesional, objektif, taat kode etik profesi, dan bertanggungjawab terhadap setiap informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Apabila pemberitaannya tidak seimbang, objektif dan berdasarkan fakta, serta tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan lain-lain, tentunya harus diproses, baik melalui jalur hukum maupun di luar jalur hukum, tergantung sarana mana yang paling efektif dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Adanya Undang-Undang Pers tentunya bukan bermaksud untuk mengkriminalisasikan pers atau lebih jauh ingin mengekang kebebasan pers. Justru Undang-Undang Pers tersebut sangat menjamin adanya kebebasan pers, namun harus diiringi dengan objektivitas, independensi, dan tanggung jawab dalam segala pemberitaannya sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Walaupun ini sulit, karena pemberitaan tidak selalu berdampak positif terhadap semua pihak, sehingga ada yang merasa dirugikan. Namun kalangan pers tidak perlu cemas, karena masyarakat akan sangat mendukung dan memberikan apresiasi yang tinggi apabila yang media ungkap memang sebuah fakta yang harus diketahui publik, dari narasumber yang tepat dan objektif dan dilengkapi dengan data yang akurat.

Pers atau khususnya wartawan senantiasa dituntut memiliki keterampilan jurnalistik yang tinggi, dalam mengusahakan kehandalan ini. Yang perlu diusahakan wartawan terlebih dulu adalah kesadaran tentang profesi wartawan itu sendiri, artinya kepada wartawan perlu ditanamkan kesan bahwa mereka harus loyal kepada profesi mereka, lebih tegasnya lagi wartawan tunduk pada kaidah teknis dan etika jurnalistik.16

Wartawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalistik memerlukan etika profesi dalam setiap pekerjaannya. Maksudnya wartawan menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat sekaligus wartawan menulis untuk diri sendiri. Dalam arti lain, tulisan ialah juga ekspresi diri wartawan. Wartawan mempertaruhkan diri lewat tulisannya, standar yang diterapkan dalam proses penulisannya bukan hanya menyangkut orang lain tetapi juga sekaligus dirinya (standar diri sang wartawan).17

Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik jurnalistik, secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan tanggung jawab yang besar di kalangan wartawan, artinya wartawan yang bertanggung jawab adalah wartawan yang menggunakan kebebasan menyajikan berita untuk kepentingan masyarakat luas, tidak untuk kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang

16

Ana Nadhya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 116

17

Jacob Oetama, Pers Indonesia (Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus), Buku Kompas, Jakarta, 2001,hal. 80

(7)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

dianggap konstruktif menggunakan kebebasan menyajikan berita adalah penggunaan kebebasan secara etis.18

3. Perlindungan Hukum bagi Wartawan yang Menjalankan Tugasnya

Dalam menjalankan profesinya sebagai seorang wartawan, perlu mendapat perlindungan hukum di dalam menjalankan tugasnya mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana termuat dalam pasal 8 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Perlindungan hukum yang dimaksud di sini tak lain jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Saat ini wartawan sering dikejar dan dibayangi kegelisahan dan ketakutan dalam menjalankan tugasnya lantaran sering mendapat ancaman serta kekerasan fisik oleh masyarakat dan warga yang merasa dirugikan akibat pemberitaan dengan melakukan perhitungan di luar hukum (main hakim sendiri). Oleh sebab itu, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dibuat yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah bagi masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi yakni hak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan. Karena itu, dalam memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 5 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Di samping itu wartawan merupakan pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu dibuat Standar Perlindungan Profesi Wartawan yang disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan”.19

Isi Standar Perlindungan Profesi Wartawan sebagai berikut:20

1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi;

2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik

18

Ana Nadhya Abrar, Op.cit, hal. 26

19

Lihat Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999

20

(8)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa;

3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun;

4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran;

5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya;

6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh;

7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya;

8. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggung-jawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi; 9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk

membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku.

Pemberian perlindungan hukum bagi wartawan adalah salah satu wujud dari hak asasi manusia untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dari wacana di atas bentuk perlindungan baik yang secara fisik maupun non fisik yang diberikan bagi wartawan sebenarnya merupakan kewenangan masing-masing media yang menangani dan bertanggung jawab.

Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 ayat (1) juga disebutkan, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warganegara.” Ayat tersebut diperkuat dengan pasal 4 ayat (3) yang berbunyi, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Sementara dalam pasal 8 ditegaskan, bahwa “dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Dengan demikian, maka seseorang yang menjalankan tugas atau perintah (bahkan dilindungi oleh Undang-undang ) dalam hal ini wartawan, menurut ketentuan pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak dapat dipidana. Namun, itu tidak berarti bahwa semua orang yang menjalankan perintah Undang-Undang adalah kebal hukum. Itu tidak berarti wartawan juga kebal hukum.

Wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, misalnya, dapat dikenakan sanksi tertentu, karena setiap wartawan terikat oleh Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2c) dan (2d) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, dilaksanakan oleh Dewan Pers.

Akan tetapi, kasus-kasus yang menyangkut pers, yang lazim disebut sebagai “delik pers”, seharusnya tidak dapat diselesaikan dengan KUHP, melainkan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun

(9)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

karena dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 belum diatur mengenai delik pers, maka setiap kali terjadi masalah atau kasus yang berhubungan dengan delik pers, wartawan atau pers tersebut dapat dikenakan pasal dalam KUHP. Karena alasan itulah, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak dapat dijadikan lex specialis dari KUHP atau Undang-Undang tersebut tidak dapat dijadikan aturan khusus tentang pers.

Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Putusan Mahkamah Agung tersebut dengan panjang lebar tapi tegas dan pasti, menyatakan sebagai berikut: “Secara filosofi, berdasarkan pasal 3, 4 dan 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi, meskipun Undang-Undang Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers, karena tidak adanya ketentuan pidana yang mengatur khusus tentang delik pers dalam undang-undang tersebut sehingga tetap diberlakukannya ketentuan KUHP. Agar perlindungan hukum terhadap insan pers bukan merupakan impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu mengakomodasi dan menempatkan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis.”

Pemahaman seperti inilah yang hendaknya kita, para jurnalis, pegang erat-erat ketika kita menghadapi persoalan dengan kekuasaan atau publik, baik yang bersangkutan dengan tugas wartawan maupun yang berkaitan dengan pemberitaan.

Undang-Undang Pers yang bukan merupakan lex specialis menjadi alasan utama mengapa wartawan sering kali merasa terancam atas kebebasan pers yang dijanjikan oleh masa reformasi ini. Ancaman sanksi pidana penjara menurut KUHP bagi insan pers atau wartawan yang dianggap melakukan pemberitaan terkait pencemaran nama baik ataupun yang diindikasikan sebuah delik pers menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagi para wartawan untuk dapat bebas berkarya dan menyajikan berita terkait dengan kepentingan masyarakat.

Tidak diaturnya pasal-pasal tentang delik pers di dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menjadi salah satu kekurangan Undang-Undang tersebut. Akibat yang ditimbulkan adalah keterkaitan pengenaan pasal-pasal dalam KUHP apabila terdapat wartawan yang melakukan tindak pidana atau delik pers menjadikan kurangnya perlindungan hukum bagi para wartawan.

Apabila dalam pemberitaan suatu media terdapat seseorang atau pihak yang dirugikan karena pemberitaan tersebut, maka hal tersebut seharusnya bisa diselesaikan melalui mekanisme pers, yaitu dengan menggunakan hak jawab. Hak jawab merupakan seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.21 Namun pada kenyataannya, dari banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan pencemaran nama baik seseorang dalam pemberitaan suatu media, pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers memilih untuk menempuh jalur hukum dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP untuk menuntut wartawan dan atau media tersebut dengan menggunakan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

Dalam KUHP pasal 310 ayat (2) telah diatur tentang pidana pencemaran nama baik yang dilakukan lewat tulisan. Dan dalam ayat (3) pasal 310 KUHP juga dikatakan bahwa tidak suatu pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan

21

(10)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Namun sayangnya hal tersebut bukan berarti wartawan atau media bisa merasa terlindungi dan juga bernafas lega karena untuk menemukan benar atau tidaknya pemberitaan tersebut, maka perlu diadakannya pembuktian. Dengan demikian, berarti wartawan tidak bisa luput atas tuntutan yang diajukan sebelum adanya pembuktian dari proses peradilan.

B. Kemerdekaan Pers Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor Tahun 1999

1. Perkembangan Kemerdekaan Pers

Reformasi menjadi tonggak awal sejarah baru bagi bangsa Indonesia menatap masa depannya yang selama hampir tiga puluh dua tahun terkungkung oleh rezim Orde Baru. Salah satunya adalah pers yang “ditertibkan” oleh pemerintah Orde Baru. Dari rahim reformasi pula kemudian lahir Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai bagian independen dalam memberikan informasi secara benar, bertanggung jawab dan berimbang kepada publik.

