• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malam kulalui dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya begitu galau, rasanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malam kulalui dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya begitu galau, rasanya"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malam kulalui dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya begitu galau, rasanya begitu kacau, rasanya begitu hampa. Aku hidup dalam kekhawatiran yang aku sendiri tidak pasti tentangnya. Insomnia kembali menghampiriku. Setiap hari aku baru bisa tidur setelah lewat jam dua pagi. Tidur pun rasanya seperti tidak tidur. Rasanya seperti hanya memejamkan kedua mata, tetapi pikiranku tetap terjaga. Tak bisa dipungkiri, meskipun aku berpura-pura seakan tak terjadi apa-apa, tapi rasa itu kerap datang dan kalau sudah begitu akan membunuh selera makanku dengan tiba -tiba.

“Vi…ada apa? Ceritakan padaku… bagi kepedihanmu, kesedihanmu, supaya beban di pundakmu sedikit berkurang.” Lily, sahabatku menepuk pundakku saat mendapatiku tengah duduk diam tanpa melakukan apa-apa.

Aku menatapnya lalu mulai merasa airmataku menetes tanpa bisa kucegah. “Ly… apa aku nggak berhak hidup bahagia?” tanyaku.

“Kamu tuh bicara apa? Tidak ada seorangpun yang tidak boleh bahagia. Gelandangan aja berhak bahagia!” katanya cepat.

“Aku sepertinya nggak pernah boleh merasakan kebahagiaan dalam waktu lama. Baru sebentar bahagia, lalu semuanya berbalik 180 derajat…”

Lily menepuk tanganku yang kini sibuk memilin-milin kertas. “Kebahagiaan itu mungkin memang belum sepenuhnya datang ke kamu, Vi… dan terus terang aja, kamu tidak akan pernah bahagia kalau kamu masih mau maafin si brengsek itu.”

“Lily…” aku menatapnya.

“I mean it, Vi! Aku tuh capek terus menerus melihat kamu selalu disakiti olehnya! Dan kamu selalu maafin si brengsek itu untuk kemudian membiarkannya menyakiti kamu lagi dan lagi…” aku terdiam mendengar kata-kata Lily. “Sudah berkali-kali dia menyakiti kamu, dan kamu masih mau bersamanya. Aku heran kadang-kadang…kenapa kamu bisa bertahan dengan semua kebrengsekannya.”

“Aku sayang padanya, Ly…mungkin kamu benar, aku nggak akan pernah bahagia dengan terus menerus mencintainya…”

“Viany, please…wake up! Lihat apa yang sudah dia lakukan ke kamu! Apa itu namanya cinta?” potong Lily cepat. “Cinta itu tidak menyakiti, kamu tahu itu kan? Cinta itu seharusnya membahagiakan, menentramkan, membuat kamu lebih bersemangat, bukannya seperti sekarang!”

(2)

“Kamu tahu apa masalahku, Ly… sekeras apapun aku berusaha untuk melupakannya, semakin ketakutan itu datang dan membuatku tak tahu harus berbuat apa…sekeras apapun aku tak ingin memaafkannya, semakin tersiksa batinku. Aku juga tak tahu ada apa dengan diriku.” Kataku sambil menyeka airmataku.

“Kamu hanya terlalu mencintainya, Vi…itu saja…” Lily menggenggam tanganku. “Aku tak sanggup membayangkan hidupku tanpa Ferre. Selama ini ia selalu menjadi salah satu bagian dalam hidupku. Aku terbiasa dengan keberadaannya…”

“Aku mengerti, Vi… sangat mengerti…”

“Kalau kamu mengerti, jangan suruh aku berhenti mencintainya…”

“Viany…jalan hidupmu kamu sendiri yang menentukan. Carilah kebahagiaan dirimu sendiri. Karena hanya kamu yang tahu dimana letak kebahagiaan itu. Aku sebagai sahabat kamu hanya bisa mendukung kamu dalam segala hal. You always have me…”

“ya…”

…few months later…

Bulan berganti bulan. Tanpa terasa aku mulai kembali menjalani hidupku selepas semua kejadian yang tidak mengenakkan itu. Luka itu mungkin sudah mengering, tetapi tetap meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. Aku tahu ini semua belum apa-apa. Aku sadar masih harus menyiapkan diriku untuk hal yang lebih buruk lagi seperti yang dibenarkan Alysa, aku pun mengakui fakta bahwa : Ya, Ferre adalah pria yang baik, tapi sekaligus juga ia bukan pria baik-baik… itu kenyataan…

“Aku pulang dua minggu lagi… sabar yah?” kata Ferre suatu hari. “Kontrak kerja kamu sudah selesai?” tanyaku ingin tahu.

“Sudah. Sebenarnya mereka memintaku untuk memperpanjang kontrak setahun atau dua tahun lagi… tapi Papa dan Mama minta aku kembali ke Jakarta…”

Dalam hati aku bersorak senang. “Ya baguslah kalau begitu… Di Jakarta kan juga enak…”

“Lebih enak di sini…” katanya tertawa.

