• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang terjadi 7 dari populasi orang dewasa dengan usia antara tahun. World Health Organization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang terjadi 7 dari populasi orang dewasa dengan usia antara tahun. World Health Organization"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2 Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang terjadi 7 dari 1.000 populasi orang dewasa dengan usia antara 15-35 tahun. World Health Organization (WHO) menyebutkan ada sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengalami Skizofrenia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) RI tahun 2007 persentase gangguan jiwa di Indonesia mencapai 11,6 persen dari sekitar 19 juta penduduk yang berusia di atas 15 tahun dan hanya sebagian kecil yang datang ke fasilitas pengobatan. Keterbatasan layanan kesehatan dan besarnya pengaruh keluarga dan komunitas pada tingkat pemulihan orang dengan Skizofenia (ODS), menjadi landasan WHO mencanangkan program deinstusionalisasi. Program ini mendukung perawatan ODS pada level komunitas dengan mengoptimalkan peran aktif keluarga dan komunitas (Chan, 2011). Upaya ini memberikan tanggung jawab pada keluarga sebagai pendamping untuk merawat ODS yang tinggal di rumah (Yeh, Hwu, & Chen, 2008; Chan, 2011). Di Indonesia, diperkirakan 40-90% pendamping ODS bersifat informal atau tidak dibayar, berasal dari keluarga (77%) dan lebih dari dua pertiga adalah orangtuanya (68%) (Dewi, Elvira, & Budiman, 2013).

Pendamping atau caregiver didefinisikan sebagai keluarga, teman, atau relawan yang memberikan bantuan atau layanan dan dukungan yang bermanfaat dalam rutinitas tugas harian tanpa dibayar bagi seseorang yang tidak mampu melakukannya. Orang yang menerima layanan biasanya mengalami gangguan atau keterbatasan untuk bisa menyelesaikan tugas hariannya tersebut (Savage & Bailey, 2004). Skizofrenia merupakan gangguan psikotik menetap yang mencakup gangguan pada perilaku, pikiran, emosi dan persepsi. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) definisi Skizofrenia dijelaskan sebagai ganggguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar (Maslim, 2001). Gangguan ini mengakibatkan penderitanya mengalami gejala positif dan negatif yang menyebabkan defisit atau distorsi kognitif dan keterbatasan kapasitas untuk melakukan hubungan sosial, perawatan diri dan okupasional sehingga perlu dibantu pendamping untuk kehidupannya sehari-hari (Chan, 2011; Kaufman, Scogin, Macnell, Leeper, & Wimberly, 2010; Aschbrenner, Greenberg, Allen, & Seltzer, 2010; Johansson, Anderzen-Carlsson, Ahlin, &

(2)

3 Andershed, 2010). Orangtua pendamping bertanggung jawab untuk mengatasi gejala kronis dan tidak terprediksi ODS (Mackay & Pakenham, 2012).

Situasi pendampingan menjadi stresor bagi orangtua untuk dapat beradaptasi atau mengatasi berbagai situasi yang menuntut perhatian, tanggung jawab dan menguras energi (Kaufman et al, 2011; Mackay & Pakenham, 2012). Efek negatif pendampingan dikenal dengan istilah beban pendamping. Zarit, et al (1985 dalam Chou, Chu, Chu-Li, & Lu, 2003) menjelaskan beban sebagai tingkat emosi, kesehatan fisik, kehidupan sosial, dan status finansial yang dirasakan pendamping akibat merawat anggota keluarga yang mengalami keterbatasan. Beban pendamping ODS disebabkan karena keterbatasan informasi tentang gangguan, medikasi dan layanan kesehatan (Gruber & Kajevic, 2006; Marchira, 2012); perasaan malu atau stigma (Prasetiawati, 2013; Afriyeni, 2013); kesulitan berkomunikasi karena ODS seringkali mengalami kesulitan dalam mengekspresikan keinginan dan emosinya (Rose, Mallinson, & Gerson, 2006; Chan, 2011), kebingungan menghadapi bertambahnya permasalahan akibat pendampingan (Kaufman, et al., 2010; Foldemo, et al., 2005), serta distress psikologis karena selalu menghadapi situasi yang penuh tekanan.Ketidaksiapan orangtua dalam menghadapi perannya ini berimbas pada menurunnya kesehatan mental orangtua pendamping yang ditandai dengan distress psikologis, penurunan tingkat kesehatan fisik (Rodrigo C., Fernando, Rajapakse, De Silva, & Hanwella, 2013; Parabiaghi, et al., 2007; Savage & Bailey, 2004; Schultz & Sherwood, 2008) dan menurunnya tingkat kepuasan hidup (Athay, 2012; Mackay & Pakenham, 2012; Kaufman, et al., 2010; Foldemo, et al., 2005).

