• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus: 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus: 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya dan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Alam

Rees dalam Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus: 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya dan 2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain sumberdaya alam adalah faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi.

Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasi kedalam dua kelompok, yaitu:

1) Kelompok Stok (Non Renewable)

Sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasinya terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, sumber stok dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhuastible).

2) Kelompok flow

Jenis sumberdaya ini dimana jumlah dan kualitas fisik dari sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang, bisa

mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable)

(2)

Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini terbentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula.

Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat terbarukan adalah tambang minyak. Tambang minyak memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan sumberdaya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumberdaya ini sering kita sebut juga sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap.

Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam tidak terbarukan (non renewable) berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan (renewable). Pengusaha pertambangan, harus memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan juga seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas.

Beberapa perbedaan pokok antara pengelolaan sumberdaya alam tidak terbarukan dengan model ekonomi konvensional:

(3)

Tabel 2.1. Pengelolaan Sumber Daya Alam

Parameter Model Ekonomi Kompetetif Model Sumberdaya Non Renewable Maksimasi keuntungan

(maksimasi profit, n)

Penerimaan marjinal (p) sama dengan biaya marjinal (BM) atau p = BM

Stok yang tidak diekstraksi, mempunyai nilai

opportunitasnya atau P=BM+A Ekstraksi sumberdaya Investasi karena nilai rente

sumberdaya terkiat waktu. Penetuan rente/keuntungan tidak dihitung masa kini juga masa sekarang

Terkendala stok, pada waktu tertentu (terminal period), stok akan habis. Peran waktu sangat krusial, intertemporal

Sumber: Fauzi (2004).

Masalah utama dalam usaha pertambangan (termasuk penambangan minyak dan batu bara) adalah menemukan atau menaksir jumlah kandungan sumberdaya alam yang kita miliki dan menurunkan tingkat kesulitan (pemanfaatan) yang akan dihadapi. Menurut Sahat 1997, informasi mengenai letak dan jumlah kandungan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat berharga dan vital, baik bagi pemilik sumberdaya (pemerintah) maupun kontraktor (penambang). Jika pemilik tidak mengetahui berapa jumlah dan nilai sumberdaya yang dimiliki, maka perusahaan pertambangan akan menekan harga sewa atau bagi hasil tambang tersebut. Bisa juga dengan menaikan nilai tambang melebihi nilai sebenarnya, sehingga pemilik atau orang lain mau menanamkan modalnya pada usaha patungan yang akan dibuat. Kasus pendugaan stok tambang tembaga (yang sebenarnya lebih banyak kandungan emasnya) di Tembagapura Timika merupakan salah satu contoh ketidakmampuan kita untuk mengetahui jumlah dan jenis kandungan tambang yang ada secara tepat.

(4)

Perkembangan teknologi saat ini, telah mampu menekan biaya dan waktu untuk pendugaan besar kandungan. Dengan bantuan teknologi penginderaan jauh (citra satelit dan foto udara) menjadikan kegiatan lebih mudah, namun survei lapangan atau eksplorasi permukaan (ground survey) dan pengujian contoh masih tetap sangat diperlukan. Sementara itu, tingkat ketidak pastian dari tahap ekplorasi masih tinggi sebagai salah satu ciri khas usaha pertambangan, waktu yang lama untuk penelitian, risiko dan capital intensive. Hasil penelitian di AS mengenai minyak bumi dan gas menunjukkan bahwa nilai kiraan eksplorasi berada diantara sepersepuluh sampai sepuluh kali dari jumlah deposit sebenarnya yang diperoleh pada saat/sesudah produksi berjalan. Artinya kiraan eksplorasi deposit bisa melesat sepuluh kali dari nilai sebenarnya (M. Uman et.al 1979, dalam Sahat 1997).

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Mineral secara Berkelanjutan

Sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) seperti mineral disebut juga sumberdaya terhabiskan (depletable) adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis maka suatu saat akan habis. Selain itu sumberdaya mineral memerlukan waktu yang lama untuk siap ditambang. Sebagai basis dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih secara optimal adalah model Hotteling yang telah dikembangkan oleh Harold Hotteling (1931). Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya mineral secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini adalah bagi pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi sumberdaya mineral

(5)

secara optimal harus mampu menentukan berbagai faktor produksi yang tepat dengan kendala waktu dan stok (deposit). Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam hal ini negara harus bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya mineral, apakah akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi sebagai pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic

oriented) tetapi juga harus mempertimbangkan secara cermat dampak lingkungan,

social, kesiapan kelembagaan baik pemerintah maupun masyarakat.