Reformasi pula yang mengawali berdirinya berbagai media massa di Indonesia, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pers: (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.22

Undang-Undang Pers dibuat dengan semangat menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan bangsa. Prinsip undang-undang ini adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat menurut hati nurani dan hak memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang sangat hakiki dan mutlak harus dijamin.

2. Kemerdekaan Pers Masa Kekuasaan Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat ”koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama Soekarno.23 Pemerintahan Orde Baru berlangsung dari 1968 hingga 1998. Pada awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru yang masih melakukan konsolidasi, jelas membutuhkan dukungan pers. Proses pengurusan yang sebelumnya rumit dilonggarkan. Sehingga dengan mudah pemerintah mengeluarkan Surat Izin Terbit (SIT) (dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 untuk mendirikan surat kabar dibutuhkan SIT yang dalam Undang-Undang No 21 tahun 1982 diganti dengan istilah SIUPP) yang mencapai 1559.24

22

Lihat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999

23

Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hal. 119

24

Moch. Syahri, Intervensi Pemerintah Terhadap Kemerdekaan Pers, Bina Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 115

(11)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

Praktis antara 1966 sampai dengan awal 1970-an hampir tidak ada masalah antara pers dengan pemerintah. Pers boleh meliput apa pun sejauh pers tidak menentang kekuasaan yang anti-komunis. Tetapi, sejak awal 1970-an masalah mulai muncul. Lambat laun kebebasan mulai dikekang, terutama menjelang dilaksanakannya pada 1971. Secara perlahan musuh politik Presiden Soeharto mulai muncul, orang-orang yang tidak puas terhadap pemerintahan baru berani berbicara lantang. Peristiwa-peristiwa semacam ini tidak luput dari liputan pers. Liputan yang dilakukan pers ikut menyulut komponen lain untuk menentang pemerintah.

Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan media berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.25

Zaman pemerintahan Orde Baru, pemerintah sering melakukan intervensi terhadap kebebasan pers. Ancaman paling kuat dilakukan dengan cara

pembredelan terhadap media yang bersangkutan. Walaupun sering kali pembredelan dilakukan tanpa proses peradilan yang fair.26 Segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen Penerangan. Bila ingin tetap hidup, media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya, yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat. Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut pers Pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab.27 Kenyataannya, tidak ada kebebasan pers sama sekali bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK dan Editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewangan oleh pejabat-pejabat negara.

Pers dalam rangka komunikasi politik dikaitkan dengan kebebasan pers terhadap kontrol yang berasal dari luar dan integrasi pers pada misi yang diembannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan pers ketika rezim Orde Baru:28

1. Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam masyarakat peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus nyata.

2. Komitmen pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi akan kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam suatu hubungan yang bertentangan.

3. Visi dan Kebijakan Editorial, yang akan membedakan media cetak yang satu dengan media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria dalam proses seleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan permerintahan.

25

www.disinijurnalvera.blogspot.com/.../sistem-pers-indonesia-masa-orde-baru.html -

26

Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, Sinar Harapan, Jakarta, 2003 (selanjutnya disingkat Wina Armada I), hal. 47

27

Ibid

28

(12)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

Pers terlihat begitu mengkhawatirkan pada masa Orde Baru. Pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartaan Indonesia) tidak membawa perubahan yang bersifat signifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut menjadi boneka dari pemerintahan rezim Orde Baru di tanah air pada masa itu.29

Hal tersebut terlihat ketika pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru menginstruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Tidak salah jika kemudian menjadi gambaran masyarakat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.30

Bentuk lain dari kekuasaan negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat pemberitaan di media-media massa.31 Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang objektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik ataupun sosial. Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang.32 Kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang banyak dilakukan berkenaan dengan pers di masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khususnya perlakuannya terhadap lembaga pers.33

Nasib pers pada masa Orde Baru sangat sulit, karena pers harus bertindak dalam kerangka yang buram.34 Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk penekanan secara tidak langsung. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggung jawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggung jawab dan tanpa tanggung jawab tidak mungkin menuntut kebebasan, tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggung jawab.35

