• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan kecamatan memerlukan adanya seorang pemimpin yang selalu mampu untuk menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdayaguna dan berhasil guna. Keberhasilan pembangunan akan terlihat dari tingginya produktivitas, penduduk makmur dan sejahtera secara merata (Budiman, 1995 : 4). Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari peranan sumber daya manusia (Rachbini, 2002:198). Pendapat seperti tersebut di atas sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri.

Kecamatan dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia, merupakan ujung tombak dari pemerintahan daerah yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan akan banyak ditentukan oleh kinerja organisasi tersebut. Masyarakat perkotaan yang peradabannya sudah cukup maju, mempunyai kompleksitas permasalahan lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat tradisional sehingga diperlukan aparatur pelayanan yang profesional.

(2)

Ketidaktergantungannya kepada alam menyebabkan masyarakat kota sangat menghargai waktu. Persaingan yang ketat dan tajam menuntut adanya kecepatan, ketepatan, serta kecermatan pengambilan keputusan. Masyarakat perkotaan pada umumnya berorientasi ke masa depan. Penjelasan ini sejalan seperti yang dikemukakan oleh Ndraha (1991:88) bahwa dalam masyarakat yang tak berdaya (powerless) bersifat nrimo atau dibuat seperti itu, tuntutan tidak setajam dan tekanan terhadap struktur supra pada sistem politik tidak seberat jika masyarakat peka, sensitive, aktif, responsif dan vokal.

Menghadapi kondisi pertama beban para pejabat lebih ringan dan tidak begitu pusing memikirkan distribusi nilai secara adil ke dalam masyarakat. Kondisi semacam ini secara teoritis dapat dijelaskan melalui konsep yang dikemukakan oleh Riggs (1985) dengan model masyarakat prismatic-nya. Masyarakat yang masih sederhana, berbagai fungsi masih memusat pada segelintir orang atau badan tertentu. Kemudian setelah melalui tahap perubahan, yang digambarkan seperti sinar yang memasuki kaca prisma, fungsi-fungsi tersebut akan memencar kearah spesialisasi.

Gambaran seperti tersebut di atas berkaitan dengan beban kerja yang harus dipikul oleh seorang pimpinan organisasi. Beban tugas yang besar harus dipikul oleh seorang pimpinan menurut Manila (1996:3) dapat diatasi dengan tiga hal yaitu penerapan asas staf umum, pendelegasian wewenang dan tanggungjawab serta penyelesaian melalui bantuan suatu tim. Adanya de-birokratisasi di Indonesia pada hakekatnya adalah untuk menjawab tantangan masyarakat yang sedang berubah. Konsep pelayanan one-stop service yang menghendaki adanya kejelasan prosedur,

(3)

biaya maupun waktu menjadi dambaan semua kalangan masyarakat terutama kaum usahawan.

Semangat de-birokratisasi menyongsong era industrialisasi sudah mulai dijiwai oleh aparat pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Tetapi semangat tersebut saja tidak cukup untuk mengatasi berbagai masalah manajerial yang masih melilit organisasi kecamatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi secara berhasil guna dan berdaya guna. Padahal hasil capai organisasi di tingkat kecamatan sebagai sebagai subsistem, berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap hasil capai organisasi pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Supriatna (1999:30) bahwa kualitas sumber daya manusia dan kualitas pemimpin khususnya merupakan faktor penentu sukses tidaknya organisasi atau usaha baik didunia bisnis maupun di dunia pendidikan, kesehatan, agama, sosial, politik, pemerintahan, dan menentukan keberhasilan lembaga atau organisasinya. Pemimpin harus mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi, dapat mengoreksi kelemahan, sanggup membawa organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

Kecamatan merupakan line office dari pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas membina desa/kelurahan harus pula diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sebagai sebuah organisasi yang hidup dan melayani kehidupan masyarakat yang penuh dinamika, kecamatan mengalami banyak masalah sebagai organisasi administratif. Masalah yang dihadapi juga lebih banyak bersifat manajerial dibandingkan dengan masalah

(4)

yang bersifat politik. Kompleksitas masalah yang dihadapi berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat heterogenitasnya (asal usul, pendidikan, umur, kemapuan ekonomi) banyaknya desa/kelurahan bawahan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Wasistiono (1991:55) bahwa di tingkat kecamatan, camat adalah manajer puncak, oleh karena itu camat juga menjalankan keempat fungsi manajemen secara berimbang. Tanpa adanya dukungan pegawai yang memadai kualitas maupun kuantitasnya, maka camat akan lebih banyak menghabiskan waktu dan pemikirannya dibelakang meja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis administratif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kunci keberhasilan organisasi terletak pada kinerja pegawai-pegawainya (Cushway dan Lodge, 1987 : 133).

Pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai di lingkungan organisasi pemerintahan kecamatan pada dasarnya berlangsung dalam kondisi pegawai sebagai manusia, suasana batin dan psikologis seorang pegawai sebagai individu dalam masyarakat organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya sangat besar pengaruhnya pada pelaksanaan pekerjaannya. Suasana batin itu terlihat dalam semangat atau gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja. Kenyataan menunjukkan bahwa dari segi psikologis, bergairah atau bersemangat dan sebaliknya tidak bergairah atau tidak bersemangat seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja yang mendorongnya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka setiap aparatur pemerintah memerlukan motivasi yang kuat agar bersedia melaksanakan

(5)

pekerjaan secara bersemangat, bergairah dan berdedikasi sehingga dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, karena hubungan antara motivasi dan prestasi kerja menurut Armstrong (1988:75) adalah sesuatu yang positif, meningkatnya motivasi akan menghasilkan lebih banyak usaha dan prestasi kerja yang lebih baik. Prinsip tersebut tidak menutup kemungkinan kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya.

Seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good governance, tuntutan akan pelayanan publik yang berkualitas juga menjadi semakin besar. Pemerintah merespon tuntutan ini dengan menetapkan tahun 2004 sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan, seperti misalnya pelayanan prima dan standar pelayanan minimal. Akan tetapi perbaikan kualitas masih belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah Kecamatan Singkawang Tengah dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat (seperti pelayanan KK, KTP, UUG, IMB, Akta Kelahiran dan sebagainya) masih belum seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan AP Post terbitan 23 Maret 2005 yang mengungkapkan keluhan konsumen berupa keberatan terhadap biaya pengurusan KTP di Kecamatan Singkawang Tengah. Fakta lainnya adalah hasil Laporan

(6)

Observasi Lapangan Diklatpim Tingkat IV Kabupaten Sambas Tahun 2005 yang menyimpulkan bahwa pengelolaan produk layanan penerbitan KTP oleh Kecamatan Singkawang Tengah tahun 2004 belum optimal, hal ini terbukti dari data 37.398 wajib KTP, hanya 7.796 atau 20,84% penduduk memiliki KTP. Selanjutnya pengelolaan layanan izin gangguan dan izin mendirikan bangunan juga belum optimal, hal ini terbukti dengan tidak terdapatnya data yang akurat tentang kepemilikan izin gangguan dan IMB oleh masyarakat yang memanfaatkan ruang publik untuk kegiatan usahanya.

Selanjutnya berdasarkan laporan kinerja Kecamatan Singkawang Tengah dalam rangka penerimaan target PAD, belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal tersebut dapat dilihat dari data bahwa target penerimaan dari PBB Tahun 2004 sebesar Rp. 209.749.965 terealisasi sebesar Rp. 120.950.036 atau sebesar 57,66%, KTP tahun 2005 sebanyak 38.088 lembar dari wajib KTP terealisasi sebanyak 11.007 lembar atau sebesar 28,90%. Target penerimaan untuk IMB tahun 2006 sebesar Rp. 31.000.000 baru terealisasi hingga bulan Juni 2006 sebesar Rp. 19.008.549 atau sebesar 61,32%, KK target 13.880 lembat dari wajib KK terealisasi 1.029 lembar atau sebesar 7,41%, UUG target sebesar Rp. 18.371.650 terealisasi Rp. 12.319.500 atau sebesar 67,06%. Angka-angka tersebut secara umum dapat mengindikasikan bahwa pelaksanaan program dan kegiatan khususnya yang berkaitan dengan belanja publik kecamatan belum optimal.

Pengaduan lainnya seperti menyangkut prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit dalam pengurusan, tidak transparan, kurang informatif,

(7)

kurang akomodatif, kurang konsisten, terbatasnya fasilitas sarana dan prasarana pelayanan sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu dan biaya) serta masih banyak dijumpai praktek pungutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN.

Fenomena sebagaimana tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa manajemen sebagai proses mendayagunakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan, hanya akan berlangsung efektif dan efisien jika para pimpinan mampu memotivasi para bawahan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi pemerintahan perlu didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang profesional, mempunyai strategi yang mampu menggerakkan dan memotivasi bawahan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Hal yang menarik dalam paradigma baru administrasi publik, dikembangkannya kepemimpinan visioner yaitu kepemimpinan organisasi publik yang menuntut visi, misi dan strategi untuk mampu bertindak simultan sebagai pemberi arah, agen pembaharuan, juru bicara dan pembimbing dalam rangka menyatukan, mengerakkan dan menciptakan iklim organisasi yang kondusif.

Kenyataan yang kita hadapi, pendekatan motivasi klasik masih seringkali dilakukan oleh pimpinan yaitu dengan mengatur sistem gaji dan promosi. Pendekatan ini perlu disadari bukan merupakan cara terbaik, karena kebutuhan pegawai sebagai manusia sangat komplek. Mereka bisa terdorong bekerja dengan semangat kalau memiliki pimpinan yang akomodatif, penuh kreatif, inovatif, memberikan kesempatan dalam perencanaan, pengembangan potensi diri, keadilan, memiliki

(8)

teman-teman yang baik dimana mereka dihargai dan diperhitungkan sebagai bagian dari organisasi.

Fakta menunjukkan bahwa di instansi pemerintah pemenuhan kebutuhan tersebut di atas sering diabaikan oleh pimpinan dengan alasan belum ada anggaran atau panjangnya rantai birokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemenuhan akan kebutuhan pegawai baik materi maupun non materi belum menjadi skala prioritas, yang terpenting bagi organisasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Namun mereka belum sadar bahwa kunci keberhasilan organisasi tergantung dari sumber daya manusianya.

Hal tersebut di atas diperparah lagi dengan munculnya isu yang sangat popular di setiap organisasi publik yaitu menyebarnya gejela parkinson. Di Indonesia gejela ini dapat dilihat ketika para pejabat memasukkan anggota keluarganya, teman dekat, dan sebagainya sebagai hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun beban kerja relatif tetap. Hal ini tentunya merugikan beban anggaran negara karena telah terjadi pemborosan yaitu mempekerjakan orang-orang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Berdasarkan data kepegawaian yang ada di Kecamatan Singkawang Tengah menunjukkan bahwa terdapat 34 orang pegawai yang berstatus PNS dan 3 orang yang berstatus pegawai honorer. Jumlah pegawai 37 orang dirasakan sudah lebih dari cukup untuk melayani masyarakat setiap harinya dengan kualitas yang prima.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dirasakan perlunya mengadakan kajian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai. Beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Ma’rifah (2005) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh

(9)

Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, dan penelitian yang dilakukan oleh Suwandi (2004) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Efektifitas Pelaksanaan Tugas Jabatan Kepala Sub Bagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, memfokuskan pada pengaruh motivasi terhadap kinerja dan pelaksanaan tugas pegawai. Penelitian tersebut di atas belum membahas strategi yang digunakan oleh pimpinan untuk motivasi kerja pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas penelitian ini dianggap sebagai upaya baru untuk mengkaji strategi yang diterapkan oleh pimpinan untuk memotivasi kerja pegawai. Penelitian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai di Kecamatan Singkawang Tengah belum pernah dilakukan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat aparatur di tingkat kecamatan merupakan ujung tombak pelayanan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam sebuah tesis yang berjudul Strategi Peningkatan Motivasi Kerja Aparatur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan : Studi Kasus di Kecamatan Singkawang Tengah.