Beban atau stres pendamping seringkali hanya dipandang sebagai rangkaian tunggal, namun sebenarnya adalah proses multidimensional, dengan kata lain pendampingan dapat menghasilkan berbagai macam stres. Model proses stres pendamping dari Pearlin, et al (1990 dalam Zarit 2006; Kaufman, et al., 2011; Raina, et al., 2004) mengakomodasi adanya faktor lain yang memediasi stresor dan dampak yang dirasakan pendamping yaitu sumberdaya atau resources yang dimiliki pendamping (lihat gambar 1). Model ini memiliki lima komponen yaitu : 1) konteks pendampingan, yaitu karakter sosial, demografis pendamping dan penderita serta

(3)

4 riwayat pendampingan; 2) stresor primer, yaitu kejadian atau pengalaman yang didapatkan langsung dari gejala penderita. Stesor ini dibedakan menjadi stresor objektif dan subjektif. Stresor primer objektif merupakan kemampuan untuk melakukan ketrampilan hidup sehari-hari (activity daily living), keterbatasan kognitif dan problem perilaku pada penderita. Stresor ini memberikan dampak subjektif pada pendamping, yaitu banyaknya waktu dan energi yang harus diberikan (role overload), terganggunya kehidupan pribadi (role captivity) dan hilangnya hubungan kelekatan dan sosial dengan penderita (loss of the relationship); 3) stresor sekunder terbagi 2 (dua), yaitu role strain dan intrapsychic strain. Role strain adalah konflik akibat pendampingan, misalnya konflik pekerjaan dan beban ekonomi. Intrapsychic strain muncul ketika stresor primer mulai mengikis konsep diri pendamping. Pengikisan ini dapat terjadi pada lima domain yaitu : penguasaan (mastery), self-esteem, kompetensi pendamping (role competency), keuntungan pendampingan (gain of caregiving), dan sense of self terhadap dirinya; 4) sumberdaya dan 5) hasil (Pearlin, et al., 1990 dalam Zarit, 2006; Zarit 2005).

Sumberdaya terdiri dari coping dan dukungan sosial. Coping adalah usaha atau proses untuk mengatasi tuntutan yang ditimbulkan oleh stresor atau peristiwa yang dinilai membebani atau melebihi kapasitas individu (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Taylor & Stanton, 2007). Coping meliputi sebaik apa pendamping mampu mengatasi stresor primer. Dukungan sosial merupakan ketersediaan orang atau masyarakat yang dapat menjadi sandaran pendamping dalam memberikan bantuan atau dukungan emosi (Grant, et al., 2001 dalam Mackay & Pakenham, 2012). Dukungan sosial meliputi infomasi, materi, instrumental dan emosional yang dapat berasal dari sumber informal, misalnya dari keluarga, teman atau relawan dan sumber formal dari tenaga professional (Zarit, 2006). Semakin tinggi sumberdaya pendamping semakin baik kemampuannya untuk beradaptasi dengan stresor primer sehingga tidak berdampak buruk pada kehidupan dan kesejahteraan pendamping. Kesejahteraan pendamping berpengaruh pada kualitas pendampingan yang sangat diperlukan untuk membantu pemulihan ODS. Kepuasan hidup merupakan komponen kognitif kesejahteraan subjektif atau subjective well being (Diener, 2009), sehingga tingginya kepuasan hidup dapat menunjang tercapainya kesejahteraan

(4)

5 pendamping. Diener (1984, dalam Diener 2009) menjelaskan bahwa kepuasan hidup adalah evaluasi kognitif terhadap kehidupan individu secara menyeluruh. Teori bottom-up berasumsi bahwa kepuasan hidup merupakan rangkuman evaluasi kehidupan seseorang (Diener, 1984, dalam Schimmack, Diener, & Oishi, 2002) dari informasi atau kejadian dalam kehidupan yang mudah diakses. Kemudahan diakses menunjukkan bahwa kejadian tersebut merupakan aspek yang penting dalam kehidupan individu (Schwarz dan Strack, 1999 dalam Diener, 2009). Semakin banyak kejadian yang dinilai baik oleh individu menandakan kepuasan hidupnya semakin tinggi dan sebaliknya. Kejadian dinilai baik ketika kejadian tersebut dapat diterima atau ditoleransi oleh individu (Diener, 2009).