Di sepanjang pemerintahan Orde Baru, selama sekira 30 tahun, hampir tak pernah lahir karya jurnalisme bermutu yang betul-betul mendorong lahirnya

29

Wina Armada, Sistem Pers Era Orde Baru, Sinar Harapan, Jakarta, 2004 (selanjutnya disingkat Wina Armada II), hal. 47

30

Ibid

31

Ibid

32

Akbar Subakti, “Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik”, Kompas, 28 Agustus, 2000, hal. 3

33

Ibid

34

Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 14

35

(13)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

kehendak untuk melakukan koreksi dan perbaikan signifikan dalam kebijakan publik. Pembatalan SIUPP dapat dilakukan pemerintah tanpa harus lewat pengadilan, tanpa pasal-pasal hukum yang jelas. Elemen utama jurnalisme yang mengharuskan pers bertanggung jawab kepada publik, sering cacat karena ancaman telepon dan sensor.36

Pada masa Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan kebebasan yang akhirnya ia berhadap-hadapan dengan rezim otoriter. Tetapi, dengan kontrasnya suasana ketika rezim Orde Baru membuat seolah-olah pers menjadi sebuah boneka dari pemerintah yang berkuasa pada rezim tersebut. Dalam hal ini latar belakang pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan bahwa pers selama Orde Baru senantiasa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah. Dengan kata lain, dilakukannya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers, namun dalam situasi dan kondisi seperti itu pers tetap mampu berperan dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia.

Dalam pers pemerintahan Orde Baru, penekanan terjadi dalam Undang-Undang No.21 tahun 1982 sebagai pengganti dari Undang-Undang-Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967. Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tersebut, intervensi pemerintah terhadap pergerakan pers mempunyai peranan yang cukup besar. Salah satunya adalah peranannya terhadap fungsi dan kinerja Dewan Pers.37 Dewan Pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Dewan Pers adalah lembaga yang dibentuk untuk mendampingi pemerintah dalam bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.38 Adapun sesungguhnya tujuh fungsi Dewan Pers menurut Undang-Undang:39

1. Melindungi kemerdekaan kers dari pers dari campur tangan pihak lain; 2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;

3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;

4. Memberikan perimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; 5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; 6. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun

peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; 7. Mendata perusahaan pers.

Pada masa Orde Baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitas saja. Dapat terlihat bahwa dalam rumusan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 berbunyi “Pemerintah bersama-sama Dewan Pers“ diubah menjadi “Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers“.40 Belum lagi dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 1966 yang menjelaskan bahwa, “Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan“. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, maka Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintahan Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari Dewan Pers

36

Parwoko, “Hambatan-Hambatan Praktek Kebebasan Pers”, Kompas, 31 Agustus, 2001, hal. 17

37

Wina Armada II, op.cit, hal. 25

38

Lihat Undang-Undang No. 11 Tahun 1966

39

Lihat Undang-Undang No. 40 Tahun 1999

40

(14)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Goenawan Muhammad selaku Pimred Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Ironisnya, pada saat itu Dewan Pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun Dewan Pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa Dewan Pers hanya formalitas saja.41

3. Kemerdekaan Pers Masa Era Reformasi

Mundurnya Presiden Soeharto 21 Mei 1998 dijadikan tanda berakhirnya era Orde Baru. Pada saat yang bersamaan, lahirlah era reformasi. Pada era ini ditandai dengan menguatnya kekuatan sipil di satu sisi, serta melemahkan kekuatan negara di sisi lain. Peranan pers menjadi penentu gerakan reformasi pada tingkatan selanjutnya. Tidak saja dia berposisi sebagai wahana netral, pengawal jalannya reformasi tetapi bisa mewakili atau berada di atas semua kelompok masyarakat Di sini pers bisa bertindak sebagai kekuatan keempat setelah eksekutif, legeslatif, dan yudikatif yang menjalankan fungsi kontrol di tengah-tengah masyarakat negara.42