B. Ruang Lingkup Masalah

Mengingat ruang lingkup permasalahan motivasi kerja pegawai cukup luas dan komplek, maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai.

(10)

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai ?

D. Tinjauan Pustaka

Hingga saat ini telah banyak kajian dan penelitian mengenai motivasi kerja aparatur. Namun menurut pengetahuan penulis belum ada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan topik seperti tersebut di atas di Kecamatan Singkawang Tengah. Beberapa hasil kajian dan penelitian yang mungkin ada relevansinya dengan topik tersebut seperti yang dilakukan oleh Ma’rifah (2005) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, disimpulkan bahwa motivasi kerja dan budaya organisasi secara parsial mempengaruhi kinerja pekerja sosial. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa semakin besar motivasi kerja maka kinerjanya akan semakin baik. Hasil penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh Suwandi (2004) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Efektifitas Pelaksanaan Tugas Jabatan Kepala Sub Bagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, disimpulkan bahwa ketidakefektifan pelaksanaan tugas lebih banyak disebabkan oleh ketidakjelasan peran dan motivasi kerja. Berdasarkan uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa peran motivasi kerja sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan

(11)

tugas. Penelitian tersebut di atas belum membahas strategi memotivasi pegawai agar bekerja lebih giat, oleh sebab itu melalui penelitian ini penulis mencoba membahas strategi tersebut.

Strategi memegang peranan penting dalam suatu organisasi untuk mewujudkan tujuan dan tercapainya suatu visi dan misi organisasi. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh J. Salusu dalam Tjahya (1999:97) strategi merupakan suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Pendapat tersebut sejalan dengan Suradinata (1996:148) yang mengemukakan bahwa strategi adalah suatu rencana yang sifatnya serba komprehensif, bagaimana sesuatu organisasi dapat mencapai misi dan objeknya serta mengusahakan sekecil mungkin hambatan. Hal ini diperkuat dengan gagasan Glueck dalam Suradinata (1996:22) yang mengemukakan bahwa strategi adalah satu kesatuan rencana yang komprehensif dan terpadu yang menghubungkan kekuatan strategis organisasi dengan lingkungan yang dihadapi untuk menjamin tercapainya tujuan. Selanjutnya Kertonegoro (1994:56) mengemukakan konsep strategi sebagai suatu rencana yang menyeluruh dan terpadu mengenai kegiatan-kegiatan utama organisasi yang akan menentukan keberhasilannya untuk mencapai tujuan pokok dalam lingkungan yang penuh tantangan. Berdasarkan uraian di atas maka sebagaimana yang dikemukakan Subarsono (2005:7) bahwa strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kinerja dari suatu kebijakan. Berbagai pendapat tersebut di atas menurut penulis menjelaskan strategi

(12)

sebagai suatu pola keputusan yang konsisten, menentukan dan menampilkan tujuan organisasi jangka panjang, menyeleksi bidang yang akan ditangani, dan melibatkan semua tingkat hirarki organisasi.

Konsep strategi menurut Vancil dalam Supriatna (1999:64) adalah sebuah konseptualisasi yang dinyatakan atau yang diimplementasikan oleh pemimpin organisasi yang bersangkutan berupa :

a. Sasaran jangka panjang atau tujuan organisasi tersebut.

b. Kendala-kendala luas dan kebijakan yang ditetapkan sendiri oleh sang pemimpin atau yang diterimanya dari pihak atasan, yang membatasi skope aktivitas organisasi yang bersangkutan.

c. Kelompok rencana dan tujuan jangka pendek yang telah diterapkan dengan akspektasi akan diberikannya sumbangsih mereka dalam mencapai sasaran organisasi tersebut.

Berdasarkan konsep tersebut di atas, menjelaskan kepada kita bahwa strategi suatu organisasi harus dipahami setiap individu yang berperan dalam organisasi melalui level yang tertinggi sampai ke level staf yang berada pada setiap tingkatan. Beberapa pakar strategi seperti Dan Schendel, Charles Hofer dan Higgins seperti yang dikutip Supriatna (1999:97-98) membagi strategi menjadi 4 (empat) tingkat yaitu interprice strategy, corporate strategy, business strategy dan functional strategy yang dibedakan berdasarkan substansinya.

Enterprice strategy berkaitan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sehingga strategi ini memperlihatkan realisasi antara organisasi dengan masyarakat

(13)

luar sejauh realisasi tersebut akan menguntungkan organisasi. Jadi masyarakat percaya bahwa organisasi sungguh-sungguh berusaha untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan telah dipertimbangkan secara etis.

Corporate strategy adalah strategi yang berkaitan dengan misi organisasi dan meliputi seluruh bidang yang digeluti oleh organisasi tersebut. Pengertian tersebut di atas mengandung makna bahwa strategi ini akan menjawab pertanyaan apa yang menjadi urusan kita dan bagaimana mengendalikan urusan itu. Oleh sebab itu penggunaan strategi ini hendaknya dapat dikuasai oleh para pimpinan organisasi.

Business strategy menjabarkan langkah-langkah bagaimana merebut pasaran di tengah masyarakat. Pengertian tersebut di atas menjelaskan bahwa strategi ini memusatkan perhatian pada keunggulan kompetitif atau kalangan organisasi non profit lebih dikenal dengan keuntungan komparatif. Functional strategy, yaitu strategi pendukung untuk menunjang suksesnya strategi lainnya yang mencakup aspek ekonomi, aspek manajemen, dan isu strategi yang fungsi utamanya mengontrol situasi lingkungan yang selalu berubah.