“…yah, di sana memang mungkin jauh lebih enak, kamu bisa dapatkan semua yang kamu mau di sana…”

(3)

“Iya… disini memang jauh lebih enak. Tapi ya sudahlah, mungkin ini memang saatnya aku pulang…” Ferre menarik nafas panjang. “Aku kangen kamu, Vi… nggak sabar rasanya pengen peluk kamu…”

“Aku juga begitu. Sabarlah, dua minggu kan nggak lama…” kataku menenangkan. “Kamu senang nggak aku pulang?”

“Tentu saja! Aku sangat senang, bisa berada dekat lagi dengan kamu…” “Jemput aku di airport yah? Tapi Cuma kamu aja…”

“Why?”

“Inginnya begitu… nanti kita langsung ke rumahku…” “Sesukamulah…”

“Good…”

…two weeks later…

Ferre menghampiriku. Meletakkan barang bawaannya dan langsung memelukku erat-erat tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar kami. Siang itu aku menjemputnya di airport seperti permintaannya. Sementara orangtuanya mungkin saat ini sedang kesal setengah mati karena tidak diperbolehkan menjemput. Alysa sudah kembali ke Sydney. Dan kami terus berhubungan lewat e-mail. “Kamu kok tambah kurus?” tanyanya lembut.

Aku hanya mengangkat bahu. “Biasa aja. Mungkin Cuma perasaan kamu saja…”

“Gitu ya? Ya udah… yuk???” katanya sambil merangkulku lalu kami mendorong trolley berisi kopor-kopor Ferre. Kemudian meninggalkan airport dan melaju lewat jalan tol menuju kompleks perumahan tempat Ferre tinggal.

Mobil berhenti di depan rumah berlantai tiga itu. Orangtua Ferre langsung menghambur keluar dan mereka berpelukan melepas kerinduan. Lalu kami semua masuk ke dalam. Makan siang sudah tersedia di meja. Tante-tante Ferre dan beberapa sanak saudara juga datang dan saling melepas rindu. “Ayo…makan siang sudah siap…semua pasti sudah lapar…” Mama Ferre mengingatkan kami semua. Kami lalu berdiri dan melangkah ke ruang makan. Duduk di kursi lalu menikmati makan siang lezat favorit Ferre. Nasi putih panas, lengkap dengan Sayur Asem, Ikan asin Jambal plus sambal, disertai sweet warmy tea…

(4)

Selesai makan, aku dan Ferre naik ke atas. Ke kamar tidurnya. Aku membantunya membongkar isi kopornya. Ia membantingkan tubuhnya di tempat tidur sementara aku melipat ulang pakaian-pakaian itu lalu menyusunnya di dalam lemari. “Hhh…akhirnya aku ngerasain panasnya Jakarta lagi…” aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. “Sumpah deh, Vi… ga kebayang gimana rasanya kalo nggak ada AC…”

“Kamu kapan mulai masuk kerja lagi?” tanyaku ingin tahu.

“Segera mungkin dalam minggu ini. Aku mesti banyak penyesuaian lagi dengan sistem yang lama…” jawabnya sambil memejamkan matanya. “Mungkin bisa jadi aku akan lebih sibuk dari sebelumnya…” ia mengingatkan.

Aku menutup pintu lemarinya. “Aku ngerti kok… nah, semuanya sudah beres…” aku meletakkan kopor-kopor itu bertumpuk di atas lemari pakaiannya.

“Thanks, sweetie… kamu kan sebenarnya nggak perlu repot-repot…” katanya tersenyum sambil menatapku.

“That’s fine…” “…” “Ya udah… kamu pasti capek banget dan butuh istirahat kan? Aku pulang dulu ya?” kataku sambil duduk di sebelahnya.

Ia membelai rambutku. “Sorry…aku nggak bisa nganterin kamu… badanku kayak habis di injak-injak gajah…” katanya tertawa.

Aku tersenyum. “Nggak apa-apa…aku bisa pulang sendiri kok…” “Give me a kiss…” bisiknya manja.

Aku menunduk dan menciumnya. “Okelah, aku pulang dulu. Kamu istirahat ya…” aku berdiri lalu mengambil tasku.

“I’ll call you later, Okey?” katanya sebelum aku menutup pintu kamarnya.

(5)

# 7

Missing Time…

Ferre kembali bekerja di kantornya yang lama. Dan seperti yang sudah dikatakannya padaku, dia mulai sangat sibuk. Sampai-sampai frekuensi pertemuan kami yang biasanya pun terpaksa harus ikut menyesuaikan. Aku tak bisa ketemu dengannya sesuka hati. Ketemu sekali dua kali dalam seminggu, itu sudah bagus. Ia tak pernah lagi menjemputku ke kampus dan menculikku untuk makan siang seperti sebelumnya. Kami hanya bertemu hari sabtu, karena pada hari itu ia libur. Hari minggu kalau kebetulan ia tidak ada acara keluarga.