Eksploitasi dari sumberdaya mineral dapat dibuat berlanjut (economically

sustainable), jika dapat membuat sumber permanen dari pemasukan. Sebagaimana

Visi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral yakni: Terwujudnya sektor energi dan sumberdaya mineral yang menghasilkan nilai tambah sebagai salah satu sumber kemakmuran rakyat melalui pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan, adil, transparan, bertanggungjawab, efisien serta sesuai standart etika yang tinggi. Namun yang dimaksud berkelanjutan pada pembahasan ini bukanlah upaya untuk menemukan cadangan baru dari sumberdaya mineral tetapi lebih kepada mencari sumberdaya pengganti jika sumberdaya mineral benar-benar telah habis.

Pembangunan yang berkelanjutan harus diarahkan untuk mencapai tiga tujuan yang mencakup sekurang-kurangnya tiga dimensi, yaitu tujuan ekonomi, tujuan sosial, dan tujuan ekosistem. Hubungan antara ketiga tujuan dan unsur-unsur penting yang harus diperhatikan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini:

(6)

Sumber: M. Uman et.al 1979, dalam Sahat 1997. Gambar 2.1. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan adalah:

1) Tujuan Ekonomi dan Sosial

Kedalam tujuan ekonomi sosial, terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan agar tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat dicapai secara bersamaan, yaitu distribusi pendapatan, kesempatan kerja (employment), dan bantuan bersasaran (targeted assistence). Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan upaya peningkatan kesempatan kerja dan upaya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut, segala bentuk rintangan (barriers) yang menghalangi akses masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk ikut serta dalam pembangunan, pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain, harus ditekan sekecil mungkin atau dihilangkan sama sekali.

(7)

Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai fasilitas yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain.

Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin, masyarakat dipedesaan, wanita dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi. Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

2) Tujuan Ekonomi dan Tujuan Ekosistem

Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sebagian besar mempunyai relevansi terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Response dan akselerasi pembangunan ekonomi membutuhkan pemeliharaan lingkungan hidup yang mendukung kegiatan ekonomi dan sosial yang dinamis, selain menentukan kebijaksaan juga ditingkat nasional membutuhkan program-program di tingkat lokal dan wilayah yang dapat dilaksanakan. Pembangunan nasional tidak akan tumbuh pesat apabila kehidupan ekonomi wilayah dan lokal tidak dinamis, stabil dan penuh ketidakpastian. Pembangunan juga tidak akan berjalan pesat apabila anggaran belanja pembangunan tidak akan mencukupi.

(8)

Kecenderungan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi adalah tidak memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga, seperti nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat akibat pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini selanjutnya menimbulkan eksternalitas-eksternalitas tersendiri (terutama eksternalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus menanggung beban/biaya sosial yang timbul dalam setiap, pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi “kompensasi”. Beban/biaya sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan, yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (tujuan ekosistem dalam pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai).

Oleh karena itu, maka dalam program-program pembangunan wilayah dan pemukiman sekelompok masyarakat, harus memperhatikan tujuan ekosistem ini. Setiap program yang akan dilaksanakan harus dievaluasi dampaknya terhadap lingkungan. Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan (baik nilai ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk menghindari, setidaknya mengurangi, eksternalitas. Jikalau eksternalitas telah terjadi, maka upaya-upaya internalisasi berbagai dampak keluar (eksternalitas) ini harus dilakukan, misalnya dengan bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian, segala aktifitas yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

(9)

ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan tetap memperhatikan pengelolaan yang berkelanjutan.

3) Tujuan Sosial dan Tujuan Ekosistem

Untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan lingkungan yang lebih menekankan pada konservasi dan perlindungan sumberdaya, perlu memperhitungkan mereka yang masih bergantung kepada sumberdaya tersebut, untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kemiskinan dan mempengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam upaya konservasi sumberdaya dan lingkungan.

Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Sumberdaya yang dimiliki oleh umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah pada sumberdaya akses terbuka (open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk memelihara kelestariannya. Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian

(upaya konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari

intervensi maupun ancaman dari pihak luar.

Kearifan-kearifan (wisdoms) lokal harus dipahami dan dijadikan sebagai dasar/landasan dalam membuat program-program pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu, masyarakat lokal, sebagai pihak yang menguasai pengetahuan

(10)

tradisional (traditional knowledge) yang dimilikinya harus diikutkan dalam upaya perumusan/pembuatan program-prpgram tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan dan terealisasi, maka partisipasi aktif dari masyarakat dalam pembangunan akan muncul dengan sendirinya.

2.3. Pembangunan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Wilayah 2.3.1. Konsep Pembangunan Ekonomi

Pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno 1996). Berdasarkan atas definisi ini dapat diketahui bahwa pembangunan ekonomi berarti adanya suatu proses pembangunan yang terjadi terus menerus yang bersifat menambah dan memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik lagi. Adanya proses pembangunan itu diharapkan adanya kenaikan pendapatan riil masyarakat berlangsung untuk jangka panjang.

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi terus-menerus yang bersifat dinamis. Apapun yang dilakukan, hakikat dari sifat dan proses pembangunan itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, jadi bukan merupakan gambaran ekonomi suatu saat saja. Pembangunan ekonomi berkaitan pula dengan pendapatan perkapita riil, di sini ada dua aspek penting yang saling berkaitan yaitu pendapatan total atau yang lebih banyak dikenal dengan pendapatan nasional

(11)

dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti pendapatan total dibagi dengan jumlah penduduk.

Pembangunan ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun non ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan yang minimal dan pasti ada menurut Todaro dalam Suryana (2000) adalah:

1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan lingkungan.

2. Mengangkat taraf hidup temasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, akan tetapi untuk meningkatkan kesadaran akan harga diri baik individu maupun nasional.

3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.

Suryana (2000) menyebutkan ada empat model pembangunan, yaitu model pembangunan ekonomi yang beorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan atas model pembangunan tersebut, semua

(12)

itu bertujuan pada perbaikan kualitas hidup, peningkatan barang-barang dan jasa, penciptaan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, dengan harapan tercapainya tingkat hidup minimal untuk semua rumah tangga yang kemudian sampai batas maksimal.

Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pada pertumbuhan (growth) turut memperparah ketimpangan antara desa-kota. Ekonomi perdesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas primer dari perdesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2005).

Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah

hinterland-nya. Ternyata net-effect-nya menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect). Dengan perkataan lain, dalam konteks ekonomi telah terjadi

transfer sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran. Walaupun kawasan perkotaan juga berperan penting dalam mensuplai barang-barang dan pelayanan untuk pertumbuhan dan produktifitas pertanian.

Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan

(13)

kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan oleh Yudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan. Untuk itu tantangan pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan perdesaan secara berimbang. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, yang semakin lama semakin deras (speed up proccesses), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan, tetapi bagi mereka kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan terhadap masyarakat kawasan perkotaan, antara lain timbulnya pemukiman kumuh dan rumah liar, masalah kemacetan, keadaan sanitasi dan air bersih yang buruk, menurunnya kesehatan masyarakat dan pada gilirannya akan menurunkan produktifitas masyarakat di kawasan perkotaan.

Model pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan sulit dijadikan model pembangunan yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan apabila tidak melibatkan peran aktif dari semua stakeholder dari awal perencanaan hingga pasca proyek. Pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan harus menyentuh (1) pembangunan fisik wilayah, seperti: pembangunan jalan, pasar, terminal, dan lain lain , (2) sumberdaya manusia dan sosial yaitu: koordinasi antar stakeholder dan pemahaman tentang konsep agropolitan, (3) aspek tehnologi yaitu: pengolahan hasil pertanian dan peralatannya.