Era reformasi diawali dengan kepemimpinan Presiden B.J Habibie. Dengan latar Barat yang hampir 20 persen usianya dihabiskan di Jerman. Habibie mendobrak tradisi pendahulunya, dengan jalan menempuh cara berpikir liberalisme. Di bawah Habibie, pers berkembang pesat. Berbagai kontrol terhadap pers mulai dilepas, SIUPP ditiadakan dalam bisnis pers, sehingga perkembangan pers mengalami ledakan (booming) yang paling fantastis: penerbitan pers mencapai 5 ribu buah, dengan tanpa perizinan. Di samping itu, negara tidak lagi dijadikan pembina pers secara formal, kecuali sekadar sebagai pengawal jalannya pembangunan nasional. Keberadaan Menteri Penerangan juga tak seperti Menteri Penerangan sebelumnya. Lebih penting lagi, pers bisa memiliki askes hingga ke jantung kekuasaan negara. Ini dimungkinkan, selain figure Habibie sendiri yang selalu bersedia dijadikan narasumber dan sering diundangnya para senior redaksi ke Istana Negara, juga secara umum corak rezimnya bisa dibilang terbuka buat setiap wartawan yang hendak meliput operasi yang dijalankan oleh negara.43

Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:

a. Masa depan Reformasi; b. Masa depan ABRI;

c. Masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia; d. Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya, dan kroni-kroninya; serta e. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat berkaitan dengan masalah kemerdekaan pes adalah dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).44 Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai

41

Wina Armada II, op.cit, hal. 28

42

Rudy Satriyo Mukantardjo, “Mengurai Delik Pers“, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Betawi, 2006.

43

Agus Sopian, “Pers di Negeri Merdeka“, Pikiran Rakyat , 23 Agustus, 2004, hal 3

44

(15)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah, di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers.45

Selanjutnya, pada era kepemimpinan Presiden Gus Dur boleh dikatakan sekadar meneruskan apa yang telah dirintis Habibie. Di zaman Gus Dur, kebebasan pers mengalami kejayaan, puncaknya pembubaran Departemen Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan lembaga yang membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan karena informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Media Wacth, ombudsman tiap media, Dewan Pers, dan masyarakat tentunya. Namun polemik dalam dunia pers waktu itu tak bisa selesai dengan mudah.46

Gus Dur, baik oleh dirinya maupun oleh pengikutnya, dijuluki sang demokrat, namun dalam kaitan praktik pers tidak selalu demokratis. Ini bisa dirunut dari berbagai peristiwa di zaman Gus Dur berkuasa. Kritikan yang menimpa sebuah harian nasional yang terbit di daerah, Jawa Pos. Harian ini pernah memuat tentang berbagai kasus negatif di jaringan kekuasaan Gus Dur. Namun kantor harian ini diduduki, disegel, bahkan akan dihancurkan oleh pengikut Gus Dur. Gus Dur tidak menyalahkan mereka yang telah melakukan itu tetapi malah cenderung menyalahkan Jawa Pos yang telah menempuh mekanisme selayaknya sebuah media yang telah melakukan kesalahan. Bahkan Gus Dur memberi angin kepada pengikutnya untuk menyegel harian tersebut. Gus Dur pula yang sering menyalahkan dunia pers yang sering salah kutip atas pernyataan-pernyataan kontroversinya. Dalam seluruh bagian kekuasaannya seperti diketahui, pers lebih banyak disalahkan. Dalam sebuah kesempatan, misalnya, Gus Dur menyatakan bahwa pers Indonesia tidak profesional, tanpa pernah menjelaskan ketidakprofesionalannya itu.47

Pada bagian lain, di era kepemimpinan Presiden Megawati, pers dikesankan sebagai kehilangan sumber informasi, khususnya informasi publik. Megawati termasuk tipe pemimpin yang hemat bicara, dengan tingkat artikulasi sebagaimana seharusnya seorang presiden. Untuk ukuran seorang penguasa dengan 200 juta lebih rakyat, pers seakan kehilangan fungsi vitalnya, bahkan tak ada juru bicara resmi negara sehingga masyarakat sering kebingungan melihat fenomena sosial yang terus berkembang sangat dinamis. Rakyat tidak pernah mendengar benar pikiran-pikiran besarnya, dalam rangka membangun bangsa, atau dalam national character building, apalagi wacana menyudahi krisis. Miskinnya bicara di depan pers, mengakibatkan dunia pers kehilangan gregetnya. Sumber resmi tak bisa didapat dan pada saat yang bersamaan institusionalisasi pers dibiarkan berjalan sendiri.48

Gaya pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya

pemerintahan Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap pemerintah, Presiden Megawati menyampaikan keluhannya terhadap pers yang

45

Ibid

46

Hotman Jonathan Lumbangaol, “Tarik Ulur Kemerdekaan Pers”, Kompas, 3 Juli, 2008, hal 3