Strategi dalam suatu organisasi hendaknya dapat dipercaya dan dapat dilaksanakan oleh setiap individu dalam organisasi tersebut. Hatten dan Hatten dalam Supriatna (1999:98-99) memperkenalkan beberapa petunjuk bagaimana suatu strategi dirumuskan sehingga dapat dilaksanakan dengan sukses yaitu :

(14)

2. Bila ada beberapa strategi maka setiap strategi tersebut hendaknya konsisten dan serasi satu sama lainnya.

3. Memfokuskan dan menyatukan sumber daya dan tidak menceraikan satu dengan yang lain sehingga merupakan strategi efektif.

4. Memusatkan perhatian pada apa yang merupakan kekuatannya dan tidak pada titik yang justru adalah kelemahannya serta memanfaatkan kelemahan pesaing sehingga menggambarkan langkah-langkah yang tepat untuk posisi kompetitif yang kuat.

5. Strategi tersebut hendaknya layak dan dapat dilaksanakan. 6. Harus dapat dikontrol sehingga tidak memiliki resiko besar.

7. Disusun atas landasan keberhasilan yang telah dicapai bukan landasan kegagalan. 8. Dapat didukung oleh semua pihak yang terkait terutama oleh semua pimpinan

unit dalam organisasi.

Sebagai suatu organisasi, pemerintah kecamatan hanya akan dapat berjalan dengan baik apabila perangkat kecamatan dapat bekerja secara efektif dan efisien dengan ditunjang adanya suatu kepemimpinan dan staf yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di kecamatan tersebut. Hal seperti tersebut di atas sebagaimana yang dikemukakan oleh Ratmiko dan Winarsih (2005:130) bahwa kepemimpinan sangat diperlukan untuk dapat menggerakkan dan memotivasi bawahan untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Berdasarkan hal tersebut dituntut

(15)

adanya seorang camat yang benar-benar berjiwa pemimpin dan mengerti situasi dan kondisi, wilayah, bersifat mengayomi, serta mengerti akan kemauan anak buahnya. Menurut Suradinata (1997:94) seorang camat selaku pimpinan pemerintahan juga harus mempunyai jiwa kebapakan. Pendapat tersebut mengandung arti bahwa seorang camat mampu memberikan pandangan pada masyarakat tentang masalah yang harus diselesaikan dengan adil sebagai seorang pimpinan rumah tangga yang besar, sehingga keputusannya bisa diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Kartono (1994:33) pemimpin/leader mengandung arti bahwa seseorang yang memiliki kecakapan dan kelebihan khusus. Pengertian ini mengandung arti bahwa seorang camat harus mempunyai kecakapan dan kelebihan dalam bidang tertentu yang dapat mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktifitas. Hal tersebut sejalan yang dikemukakan oleh Nahavandi (1997:4) yang menyatakan bahwa a leader is someone who has commanding authority or influence (seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan atau pengaruh).

Pengertian tersebut di atas sejalan seperti yang dikemukakan oleh Kartono (1991:197) bahwa konsep mengenai kepemimpinan itu selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu (1) kekuasaan, (2) kewibawaan, (3) kemampuan. Berdasarkan pendapat di atas bahwa kekuasaan adalah kekuatan, otoritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin untuk mempengaruhi dan mengerakkan bawahan agar berbuat sesuatu. Kewibawaan ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu mbawani atau mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.

(16)

Kemampuan ialah segala daya, kesanggupan, kekuatan, dan kecakapan keterampilan teknis maupun sosial yang dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa.

Berdasarkan uraian di atas, faktor kepemimpinan ditentukan oleh karakter dan kemampuan intelektual guna mempengaruhi, membimbing, mengajak, serta mengarahkan bawahannya menuju kearah yang hendak dicapai. Selanjutnya kepemimpinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1994:26) adalah kemampuan seseorang mempengaruhi perilaku orang lain untuk berpikir dan berperilaku dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan organisasi di dalam situasi tertentu.

Koontz dan Donnell dalam Silalahi (1992:184) memberikan definisi kepemimpinan sebagai influence, the art or process of influencing people so that they will strive willingly and anthusiastically toward the achievement of group goals. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kepemimpinan adalah kemauan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mendorong bawahan atau pengikut untuk bekerja dengan penuh semangat dan keyakinan. Selanjutnya Toha (1995:9) mengemukakan definisi kepemimpinan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, menurut penulis bahwa kepemimpinan itu adalah kemauan untuk menggerakkan dan mempengaruhi serta mengarahkan orang-orang ke tujuan yang dikehendaki oleh pemimpin. Seorang pimpinan mempunyai peran yang sangat penting dalam membina bawahannya sebagaimana yang dikemukakan oleh Supriatna (1999:49-50) bahwa peran pimpinan

(17)

adalah sebagai mediator, pembina sumber daya manusia, negosiator, juru bicara, desiminasi informasi dan pengambil keputusan.

Teori kepemimpinan, menjelaskan faktor-faktor yang terdapat dalam kepemimpinan dan menentukan karakteristik dalam pelaksanaannya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menyusun teori itu, antara lain, seperti yang dikemukakan oleh Rustandi, (1992:21) yaitu pendekatan bakat, pendekatan situasional dan pendekatan bakat dan situasional. Pendapat tersebut di atas menjelaskan bahwa dalam pendekatan bakat mencari seperangkat bakat yang harus dimiliki oleh seseorang agar berhasil menjadi pemimpin. Pendekatan situasional menjelaskan munculnya seorang pemimpin disebabkan adanya situasi darurat atau gawat. Pendekatan bakat dan situasional membahas lahirnya pemimpin karena adanya bakat dan situasi yang memungkinkan lahirnya seorang pemimpin.