(14)

2.3.2. Pembangunan Sosial

Pembangunan sosial muncul dan ramai diperdebatkan sejak awal tahun 1990-an. Topik perdebatan tidak hanya terbatas pada substansinya, tetapi juga menyangkut terminologi yang dianggap lebih tepat untuk mewakili gagasan baru itu. Ada beberapa terminologi yang ditawarkan, antara lain Pembangunan Alternatif, Pembangunan Berbasis Rakyat, Pembangunan Partisipatoris. Isu sentral dari gagasan tersebut adalah mencari alternatif bagi pembangunan yang berfokus pertumbuhan, yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok (capital centered development), berubah menjadi pembangunan sebagai proses yang manusiawi (people centered

development). Kenyataan bahwa pembangunan yang sangat berfokus pertumbuhan

memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran, tetapi gagal mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa masalah yang sulit dicari pemecahannya (Tangdilintin, 1999).

Wawasan yang lebih luas mengenai pembangunan sosial, mulai berkembang dan diterima secara luas pula pada tahun 1970-an, dengan berbagai varian pemikiran yang dipelopori oleh berbagai disiplin ilmu yang bebeda. Secara garis besar muncul berbagai pemikiran yang memberi makna yang berbeda terhadap pembangunan sosial. Ada yang sangat menyederhanakan sebagai identik dengan pelayanan (services), ada yang memberi makna sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (basic

need), pembangunan mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan bahkan pembangunan

(15)

Menurut Paiva (1977) dalam Munandar (2002), pembangunan sosial adalah “development of the capacity of people to work continuosly for their own and

society’s welfare.” Definisi ini mewakili pemikiran pemberdayaan individu yang

akhirnya secara luas dikenal dengan people centered development. Pembangunan sosial sebagai paradigma alternatif, menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah, atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan manusia secara global yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup.

Menurut Margareth dan Midgley (1982) model pembangunan sosial pada dasarnya menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui (1) upaya menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja, (2) menyediakan dan memberikan pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Upaya pertama mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang lemah secara ekonomi. Upaya yang kedua mengarah pada peningkatan kemampuan mereka dalam merebut dan memanfaatkan peluang yang telah diciptakan tadi. Untuk mewujudkan kedua hal ini diperlukan adanya intervensi pemerintah, misalnya melalui perundang-undangan

(16)

yang mengatur quota (keterwakilan sosial) dalam bidang pendidikan dan pekerjaan bagi golongan penduduk yang lemah.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006). Pembangunan melalui investasi sosial mempunyai dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa partisipasi dalam pembangunan yang lebih luas biarpun pada awalnya dalam lapangan pembangunan sosial yang sederhana. Investasi dalam pembangunan sosial akan meningkatkan produktivitas karena adanya rasa ikut memiliki serta kepercayaan melalui partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan ikhlas, maka lebih mudah memberikan kepuasan berkat dipenuhinya hak-hak sosial ekonomi dan budaya yang sangat mendasar.

Intervensi pembangunan sosial yang mulai marak di berbagai negara maju menghendaki pendekatan pembangunan bukan lagi untuk mengembangkan negara kesejahteraan (welfare state) dalam arti sempit, tetapi menciptakan suatu komunitas yang bekerja keras (workfare community) yang akhirnya akan menciptakan suatu

workfare state yang mengharuskan negara memberikan dukungan fasilitasi yang kuat

dalam proses pemberdayaan yang lebih adil dan merata, yang memihak kepada keluarga atau penduduk yang tertinggal.

(17)

Biarpun pendekatan baru ini memerlukan dukungan pertumbuhan ekonomi yang memadai, namun bukan tidak mungkin bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada awalnya tidak akan tercapai. Proses pemerataan akan mengharuskan kesempatan kerja diupayakan meluas secara horizontal sehingga keluarga dan penduduk yang tingkat produktifitasnya rendah harus diberikan kesempatan pemberdayaan untuk dapat bekerja agar rasa keadilan bisa ditegakkan. Karena penduduk yang kualitas dan produktifitasnya masih rendah harus diusahakan bekerja secara merata, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi bisa tidak tercapai. Kegiatan ekonomi harus lebih dikuasi oleh pelaku yang terdiri dari rakyat biasa yang sedang berjuang untuk maju. Karenanya, ketika pemberdayaan atau kesempatan kerja diberikan kepada rakyat secara luas, pertumbuhan ekonomi tidak mungkin setinggi upaya yang berorientasi pertumbuhan tinggi.

