• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUPATI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG BANGUNAN GEDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUPATI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG BANGUNAN GEDUNG"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

1 BUPATI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2015

TENTANG

BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS,

Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan Bangunan Gedung harus dilaksanakan secara tertib, sesuai dengan fungsinya, dan memenuhi persyaratan administratif dan teknis Bangunan Gedung agar menjamin keselamatan penghuni dan lingkungannya;

b. bahwa penyelenggaraan Bangunan Gedung harus dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi lingkungannya; c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 2005 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung;

Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833); 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); 4. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan

Kabupaten Kepulauan Anambas di Provinsi Kepulauan Riau (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 106 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4879);

(2)

2 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);

9. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);

11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

16. Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas Nomor 3 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2013 Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas Nomor 31);

(3)

3 Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

dan

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.

3. Kabupaten adalah Kabupaten Kepulauan Anambas.

4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas.

5. Bupati adalah Bupati Kepulauan Anambas.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas.

7. Dinas adalah unsur pelaksana atau SKPD di Kabupaten Kepulauan Anambas yang diberi tugas melaksanakan kewenangan di bidang bangunan gedung.

8. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas di SKPD Kabupaten Kepulauan Anambas yang diberi tugas melaksanakan kewenangan di bidang bangunan gedung.

9. Badan/Kantor adalah SKPD di Kabupaten Kepulauan Anambas yang diberi tugas melaksanakan kewenangan di bidang pelayanan terpadu satu pintu.

10. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

11. Bangunan gedung umum adalah bangunan gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.

(4)

4 12. Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.

13. Bangunan gedung adat adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai dengan budayanya yang bersumber pada kearifan lokal dalam bentuk rumah adat, balai adat dan sejenisnya.

14. Bangunan gedung darurat atau sementara adalah bangunan gedung yang direncanakan mempunyai umur layanan sampai dengan 5 (lima) tahun, dengan konstruksi bersifat tidak permanen, yang digunakan untuk fungsi yang ditetapkan, seperti direksi keet, kantor dan gudang proyek, dan kios penampungan sementara.

15. Bangunan gedung semi permanen adalah bangunan gedung yang direncanakan mempunyai umur layanan di atas 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun, dengan konstruksi bersifat semi permanen atau yang dapat ditingkatkan menjadi permanen untuk fungsi yang ditetapkan, seperti kantor pemekaran pemerintah daerah, kecamatan, dan kelurahan/desa.

16. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain mendirikan bangunan gedung yang menyesuaikan dengan hukum alam dan lingkungan hidup secara spiritual.

17. Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem.

18. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.

19. Prasarana bangunan gedung atau disebut bukan bangunan gedung adalah konstruksi bangunan yang merupakan pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung pada satu tapak kaveling/persil/pekarangan yang sama untuk menunjang kinerja bangunan gedung sesuai dengan fungsinya seperti menara reservoir air, gardu listrik, instalasi pengolahan limbah.

20. Prasarana bangunan gedung yang berdiri sendiri adalah konstruksi bangunan yang berdiri sendiri dan tidak merupakan pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung pada satu tapak kaveling/persil/pekarangan, seperti menara telekomunikasi, menara saluran udara tegangan ekstra tinggi/ultra tinggi, monumen/tugu halte, dan gerbang kota.

(5)

5 21. Klasifikasi fungsi bangunan gedung adalah klasifikasi berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya.

22. Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan tersebut.

23. Mengubah bangunan adalah pekerjaan mengganti dan atau menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang berhubungan dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut.

24. Membongkar bangunan adalah pekerjaan meniadakan sebagian atau seluruh bagian bangunan ditinjau dari fungsi bangunan dan atau konstruksi.

25. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

26. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten yang merupakan rencana rinci tata ruang, yang selanjutnya disingkat RDTR adalah penjabaran dari rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas ke dalam rencana pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan kawasan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

27. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, yang selanjutnya disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

28. Peraturan Zonasi, yang selanjutnya disingkat PZ adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

29. Keterangan Rencana Kabupaten, yang selanjutnya disingkat KRK adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi tertentu.

30. Izin Pemanfaatan Ruang, yang selanjutnya disingkat IPR adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang meliputi izin prinsip atau SPPL, izin lokasi, SIPPT, IMB, dan izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 31. Kaveling/persil/pekarangan/tapak adalah suatu perpetakan

tanah, yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan.

32. Izin Mendirikan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru,

(6)

6 mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

33. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan gedung, yang selanjutnya disingkat PIMB gedung adalah permohonan yang dilakukan pemohon/pemilik bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.

34. Retribusi IMB atau biaya IMB sebagai retribusi pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung adalah dana yang dipungut oleh Pemerintah Daerah atas jasa pelayanan yang diberikan dalam rangka pembinaan melalui penerbitan IMB untuk biaya pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung yang meliputi pengecekan (peninjauan lokasi), pengukuran lokasi, pemetaan/dokumentasi, pemeriksaan/pengawasan di lapangan, penegakan hukum dan biaya dampak negatif serta penatausahaan proses penerbitan IMB.

35. Pemohon adalah orang atau badan hukum, kelompok orang atau perkumpulan yang mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung kepada Pemerintah Daerah.

36. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang atau perkumpulan yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

37. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. 38. Perencanaan Teknis adalah proses membuat gambar teknis

Bangunan Gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruang-dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan Standar Teknis yang berlaku.

39. Wilayah pesisir adalah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan iklim di darat dan laut.

40. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

41. Garis sempadan bangunan adalah garis maya pada kaveling/persil/pekarangan yang ditarik sejajar dengan garis batas ruang milik jalan, tepi sungai, atau as pagar dan merupakan batas antara bagian kaveling yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun.