Selanjutnya menurut Silalahi (1992:191) pendekatan atau teori kepemimpinan itu dapat dikategorikan atas teori sifat, perilaku dan situasional. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa keberhasilan seorang sebagai pemimpin ditentukan oleh kualitas sifat atau karakteristik tertentu yang dimiliki atau melekat dalam diri pemimpin tersebut, baik yang berhubungan dengan fisik, mental, psikologi, personalitas, dan intelektual. Beberapa sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin menurut Ordway dalam Suradinata (1995:79) badan yang kuat dan penuh energi, anthusias, sifat ramah tamah, integritas, unggul dalam teknik kerja, bertindak tegas, cakap, berminat seperi guru, dan percaya pada diri sendiri. Pendapat tersebut di atas menjelaskan bahwa

(18)

pemimpin harus mempunyai sifat-sifat yang baik dalam memberikan teladan kepada bawahannya.

Teori perilaku seperti yang dikemukakan Silalahi (1992:193) menjelaskan bahwa studi kepemimpinan melalui pendekatan perilaku, menghasilkan dua orientasi perilaku pemimpin. Berdasarkan pendapat di atas menjelaskan bahwa dalam kepemimpinan terdapat dua orientasi perilaku yang berbeda yaitu perilaku pemimpin yang berorientasi tugas (task orientation) atau yang mengutamakan penyelesaian tugas dan perilaku pemimpin yang berorientasi pada orang (people orientation) atau yang mengutamakan menciptakan hubungan-hubungan manusiawi.

Berkaitan dengan perilaku, sikap, dan kepribadian ini maka Abdurrachman, (1995:91) mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang pemimpin. Pendapat di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai keinginan keras untuk mencapai tujuan bersama, harus mengetahui dan taat pada perintah-perintah atasannya, dapat mengambil keputusan dengan tepat, takut akan kegagalan, dan berani melihat fakta atau kenyataan.

Klasifikasi pemimpin dalam tipe-tipe tertentu bertujuan untuk menjelaskan perbedaan pendekatan dalam melaksanakan manajemen yang diembannya. Siagian (1990:41) membagi tipe-tipe pemimpin menjadi 5 (lima) golongan. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan yaitu tipe pemimpin yang otokratis, tipe pemimpin yang militeristik, tipe pemimpian yang paternalistis, tipe pemimpin yang kharismatis, dan tipe pemimpin yang demokratis. Selanjutnya Mansur (1994:174) membagi tipe kepemimpinan 3 (tiga) tipe. Pendapat tersebut menjelaskan

(19)

tipe kepemimpinan meliputi kepemimpinan totaliter, kepemimpinan demokratis dan kepemimpinan yang bebas. Berdasarkan kenyataan tipe kepemimpinan yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern karena tipe demokratis memiliki ciri, seperti yang dikemukakan oleh Siagian dalam Manila (1996:23) yaitu selalu mengerakkan para staf atau bawahan sesuai harkat dan martabatnya atau secara manusiawi, selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan tujuan pribadi dari staf / bawahan, senang menerima saran, pendapat ataupun kritik dari para staf/bawahannya, selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan kerja tim (team work) dalam usaha mencapai tujuan, dengan tulus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para staf untuk bertindak, selalu berusaha untuk mendorong para staf/bawahannya untuk lebih sukses dari dirinya sendiri, berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

Selain tipe kepemimpinan, hal yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui adalah cara atau teknik kepemimpinan. Menurut Arifin yang dikutip oleh Pamudji (1995:114) ada 6 (enam) teknik kepemimpinan pemerintahan. Pendapat tersebut menjelaskan teknik kepemimpinan yaitu teknik pematangan atau penyiapan pengikut, teknik human relation, teknik menjadi teladan, teknik persuasi dan pemberian perintah, teknik penggunaan komunikasi yang cocok, dan teknik penyediaan fasilitas. Karakteristik khusus seorang pemimpin yang membedakannya dengan pengikut maupun dengan pemimpin yang lain pada hakekatnya merupakan gaya kepemimpinan. Menurut Bennis (1990:49) hal esensial dalam kepemimpinan organisasi ialah bahwa gaya pemimpin menarik bukan mendorong orang. Pendapat

(20)

tersebut menjelaskan bahwa suatu gaya tarik yang berpengaruh bekerja dengan cara mengikat dan mendorong orang kepada visi yang menggembirakan tentang masa depan. Seorang pemimpin memotivasi dengan mengidentifikasikan bukan dengan penghargaan dan hukuman.

Peranan pemimpin begitu vital dalam kebijakan publik, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa pemimpin yang mempunyai kepemimpinan yang baik maka kebijakan publik akan menjadi sia-sia (Dwijowiyoto, 2003 : 285). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa salah satu peranan pemimpin adalah memberikan motivasi kepada bawahannya. Pernyataan tersebut sejalan sebagaimana yang dikemukakan oleh Winardi (1989:145) bahwa seorang pimpinan yang mementingkan pelaksanaan pekerjaan merupakan pimpinan yang mementingkan motivasi. Tanggung jawab utama seorang pimpinan dalam memotivasi bawahannya sebagaimana yang dikemukakan oleh Nawawi (2005:360) adalah merumuskan batasan pelaksanaan pekerjaan bawahannya, menyediakan dan melengkapi fasilitas untuk pelaksanaan pekerjaannya dan memilih atau melaksanakan cara terbaik dalam mendorong / memotivasi pelaksanaan pekerjaan bawahannya. Konsep motivasi sangat penting karena motivasi merupakan hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya dan potensi bawahan agar mau bekerjasama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.

(21)

Sebelum timbulnya motivasi perlu diketahui apa yang menjadi motif orang melakukan suatu pekerjaan. Pendapat ini seperti yang dikemukakan oleh Gerungan (1996:140) bahwa motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Selanjutnya pendapat tersebut sejalan dengan James M. Higgins dalam Arman (2002:51) motivasi adalah proses menggerakkan orang untuk berbuat sesuai dengan keinginan kita.

Seorang pemimpin dalam memberikan motivasi kepada bawahan hendaknya mempelajari tingkah-laku bawahan, apa yang dilakukan, bagaimana ia melakukan, dan mengapa ia melakukannya. Hal tersebut seperti yang dikemukakan Sarwono (1991:57) motivasi menunjukkan kepada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa dorongan tersebut timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi, dan tujuan yang ingin dicapai.

