• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT MELALUI BUDAYA PELA DAN GANDONG DI MALUKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT MELALUI BUDAYA PELA DAN GANDONG DI MALUKU"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

321

MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT MELALUI BUDAYA PELA DAN GANDONG DI MALUKU

Fatimah Sialana

Mahasiswa S3 Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI Bandung Email : fatimahsialana@gmail.com

Pasca konflik Sosial di Maluku yang berlangsung antara tahun 1999 hingga 2002, banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat (civil society) demi mengikat kembali hubungan persaudara antar umat beragama di Maluku. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggalakan kembali budaya pela dan gandong dalam berbagai aspek kehidupan, baik di lingkungan pendidikan formal maupun di masyarakat. Pela dan Gandong sendiri merupakan suatu pranata sosial yang berfungsi mempererat hubungan persaudaraan diantara orang basudara yang berbeda keyakinan (agama) maupun negeri (desa). Pela dan gandong sangat berfungsi dalam mengatur sistem interaksi sosial masyarakat adat dalam berbagai bidang kehidupan.

(2)

322

PENDAHULUAN

Budaya sebagai seperangkat kepercayaan dan nilai tentang apa yang disukai dan tidak disukai dalam satu komunitas orang, serta seperangkat praktek formal dan informal untuk mendukung nilai-nilai. Budaya memiliki elemen preskriptif dan deskriptif serta melibatkan asumsi spontan tentang bagaimana berpikir, bertindak, dan merasakan. Budaya mengesampingkan ikatan nasional. Aspek-aspek kunci dari budaya masyarakat, seperti kebiasaan dan bahasa dibawa ke tempat kerja oleh individu. Budaya masyarakat dan budaya organisasi bekerja sama mempengaruhi nilai-nilai yang dianut seseorang, etika, sikap-sikap, dan harapan-harapan (Kreitner dan Kinicki, 2014). Hosftede (1991), mendefenisikan budaya sebagai program mental yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (action) atau disebut dengan “software of the mind”. Pemrograman mental atau budaya ini dikembangkan melalui suatu sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat, kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma-norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial. Defenisi tersebut mengekspresikan bahwa budaya termasuk budaya lokal pela gandong turut mempengaruhi perilaku pelaku organisasi.

Dalam konteks budaya lokal, masyarakat Maluku khususnya di Maluku Tengah mempunyai tradisi “pela gandong” yang juga cukup kental mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Pela sebagai pranata sosial masyarakat Maluku dapat memperlihatkan bagaimana leluhur masyarakat Maluku tanpa memandang atau mempertimbangkan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka baik berupa perbedaan kultural, sosial maupun perbedaan religi dan agama (Uneputty, 1996). “Pela gandong” merupakan perserikatan antara satu negeri di Pulau Ambon dengan satu atau beberapa negeri lain di Pulau Ambon, Lease dan Pulau Seram, perserikatan mana didasarkan pada hubungan sejati dengan isi dan tata laku perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, dimana para pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum bagi implementasinya dari waktu ke waktu (Lokollo et al, 1997).

Hubungan “pela gandong” ini mempunyai efek yang sangat penting dimana semua masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan menjaga hubungan tersebut. Banyak kajian yang dilakukan mengenai “pela gandong” namun kebanyakan mengkaji dari aspek sosiologi antroplogi (Sahusilawane, 2004; Uneputty, 1996; Lokollo et al, 1997; Huwae, 1995; Pattiselano, 1999). “Pela gandong” juga banyak digunakan dalam kajian ilmiah namun lebih ditekankan pada fungsinya untuk mencegah ataupun menangani konflik (Ralahallo, 2009; Kadir, 2012; Manuhuttu, 2015; Frost, 2004; Mualim et al, 2014; Hoedodo et al, 2013), pembinaan masyarakat pasca konflik (Tuhuteru, 2014; Sholeh, 2013), pengembangan pembangunan (Piris dan Tilaar, 2014), ataupun pengintegrasiannya dalam metode pendidikan (Tuhuteru, 2014; Matitaputty, 2013). Pela gandong juga terbukti telah menjadi bidang kajian yang menarik

(3)

323 tidak hanya bagi peneliti lokal (Sahusilawane, 2004; Uneputty, 1996; Lokollo et al, 1997; Ralahallo, 2009; Manuhuttu, 2015; Huwae, 1995, Pattiselanno, 1999) namun juga menjadi perhatian peneliti nasional (Hoedodo et al, 2013; Sholeh, 2013) dan internasional (Bartels, 1977 dalam Uneputty, 1996; Frost, 2004; Mualim et al, 2014).