42. Koefisien Dasar Bangunan, yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

(7)

7 43. Koefisien Lantai Bangunan, yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

44. Koefisien Daerah Hijau, yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

45. Koefisien Tapak Basemen, yang selanjutnya disingkat KTB adalah angka persentase berdasarkan perbandingan antara luas tapak basemen dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang, dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

46. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

47. Tinggi bangunan gedung adalah jarak yang diukur dari lantai dasar bangunan, di tempat bangunan gedung tersebut didirikan sampai dengan titik puncak bangunan.

48. Peil lantai dasar bangunan adalah ketinggian lantai dasar yang diukur dari titik referensi tertentu yang ditetapkan.

49. Kegagalan bangunan gedung adalah kinerja bangunan gedung dalam tahap pemanfaatan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan/atau keselamatan umum. 50. Dokumen Rencana Teknis Pembongkaran (RTB) adalah rencana teknis pembongkaran bangunan gedung dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disetujui Pemerintah Daerah dan dilaksanakan secara tertib agar terjaga keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya.

51. Tim Ahli Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat TABG adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.

52. Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran bangunan gedung.

(8)

8 53. Persetujuan rencana teknis adalah pernyataan tertulis tentang telah dipenuhinya seluruh persyaratan dalam rencana teknis bangunan gedung yang telah dinilai/dievaluasi.

54. Pengesahan rencana teknis adalah pernyataan hukum dalam bentuk pembubuhan tanda tangan pejabat yang berwenang serta stempel/cap resmi, yang menyatakan kelayakan dokumen yang dimaksud dalam persetujuan tertulis atas pemenuhan seluruh persyaratan dalam rencana teknis bangunan gedung.

55. Laik fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan.

56. Sertifikat Laik Fungsi bangunan gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, untuk menyatakan kelaikan fungsi suatu bangunan gedung baik secara administratif maupun teknis sebelum pemanfaatannya.

57. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi.

58. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.

59. Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya.

60. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.

61. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

62. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

63. Masyarakat hukum adat pesisir adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di kawasan pesisir dan atau sempadan karena adanya ikatan asal-usul leluhur, hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumber daya alam, serta memiliki pranata dan tatanan hukum adat sendiri.

(9)

9 64. Masyarakat tradisional pesisir adalah kelompok masyarakat perikanan tradisional di kawasan pesisir dan/atau sempadan yang diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam wilayah perairan kepulauan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

65. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau kecil tertentu.

66. Dengar pendapat publik adalah forum dialog yang diadakan untuk mendengarkan dan menampung aspirasi masyarakat baik berupa pendapat, pertimbangan maupun usulan dari masyarakat baik berupa masukan untuk menetapkan kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

67. Gugatan perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

68. Pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga setiap penyelengaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

69. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat.

70. Pemberdayaan adalah kegiatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran serta penyelenggara bangunan gedung dan aparat Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

71. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum.

72. Pemeriksaan adalah kegiatan pengamatan, secara visual mengukur, dan mencatat nilai indikator, gejala, atau kondisi bangunan gedung meliputi komponen/unsur arsitektur, struktur, utilitas (mekanikal dan elektrikal), prasarana dan sarana bangunan gedung, serta bahan bangunan yang terpasang, untuk mengetahui kesesuaian, atau penyimpangan terhadap spesifikasi teknis yang ditetapkan semula.

73. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan dengan menggunakan peralatan termasuk penggunaan fasilitas laboratorium untuk menghitung dan menetapkan nilai indikator kondisi bangunan

(10)

10 gedung meliputi komponen/unsur arsitektur, struktur, utilitas (mekanikal dan elektrikal), prasarana dan sarana bangunan gedung, serta bahan bangunan yang terpasang, untuk mengetahui kesesuaian atau penyimpangan terhadap spesifikasi teknis yang ditetapkan semula.

74. Rekomendasi adalah saran tertulis dari ahli berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian, sebagai dasar pertimbangan penetapan pemberian sertifikat laik fungsi bangunan gedung oleh Pemerintah Daerah.

75. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

76. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah kajian mengenai identifikasi dampak-dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL.

77. Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu kurun waktu.

78. Satuan Ruang Parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk meletakkan kendaraan (mobil penumpang, bus/truk, atau sepeda motor), termasuk ruang bebas dan lebar buka pintu.

BAB II

Maksud, Tujuan, dan Lingkup Pasal 2

Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai acuan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung meliputi perencanaan, perizinan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan, pemanfaatan, pelestarian, kelaikan fungsi, dan pembongkaran bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis fungsi bangunan gedung.

Pasal 3 Peraturan Daerah ini bertujuan untuk:

1. mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;

2. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis Bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;

3. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan Bangunan gedung.

(11)

11 Pasal 4

(1) Lingkup Peraturan Daerah ini meliputi ketentuan umum, fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, konstruksi bangunan yang berdiri sendiri, penghitungan retribusi IMB, Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG), SKPD pelayanan penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat, pembinaan, sanksi administratif, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

(2) Untuk Bangunan Gedung fungsi khusus, dalam hal persyaratan, penyelenggaraan dan pembinaan tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini, maka harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB III

FUNGSI, PRASARANA DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Fungsi Bangunan Gedung Pasal 5

(1) Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan mengenai pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungan maupun keandalannya serta sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL.

(2) Fungsi bangunan gedung harus mengikuti di antara fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya, serta fungsi khusus.

(3) Fungsi hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup fungsi utama sebagai tempat tinggal manusia yang meliputi rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.

(4) Fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan ibadah yang meliputi bangunan mesjid termasuk mushola, langgar dan surau, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, bangunan kelenteng dan bangunan keagamaan dengan sebutan lainnya.