47

Parwoko, loc.cit

48

(16)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

selalu mengkritisi pemerintah dalam pidato di Hari Pers Nasional di Banjarmasin. Akhirnya pada masa pemerintahannya, Megawati pernah menggugat media massa (kasus harian Rakyat Merdeka). Langkah itu diambil sebagai akumulasi pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan tidak adil. Namun demikian, memang Presiden Megawati tidak pernah membredel media massa. Dari rangkaian sejarah seperti tersebut di atas, tak mengherankan jika kemudian masih ada anggapan bahwa kebebasan pers selama ini masih mengalami ancaman dengan berbagai cara dan bentuknya.49

Masih sejalan dengan kebijakan di era Megawati, pers di era SBY dibiarkan untuk menempuh jalannya sendiri. Pada awal pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dengan tegas komitmen pada demokrasi dan kebebasan pers. Selain menjamin tidak akan ada lagi pembredelan terhadap pers, Presiden SBY juga berjanji membuat pers terus berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya.50

Sebagai wujud realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional Tahun 2008 lalu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyampaikan seandainya diminta memilih untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas Presiden menyatakan akan memilih yang pertama, yaitu memberikan kebebasan kepada pers.51

Di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, sedikitnya lima tahun mendatang, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber) maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).52

Dalam perkembangan pergerakan pers di Indonesia, pada masa reformasilah pers mendapatkan kebebasannnya. Namun hal tersebut belum bisa menjadikan pers berlega hati karena permasalahan tidak begitu saja bisa lepas di dalam pelaksanaannya.

Terhadap peraturan di bidang pers masih tetap diberlakukan Undang-Undang yang ada sebelumnya, yakni Undang-Undang-Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Seiring dengan itu kebebasan pers diberikan makna sebagai kebebasan memperebutkan pangsa pasar. Persaingan industri media menjadi semakin rumit dan gemuruh. Bertambahnya jumlah penerbitan pers membawa dampak bertambahnya jumlah wartawan, yang tentunya dengan kualitas pengetahuan jurnalistik yang belum tentu memadai.

Penguasa sekarang tak jauh beda dengan pendahulunya, membiarkan pers mengatasi sendiri masalahnya. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, memang memberikan ruang yang memadai bagi pers untuk menyatakan kemerdekaannya, namun ruang ini bisa dikatakan tanpa perlindungan memadai. Alih-alih melindungi institusi pers dengan segenap hati, pemerintah membiarkan 49 http://blogs.depkominfo.go.id/bip/2009/02/10/mengapa-media-selalu-curiga-refleksi-menyambut-hari-pers-nasional/ 50 Ibid 51 Ibid 52 http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/komunikasi/kom6.htm

(17)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

berlakunya pasal-pasal pemidanaan terhadap insan pers. Akibat tiadanya perlindungan memadai, mulai bermunculan proses peradilan delik pers.53

4. Perlunya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999

Sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 bahwa dalam Undang-Undang tersebut tidak mengatur tentang delik pers. Hal tersebut menjadikan perlindungan bagi insan pers masih dipertanyakan. Banyaknya kasus-kasus pidana yang ditujukan kepada pers khususnya kasus pidana terkait pencemaran nama baik menjadi gambaran yang tak asing lagi. Bagi insan pers yang dianggap melakukan pencemaran nama baik bisa digugat melalui pasal-pasal KUHP, yaitu pasal 310 ayat (2). Hal tersebut diakibatkan karena tidak diaturnya Delik Pers dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Sehingga hal tersebut memicu Undang-Undang Pers tidak bisa dijadikan lex specialis.

Fungsi dari Dewan Pers yang seharusnya dapat menjadi pelindung dan penengah bagi pers yang terlibat masalah, menjadi tidak semestinya ketika insan pers tersebut terkait tindak pidana.

Adanya permasalahan mengenai isi dari Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 hingga saat ini masih hangat dibicarakan, yaitu Undang-Undang Pers perlu di revisi. Namun permasalahan tidak dimuatnya pasal-pasal Delik Pers dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999, ternyata bukanlah permasalahan satu-satunya dalam Undang-Undang tersebut. Terdapat juga sebagian pihak yang menganggap bahwa kebebasan pers pada era reformasi ini adalah pers yang kebablasan. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat, dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi “kebablasan pers”.