Walaupun demikian, belum ada kajian manajerial pada aspek ini, padahal nilai-nilai yang terkandung dalam budaya (tentunya termasuk pela gandong sebagai budaya lokal) mampu mempengaruhi perilaku organisasi Hosftede (1991). Budaya memiliki elemen preskriptif dan deskriptif serta melibatkan asumsi spontan tentang bagaimana berpikir, bertindak, dan merasakan. Para karyawan membawa budaya mereka ke tempat kerja dalam bentuk kebiasaan dan bahasa. Budaya masyarakat dan budaya organisasi bekerja sama mempengaruhi nilai-nilai yang dianut seseorang, etika, sikap-sikap, dan harapan-harapan (Kreitner dan Kinicki, 2014).

PEMBAHASAN

Pasca konflik bernuansa SARA tahun 1999, masyarakat Maluku mengalami masa-masa suram, baik dari aspek moral, karakter maupun hubungan social antara umat beragama. Hal ini ditandai dengan rasa saling mencurigai, apatis, paranoid atau ketakutan yang berlebihan, dendam, kurangnya rasa saling menghargai serta terlalu berhati-hati dalam mengambil tindakan. Parahnya dalam kehidupan social dipisahkan dalam komunitas yang berbeda keyakinan. Kelompok muslim hidup dalam satu wilayah yang sama. Begitupun sebaliknya kelompok Kristen hidup dalam komunitas yang sama. Dalam kondisi yang demikian budaya Pela Gandong kembali disoroti. Banyak pengamat politik maupun masyarakat mempertanyakan eksistensi pranata Pela Gandong. Sebagian bahkan kemudian menyangsikan manfaat Pela Gandong sebagai suatu local wisdom serta menjadi kebanggaan masyarakat Maluku Tengah dan kota Ambon. Berbagai cara kemudian dilakukan, baik melalui pendidikan formal dengan mengintegrasikan materi Pela Gandong dalam muatan local maupun mata pelajaran lainnya.

Sebagian masyarakat kemudian mempererat kembali budaya Pela Gandong melalai upacara “panas pela”. Upacara ini dilakukan dengan berkumpul selama satu minggu di salah satu Negeri untuk merayakan hubungan dan kadang-kadang memperbaharui sumpahnya. Pada umumnya upacara atau gelaran panas Pela diramaikan dengan pertunjukan menyanyi, dansa dan tarian tradisional serta acara lain seperti makan patita/makan perdamaian. Selain “panas pela” Berbagai seminar tentang Pela Gandong pun dilakukan. Bahkan lagu-lagu yang mengekspresikan budaya Pela Gandong diciptakan/dinyanyikan. Slogan-slogan tentang pela gandong seperti “patah dikuku rasa di daging, “katong samua basudara”, “ale rasa beta rasa” mencerminkan bagaimana kuatnya persaudaraan di Maluku melalui budaya Pela Gandong.

(4)

324

Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri (sebutan untuk kampong atau desa) dengan negeri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong). Biasanya satu negeri memiliki paling tidak satu atau dua Pela yang berbeda jenisnya.

Sebagai suatu sistem hubungan perjanjian atau sekutu, hubungan Pela ini telah ada sebelum bangsa Eropa mendaratkan kaki di Maluku. Hubungan ini kemudian dipererat kembali pada abad ke-16 dan 17 dalam rangka memperkuat pertahanan daerah atas serangan-serangan yang dilancarakan oleh bangsa Portugis dan Belanda. Sejak saat itu, bermunculan banyaknya Pela baru untuk melawan penjajahan Belanda yang dikenal dengan perang Pattimura pada awal abad ke-19, dan hingga kini Pela-pela itu masih berada dan dan tetap dipertahankan.