(5) Fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan usaha yang meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, Anjungan Tunai Mandiri (ATM), perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, anjungan lepas pantai (rig), bangunan gedung tempat penyimpanan sementara, bangunan gedung tempat penangkaran atau budidaya dan kegiatan usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(12)

12 (6) Fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan, laboratorium, olahraga dan bangunan gedung pelayanan umum. (7) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup

fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional, atau yang penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi yang ditetapkan oleh Menteri.

(8) Satu atau sejumlah bangunan gedung dalam satu tapak dapat memiliki lebih dari satu fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai fungsi campuran atau ganda.

Bagian Kedua

Prasarana Bangunan Gedung

Pasal 6

(1) Bangunan gedung dengan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat dilengkapi prasarana bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan kinerja bangunan gedung.

(2) Prasarana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. konstruksi pembatas/penahan/pengaman berupa pagar, tanggul/retaining wall, turap/pematang batas kaveling/persil, dan sejenisnya;

b. konstruksi penanda masuk lokasi berupa gapura dan gerbang termasuk gardu/pos jaga, dan sejenisnya;

c. konstruksi perkerasan berupa jalan, lapangan upacara, lapangan olah raga terbuka, pelataran tempat parkir, dan sejenisnya;

d. konstruksi penghubung berupa jembatan, box culvert, jembatan penyeberangan, dan sejenisnya;

e. konstruksi kolam/reservoir bawah tanah berupa kolam renang, kolam pengolahan air, reservoir bawah tanah, tambak konstruksi permanen, dan sejenisnya;

f. konstruksi menara berupa menara antena, menara reservoir, cerobong, mercu suar, dan sejenisnya;

g. konstruksi monumen berupa tugu, patung, dan sejenisnya; h. konstruksi instalasi/gardu berupa instalasi listrik, instalasi

telepon/komunikasi, instalasi pengolahan, dan sejenisnya; i. konstruksi reklame/papan nama berupa billboard/baliho,

papan iklan, papan nama (berdiri sendiri atau berupa tembok pagar), dan sejenisnya.

(3) Prasarana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah konstruksi bangunan baik yang berada menuju/pada lahan bangunan gedung atau kompleks bangunan gedung,

(13)

13 maupun prasarana yang berdiri sendiri atau mandiri di lahan tersendiri.

(4) Prasarana bangunan gedung dan sejenisnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga

Klasifikasi Bangunan Gedung

Pasal 7

(1) Klasifikasi bangunan gedung menurut kelompok fungsi bangunan didasarkan pada pemenuhan syarat administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(2) Fungsi bangunan gedung di wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diklasifikasikan berdasarkan:

a. klasifikasi tingkat kompleksitas meliputi bangunan gedung sederhana, bangunan gedung tidak sederhana, dan bangunan gedung khusus;

b. klasifikasi tingkat permanensi meliputi bangunan gedung darurat atau sementara, bangunan gedung semi permanen, dan bangunan gedung permanen;

c. klasifikasi tingkat risiko kebakaran meliputi bangunan gedung tingkat risiko kebakaran rendah, tingkat risiko kebakaran sedang, dan tingkat risiko kebakaran tinggi;

d. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan zonasi gempa ditetapkan oleh instansi yang berwenang;

e. klasifikasi lokasi meliputi bangunan gedung di lokasi renggang, bangunan gedung di lokasi sedang, dan bangunan gedung di lokasi padat;

f. klasifikasi ketinggian meliputi bangunan gedung bertingkat rendah, bangunan gedung bertingkat sedang, dan bangunan gedung bertingkat tinggi; dan

g. klasifikasi kepemilikan meliputi bangunan gedung milik negara, bangunan gedung milik perorangan, dan bangunan gedung milik badan usaha.

(3) Tingkat kompleksitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:

a. bangunan gedung sederhana berupa bangunan gedung dengan karakter sederhana, ada desain prototip, jumlah lantai maksimum 2 (dua) lantai, luas lantai maksimum 500 (lima ratus) m² serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana;

b. bangunan gedung tidak sederhana berupa bangunan gedung dengan karakter tidak sederhana, jumlah lantai 1 (satu) lantai dengan luas lebih dari 70 (tujuh puluh) m², jumlah lantai lebih dari 2 (dua) lantai dengan luas lantai lebih dari 500 (lima ratus) m², serta memiliki kompleksitas dan teknologi tidak sederhana; dan

c. bangunan gedung khusus berupa bangunan gedung yang memiliki penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam

(14)

14 perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan penyelesaian/teknologi khusus.

(4) Tingkat permanensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:

a. bangunan sementara atau darurat adalah bangunan gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan sampai dengan 5 (lima) tahun;

b. bangunan semi permanen adalah bangunan gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan di atas 5 (lima) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; dan c. bangunan permanen adalah bangunan gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan di atas 20 (dua puluh) tahun.

(5) Tingkat risiko kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:

a. bangunan gedung risiko kebakaran rendah berupa bangunan gedung yang karena fungsinya, disain, penggunaan bahan dan komponen unsur pembentuknya, serta kuantitas dan kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah terbakarnya rendah meliputi angka klasifikasi risiko bahaya kebakaran 6 dan 7;

b. bangunan gedung risiko kebakaran sedang berupa bangunan gedung yang karena fungsinya, disain, penggunaan bahan dan komponen unsur pembentuknya, serta kuantitas dan kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah terbakarnya sedang sebagaimana angka klasifikasi risiko bahaya kebakaran 5;

c. bangunan gedung risiko kebakaran tinggi berupa bangunan gedung yang karena fungsinya, disain, penggunaan bahan dan komponen unsur pembentuknya, serta kuantitas dan kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah terbakarnya tinggi hingga sangat tinggi meliputi angka klasifikasi risiko bahaya kebakaran 3 dan 4; dan

d. angka klasifikasi risiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(6) Tingkat kepadatan berdasarkan klasifikasi lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ditetapkan dengan ketentuan minimal:

a. bangunan gedung di lokasi renggang (KDB sampai dengan 30%) yang terletak di daerah pinggiran/luar kawasan perkotaan atau daerah yang berfungsi sebagai resapan;

b. bangunan gedung di lokasi sedang (KDB di atas 30%-60%) yang terletak di daerah permukiman;

c. bangunan gedung di lokasi padat (KDB di atas 60%-100%) yang terletak di daerah perdagangan/pusat kawasan perkotaan.

