Jurnal Sainstek, Vol 8 No. 1, Juni 2009
BIODIVERSITAS MANGROVE DI CAGAR ALAM PULAU SEMPU
Hari Sulistiyowati1
Abstract: The research project about species diversity of mangrove forests at The Sempu Island, Malang County was
done to study species composition, density and domination of mangroves. The mangrove species were collected by using a combination of transect and plotting methods. The 10x 10 m plots were placed on the transects. Eight mangrove species were found in coastal areas of Sempu Island. All those species show a complexity forest caused by their roots and canopies stratifications. These eight mangrove species are belonging to three divisions of Rhizophoraceae, Myrsinaceae and Euphorbiaceae. Among the mangrove species, Rhizophora apiculata was the dominant species (Value Index=122, 36%) while the codominan species was Ceriops decandra (Value Index =57, 93%). R. apiculata was highly distributed at the coastal areas (32, 14%) followed by C. decandra (21, 43%), Ceriops tagal C.B. Rob. (14, 28%) and Aegiceras corniculatum Blanco (10, 71%). The biodiversity index of the mangrove forest is low (0, 49.) However, the existence of all those mangroves is very important especially as green belt and nursery or hatching areas for others.
Key words: mangrove, biodiversity
PENDAHULUAN
Hutan Mangrove terdiri atas berbagai kelompok tumbuhan seperti pohon, semak, palmae, dan paku-pakuan yang beradaptasi terhadap habitat yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut between (Sugianto, 1995). Sekarang ini di Pulau jawa hanya tingga sekitar 49.900 ha of hutan mangrove dan hanya 7.700 ha berada di sebalah Timur (Chong, et al. 1990). Ada sekitar 35 species ditemukan di Pulau-pulau Jawa dan Bali (Whitten et.al., 1999). Jenis-jenis tersebut diklasifikasikan
ke dalam famili Rhizophoraceae,
Aviciniaceae, and Sonneratiaceae. Jenis-jenis asosiasi lainnya antara lain
Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Lumnitzera sp., Phempis acidula, and Exoecaria agallocha.
Keberadaan hutan mangrove di ekosistem sangat penting karena mereka memiliki potensi ekologis dan ekonomi. Hutan mangrove memiki peran penting sebagai nursery area dan habitat dari berbagai macam ikan, udang, kerang-kerang dan lain-lain. Di hutan ini pula banyak sumber-sumber nutrient yang penting sebagai sumber makanan banyak species khususnya jenis migratory seperti burung-burung pantai. Hutan mangrove juga berperan sebagai green belt yang melindungi pantai dari erosi karena gelombang laut atau badai tsunami juga memerangkap sediment sebagai aktivitas
akresi. Lebih lanjut, mangrove memberikan
kontribusi yang signifikan pada
produktifitas estuarine dan pesisir melalui aliran energi dari proses dekomposisi serasah. Rantai makanan yang tergantung pada mikroba dan hasil dekomposisi tumbuhan sangat mendukung berbagai jenis hewan yang tinggal di dalamnya. Dan habitat yang ada di sekitarnya (BAPEDAL, 1995; Whitten et.al., 1999). Namun demikian karena keberadaannya di daerah pasang surut maka jenis-jenis mangrove harus mampu beradaptasi pada kondisi salinitas 0-35% dan juga kekeringan selama periode surutnya air laut.
Keberadaan hutan mangrove
sekarang ini cukup mengkhawatirkan karena ulah manusia untuk kepentingan konversi
lahan sebagai tambak, pemukiman,
perhotelan, ataupun tempat wisata. Oleh karena itu sepanjang pesisir utara Jawa hutan-hutan mangrove ditebang secara legal maupun illegal. Aktivitas ini mampu menurunkan populasi mangrove hingga lebih dari 50% dalam kurun waktu 30 tahun. Hutan mangrove yang tersisa sebagian besar hanyalah yang ada di kawasan konservasi seperti Taman Nasional atau Cagar Alam. Salah satu kawasan yang masih memiliki hutan mangrove adalah Pulau Sempu. Pulau ini berada di lautan Samudera Indonesia dan secara administratif berada di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing wetan, Kabupaten Malang
Jurnal Sainstek, Vol 8 No. 1, Juni 2009
(DEPHUT, tth). Cagar Alam Sempu merupakan sumberdaya alam Indonesia yang unik karena terbentuk dari karang terangkat atau Atoll. Namun demikian kawasan ini seringkali digunakan sebagai area tempat latihan perang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berdampak pada rusaknya ekosistem hutan disini khususnya mangrove yang berada pada formasi depan ekosistem daratan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji keanekaragaman mangrove yang tumbuh di Pulau Sempu. Hal ini penting sebagai upaya eksplorasi, pelestarian, dan pengelolaannya di kemudian hari sehingga biodiversitasnya tetap terjaga.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei-Oktober 2005 di tiga lokasi yaitu Pantai Raas, AirTawar and Semut. Pengumpulan data dilakukan dengan metode plot dengan menggunakan plot yang berukuran 10 x 10m. Plot-plot diletakkan di sepanjang transek yang diletakkan sejajar garis pantai.