Namun dapat dipastikan penduduk berubah, dari sekadar sebagai penonton pembangunan menjadi pelaku pembangunan. Kalau proses ini dilakukan dengan baik dan konsisten, pada waktunya akan menumbuhkan massa baru, workfare society/ yang lebih berkualitas dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang disertai kepuasan sosial yang sangat tinggi.

2.3.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

(18)

administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik, Hagget, Cliff dan Frey (1977) dalam Rustiadi et al. (2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous

region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Sejalan dengan klasifikasi tersebut, Glason (1974) dalam Tarigan (2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/

homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut

kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling

(19)

berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.

Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/ pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.

Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan

(20)

berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah :

1. Sebagai growth center

Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

(21)

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari

daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat

bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).

Studi pengembangan wilayah melalui tiga indikator, yakni: penghasilan resipien (recipient’a income), pengembangan daerah (regional development) dan pertumbuhan kelembagaan (institusional growth). Keberhasilan program pengembangan wilayah diukur dari ada tidaknya “perubahan” (dan atau peningkatan) dalam ketiga indikator tersebut. Suatu program dinilai berhasil apabila program ini berhasil membawakan kenaikan dalam penghasilan resipien (keluarga), membantu mengembangkan daerah, dan mendorong pertumbuhan kelembagaan.

Pembangunan regional adalah bagian yang integral dalam pembangunan nasional. Karena itu diharapkan bahwa hasil pembangunan akan dapat terdistribusi dan teralokasi ke tingkat regional. Untuk mencapai keseimbangan regional terutama dalam perkembangan ekonominya maka diperlukan beberapa kebijaksanaan dan

(22)

program pembangunan daerah yang mengacu pada kebijaksanaan regionalisasi atau perwilayahan. Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep pusat-pusat pertumbuhan ini menekankan pada fakta bahwa pembangunan tidak terjadi dimana-mana secara serentak, tetapi di tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai pusat pertumbuhan dan pada akhirnya akan menyebar melalui berbagai saluran dan mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.

Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.

Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.

(23)

2.4. Pembangunan Daerah

Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu bagaimana memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut berkisar pada dua hal, yaitu pembahasan yang berkisar tentang metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad 1999).

Pengembangan metode untuk menganalisis suatu perekonomian suatu daerah penting sekali kegunaanya sebagai sarana mengumpulkan data tentang perekonomian daerah yang bersangkutan serta proses pertumbuhannya. Pengembangan metode analisis ini kemudian dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang harus diambil guna mempercepat laju pertumbuhan yang ada. Akan tetapi di pihak lain harus diakui, menganalisis perekonomian suatu daerah sangat sulit (Arsyad 1999). Beberapa faktor yang sering menjadi penghambat dalam melakukan analisis perekonomian di antaranya:

a. Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan berdasarkan pengertian daerah nodal (berdasarkan fungsinya).

b. Data yang dibutuhkan umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional.

(24)

c. Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan sebab perekonomian daerah lebih terbuka jika dibandingkan dengan perekonomian nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliranaliran yang masuk dan keluar dari suatu daerah sukar diperoleh.

d. Bagi Negara Sedang Berkembang, disamping kekurangan data sebagai kenyataan yang umum, data yang terbatas itu pun banyak yang kurang akurat dan terkadang relatif sulit dipercaya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk melakukan analisis yang memadai tentang keadaan perekonomian yang sebenarnya di suatu daerah.

Ada beberapa teori dalam pembangunan daerah yang berhubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad 1999). Dalam penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno 2000).

(25)

Ada serangkaian teori ekonomi sebagai teori yang berusaha menjalankan perubahan-perubahan regional yang menekankan hubungan antara sektor-sektor yang terdapat dalam perekonomian daerah. Teori yang paling sederhana dan populer adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Menurut Glasson (1990), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor yaitu:

1) Sektor-sektor Basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang-barang dan jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atas masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

2) Sektor-sektor Bukan Basis adalah sektor-sektor yang menjadikan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas perekonomian masyarakat bersangkutan. Sektor-sektor tidak mengekspor barang-barang. Ruang lingkup mereka dan daerah pasar terutama adalah bersifat lokal.