Schwarz dan Strack (1991 dalam Diener, 2009) menyatakan kepuasan hidup dipengaruhi oleh suasana hati atau mood yang positif. Suasana hati positif muncul karena individu merasa segala sesuatu berjalan dengan baik atau sesuai harapan. Oleh karena itu banyaknya suasana hati yang positif berpengaruh terhadap meningkatnya kepuasan hidup (Diener, Fujita, Tay, & Biswas-Diener, 2011; Cohn, Fredrickson, Brown, Mikels, & Conway, 2009). Sebaliknya suasana hati yang negatif membuat individu cenderung mengevaluasi bahwa kehidupannya tidak memuaskan (Diener, et al., 2011). Meski begitu tidak berarti orang dengan kepuasan hidup yang tinggi tidak mengalami suasana hati yang buruk atau negatif. Mereka mampu beradaptasi, mempunyai suasana hati yang berfluktuasi dalam bereaksi terhadap kejadian yang baik atau buruk (Diener, Scollon, & Lucas, 2003).

Bagi orangtua pendamping ODS, anak menjadi aspek penting dalam kehidupannya. Kepuasan hidup orangtua akan selalu berkaitan dengan kemampuannya untuk dapat beradaptasi dengan pendampingan. Kepuasan hidup merupakan prekursor atau dasar untuk mencapai masa tua yang sukses atau bahagia (Fisher, 1995 dalam Leung, Mobeta, & McBride-Chang, 2005). Orangtua dengan tingkat kepuasan hidup yang tinggi, bahagia dengan kehidupannya, memandang kehidupan sebagai tantangan bukan permasalahan, mempunyai hubungan sosial yang baik, dan melakukan perannya dengan lebih baik karena mempunyai tujuan dan bergerak mencapainya (Diener, 2006). Kemampuan orangtua pendamping ODS beradaptasi dengan kondisinya dapat dijelaskan dengan

(5)

6 rendahnya beban yang dialami dan tingginya suasana hati positif. Rendahnya kepuasan hidup orangtua akan berimbas pada menurunnya kualitas pendampingan (Athay, 2012; Foldermo et al, 2005; Borg & Hallberg, 2006) sehingga perlu diatasi.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sumberdaya yang dimiliki orangtua ODS berpengaruh pada kemampuan orangtua menghadapi stresor pendampingan. Intervensi yang dapat memperkuat sumberdaya dan mengurangi resiko dapat membantu pendamping dalam mengatasi stresor, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pendamping (Zarit, 2006). Psikoedukasi merupakan intervensi yang disarankan untuk memperkuat sumberdaya keluarga pendamping ODS (Drapalsky, Leith, & Dixon, 2009; Baum, Frobose, Kraemer, Rentrop, & Pitschel-Walz, 2006; Lukens & McFarlane, 2004). Keuntungan psikoedukasi yaitu meningkatkan strategi coping, pemecahan masalah, menurunkan stres, dan membawa perubahan positif (Oshodi, 2012) serta komunikasi efektif yang sangat diperlukan oleh pendamping ODS (Muesser, 2006), membantu mengurangi beban, meningkatkan kualitas pendampingan sekaligus fisik dan mental pendamping (Navidian, Kemansaravi, & Rigi, 2012), meningkatkan fungsi sosial, kepuasan hidup, pengetahuan, harapan dan keberdayaan pada ODS, menurunkan distress, peningkatan well-being dan fungsi keluarga pendamping secara keseluruhan (Drapalsky et al, 2009).