(7) Tingkat ketinggian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi:

(15)

15 a. bangunan gedung rendah dengan jumlah lantai bangunan

gedung sampai dengan 4 (empat) lantai;

b. bangunan gedung sedang dengan jumlah lantai bangunan gedung 5 (lima) lantai sampai dengan 8 (delapan) lantai; c. bangunan gedung tinggi dengan jumlah lantai bangunan

gedung lebih dari 8 (delapan) lantai;

d. jumlah lantai besmen tidak dihitung sebagai jumlah lantai bangunan gedung; dan

e. tinggi ruangan lebih dari 5 (lima) meter dihitung sebagai 2 (dua) lantai.

(8) Kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g meliputi:

a. kepemilikan oleh Negara, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten, serta kepemilikan oleh yayasannya; b. kepemilikan oleh perorangan serta kepemilikan oleh

yayasannya; dan

c. kepemilikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan kepemilikan oleh badan usaha swasta, serta yayasannya;

(9) Selain klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bangunan gedung diklasifikasikan atas:

a. bangunan gedung dengan masa pemanfaatan sementara jangka pendek maksimum 6 (enam) bulan meliputi bangunan gedung untuk anjungan pameran, dan percontohan skala penuh;

b. bangunan gedung dengan masa pemanfaatan sementara jangka menengah maksimum 3 (tiga) tahun meliputi bangunan gedung kantor proyek, dan gudang proyek; dan c. bangunan gedung tetap dengan masa pemanfaatan lebih dari

3 (tiga) tahun selain dari sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.

(10) Tabel Klasifikasi Bangunan Gedung pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 8

(1) Penentuan Klasifikasi Bangunan Gedung atau bagian dari gedung ditentukan berdasarkan fungsi yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan atau perubahan yang diperlukan pada Bangunan Gedung.

(2) Fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR, dan/atau RTBL.

(3) Fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh Pemilik bangunan gedung dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung melalui pengajuan permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung.

(4) Penetapan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui penerbitan IMB berdasarkan RTRW, RDTR

(16)

16 dan/atau RTBL, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Menteri.

(5) Tata cara penetapan klasifikasi bangunan gedung diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat

Perubahan Fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung Pasal 9

(1) Fungsi dan/atau Klasifikasi bangunan gedung dapat diubah dengan mengajukan permohonan IMB baru.

(2) Perubahan fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis Bangunan Gedung sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL.

(3) Perubahan fungsi dan/atau Klasifikasi bangunan gedung harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung yang baru serta perubahan data fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung.

(4) Perubahan fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dalam dokumen IMB yang baru, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Menteri;

(5) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IV

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Umum Pasal 10

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi Bangunan Gedung.

(2) Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:

a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. status kepemilikan bangunan gedung, serta c. IMB.

(3) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi:

a. persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang terdiri atas: 1) persyaratan peruntukan lokasi;

2) intensitas bangunan gedung; 3) arsitektur bangunan gedung;

4) pengendalian dampak lingkungan untuk bangunan gedung tertentu; serta

5) rencana tata bangunan dan lingkungan, untuk kawasan yang termasuk dalam Peraturan Bupati tentang RTBL.

(17)

17 b. persyaratan keandalan bangunan gedung terdiri atas:

1) persyaratan keselamatan; 2) persyaratan kesehatan;

3) persyaratan kenyamanan; serta 4) persyaratan kemudahan.

Bagian Kedua

Persyaratan Administratif Paragraf 1

Status Hak atas Tanah Pasal 11

(1) Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain. (2) Bukti status hak tanah yang diakui sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diwujudkan dalam bentuk dokumen berupa: a. sertifikat hak atas tanah;

b. surat kaveling dari Pemerintah Daerah, atau Pemerintah; c. girik/petuk/akta jual beli yang sah disertai surat pernyataan

pemilik bahwa tidak dalam status sengketa yang diketahui oleh pemerintah setempat;

d. surat bukti kepemilikan tanah lainnya yang dianggap sah berdasarkan peraturan yang berlaku.

(3) Pada pembangunan bangunan gedung di atas/bawah lahan yang pemiliknya pihak lain, pemilik bangunan gedung harus membuat perjanjian pemanfaatan tanah secara tertulis dengan pihak pemilik tanah.

(4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memuat paling sedikit:

a. hak dan kewajiban parapihak; b. luas, letak, dan batas-batas tanah; c. fungsi bangunan gedung; dan d. jangka waktu pemanfaatan tanah.

(5) Pemerintah Daerah melakukan monitoring dan pengawasan atas pemanfaatan tanah terkait dengan status hak atas tanah.

Paragraf 2

Status Kepemilikan Bangunan Gedung Pasal 12

(1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.

(2) Penetapan status kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat proses IMB dan/atau pada saat pendataan bangunan gedung, sebagai sarana tertib

(18)

18 pembangunan, tertib pemanfaatan dan kepastian hukum atas kepemilikan bangunan gedung.