Selanjutnya Jack (1981:138) mengemukakan tentang motivasi sebagai berikut from a manajerial perspective, motivation refers to any conscious ettempt to influence behavior toward the accomplishment to organizational goals. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pandangan kepemimpinan motivasi berhubungan terhadap setiap kesadaran usaha yang mempengaruhi perilaku manusia untuk bekerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan berbagai pendapat di atas menurut penulis, motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seorang individu

(22)

yang merangsangnya untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan dengan motif-motif tertentu.

Adapun teknik atau pedoman dalam memotivasi menurut Sarwoto (1991:153) ada 9 (sembilan) hal. Menurut pendapat tersebut 9 (sembilan) hal yaitu mengusahakan orang-orang merasa dirinya penting, mengusahakan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan individual, mengusahakan untuk menjadi pendengar yang baik, menghindari timbulnya perdebatan, menghormati perasaan orang lain, menggunakan pertanyaan/percakapan untuk mengajak orang-orang bekerja sama, jangan berusaha untuk mendominasi, mengingatkan bahwa kebanyakan orang adalah tamak, dan melaksanakan manajemen partisipasi.

Seorang pimpinan unit kerja dalam suatu organisasi agar dapat memotivasi bawahannya harus mengetahui motif dan motivasi yang diinginkan oleh bawahannya. Hal terpenting adalah mengetahui penyebab mengapa orang mau bekerja. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Peterson dan Plowman dalam Hasibuan (1997:156) alasan-alasan orang mau bekerja giat. Adapun alasan-alasan orang mau bekerja karena :

Keinginan untuk hidup (The desire to live)

Keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang, manusia bekerja untuk dapat makan untuk dapat melanjutkan hidupnya.

Keinginan untuk suatu posisi (The desire for position)

Keinginan untuk suatu posisi dengan memiliki sesuatu merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu penyebab mengapa manusia mau bekerja.

(23)

Keinginan akan kekuasaan (The desire for power)

Keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di atas keinginan untuk memiliki yang mendorong orang mau bekerja.

Keinginan akan pengakuan (The desire for recognition)

Keinginan akan pengkuan, penghormatan, dan status sosial, merupakan jenis terakhir dari kebutuhan yang mendorong orang untuk bekerja.

Berikut ini akan dipaparkan beberapa Teori Motivasi, yang umum antara lain : Teori Kepuasan. Teori kepuasaan ini berdasarkan pendekatannya atas faktor-faktor kebutuhan dan kepuasaan individu yang menyebabkannya bertindak serta berperilaku dengan cara tertentu. Teori ini memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri orang yang menguatkan, mengarahkan, mendukung dan menghentikan perilakunya. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan kebutuhan apa yang memuaskan seseorang dan apa yang mendorong semangat bekerja seseorang.

Hal yang memotivasi semangat kerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan serta kepuasaan baik materil maupun non materil yang diperolehnya sebagai imbalan balas jasa dari jasa materil yang diterimanya semakin memuaskan, maka semangat bekerja seseorang akan semakin meningkat pula. Jadi pada dasarnya teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan bertindak atau bersemangat bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (inner need-nya). Salah satu penganut teori motivasi proses ini adalah Teori Motivasi Klasik yang dikemukakan oleh Frederik Wionslow Taylor. Teori ini berpendapat bahwa manusia mau bekerja giat untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik/biologisnya berbentuk uang/barang dari

(24)

hasil pekerjaannya. Konsep ini menjelaskan bahwa orang akan bekerja giat, bilamana ia mendapat imbalan materi yang mempunyai kaitan dengan tugas-tugasnya.

Teori Motivasi Proses. Teori ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara dan menghentikan perilaku individu, agar setiap individu bekerja sesuai dengan keinginan pimpinan. Apabila diperhatikan secara mendalam, teori ini merupakan proses sebab dan akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang akan diperolehnya. Penganut teori ini adalah Victor Vroom dengan teorinya Teori Harapan. Teori ini menjelaskan bahwa ada 3 konsep penting yaitu :

a. Harapan, adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku.

b. Nilai, adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai/martabat tertentu (daya atau nilai memotivasi) bagi setiap individu tertentu.

c. Pertautan adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua.

Selanjutnya teori motivasi proses yang terkenal seperti yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Hasibuan (1997:174-175) dengan Teori Motivasi Dua Faktor. Teori tersebut menjelaskan bahwa orang memerlukan 2 (dua) macam faktor kebutuhan. Faktor yang pertama adalah kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan akan pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman dan kesehatan badaniah. Faktor-faktor pemeliharaan meliputi balas jasa, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan, mobil dinas, rumah dinas, dan bermacam-macam tunjangan lainnya. Faktor yang kedua adalah

(25)

faktor pemeliharaan yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Adapun faktor-faktor ini meliputi prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan, dan pengembangan potensi individu.

Teori Pengukuhan. Teori ini berdasarkan hubungan sebab akibat dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Prinsip pengukuhan ini selalu berhubungan dengan bertambahnya frekuensi dari tanggapan, apabila diikuti oleh suatu stimulus yang bersyarat. Sifat imbalan atau hukuman dan bagaimana kedua hal itu dilaksanakan sangat mempengaruhi perilaku pegawai. Pimpinan perlu sekali mengatur waktu secara tepat dalam penggunaan imbalan dan hukuman dalam setiap organisasi. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis :

a. Pengukuhan positif, yaitu bertambahnya frekwensi perilaku terjadi apabila pengukuh positif diterapkan secara bersyarat.

b. Pengukuhan negatif yaitu bertambahnya frekuensi perilaku terjadi apabila pengukuh negatif dihilangkan secara bersyarat.

Sifat imbalan atau hukuman dan bagaimana kedua hal tersebut dilaksanakan sangat mempengaruhi perilaku pegawai.