Setiap jenis mangrove yang ditemukan diidentifikasi, diukur diameter batangnya pada ketinggian 1,30 cm setinggi dada, selanjutnya masing-masing jenis diambil specimennya untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Selanjutnya data dianalisis berdasarkan penghitungan densitas, frekuensi, dan dominansi. Semua nilai relative dari ketiga penghitungan tersebut dijumlah untuk mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP): Penutupan relatif jenis a + Kerapatan relatif jenis a+ Frekuensi relatif jenis a
INP selanjutnya digunakan untuk
menentukan dominasi jenisnya. Untuk
mengetahui keanekaragaman jenis
mangrovenya digunakan rumus indeks diversitas Shanon-Wiener (Kent, Martin, dan Coker, 1992):
s
H = - (ni/N) log (ni/N) i=1
H = Indeks Shanon; ni = Jumlah tiap jenis N = Total jenis
Gambar 1. Lokasi pengambilan data
Jurnal Sainstek, Vol 8 No. 1, Juni 2009
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada delapan jenis tumbuhan mangrove yang ada di Pulau Sempu, kesemuanya tersebar di tiga pantai yaitu Raas, Air Tawar dan Semut (Tabel 1). Dua jenis di antaranya yaitu Bruguiera sexangula and A. corniculatum merupakan jenis
endemik dan berstatus rare species. Kedelapan jenis yang ada tergolong ke dalam tiga famili yaitu Myrsinaceae, Rhizophoraceae, dan Euphorbiaceae. Penemuan ini cukup penting mengingat untuk luasan pantai yang terbatas. Selain itu
Tabel 1. Komposisi jenis mangrove di cagar Alam Pulau Sempu
NO. NAMA JENIS NAMA DAERAH FAMILI
1 Aegiceras corniculatum Blanco. gedangan Myrsinaceae 2 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. tanjang Rhizophoraceae
3 Bruguiera sexangula tanjang Rhizophoraceae
4 Ceriops decandra tenggar Rhizophoraceae
5 Ceriops tagal C.B. Rob. tenggar Rhizophoraceae
6 Excoecaria agallocha L. kayu buta Euphorbiaceae
7 Rhizophora apiculata bakau Rhizophoraceae
8 Rhizophora mucronata Lamk. bakau Rhizophoraceae
Tabel 2. Komposisi jenis, Dominasi Relatif (DR), Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan relative (KR), INP dan Indeks Diversitas (H’) mangrove di cagar Alam Pulau Sempu.
Jenis mangrove yang paling dominan di wilayah tersebut adalah Rhizophora apiculata dengan nilai penting 122,36%,
sedangkan kodominannya adalah
Ceriops decandra dengan nilai penting
57,93% (Tabel 2). Walaupun berdasarkan kerapatannya, tingkat kerapatan pohon C.
decandra jauh lebih tinggi yaitu 32
Composition DR FR KR INP H’
Rhizophora apiculata 67,80 32,14 22,41 122,36 0,11
Ceriops decandra 4,32 21,43 32,18 57,93 0,06
Aegiceras corniculatum Blanco. 2,50 10,71 18,39 31,61 0,04
Excoecaria agallocha L. 10,83 7,14 8,05 26,02 0,10
Rhizophora mucronata Lamk. 10,11 7,14 4,02 21,28 0,10
Ceriops tagal C.B. Rob. 0,89 14,29 5,75 20,93 0,02
Bruguiera gymnorrhiza Lamk. 3,01 3,57 8,05 14,63 0,05
Bruguiera sexangula 0,53 3,57 1,15 5,25 0,01
Jurnal Sainstek, Vol 8 No. 1, Juni 2009
batang/ha. Jumlah ini juga lebih banyak jika dibandingkan dengan kawasan kepulauan Seribu yang hanya memiliki 6 jenis mangrove. Di Jawa-Bali hutan mangrove ini hanya terkonsentrasi di pantai utara Jawa dan pulau-pulau kecil di Bali, bahkan di Jawa Timur luasnya hanya tinggal 7.750 ha atau bahkan 500 ha saja (BAPPENAS, 2003). Lebih ironis lagi menurut World Bank (2001) setiap tahunnya hutan
mangrove di Indonesia mengalami
penurunan luas dengan laju penurunanan sebesar 43% per tahunnya. dibandingkan dengan R. apiculata yaitu 22 batang/ha. Namun perlu diketahui bahwa jenis ini memiliki keistimewaan dalam pembentukan akar tunjang yang cukup rapat, yang dalam perkembangannya perakaran ini bisa menyamai basal area batangnya.