(3) Status kepemilikan bangunan gedung adat pada masyarakat hukum adat ditetapkan oleh masyarakat hukum adat bersangkutan berdasarkan norma dan kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

(4) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.

(5) Pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung kepada pihak lain harus dilaporkan kepada Bupati untuk diterbitkan surat keterangan bukti kepemilikan bangunan gedung baru.

(6) Pengalihan hak kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh Pemilik bangunan gedung yang bukan pemegang hak atas tanah, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan pemegang hak atas tanah.

(7) Tata cara pembuktian kepemilikan bangunan gedung kecuali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) Bentuk dan substansi/data dalam sertifikat kepemilikan bangunan gedung mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3

Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) Pasal 13

(1) Setiap perorangan/badan yang mendirikan bangunan gedung wajib memiliki dokumen IMB dari Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah Daerah wajib memberikan secara cuma-cuma keterangan rencana kabupaten untuk lokasi yang dimaksud oleh pemohon akan dibangun.

(3) Keterangan rencana kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang direncanakan meliputi:

a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi yang bersangkutan;

b. ketinggan maksimum bangunan gedung yang diizinkan; c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan

tanah dan KTB yang diizinkan;

d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;

e. KDB maksimum yang diizinkan; f. KLB maksimum yang diizinkan; g. KDH minimum yang diwajibkan; h. KTB maksimum yang diizinkan; dan i. jaringan utilitas kota; dan

j. dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan.

(19)

19 (4) Bupati menerbitkan IMB atas permohonan untuk kegiatan

meliputi:

a. pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana bangunan gedung baru;

b. rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung, meliputi perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan/pengurangan; dan

c. pelestarian/pemugaran dengan mendasarkan pada surat Keterangan Rencana Kabupaten (advise planning) untuk lokasi yang bersangkutan.

(5) Setiap rehabilitasi sedang dan rehabilitasi berat serta renovasi bangunan gedung, dan/atau prasarana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c untuk perubahan fungsi bangunan gedung wajib kembali memiliki dokumen baru IMB.

(6) Bangunan Gedung yang karena faktor budaya atau tradisi setempat harus dibangun di atas air sungai, air laut, air danau harus mendapatkan izin dari Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

(7) Bangunan Gedung yang terletak di kawasan rawan bencana alam harus mengikuti persyaratan yang diatur dalam Keterangan Rencana Kabupaten.

(8) IMB merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum dari Pemerintah Daerah.

Paragraf 4

Bangunan Gedung di Bawah Tanah atau di Atas dan/atau di Bawah Air atau di Atas dan/atau di Bawah Prasarana dan Sarana Umum dan pada Daerah Hantaran Udara Listrik Tegangan Tinggi

atau Ekstra Tinggi atau Ultra Tinggi dan/atau Menara Telekomunikasi dan/atau Menara Air

Pasal 14

(1) Permohonan IMB untuk bangunan gedung yang dibangun di bawah tanah atau di atas dan/atau di bawah air atau di atas dan/atau di bawah prasarana dan sarana umum dan pada daerah hantaran udara listrik tegangan tinggi atau ekstra tinggi atau ultra tinggi dan/atau menara telekomunikasi dan/atau menara air harus mendapatkan persetujuan dari intansi terkait.

(2) IMB untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat Pertimbangan Teknis TABG dan dengan mempertimbangkan pendapat masyarakat. (3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib mengikuti Standar Teknis dan pedoman yang terkait.

Pasal 15

(1) Bangunan gedung di kawasan pesisir dan/atau ruang sempadan pantai meliputi:

(20)

20 a. bangunan gedung dengan konstruksi nir-rekayasa teknis

(non-engineered) sebagai bangunan gedung fungsi hunian rumah

masyarakat hukum adat dan nelayan tradisional yang dibangun dengan prinsip kearifan lokal atau tradisi untuk memenuhi kebutuhan sesuai kondisi fisik lingkungan alam; dan

b. bangunan gedung dengan konstruksi rekayasa teknis

(engineered) meliputi bangunan gedung berbagai fungsi

masing-masing yang dibangun dengan teknologi konstruksi sesuai persyaratan teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2) Bangunan gedung nir-rekayasa teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki ciri-ciri khas meliputi:

a. konstruksi panggung dengan tiang kaki dan dinding berbahan kayu;

b. terletak sebagian/seluruhnya di pantai yang tidak bervegetasi dan/atau sebagian/seluruhnya di atas bidang permukaan air; c. dekat dan/atau langsung memiliki akses dengan sumber mata

pencaharian;

d. mengelompok, dan antar rumah dihubungkan dengan prasarana berupa jalan pelantar; dan

e. tidak memiliki prasarana sanitasi mandiri atau kelompok. (3) Bangunan gedung rekayasa teknis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b memiliki ciri-ciri meliputi:

a. konstruksi rangka dan/atau tiang kaki beton bertulang atau baja; dan

b. dinding luar pasangan bata atau bahan berbasis semen. Pasal 16

(1) Kepemilikan bangunan gedung di kawasan pesisir dan/atau ruang sempadan pantai meliputi:

a. milik masyarakat hukum adat; b. milik masyarakat tradisional; c. milik masyarakat lokal; dan d. milik Pemerintah.

(2) Bangunan gedung milik masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi bangunan gedung fungsi hunian dan/atau fungsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dan ayat (2), untuk keperluan adat yang dimanfaatkan secara turun-temurun.

(3) Bangunan gedung milik masyarakat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dan ayat (2), yang dimanfaatkan secara turun-temurun.

(4) Bangunan gedung milik masyarakat lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bangunan gedung berbagai fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan ayat (3).

(21)

21 (5) Bangunan gedung milik pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi bangunan gedung sosial dan budaya fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan ayat (3).