Berkaitan dengan strategi memotivasi sumber daya manusia, maka ada beberapa strategi yang dipergunakan seperti yang dikemukakan oleh Armstrong (1998:83-88) yaitu menggunakan pendekatan yang disederhanakan, menggunakan metode-metode, dan menyatukan semua cara untuk memotivasi artinya penggabungan antara keduanya, termasuk di dalamnya penggunaan model motivasi untuk menyimpulkan dan menggunakan konsep motivasi. Berdasarkan pendapat

(26)

tersebut di atas, beberapa pendekatan yang digunakan adalah wortel dan batang kayu kecil artinya penghargaan atas hasil kerja, motivasi melalui pekerjaan itu sendiri, dan sistem manajer satu menit. Sedangkan metoda yang digunakan adalah uang sebagai penghargaan, menyebutkan persyaratan, mengembangkan keterikatan, motivasi melalui pekerjaan itu sendiri, menghargai dan mengakui prestasi, mengembangkan kepemimpinan, membangun kerjasama kelompok, melatih dan mengembangkan setiap orang dan menghilangkan hal-hal negatif.

Ada 3 (tiga) model motivasi yang dikemukakan oleh Miles dalam Keban (2004:88-89) yaitu model tradisional, model human relation, dan model human resources. Model tradisional memandang bahwa upah lebih penting dari pekerjaan itu sendiri, memandang bawahan sebagai orang yang tidak senang dengan pekerjaan sehingga harus selalu dikontrol. Model human relation memandang bahwa bawahannya ingin selalu berguna dan penting, dikenal sebagai seorang individu yang berarti dan keinginan tersebut mungkin lebih penting dari pada uang. Selanjutnya model human resources memandang bahwa orang bisa saja tertarik terhadap pekerjaan yang menantang tidak selalu uang, memiliki kreatifitas dan inisiatif serta tanggung jawab yang tinggi. Kondisi seperti ini menuntut seorang pimpinan memberikan peluang bawahan berkreasi dan inisiatif serta memberikan dorongan agar berpartisipasi secara aktif. Selanjutnya Schein dalam Sulaksana (2004:152) mengemukakan bahwa 4 (empat) tipe asumsi manajemen terhadap karyawan, dan implikasinya atas manajemen dan strategi desain pekerjaan serta tentang apa yang

(27)

mendorong motivasi kerja mereka. Keempat asumsi tersebut adalah manusia rasional ekonomis, manusia sosial, manusia yang mengaktualkan diri dan manusia komplek.

Pedoman tersebut di atas hendaknya dapat dipakai oleh seorang camat sebagai manajer puncak di organisasi kecamatan, karena peranan camat sangat penting dalam usaha meningkatkan kinerja perangkat kecamatan yang diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka seorang camat hendaknya mengetahui kedudukan, tugas dan fungsinya (Suradinata, 1996:144). Menurut pendapat di atas kedudukan, tugas dan fungsi camat adalah : 1. Kedudukan camat, sebagai kepala pemerintahan di kecamatan.

2. Tugas Camat, memimpin penyelenggaraan pemerintahan, pembinaan pemerintahan desa dan kelurahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan kemasyarakatan, menyelenggaraan koordinasi atas kegiatan instansi vertikal dengan dinas di daerah dan diantara instansi vertikal lainnya di dalam wilayah kecamatan.

3. Fungsi Camat yaitu penyelenggaran tugas-tugas pemerintahan umum dan pembinaan desa dan kelurahan, pembinaan ketentraman dan ketertiban wilayah, pembinaan pembangunan masyarakat desa yang meliputi pembinaan sarana dan prasarana perekonomian, produksi, dan pembinaan pembangunan pada umumnya serta pembinaan lingkungan hidup, pembinaan kesejahteraan sosial, pembinaan pelayanan umum, penyusun rencana dan program, pembinaan administrasi, ketatausahaan dan rumah tanggnya.

(28)

Berlakunya undang-undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 telah mengubah status pemerintah kecamatan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Suhariyono (1999:40) bahwa kecamatan selama ini merupakan tingkatan wilayah administratif paling rendah, menjadi wilayah atau daerah kerja operasional daerah yang kedudukannya akan disejajarkan dengan dinas dan lembaga teknis daerah yang sama-sama sebagai perangkat daerah.

Tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang semakin komplek di tingkat kecamatan, menuntut adanya pendelegasian wewenang kepada perangkat kecamatan. Salah satunya adalah dengan memberdayakaan perangkat kecamatan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Revida (2005:110) bahwa munculnya konsep pemberdayaan pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subjek dari dunianya sendiri. Konsep pemberdayaan menurut Carlzon dalam Revida (2005:110) menggambarkan pemberdayaan sebagai membebaskan seseorang dari kendali yang kaku dan memberi kebebasan orang tersebut untuk bertangungjawab terhadap ide-idenya, keputusan-keputusannya, serta tindakannnya. Pendapat di atas menjelaskan bahwa seorang pimpinan dalam memberdayakan bawahannya dimulai dengan memberikan tanggung jawab atas pekerjaannya, sehingga bawahannya mempunyai wewenang penuh untuk dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan perbaikan hasil kerjanya. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Keban (2004 : 124) diharapkan kontrol hirarkis

(29)

dalam organisasi dialihkan ke tangan para pegawai yang berhadapan langsung dengan pelayanan terhadap masyarakat.

E. Aspek-Aspek Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana disebutkan di atas, maka paling tidak terdapat 3 (tiga) aspek strategi memotivasi pegawai yang akan diteliti atau diungkapkan melalui penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun aspek-aspek strategi memotivasi pegawai tersebut meliputi :

1) Pendekatan yang diterapkan dalam memotivasi pegawai. 2) Metode yang diterapkan untuk memotivasi pegawai. 3) Model yang diterapkan untuk memotivasi pegawai. F. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh pimpinan unit kerja untuk memotivasi pegawai agar bekerja lebih giat.