Aku mulai uring-uringan. Sudah dua kali sabtu ini kami batal bertemu karena kesibukannya mengharuskannya kerja lembur. Setidaknya itulah yang dikatakannya padaku, jadi aku harus percaya bukan? Kalau sabtu ketiga ini kami batal lagi bertemu, rasanya aku berhak untuk marah… “Re? Kamu lagi dimana?” tanyaku di telepon. Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, dan ini adalah hari sabtu.

“Vi? Oh… aku lagi dalam perjalanan mau ke kantor…” “Lagi? Ini kan hari sabtu…” kataku kecewa.

“Iya…tapi proyek yang sedang kami kerjakan ini menyita waktu banget… aku juga nggak tahu hari ini akan selesai jam berapa…”

“Begitu…” kataku kesal.

“Vi…come on… aku sudah bilang sejak aku pulang kan, kalau aku bakalan sibuk banget…”

“Iya…tapi nggak seperti ini dong, Re… masa sih kamu kerja sampai nggak punya waktu sama sekali buat aku…”

“Vi…” aku mendengarnya menarik nafas. “Aku lagi ga mau bahas ini…aku lagi banyak kerjaan, dan aku nggak mau ribut Cuma gara-gara soal ini. Kita omongin nanti malam aja. Aku akan telpon kamu kalau aku sudah di rumah.”

“Klik”

Telepon di tutup. Aku langsung menutup wajahku dengan bantal. Kesal sekali rasanya. Telepon berdering pukul sepuluh malam. Dengan kesal aku mengangkatnya.

(6)

“Yah, ini aku…” suara Ferre terdengar letih. “Kamu baru pulang?” tanyaku.

“Yup… capek banget rasanya…”

“Gimana nggak capek? Kamu kerja kayak orang kesetanan. Nggak inget waktu, nggat inget sama orang lain…” potongku dengan nada kesal.

“Vi…udahlah… aku sibuk buat kita juga kok nantinya…”

“Kesal aja… ini malam minggu, dan seharusnya kita ada diluar, bersenang-senang, lupain kerjaan sebentar… waktu kamu sama aku kan Cuma hari ini aja. Tapi kamu bahkan nggak mau meluangkan waktu buat aku.”

“Aku bukan nggak mau, tapi nggak bisa…” potong Ferre.

“Aku tahu aku bukan prioritas utama dalam hidup kamu… yang pertama adalah pekerjaan, yang kedua adalah keluarga, yang ketiga adalah hobby kamu, yang keempat adalah teman-teman kamu. Aku? Ada di posisi terakhir!”

“Vi, Please lah…aku udah capek…” “…” “Dengar yah… terus terang aja, yang aku butuhkan adalah seorang partner. Partner yang bisa mendukung aku, bisa mengerti aku, bisa aku andalkan saat aku butuh, bukannya malah menyusahkan aku, bikin kesal aku… Jadi kalau kamu memang keberatan, di luar sana masih banyak kok cewek yang bisa dan mau seperti itu.”

“Oh ya? Ya udah! Nggak ada gunanya kan aku?” aku langsung menutup telepon dengan kesal.

Beberapa hari kami tidak saling tegur sapa. Tidak lewat telepon, tidak juga lewat sms. Aku benar-benar kesal dengan ucapannya. Jadi selama ini dia tidak menganggapku partner? Jadi selama ini aku Cuma orang yang bikin dia susah? Bikin dia kesal? Handphoneku tiba -tiba berdering. Melihat namanya tertera di layar aku langsung kesal. Mau ngapain lagi dia? Aku langsung menjawabnya.

“Ya.”

“Vi…kamu lagi dimana?” tanyanya dengan nada seakan tidak ada apa-apa. “Di kampus.”

“Udah makan belum?” tanyanya lagi. “Sudah!” jawabku pendek.

“Vi…aku minta maaf ya? Aku tahu aku salah… saat itu aku lagi emosi, aku lagi capek banget…makanya aku jadi marahin kamu…” “…” “Hei… forgive me, Please? I love you…”

(7)

“Kenapa? Diluar sana kan banyak cewek yang bisa lebih memenuhi kriteria kamu. Pilih aja satu dari mereka, nggak perlu kamu susah-susah minta maaf sama aku…”

“Vi, sorry… aku tahu aku nggak sepantasnya bilang begitu… aku benar-benar lagi emosi saat itu… forgive me…”

Aku menarik nafas dalam-dalam. “Udahlah…”

“Thanks, honey… I love you… muach…aku sudah di depan kampus kamu nih. Kamu keluar ya…” lalu ia menutup telepon. Dan aku hanya menggelengkan kepala saat tahu kemana Ferre membawaku. Kemana lagi kalau bukan hotel terdekat. Namanya juga Ferre!

Referensi

Dokumen terkait