R. apiculata juga terdistribusi hampir 32,14% di seluruh wilayah hutan mangrove diikuti oleh C. decandra
(21,43%), C. tagal C.B. Rob. (14,28%) dan
Aegiceras corniculatum Blanco. (10,71%).
Hal ini lebih dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi kelompok jenis R. apiculata memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi selain itu juga hipokotilnya yang lebih
pendek dan ramping dibandingkan
kelompok rhizoporaceae lainnya
memungkinnya untuk terbawa oleh air laut (Percival and Womersley, 1975). Hal ini menunjukkan bahwa penancapan akar
propagule pada substrat merupakan periode
paling kritis dalam siklus hidup tumbuhan mangrove. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya pergerakan air (Clarke, 1993 dalam
Thampanya, 2006) dan kondisi substrat (Bosire et al., 2003 dalam Thampanya, 2006).
Kemampuan tumbuh mangrove saat dewasa berbeda dibandingkan dengan propagulenya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thampanya et al. (2006 dalam Thampanya 2006), propagule yang telah menjadi tunas hanya memiliki daya hidup sebesar 8-40 % dalam 1 tahun siklus kehidupannya. Pertumbuhan tunas tesebut
salinitas, curah hujan, nutrisi, sedimentasi dan herbivor (Thampanya dan Vermaat, 2006 dalam Thampanya, 2006). Saat
pertumbuhan kearah kedewasaanpun
mangrove masih dihadapkan pada tekanan-tekanan lingkungan. Secara anthropogenik penebangan yang dilakukan oleh masyarakat untuk kayu baker berpengaruh terhadap jumlah dan pertumbuhan individunya. Secara alamiah, hantaman gelombang, salinitas, dan cemaran air laut ikut berperan dalam proses pertumbuhan mangrove. Oleh karena itu pertumbuhan dan perkemabngan mangrove lebih lambat dibandingkan dengan tumbuhan yang lain.
Secara umum keanekaragaman jenis mangrove di Pulau Sempu adalah rendah (),49) yang berarti bahwa keberadaan dan distribusi masing-masing jenis secara individual terbatas (rata-rata frekuensi relative adalah 12,5%, table 2). Rendahnya nilai indeks keanekaragaman ini juga dipengaruhi factor anthropogenic yang berdasarkan pengamatan langsung terjadi penebangan, selain itu juga luasan ketiga pantai sangat terbatas. Namun demikian keberadaan hutan mangrove tersebut cukup potensi untuk “nursery or hatching area” bagi banyak biota khususnya burung-burung pantai.
KESIMPULAN
Ada delapan jenis mangroves yang tumbuh di tiga lokasi pantai Raas, Air Tawar dan Semut. Jenis-jenis tersebut masuk dalam
tiga famili yaitu Myrsinaceae,
Rhizophoraceae, dan Euphorbiaceae. Hutan ini lebih didominasi oleh pepohonan
khususnya Rhizophora apiculata ,
sedangkan keanekaragamannya rendah yang menunjukkan ekosistem belum stabiil.
DAFTAR PUSTAKA
BAPEDAL, 1995. Menuju Kelestarian
Hutan Mangrove, Surabaya: BAPEDAL Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur-AusAID PCI Project
Jurnal Sainstek, Vol 8 No. 1, Juni 2009
BAPPENAS. 2003. Indonesian biodiversity Strategy and Action Plan Dokumen Regional. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Choong, E. T., R. Sambas Wirakusuma dan
Suminar S. Achmadi. 1990.
Mangrove forest resources in Indonesia. Forest Ecology and Management, 33/34: 45-57.
DEPHUT, tth. Cagar Alam Pulau Sempu. http://www.dephut.go.id/informasi/ propinsi/Jatim/cagaralam_sempu.html -7k
Kent, Martin dan Paddy Coker. 1992.
Vegetation description and analysis: A practical approach. London: Belhaven Press.
Ramli, D. 1989. Ekologi. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Pendidikan
Tinggi.
Percival,M. and Womersley, J.S. 1975. Floristics and Ecology of The Mangrove Vegetation of Papua New Guinea. Botany Bulletin No. 8. Department of Forests Division of Botany Papua New Guinea.
Sugianto, Drs. 1995. Kenallah Flora Pantai Kita. Jakarta: Penerbit Widjaya. Sulistiyowati, Hari. 1994. Analisis Vegetasi
Hutan Mangrove Dengan Pendekatan Hasil Interpretasi Foto Udara
Mangrove Di Taman Nasional
Baluran, Jawa Timur. Jember: Lembaga Penelitian-Universitas Jember
Thampanya, U. 2006. Mangroves and
Sediment Dynamics Along the Coasts of Southern Thailand. Delft,
The Netherlands: Taylor and Francis Publishers.
Whitten, T., R.E. Soeriatmadja, S.A. Afiff. 1999. Seri Ekologi Indonesia Jilid II:
Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta:
Prenhallindo
World Bank 2001. Indonesia: Environment
and natural resource
Management in a Time of Transition. Jakarta: The World Bank.