Pada dasaranya, terdapat tiga jenis Pela yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Pela Keras. Timbulnya Pela ini dilatar belakangi oleh suatu kejadian atau peristiwa yang sangat penting untuk melawan peperangan atau pertumpahan darah. Atau pula berbentuk bantuan khusus dari suatu negeri kepada negeri lain.

2. Pela Gandong atau Bungso yang timbul karena adanya ikatan dan hubungan keturunan, artinya diantara pemimpin/raja satu negeri dan negeri lainnya memiliki hubungan keturunan, ataupun diantara beberapa keluarga di satu negeri dan di negeri lain menganggap diri mereka sebagai satu garis keturunan.

3. Pela Tempat Sirih, timbulnya pela ini setelah terjadinya suatu peristiwa yang kurang begitu penting, atau karena suatu negeri berjasa terhadap negeri lain dalam hal perdagangan maupun perdamaian.

Pela Keras dan Pela Gandong memiliki kekuatan yang sama kuat karena perjanjian ini ditetapkan dengan sumpah disertai kutukan dahsyat yang pasti dan akan tertimpa oleh salah satu pihak yang melanggar perjanjian tersebut. Terkadang perjanjian/mengangkat sumpah itu dilakukan dengan cara memateraikan dan mengambil darah dari tubuh pemimpin kedua belah fihak kemudian meminumnya. Hubungan Pela ini dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua masyarakat kedua negeri yang berlangsung terus-menerus dan dijunjung tinggi sebagai suatu perjanjian suci.

Adapun hal-hal asasi yang menjadi ikatan dari perjanjian Pela ini adalah : 1. Kewajiban setiap negeri yang ber-Pela untuk saling membantu pada saat

(5)

325 2. Jika diminta bantuan demi kepentingan kesejahteraan umum, maka negeri yang menjadi Pela wajib memberi bantuan kepada negeri yang membutuhkan, misalnya; pembangunan rumah, sekolah dan tempat-tempat beribadah.

3. Apabila seseorang dari negeri Pela berkunjung, maka negeri yang menjadi Pela harus melayani dan memberi makan kepadanya dan ia tidak perlu untuk meminta izin membawa pulang makanan dan buah-buahan.

4. Semua penduduk negeri yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah sehingga tidak diperbolehkan untuk kawin, kecuali pada Pela Tempat Sirih.

Sistem Pela ini masih berlaku di beberapa daerah/negeri di Maluku karena rasa persatuan dan identitas bersama yang disadari dan dihayati serta diwariskan secara turun-temurun sebagai suatu perjanjian suci yang harus terus dilestarikan dalam menciptakan perdamaian di Maluku. Berkat sistem Pela ini, pertentangan maupun konflik antar agama semakin dapat diminimalkan.

SIMPULAN

Konflik Maluku bukanlah contoh yang baik dalam kehidupan umat beragama. Konflik Maluku bukan hanya betdampak pada masyarakat Maluku semata, namun berdampak secara Nasional bahkan Internasional. Konflik bernuansa SARA tersebut begitu gencarnya diekspos dalam berbagai media dalam dan luar negeri. Sudah barang tentu apa yang pernah terjadi pada masa lampau itu harus menjadi pelajaran berharga pada anak cucu orang Maluku. Sehingga apa yang pernah terjadi tersebut tidak akan terulang kembali. Budaya Pela dan gandong (pela gandong) seharusnya menjadi pranata social yang perlu dikembangkan dan dilestarikan.

Daftar Pustaka

Frost, N., 2004. Adat di Maluku: Nilai Baru atau Eksklusivisme Lama?. Antropologi Indonesia, 74:1-11.

Hoedodo, T.S.B., Surjo, J., Qodir, Z., 2013. Local Political Conflict and Pela Gandong Admist the Religious Conflict. Journal of Government and Politics, 4(2):336-349.