Kemampuan pendamping dapat meningkat bila defisit pengetahuan, ketrampilan problem-solving, dan komunikasi dapat diatasi (Chan, 2011). Psikoedukasi memberikan informasi aktual dan forum bagi pendamping ODS untuk dapat mengajukan pertanyaan, mengungkapkan kekhawatiran dan mendapatkan dukungan, serta melepaskan perasaannya. Hal ini memberdayakan orangtua ODS sehingga mereka merasa kompeten dalam memahami psikotik dan mengontrol situasi, meningkatkan self-esteem dan mengatasi perasaan bersalah, menyalahkan pihak lain, permusuhan dan putus asa (Jubb & Shanley, 2002; Tarrier et al, 1988 dalam Gruber et al, 2006; Drapalsky et al, 2009; Wacanta, 2008; Yeh, 2012) dan membantu mengatasi stigma (Gruber et al, 2006; Prasetiawati, 2012).

Pendekatan Cognitive-behavioral seperti problem solving dan role-play dapat meningkatkan kualitas penyampaian materi secara didaktik dengan memberikan kesempatan kepada partisipan untuk berlatih dan meninjau informasi dan

(6)

7 ketrampilan baru dalam situasi yang aman. Hal ini juga dapat diperkuat dengan memberikan pengelolaan stres dan teknik coping yang lain (Anderson, et al., 1986; McFarlane, 2002 dalam Lukens & McFarlane, 2004). Pendekatan naratif, dimana partisipan didorong untuk bercerita pengalaman pendampingan, dapat membantu pendamping untuk mengenali kekuatan diri, potensi serta berbagai kemungkinan untuk bertindak dan tumbuh (White, 1988 dalam Lukens & McFarlane, 2004).

Intervensi keluarga sangat disarankan dilakukan di negara-negara Asia karena keterikatan keluarga yang lebih tinggi. Selain itu keterbatasan fasilitas, sistem layanan kesehatan dan ketersediaan tenaga kesehatan profesional menuntut bentuk intervensi yang sesuai adalah sedehana, murah, sesuai kebutuhan dan kondisi sosial budaya sasarannya (Chakrabarti, 2011). Penelitian Marchira (2012) tentang intervensi psikoedukasi interaktif singkat sebanyak 4 sesi @60-120 menit tentang pengetahuan, pengenalan gejala, penyebab, pengobatan dan dukungan layanan kesehatan dapat membantu mengurangi tingkat kekambuhan, rehospitalisasi dan gejala negatif ODS. Penelitian Devaramane, Pai, & Vella (2011) tentang intervensi singkat pada keluarga ODS di India yang terdiri 3 sesi @1 jam berupa materi dan diskusi tentang pengetahuan skizofrenia, penanganan masalah dan komunikasi menunjukkan perbaikan yang signifikan pada psikopatologi pasien dan peran keluarga sebagai pendamping. Navidian, et al.,(2012) melakukan intervensi psikoedukasi pada pendamping skizofrenia dan mood disorder. Intervensi ini terdiri dari 4 sesi @120 menit berupa pemberian materi dan diskusi berupa 1) pemahaman skizofrenia, gejala, tritmendan efeknya pada pasien dan keluarga, 2) medikasi, pengenalan dan pencegahan kekambuhan, 3) peningkatan ketrampilan coping dan komunikasi efektif, dan 4) manajemen stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain murah, mudah diterapkan dan sederhana, program ini efektif untuk menurunkan beban pendamping, meningkatkan kualitas hidup pendamping dan standar pendampingan.

Perhatian terhadap keluarga pendamping ODS masih sangat kurang. Data menunjukkan hanya sekitar 40% pendamping ODS di Yogyakarta yang telah mendapatkan informasi adekuat tentang skizofrenia (Prasetiawati, 2013) dan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hasil observasi peneliti di salah satu

(7)

8 puskesmas di wilayah Yogyakata menyatakan pendampingan keluarga ODS hanya bisa dilakukan 1-2 kali setahun dan hanya dihadiri oleh beberapa anggota keluarga karena kesulitan waktu atau transportasi. Intervensi yang diberikan masih sebatas informasi tentang gangguan, gejala dan medikasi, sehingga belum mencakup semua kebutuhan pendamping.