Berpedoman pada pasal 28 UUD 1945, yang mengatakan bahwa di mana setiap warga negara mempunyai kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan54 dan yang juga diperkuat dengan pasal 4 Undang-Undang Pers yang menjamin bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran,55 seolah-olah menjadi jaminan bagi insan pers untuk menjadi pers yang bebas namun kurang bertanggung jawab.

Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (yang berbau seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. 56

Dalam media politik pascareformasi, korban paling jelas adalah Gus Dur. Saat jadi presiden, foto rekayasa Gus Dur laksana Tom Cruise dalam film Mission

Impossible II terpampang di media tanpa mengindahkan etika. Begitu juga dengan

gambar Gus Dur yang bak Superman maupun Gus Dur bersama Aryanti Sitepu,

53

Agus Sopian, “Kebebasan Dalam Era Reformasi”, Pikiran Rakyat, 23 Agustus, 2004, hal. 15

54

Lihat Undang-Undang Dasar 1945

55

Lihat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999

56

(18)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, semua dimunculkan atas nama kebebasan pers.57

Judul-judul provokatif seperti ”Bush Babi Buta, Amerika Setan!”, ataupun gaya bahasa yang kasar seperti mengibaratkan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR seperti ikan lele yang berebut kotoran, kerap kali diadaptasi. Padahal cukup jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.58

Kemerdekaan pers ditegaskan merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum (Pasal 2). Di dalam Bab 11 Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warganegara, Ayat (2) menyebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat (3) dengan tegas, menyebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ayat (4) menyebutkan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Pasal 4 ini merupakan hak pers. Sedangkan Pasal 5 merupakan kewajiban pers, yaitu memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah; melayani hak jawab dan hak koreksi. Kedua pasal tentang hak dan kewajiban pers, ini mempunyai sanksi pidana.

Yang perlu diwaspadai, kebebasan pers sebagai tulang punggung hak-hak asasi manusia serta mendorong keterbukaan dan pemerintahan yang baik (good

governance) tetap mengundang kerawanan, baik lewat media cetak, internet

maupun media elektronik lainnya. Kerawanan itu adalah adanya pelanggaran hak pribadi, moral (pornografi), dan pemanfaatan media untuk membangkitkan kebencian di kalangan rakyat.59

Dalam pelaksanaannya, banyak sekali wartawan-wartawan yang kurang profesional menyalahartikan makna kebebasan. Mereka beranggapan kebebasan itu mutlak, dan malah ada yang terang-terangan melanggar ketentuan kode etik tersebut. Menurut pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Maknanya, penegakan hukum yang merawat kemerdekaan pers. Jadi, bukan berarti memberikan hak-hak istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan menegakkan demokrasi.

Isi pemberitaan pers yang tidak lagi mengenal rambu-rambu SARA, juga berkaitan dengan prosedur perolehan SIUPP yang tergolong cepat dan tak lagi sepolitis seperti di era rezim Orde Baru Soeharto. SIUPP kini tak lagi dijadikan instrumen politik, namun sekadar persyaratan birokrasi usaha. Sama seperti ketika seorang warga hendak membuka usaha tertentu. Akibatnya jumlah penerbitan bertambah secara signifikan. Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada tahun 1999, Deppen, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi. Namun dalam prakteknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Pada 1999 misalnya dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah

57

Indra Atmaja, ”Kebablasan Pers Akibat Kebebasan Pers”, Kompas, 3 Juli, 2009, hal. 14

58

Ibid

59

(19)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

yang terbit. Selama 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan.60

Pers memang sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis dalam pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Namun, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pers yang profesional. Di luar itu, seperti pers yang suka memeras atau sengaja beritikad tidak baik dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak profesional. Mereka tak ubahnya "penumpang gelap" yang menjadikan kemerdekaan pers sebagai "topeng". Pasalnya, dalam menjalankan pekerjaannya sudah melanggar kode etik wartawan dan melawan hukum.

Kekuatan kapitalisme media sering kali mengorbankan fungsi pers sebagai institusi sosial. Persaingan antarmedia yang semakin sengit, apalagi sejak reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombastis, dan mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata orientasinya memenangkan pasar.

PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 belum memberikan perlindungan hukum yang layak bagi wartawan dikaitkan dengan apabila wartawan melakukan delik pers dikarenakan belum diaturnya pasal-pasal tentang delik pers dalam Undang-Undang tersebut.

b. Pers di Indonesia mengalami perkembangan pada masa Orde Baru menuju era reformasi pada saat ini melalui pergantian beberapa penguasa pemerintahan dan kebijakannya masing-masing yang berbeda-beda. Kemerdekaan pers pada zaman reformasi menjadikan pers bersikap kelewat batas atau kebablasan. Kurangnya profesionalisme dan pemahaman wartawan dan atau insan pers lainnya tentang Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menjadi salah satu pemicunya. Perlunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 direvisi karena belum diaturnya mengenai delik pers di dalamnya.

2. Saran

a. Agar para wartawan bisa mendapatkan perlindungan hukum yang layak sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dalam Undang-Undang Pers harus diatur pasal-pasal mengenai delik pers.

b. Undang-Undang Pers harus segera di revisi. Hal ini terkait dengan

kemerdekaan pers yang menjadikan pers “kebablasan” dalam melaksanakan kebebasannya. Selain itu, para wartawan dan juga insan pers lainnya supaya lebih memahami lagi Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999 agar bisa menjadi pers yang profesional, bebas namun tetap bertanggung jawab di dalam menjalankan tugasnya.

60

Buntomi, “Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas, Dan Kebablasan Pers”, Kompas, 31 Oktober, 2008 hal. 5

(20)

JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011

Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Agus Sopian, ”Pers di Negeri Merdeka”, Pikiran Rakyat. 23 Agustus 2004. Hal 3 __________, “Kebebasan dalam Era Reformasi”, Pikiran Rakyat. 23 Agustus

2004. Hal. 15

Akbar Subakti, ”Peranan Kebebasan Pers Untuk Budaya Komunikasi Politik”,

Kompas, 28 Agustus 2000. Hal. 3

Ana Nadhya Nadhya, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

Buntomi, Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas, dan Kebablasan Pers”, Kompas. 31 Oktober 2008. Hal. 5

Darmawan Adjiningrat, ”Berakhirnya Rezim Orde Baru”, Prisma, Jakarta, 2003 Hotman Jonathan Lumbangaol, ”Tarik Ulur Kemerdekaan Pers”, Kompas, 3 Juli

2008. Hal 3

Indra Atmaja, ”Kebablasan Pers Akibat Kebebasan Pers”, Kompas, 3 Juli 2009. Hal. 14

Jacob Oetama, Pers Indonesia (Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus), Buku Kompas, Jakarta, 2001.

Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2007.

Komariah E. Sapardjaja, ”Delik Pers dalam KUHP dan RKUHP”, dalam

Kebebasan Pers dan Penegakkan Hukum, Dewan Pers, Jakarta, 2003.

Parwoko, ”Hambatan-Hambatan Praktik Kebebasan Pers”, Kompas. 31 Agustus 2001. Hal 17

R. Soebijakto, Delik Pers : Suatu Pengantar, IND-Hill, Jakarta, 1990.

Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.

Rudy Satriyo Mukantardjo, Mengurai Delik Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI),

Betawi, 2006.

Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Umar Senoadji, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta, 1973.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

SITUS INTERNET

www.romeltea.com. ”Melawan Pers Dengan Delik Pencemaran Nama Baik.” www.dewanpers.org

www.disinijurnaleva.com. ”Sistem Pers Indonesia Masa Orde Baru.” www.asmakmalaikat.com. ”Artikel Komunikasi.”

Referensi

Dokumen terkait

UNAIR NEWS – Dua peneliti muda Universitas Airlangga yang sedang menempuh studi doktoral di Universitas Kobe – Jepang menerima penghargaan dari pimpinan fakultas setempat

Untuk itu diperlukan suatu metode kontrak yang inovatif agar pengguna jasa dan penyedia jasa bisa lebih diuntungkan, misalnya dengan sistem kontrak berbasis kinerja

Analisis yang dilakukan dapat dikatakan mendukung dari rumusan masalah yang ada,yakni mengenai penerapan strategi pembelajaran gambar acak ( puzzle ) dalam pembelajaran

PUSAT PENGAJIAN SAINS PERUBATAN 16 MOHAMAD ZIYADI B HJ GHAZALI PROFESOR DR. PUSAT PENGAJIAN SAINS PERUBATAN 17 MOHD IMRAN BIN YUSOF

Pasien mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sudah 2 hari, awalnya pada hari minggu sore setelah pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit,

Bahwa Pemohon mengalami kerugian yang bersifat spesifik dan aktual karena terhadap pasal yang dimohonkan pengujian tersebut telah diberlakukan kepada diri pemohon yang saat

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut BPN adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di