Secara implisit pembagian perekonomian regional yang dibagi menjadi dua sektor tersebut terdapat hubungan sebab-akibat dimana keduanya kemudian menjadi pijakan dalam membentuk teori basis ekonomi. Bertambahnya kegiatan basis di suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang bersangkutan sehingga menambah permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan, akibatnya akan menambah volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya semakin berkurangnya kegiatan basis akan menurunkan permintaan terhadap

(26)

produk dari kegiatan bukan basis yang berarti berkurangnya pendapatan yang masuk ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan basis mempunyai peran sebagai penggerak utama.

b. Teori Tempat Sentral

Teori Tempat Sentral (central place theory) menganggap bahwa ada hirarki tempat dimana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Teori tempat sentral memperlihatkan bagaimana pola-pola lahan dari industri yang berbeda-beda terpadu membentuk suatu sistem regional kota-kota (Supomo 2000).

Teori tempat sentral ini bisa diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah, baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaaan. Misalnya, perlunya melakukan pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga (berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan daerah lainnya hanya sebagai wilayah pemukiman. Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.

c. Teori interaksi spasial

Merupakan arus gerak yang terjadi antara pusat-pusat pelayanan baik berupa barang, penduduk, uang maupun yang lainnya. Untuk itu perlu adanya hubungan antar daerah satu dengan yang lain karena dengan adanya interaksi antar wilayah

(27)

maka suatu daerah akan saling melengkapi dan bekerja sama untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya.

Dalam teori ini didasarkan pada teori gravitasi, dimana dijelaskan bahwa interaksi antar dua daerah merupakan perbandingan terbalik antara besarnya massa wilayah yang bersangkutan dengan jarak keduanya. Dimana massa wilayah diukur dengan jumlah penduduk. Model interaksi spasial ini mempunyai kegunaan untuk:

1) Menganalisa gerakan antar aktivitas dan kekuatan pusat dalam suatu daerah. 2) Memperkirakan pengaruh yang ada dan ditetapkannya lokasi pusat

pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya.

Interaksi antar kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lain sebagai produsen dan konsumen serta barang-barang yang diperlukan menunjukkan adanya gerakan. Produsen suatu barang pada umumnya terletak pada tempat tertentu dalam ruang geografis, sedangkan para langganannya tersebar dengan berbagai jarak di sekitar produsen.

2.5. Penelitian Sebelumnya

Hadi (2004) melakukan penelitian dengan judul: Persepsi Komunitas Setempat Terhadap Perusahaan Pertambangan di Kawasan Batu Hijau Kabupaten Sumbawa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan diskusi kelompok terarah. Populasi penelitian adalah anggota komunitas di sekitar lokasi pertambangan Batu

(28)

Hijau yang meliputi Kecamatan Jereweh dan Kecamatan Taliwang, dengan jumlah responden seluruhnya 150 orang. Persepsi tentang perusahaan diukur dari pengamatan dan pengalaman responden menyangkut keberadaan perusahaan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif berbasiskan tabulasi, dan setelah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota komunitas yang memiliki persepsi negatif terhadap perusahaan lebih banyak dari yang bersikap positif, sehingga dari keragaan persepsi komunitas tersebut dapat disimpulkan bahwa program pengembangan komunitas yang dilaksanakan perusahaan belum mampu menciptakan persepsi positif komunitas terhadap perusahaan. Hal ini disebabkan karena dalam program pengembangan komunitas perusahaan lebih berorientasi pada kegiatan fisik daripada mengupayakan perubahan perilaku komunitas melalui pendekatan budaya dan psikologis.

Siregar (2007) melakukan penelitian dengan judul: Persepsi Masyarakat

Terhadap Pembukaan Pertambangan Emas di Hutan Batang Toru (Studi Kasus di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan). Penelitian dilaksanakan

dengan metode deskriptif, pada tingkat persepsi menggunakan skala Likert dan untuk melihat hubungan sosio-ekonomi terhadap persepsi masyarakat setempat tentang pembukaan pertambangan emas di Kawasan Hutan Batang Toru dengan

menggunakan korelasi Spearman Rank. Jumlah sampel sebanyak 80 KK. Pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner, wawancara, observasi dan studi

literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Aek Pining dan Desa Napa belum memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang pertambangan dan hutan.