Hofstede, G. 1991. Cultures and Organisations, Software of the Mind. Intercultural Cooperation and its Importance for Survival. London: Mc Graw-Hill Book Company.

Huwae, S., 1995. Divided Opinions About Adat Pela: A Study Og Pela Tamilouw-SiriSori- Hutumuri. Cakalele, 6:77-92.

(6)

326

Kadir H. A. 2012. Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia; Politik Revivalisme; Tradisi Siwalima Orang Ambon Pasca Konflik. Lakon, Jurnal Kajian Sastra dan Budaya, 1(1):61-75.

Kreitner, R. dan Kinicki, A. 2014. Perilaku Organisasi–Organizational Behaviour. Edisi 9, Buku 1. Jakarta : Salemba Empat.

Lokollo, J. E., dkk, 1997. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon. Ambon : Lembaga Kebudayaan daerah Maluku.

Manuhutu, R., Purwiyastuti, W., dan Widiarto, T., 2015. Budaya Pela Gandong Di Negeri Haria Sebagai Alat Pemersatu Dan Perdamaian Orang Maluku Tengah. Widyasari, 17(2):100-105.

Matitaputty, J. K., 2013. Pendidikan Karakter Melalui Penggalian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Budaya Pela Gandong di Maluku. Jurnal Pendidikan “Jendela Pengetahuan”, 6(15):73-80.

Mualim, Awang, J., dan Abu Bakar, I., 2014. Pela Gandong Sebagai Pemangkin Toleransi Antara Muslim dan Kristian di Ambon. Jurnal Hadjari, 6(1):43-55. Pattiselanno, J.Th.F., 1999. Tradisi Uli, Pela dan Gandong Pada Masyarakat Seram,

Ambon, dan Uliase. Antropologi Indonesia, 58:58-69.\

Piris, S. dan Tilaar, S. 2014. Graha Wisata Adat Pela Gandong di Maluku (Simbiosis Mutualisme).

Ralahallo, R.N. 2009. Kultur Damai Berbasis Tradisi Pela Dalam Perspektif Psikologis Sosial. Jurnal Psikologi, 36(2):177-188.

Sahusilawane, F. 2004. Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong Antar Negeri-negeri Di Pulau Ambon. Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon. Ambon : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ambon.

Sholeh, B., 2013. The Dynamics of Muslim and Christian Relatioins in Ambon, Easter Indonesia. International Journal of Bussines and School Sciences, 4(3):303-311.

Tuhuteru, L., 2014. Pembinaan Nilai-Nilai Demokrasi Dalam Budaya Lokal Pada Masyarakat Pasca Konflik Sosial Ambon. Jurnal Pendidikan “Jendela Pengetahuan”, 7(17):29-39.

Uneputty, T. J. A. 1996. Perwujudan Pela dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Maluku. Ambon: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Maluku.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin

Pertimbangan Mahkamah Agung ini tidak logis, karena nilai sebenarnya dari asset yang diserahkan Syamsul Nursalim sebagai jaminan baru bisa diketahui saat asset tersebut dijual

(5) Pesan yang ingin disampaikan dalam karya-karya ini adalah sudut pandang seorang Bonyong menempatkan berbagai masalah ketimpangan sosial yang hadir dalam kehidupan

Hal tersebut dibuktikan pada penelitian Huong Thi Than James Corner (2016), Komunikasi Tatap Muka berpengaruh signifikan pada Persepsi biaya penggunaan mobile banking.

Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas,

Rencana pengembangan ini telah selaras dengan rencana strategis Universitas dan secara rinci akan dijabarkan dalam rencana operasional oleh program studi yang ada di lingkungan

Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Distribusi terhadap Loyalitas Petani Dalam Menggunakan Pupuk Urea Bersubsidi dengan Kepuasaan Sebagai

Meskipun pada percobaan ini menggunakan media ½ MS namun perlakuan auksin IBA, IAA dan NAA memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan akar eksplan