Pasal 17

(1) Status bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 yang berada di kawasan pesisir tertentu meliputi: a. bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung

masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional di kawasan yang ditetapkan sebagai bagian dari kawasan konservasi; dan

b. bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung yang ditetapkan sebagai bangunan gedung yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung di kawasan yang ditetapkan bersifat sementara oleh Pemerintah Daerah.

(2) Bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibina oleh Pemerintah Daerah untuk memenuhi persyaratan administratif.

(3) Bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk memperoleh IMB wajib memenuhi persyaratan:

a. lokasinya pada kawasan yang ditetapkan sesuai struktur ruang dan pola ruang di kawasan pesisir dan sempadan pantai berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. memiliki izin prinsip; c. memiliki izin lokasi;

d. memiliki AMDAL, atau UKL, atau UPL; dan

e. di lokasi yang memiliki status hak atas tanah dan/atau bidang permukaan air dari instansi yang berwenang

(4) Pemilik bangunan gedung rekayasa teknis yang telah berdiri (existing) wajib mengurus SLF bangunan gedung terlebih dahulu untuk memperoleh IMB.

(5) Tata cara pengurusan IMB untuk bangunan gedung diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga Persyaratan Teknis

Paragraf 1

Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan Pasal 18

Dalam penyelenggaraan bangunan gedung wajib mengikuti persyaratan tata bangunan dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (3) huruf a meliputi persyaratan peruntukan dan

(22)

22 intensitas bangunan gedung, persyaratan arsitektur bangunan gedung, persyaratan pengendalian dampak lingkungan dan RTBL.

Paragraf 2

Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung Pasal 19

(1) Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang telah ditetapkan dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL.

(2) Pemerintah Daerah wajib memberikan informasi mengenai RTRW, RDTR dan/atau RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara cuma-cuma.

(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi keterangan mengenai peruntukan lokasi, intensitas bangunan yang terdiri dari kepadatan bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan.

(4) Bangunan gedung yang dibangun:

a. di atas prasarana dan sarana umum; b. di bawah prasarana dan sarana umum; c. di bawah atau di atas air;

d. di daerah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi; e. di daerah yang berpotensi bencana alam; dan

f. di Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP); harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memperoleh pertimbangan serta persetujuan dari Pemerintah Daerah dan/atau instansi terkait lainnya.

(5) Peruntukan lokasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 20

(1) Dalam hal terjadi perubahan RTRW, RDTR dan/atau RTBL yang mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang baru harus disesuaikan.

(2) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah memberikan penggantian yang layak kepada Pemilik bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

(1) Bangunan gedung yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan intensitas bangunan gedung yang meliputi persyaratan kepadatan, ketinggian dan jarak bebas bangunan gedung, kemiringan lereng/lahan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam RTRW, RDTR, dan/atau RTBL.

(2) Kepadatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan KDB dan KDH.

(23)

23 (3) Ketinggian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan tentang jumlah lantai bangunan, tinggi bangunan dan KLB.

(4) Ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh mengganggu lalu lintas penerbangan.

(5) Jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan tentang Garis Sempadan Bangunan Gedung dan jarak antara bangunan gedung dengan batas persil, jarak antarbangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman.

(6) Persyaratan intensitas bangunan gedung untuk suatu lokasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 22

(1) Persyaratan kepadatan bangunan gedung sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) merupakan ketentuan maksimal kepadatan rencana yang ditetapkan untuk lokasi renggang, lokasi sedang dan lokasi padat.

(2) KDB ditentukan atas dasar kepentingan daya dukung lingkungan, pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan.

(3) Kepadatan rencana untuk lokasi renggang atau KDB sampai dengan 30% sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam RDTR, dan/atau RTBL.

(4) Kepadatan rencana untuk lokasi sedang atau KDB di atas 30% sampai dengan 60% sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam RDTR, dan/atau RTBL.

(5) Kepadatan rencana untuk lokasi padat atau KDB di atas 60% sampai dengan 100% sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam RDTR, dan/atau RTBL.

(6) Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain, ditentukan KDB maksimum 60%.

(7) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada pemilik bangunan gedung yang tidak memanfaatkan tanah dengan KDB maksimum dan/atau memberikan sebagian area tanahnya untuk kepentingan umum.

(8) Kriteria dan prosedur pemberian insentif diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 23

(1) KDH ditentukan atas dasar kepentingan daya dukung lingkungan, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, kesehatan dan kenyamanan bangunan.

(2) Ketentuan besarnya KDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL

(24)

24 dan/atau pengaturan sementara persyaratan intensitas bangunan gedung dalam Peraturan Bupati.

(3) Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain, maka KDH minimum 30%.

Pasal 24

(1) KLB ditentukan atas dasar daya dukung lingkungan, pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum.

(2) Penghitungan intensitas bagunan gedung yang terkait dengan dengan KDB dan KLB dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Perhitungan luas lantai diperhitungkan sampai batas dinding terluar;

b. Luas lantai ruangan beratap yang mempunyai dinding lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut, dihitung penuh 100%;

c. Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau mempunyai dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruang, dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan;

d. Overstek atap yang melebihi 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya tersebut dianggap sebagai luas lantai denah; e. Luas lantai ruangan yang mempunyai tinggi dinding lebih dari

1,20 m di atas lantai ruangan dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dengan KDB yang ditetapkan, sedangkan luas lantai ruangan selebihnya dihitung 100%;

f. Teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai teras, tidak diperhitungkan;

g. Luas lantai bangunan yang digunakan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam perhitungan KLB asal tidak melebihi 50% dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan 50% terhadap KLB.

Pasal 25

(1) Jumlah lantai Bangunan Gedung dan tinggi bangunan gedung ditentukan atas dasar pertimbangan lebar jalan, fungsi bangunan, keselamatan bangunan, keserasian dengan lingkungannya serta keselamatan lalu lintas penerbangan.