Program BANGKIT merupakan psikoedukasi singkat yang dirancang oleh peneliti beserta tim penelitian payung untuk memperkuat sumberdaya pendamping ODS. Program ini terdiri dari 3 seri, Seri 1 untuk orangtua, seri 2 untuk istri dan seri 3 untuk saudara ODS. Istilah BANGKIT dipilih karena sudah dikenal dan sering digunakan dalam berbagai konteks kehidupan terutama konteks krisis, pergolakan dan bencana di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian pada ODS oleh Subandi (2006) menunjukkan bahwa BANGKIT mempunyai makna yang sesuai dengan tujuan intervensi yaitu meningkatkan kesadaran atau keadaan mendapatkan insight, perubahan disposisi dari pasif menjadi lebih aktif, serta motivasi untuk berubah.

Materi dalam program ini disusun berdasar kebutuhan orangtua pendamping ODS, terdiri dari 4 (empat) sesi yaitu pengetahuan tentang skozofrenia, ketrampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan menjadi penamping tangguh yang berisi tentang mengatasi kelelahan fisik dan emosi sebagai salah satu upaya pengelolaan stres. Intervensi diawali dengan memberi kesempatan dan mendorong orangtua pendamping untuk bercerita tentang pengalaman yang bertujuan untuk mendapatkan data kondisi pendamping dan mengurangi beban emosi, serta mempersiapkan kondisi orangtua untuk mengikuti intervensi. Program ini juga mencakup simulasi, role-play dan latihan sehingga pendamping mendapatkan pengalaman langsung dalam proses pembelajaran. Program BANGKIT diberikan secara individual di rumah agar dapat menyesuaikan dengan kondisi dan situasi orangtua pendamping ODS.

Tujuan peneitian ini adalah untuk mengetahui apakah Program BANGKIT dapat menurunkan beban pendamping dan meningkatkan kepuasan hidup orangtua pendamping ODS. Manfaat penelitian dapat diaplikasikan dalam ranah teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam

(8)

9 pengembangan teori mengenai proses pendampingan ODS. Secara praktis, modul dan materi pelatihan ini dapat menjadi pedoman bagi para praktisi di lapangan untuk melakukan pendampingan bagi para pendamping ODS.

Alur Pemikiran Penelitian

Alur pemikiran dalam penelitian ini didasarkan pada stress process model pendamping (Pearlin, et al., 1990 dalam Zarit, 2006) untuk orangtua ODS (lihat gambar 1).

Stresor Primer Stresor Sekunder Stresor Sekunder Hasil

Gambar 10. Alur pemikiran penelitian dengan stress process model pendamping

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah program BANGKIT dapat meningkatkan kepuasan hidup pada orangtua ODS.

Konteks pendampingan Orangtua ODS Stresor objektif Gejala & ketergantungan ODS Stresor subjektif Banyaknya tuntutan pendampingan Sumberdaya Program BANGKIT Role Strain Intrapsychic Strain Berkurangnya beban dan meningkatnya Kepuasan hidup

Gambar

Gambar 10. Alur pemikiran penelitian dengan stress process model pendamping

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian lain yang dilakukan Raty et al (1999) dan Emma et al (2003) mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar Inhibin A serum dengan adanya gangguan

Dari Gambar 5.6 dapat dilihat perbandingan hasil akhir penelitian laju aliran massa refrigeran dari beberapa variasi yang dilakukan penelitian bahwa disebabkan

Pengabdian ini dapat mewujudkan gambar rencana teknis dan rencana anggaran biaya pembangunan bale gong dan bale kulkul Pura Karangasem di Banjar Pesalakan, yang

Hal ini berarti telah sepenuhnya menghentikan penderitaan emosional dan telah sepenuhnya merealisasikan jalan kebenaran; bebas dari sebab akibat dukkha, dan hal ini berarti

Using Standard and Poor’s newly available risk management rating, the authors find evidence of a positive relationship between increasing levels of TRM capability and firm value but

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka masalah dalam penelitian ini di rumuskan sebagai berikut: “Apakah ada hubungan tingkat konsumsi zat gizi, lama

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kelayakan game edukasi 2D sebagai media pembelajaran mata pembelajaran jaringan komputer untuk siswa TKJ SMK Harapan

senyawa CaO, yang digunakan untuk membuat semen, senyawa CaO, yang digunakan untuk membuat semen, campuran adulan semen, pupuk, kapur tohor, industri campuran adulan