(29)

Masyarakat juga memandang positif keberadaan pertambangan di Kecamatan Batang Toru karena mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi pengangguran meskipun hal tersebut baru dirasakan sebagian masyarakat.

Suriansyah (2009), melakukan penelitian dengan judul: Dampak Pertambangan Terhadap Fungsi Ekonomi Lingkungan dan Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus Pertambangan Bijih Besi PT Juya Aceh Mining di Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi NAD). Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang merupakan kombinasi dari “descriptive research” dan “problem solving research”. Jumlah responden sebanyak 91 orang yaitu (20% dari populasi). Analisis data dilakukan secara kuantitatif, dan deskriptif dengan menggunakan teknik triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambangan yang telah mengubah manfaat sumberdaya bersifat common pool goods yaitu sumberdaya yang dikuasai bersama yang mampu menghasilkan tambahan pendapatan yang cukup nyata, menjadi sumberdaya alam bersifat private goods yaitu sumberdaya apabila dimanfaatkan oleh individu-individu secara sendiri akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Dengan berubahnya pemanfaatan sumberdaya alam tersebut sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, hal ini terbukti sebelum adanya pertambangan pendapatan rata-rata masyarakat Rp1.253.571/KK/bulan setelah adanya pertambangan menjadi Rp1.193.565/KK/bulan, penurunan pendapatan masyarakat dikarenakan oleh hilangnya lahan perkebunan dan pertanian serta akses pemanfaatan hutan. Kenyataan menunjukkan bahwa konversi lahan perkebunan dan hutan untuk KP (Kuasa Pertambangan) oleh PT Juya Aceh Mining bagi masyarakat yang

(30)

berdomisili di sekitar pertambangan tidak menguntungkan. Namun demikian dilihat dari segi persepsi terhadap kehadiran pertambangan, sebesar 56,1% masyarakat menunjukkan sikap setuju dan 35,2% masyarakat tidak setuju. Persepsi yang dikemukakan oleh masyarakat sangat tergantung pada dampak yang dirasakan dari hadirnya pertambangan. Masyarakat yang setuju karena merasakan dampak positif, atau tidak merasa dirugikan dengan kehadiran pertambangan. Sedangkan yang tidak setuju karena besarnya dampak negatif yang mereka rasakan seperti hilangnya lahan perkebunan dan pertanian, lapangan kerja serta akses ke hutan akibat dari kegiatan pertambangan. 2.6. Kerangka Pemikiran Sosial - Pendidikan - Kesehatan Ekonomi - Penyerapan Tenaga Kerja - Kesempatan berusaha Pengembangan Wilayah Pertambangan Emas

(31)

2.7. Hipotesis

1. Pertambangan emas berdampak positif terhadap sosial ekonomi masyarakat berdasarkan rata-rata pendapatan di Kecamatan Batang Toru.

2. Dampak sosial dan dampak ekonomi pertambangan emas berpengaruh positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan, khususnya Kecamatan Batang Toru.

Gambar

Gambar 2.1. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan  Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan adalah:
Gambar 2.2.  Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Analisis secara parsial variabel pelayanan dengan indikator-indikator pelayanan seperti: keandalan (reability), daya tanggap (responsiveness), empati (empathy), jaminan

Penelitian yang dilakukan di dua lokasi penelitian yaitu MAN 1 Gresik dan MAN 2 Gresik diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa citra sekolah memiliki hubungan dengan

(3) Pembantu Direktur Bidang Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, merupakan tenaga dosen yang memenuhi syarat dan diberi tugas tambahan membantu

Dari hasil perhitungan tingkat kepentingan analisis bahaya terhadap faktor-faktor yang menyebabkan ketidakkonsistenan mutu tersebut di atas dengan melalui metode AHP (metode

Misalnya penumpang pesawat dari luar negeri yang turun di Terminal 2 Bandara Narita dan ingin menuju Kota Tokyo dapat berjalan menuju Narita Airport Terminal 2·3 Station jika

Pengembangan mekanisme imbal jasa di area ini harus dikaitkan dengan berbagai aktivitas untuk meningkatkan (i) tutupan pohon di sempadan sungai, serta (ii) konversi lahan non

menggambarkan semua garis kontur termasuk garis kontur bantuan.. Bukit Bukit Untuk menunjukkan suatu permukaan tanah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang

[r]