(2) Bangunan Gedung dapat dibuat bertingkat ke bawah tanah sepanjang memungkinkan untuk itu dan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang undangan.

(3) Ketinggian bangunan gedung merupakan ketentuan maksimal ketinggian rencana yang ditetapkan untuk lokasi-ketinggian rendah, lokasi-ketinggian sedang, dan lokasi-ketinggian tinggi. (4) Dalam hal perhitungan bangunan, apabila jarak vertikal dari

(25)

25 meter), maka ketinggian bangunan tersebut dianggap sebagai suatu lantai.

(5) Lantai mezzanine dihitung dalam ketentuan intensitas ruang; (6) Terhadap bangunan tempat ibadah, gedung pertemuan, gedung

pertunjukan, gedung sekolah, bangunan monumental, gedung olahraga, bangunan serba guna, bangunan industri dan bangunan sejenis lainnya tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (4).

(7) Ketinggian bangunan gedung dan bangunan-bangunan pada kawasan keselamatan penerbangan, harus memenuhi persyaratan sesuai batas-batas yang ditetapkan dalam Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP).

(8) Ketinggian bangunan gedung tidak diperkenankan mengganggu jaringan telekomunikasi.

(9) Penambahan lantai dan/atau tingkat pada suatu bangunan gedung hanya dapat dilakukan apabila masih memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tidak melebihi KLB.

(10) Penambahan lantai dan/atau tingkat sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus disertai dengan penyesuaian fasilitas pendukung bangunan gedung dan serasi dengan lingkungan.

Pasal 26

(1) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung merupakan ketentuan minimal untuk garis sempadan bangunan gedung, jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antar bangunan gedung yang diizinkan.

(2) Garis sempadan bangunan ditentukan atas pertimbangan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keserasian dengan lingkungan dan ketinggian bangunan.

(3) Garis sempadan bangunan meliputi ketentuan mengenai jarak bangunan gedung dengan batas ruang milik jalan atau pagar depan halaman, tepi sungai, tepi pantai, rel kereta api dan/atau jaringan listrik tegangan tinggi, dengan mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan yang diberlakukan per kapling/persil dan/atau per kawasan.

(4) Garis sempadan bangunan meliputi garis sempadan bangunan untuk bagian muka, samping, dan belakang.

(5) Penetapan garis sempadan bangunan berlaku untuk bangunan di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah (besmen).

(6) Penetapan jarak bangunan gedung dengan batas ruang milik jalan atau pagar depan halaman untuk di bawah permukaan tanah didasarkan pada pertimbangan keberadaan atau rencana jaringan pembangunan utilitas umum.

(26)

26 Pasal 27

(1) Garis sempadan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) terhadap batas ruang milik jalan atau pagar depan halaman, jika tidak ditentukan lain, ditetapkan dengan ketentuan minimal:

a. untuk bangunan gedung di tepi jalan arteri primer yang berstatus jalan nasional, ditetapkan 8 (delapan) meter untuk garis sempadan jalan 15 (lima belas) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan; dan

b. untuk bangunan gedung di tepi jalan kolektor primer yang berstatus jalan provinsi, ditetapkan 3 (tiga) meter untuk garis sempadan jalan 10 (sepuluh) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan.

(2) Jika ruang milik jalan tidak cukup luas, garis sempadan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap batas ruang milik jalan atau pagar depan halaman, jika tidak ditentukan lain, ditetapkan dengan ketentuan minimal:

a. untuk bangunan gedung di tepi jalan arteri primer yang berstatus jalan nasional, ditetapkan 13 (tiga belas) meter untuk garis sempadan jalan 15 (lima belas) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan; dan

b. untuk bangunan gedung di tepi jalan kolektor primer yang berstatus jalan provinsi, ditetapkan 8 (delapan) meter untuk garis sempadan jalan 10 (sepuluh) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan.

(3) Garis sempadan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap batas ruang milik jalan atau pagar depan halaman, jika tidak ditentukan lain, ditetapkan dengan ketentuan minimal:

a. untuk bangunan gedung di tepi jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan Nasional, ditetapkan 3 (tiga) meter untuk garis sempadan jalan 10 (sepuluh) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan;

b. untuk bangunan gedung di tepi jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan provinsi, ditetapkan 8 (delapan) meter untuk garis sempadan jalan 10 (sepuluh) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan; dan

c. untuk bangunan gedung di tepi jalan lokal primer yang berstatus jalan kabupaten, ditetapkan 5 (lima) meter untuk garis sempadan jalan 7 (tujuh) meter yang diukur dari batas tepi badan jalan.

(4) untuk bangunan gedung di tepi jalan, dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, untuk garis sempadan jalan diukur dari batas tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut: a. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;

b. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter; c. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;

d. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter; e. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;

(27)

27 f. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;

g. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;

h. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan

i. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.

(5) Ketentuan besarnya jarak bangunan gedung dengan batas ruang milik jalan atau pagar depan halaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL dan/atau persyaratan intensitas bangunan gedung dalam Peraturan Bupati.

(6) Kawasan-kawasan tertentu dan spesifik ditetapkan oleh Bupati. Pasal 28

(1) Penetapan garis sempadan bangunan gedung terhadap tepi sungai, waduk/kolong, mata air, tepi pantai, jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang menangani jaringan utilitas tersebut.