G. Kegunaan Penelitian

Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu : 1) Kegunaan Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang Administrasi Negara.

2) Kegunaan Praktis .

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kecamatan Singkawang Tengah dalam membuat suatu kebijakan untuk meningkatkan motivasi kerja aparatur.

(30)

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif menurut Nasution (1988:5) adalah penelitian yang pada hakekatnya mengamati orang pada lingkungan, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang sekitarnya. Selanjutnya Ali (1997:60) menyatakan bahwa penelitian kualitatif atau biasa disebut dengan metode kualitatif adalah metode yang berpangkal pada peristiwa sosial yang tidak bersifat eksakta.

Berdasarkan pertimbangan tujuan, manfaat penelitian dan berbagai kendala maka jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah eksploratif. Penelitian eksploratif sebagaimana yang dikemukakan Ali (1997:51) adalah penelitian yang bertujuan mencari dan menemukan masalah baru dalam usaha mengisi kekosongan atau kekurangan dari pengetahuan dan ilmu pengetahuan baik yang belum maupun yang telah ada. Pengertian ini dapat pula diartikan sebagai penelitian untuk memperdalam suatu pengetahuan tentang suatu gejala dalam rangka merumuskan masalah secara terperinci.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Singkawang Tengah. Pengertian Kecamatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Nordholt dalam Wasistiono (1991:12) bahwa kajian tentang Kecamatan mengandung 3 (tiga) pengertian yaitu wilayah kerja camat, kantor tempat bekerja bagi pegawai kecamatan dan camat itu

(31)

sendiri. Kecamatan dalam penelitian ini diartikan sebagai kantor tempat bekerja bagi pegawai kecamatan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan Kepmendagri dan Otda Nomor 48 Tahun 2000 tanggal 7 November 2000 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Keputusan Walikota Singkawang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Standar, Bentuk, Ukuran, dan Tulisan Papan Nama Instansi di Lingkungan Pemerintah Kota Singkawang.

3. Penentuan Informan

Adapun subjek penelitian atau informan dalam penelitian ini adalah Camat dan perangkat kecamatan. Penentuan subjek penelitian atau informan ini berdasarkan pendekatan purposive sampling. Metode purposive sampling menurut Sugiono (1997:57) yaitu penentuan sampel untuk tujuan atau pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini menurut Sugiono (2005:54) bahwa orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti.

4. Proses Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dimulai dengan studi kepustakaan yaitu penelitian kepustakaan dengan mempelajari buku-buku literatur, baik yang dimiliki penulis maupun mengunjungi perpustakaan S2 Ilmu-Ilmu Sosial Untan di Pontianak. Buku-buku tersebut sebagaimana terlampir pada daftar pustaka. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis adalah :

(32)

1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan alat pedoman wawancara dilakukan dengan mewawancarai subjek penelitian atau informan.

2) Observasi. Adapun manfaat observasi menurut Patton dalam Sugiono (2005:67) adalah agar peneliti dapat memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, peneliti dapat memperoleh pengalaman langsung, menemukan hal-hal yang diluar persepsi informan, memperoleh kesan-kesan pribadi dan merasakan situasi sosial yang diteliti.

3) Dokumentasi. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh menjadi lebih lengkap. Dokumentasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Arikunto (1996:234) adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dokumentasi dalam penelitian ini berupa buku-buku literatur, jurnal, dan foto copy peraturan perundang-undangan yang mendukung penelitian.

Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian adalah :

1) Peneliti sebagai instrumen kunci (key instrument). Manusia sebagai instrument dapat memahami makna, interaksi manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan informan. 2) Pedoman wawancara sebagaimana terlampir.

3) Pedoman Observasi (check list 5. Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun data atau informasi agar dapat ditafsirkan. Menyusun data diartikan menggolongkan dalam pola, tema, atau kategori.

(33)

Setelah digolongkan selanjutnya diinterpretasikan. Data perlu dianalis karena maknanya harus diketahui. Analisis data ini merupakan kegiatan yang kontinyu dari awal sampai akhir penelitian. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam analisis data yaitu :

1) Reduksi data. Jika data atau informasi dilaporkan sangat banyak maka perlu direduksi. Kegiatan mereduksi data harus ada fokus dan dapat memberi kode pada aspek-aspek tertentu.

2) Display data. Tujuan display data adalah untuk menghindari kerumitan data yang tertumpuk banyak.

3) Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Pada awalnya peneliti mencoba mengambil kesimpulan sementara, kabur dan diragukan. Selanjutnya dengan bertambahnya data maka menjadi lebih jelas sehingga menjamin validitas.

(34)
(35)

Referensi

Dokumen terkait

penelitiannya merupakan tindakan kelas yang terdiri dari perencanaan, tindakan,.. observasi dan refleksi dengan penerapan strategi pembelajaran Think Talk Write

Sebagai contoh UU yang isinya memuat penetapan (UU yang bersifat formil saja tapi materinya tidak mengikat seluruh penduduk), Keputusan Presidan, Keputusan Menteri. Ada

Risiko bahwa prosedur yang dilaksanakan auditor untuk menekan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima, tidak akan mendeteksi salah saji yang bisa material, secara

Berdasarkan hasil penelitian pada departemen perusahaan tersebut, penulis mendapatkan data atau informasi selama penelitian berlangsung yaitu tentang sistem absensi

Pada penelitian ini digunakan metode kuantitatif, dengan penggunaan data sekunder berupa data Citra MODIS surface reflectance bulan April tahun 2008, 8-harian

Pada adat perkawinan minangkabau terdapat syarat yang harus dipenuhi dan ditaati sebelum dilangsungkannya perkawinan menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya adalah

Sehingga dalam studi kasus tugas akhir ini akan membahas tentang penghitungan PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan yang digunakan untuk

Tujuan utama pembibitan adalah mempersiapkan bibit yang baik dan seragam, karena hal tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan penanaman dilapangan dan untuk