(2) Penetapan garis sempadan bangunan gedung sepanjang sungai atau garis sempadan sungai, dapat digolongkan dalam:

a. garis sempadan sungai bertanggul diluar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima) meter dengan perhitungan besaran garis sempadan dihitung sepanjang kaki tanggul sebelah luar.

b. garis sempadan sungai bertanggul dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter dengan perhitungan besaran garis sempadan dihitung sepanjang kaki tanggul sebelah luar.

c. daratan sepanjang tepian sungai sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dari tepi sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar 3 meter dan;

d. daratan sepanjang tepian sungai sekurang-kurangnya 15 (lima belas) meter dari tepi sungai mempunyai kedalaman antara 3 (tiga) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter. e. garis sempadan sungai yang terletak di kawasan lindung,

perhitungan garis sempadan sungai didasarkan pada fungsi kawasan, besar kecilnya sungai, dan pengaruh pasang surut air laut pada sungai yang bersangkutan.

(3) Ruang sempadan waduk/kolong ditetapkan selebar 50 (lima puluh) meter dari muka air tertinggi.

(4) Kawasan sekitar mata air ditetapkan dengan radius 100 (seratus) meter dari mata air.

(5) Penetapan garis sempadan bangunan gedung sepanjang pantai atau garis sempadan pantai, dapat digolongkan dalam:

a. Daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya landai berlaku ketentuan sebagai berikut:

1. Daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 30 (tiga puluh) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat pada kawasan permukiman; dan

(28)

28 2. Daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 50 (lima puluh) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat pada kawasan non permukiman.

b. Daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal disesuaikan secara proporsional. (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan/penetapan garis sempadan sungai, waduk/kolong, mata air dan pantai/laut sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berdasarkan ketentuan dalam RDTR, dan/atau RTBL. (7) Garis sempadan bangunan gedung terhadap jalur SUTET dan

SUTT ditetapkan berdasarkan ketentuan dari instansi yang berwenang.

(8) Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah didasarkan pada jaringan utilitas umum yang ada atau yang akan dibangun harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang menangani utilitas tersebut.

(9) Kawasan sempadan sungai, waduk/kolong, mata air dan pantai/laut yang sudah terbangun akan ditata dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 3

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 29

Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta memperimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-nilai adat/tradisional sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.

Pasal 30

(1) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 disesuaikan dengan penetapan tema arsitektur bangunan di dalam peraturan zonasi dalam RDTR dan/atau RTBL.

(2) Penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur, dan lingkungan yang ada di sekitarnya serta dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian.

(3) Penampilan bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan Bangunan Gedung yang dilestarikan, harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah estetika bentuk dan karakteristik dari arsitektur bangunan gedung yang dilestarikan.

(29)

29 Pasal 31

(1) Bentuk denah bangunan gedung sedapat mungkin simetris dan sederhana guna mengantisipasi kerusakan akibat bencana alam gempa.

(2) Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur di sekitarnya dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya.

(3) Bentuk denah bangunan gedung adat atau tradisional harus memperhatikan sistem nilai dan kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakat adat bersangkutan.

(4) Atap dan dinding bangunan gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan yang aman dari kerusakan akibat bencana alam.

Pasal 32

(1) Persyaratan tata ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur Bangunan Gedung, dan keandalan Bangunan Gedung. (2) Bentuk bangunan gedung harus dirancang agar setiap ruang dalam dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan penghawaan alami, kecuali fungsi bangunan gedung yang memerlukan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan. (3) Ruang dalam bangunan gedung harus mempunyai tinggi yang

cukup sesuai dengan fungsinya dan arsitektur bangunannya. (4) Perubahan fungsi dan penggunaan ruang bangunan gedung atau

bagian bangunan gedung harus tetap memenuhi ketentuan penggunaan bangunan gedung dan dapat menjamin keamanan, keselamatan bangunan dan kebutuhan kenyamanan bagi penghuninya.

Pasal 33

(1) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya yang diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana luar bangunan gedung.

(2) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Persyaratan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP); b. Persyaratan ruang sempadan bangunan gedung;

c. Persyaratan tapak besmen terhadap lingkungan; d. Ketinggian pekarangan dan lantai dasar bangunan; e. Daerah hijau pada bangunan;

Gambar

TABEL KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG
TABEL TINGKAT RISIKO KEBAKARAN BANGUNAN GEDUNG
TABEL TINGKAT RISIKO KEBAKARAN BANGUNAN GEDUNG  BANGUNAN DENGAN ANGKA KLASIFIKASI RISIKO KEBAKARAN
TABEL INDEKS TERINTEGRASI PENGHITUNGAN BESARNYA   RETRIBUSI IMB UNTUK BANGUNAN GEDUNG
+2

Referensi

Dokumen terkait

adanya saluran air yang mengalirkan Air limbah rumah tangga yang berasal dari Kamar mandi, tempat cucian pakaian maupun dari dapur menuju ke drainase atau

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil bahwa variabel kecukupan modal dan tingkat penyaluran kredit secara bersama-sama mempengaruhi laba

Perangkat tersebut terdiri dari : rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kegiatan siswa, dan tes hasil belajar, yang secara lengkap dapat dilihat pada lampiran A

(1) Persyaratan ruang sempadan depan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b harus mengindahkan keserasian lansekap pada ruas jalan yang terkait

(2) Pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan dengan Keputusan Direksi berdasarkan pertimbangan Dewan Pengawas, dan penegasan dari

limnocharis Malaysia dan Jepang dan Fauzan (2009) telah melaporkan bahwa secara morfometri salah satu genus dari Famili Ranidae yang terdapat di Sumatera

Dalam agenda Conference beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah item mengenai kesiapan Suriah menjadi tuan rumah sidang the 8 th Conference of PUIC,

Pada ekstraksi asam asetat dengan pela rut organik, dalam hal ini pelarut organik rut organik, dalam hal ini pelarut organik yang yang digunakan adalah kloroform (CHCl3) diawali