• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolat-Isolat Hipovirulen Jamur Rhizoctonia solani yang Berpotensi untuk Dikembangkan Sebagai Agens Pengendali Hayati [1]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Isolat-Isolat Hipovirulen Jamur Rhizoctonia solani yang Berpotensi untuk Dikembangkan Sebagai Agens Pengendali Hayati [1]"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Isolat-Isolat Hipovirulen Jamur Rhizoctonia solani

yang Berpotensi untuk Dikembangkan Sebagai Agens Pengendali Hayati [1]

Hypovirulent Isolates of Rhizoctonia solani which are potentially could be Developed as Biocontrol Agents

Supyani dan Hardjono Sri Gutomo [2]

Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta E-mail : supyani_id@yahoo.com Ph. 081 329 555 170

Abstrak

Rhizoctonia solani Kuhn. merupakan jamur patogen penting pada tanaman pertanian yang

sampai sekarang belum ditemukan metode pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan. Oleh sebab itu, pengendalian hayati merupakan metode pengendalian pilihan yang menjanjikan.

Di alam, di dalam spesies suatu jamur terdapat strain-strain hipovirulen. Dari sudut pandang fitopatologi, strain-strain hipovirulen tersebut dapat dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. Rhizoctonia binukleat merupakan strain hipovirulen yang dikembangkan untuk mengendalikan R. solani. Untuk mengendalikan jamur yang sama, akhir-akhir ini juga mulai dikembangkan Rhizoctonia solani virus 717, suatu virus yang ditemukan pada isolat R.

solani hipovirulen. Di Indonesia, pengembangan jamur hipovirulen sebagai agens pengendali

hayati belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat-isolat hipovirulen jamur R. solani dari lapangan, yang akan mendasari pengembangan strain hipovirulen jamur tersebut sebagai agens pengendali hayati.

Kita telah mengkoleksi 400 isolat R. solani dari lapangan. Dari hasil karakterisasi morfologi dan uji virulensi menunjukkan bahwa isolat-isolat R. solani tersebut beragam dalam hal fenotip koloni maupun virulensinya. Akhirnya terpilih 5 isolat hipovirulen yaitu: isolat 11, 13, 15, 19, dan 12 yang menunjukkan laju pertumbuhan koloni relatif lambat dan tingkat virulensi relatif rendah dibandingkan dengan isolat virulen.

Kata kunci: Rhizoctonia solani Kuhn., karakterisasi biologi, hipovirulen.

[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesa di UPN Veteran Jatim pada tanggal 14 April 2010.

(2)

A filamentous fungus Rhizoctonia solani Kuhn. is the important pathogen of many diseases on crops. To date, there is no efficiently control method to the disease. So, the biological control method is a tactful choice.

In the field, there are some hypovirulent strains within a species of a fungus. From phytopathologycal perspective, the hypovirulent strains could be developed as biocintrol agents. Binucleate Rhizoctonia is a hypovirulent strains which was developed to control R. solani. To control the same fungus, recently was developed Rhizoctonia solani virus 717, a virus that was isolated from a hypovirulent R. solani. In Indonesia, the development of hypovirulent strains as biocontrol agents is still very limited. This research was aimed to isolate hypovirulent isolates of R. solani from the field, as preliminary study toward development of the strains as biocontrol agents.

We have collected 400isolates of R. solani from the field. Morfological characterization and virulence tests revealed that the collected isolates perform varied colony phenotype and virulence. Finally, we identified 5 hypovirulent isolates i.e. isolate 11, 13, 15, 19, and 12 which perform relatively slower in colony growth and weaker in virulence compared to the virulent isolate.

(3)

PENDAHULUAN

Menghadapi era pasar global, produsen pertanian dituntut untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang berkualitas tinggi, aman, serta bebas dari bahan pencemar. Di sisi lain semakin rusaknya ekosistem pertanian, produsen pertanian juga dituntut untuk menjaga kelestarian agroekosistem sehingga kegiatan pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan. Konsekuensi dari kedua tuntutan tersebut di atas, produsen pertanian dituntut untuk melakukan praktik pertanian yang ramah lingkungan dan sekaligus ramah hasil.

Pestisida merupakan faktor utama penyebab kerusakan agroekosistem serta rendahnya tingkat keamanan pangan dari produk-produk pertanian. Meskipun konsep pengelolaan hama terpadu telah diangkat sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman, namun sampai sekarang ketergantungan petani terhadap pestisida masing tinggi. Sedangkan disisi lain organisme pengganggu tanaman (OPT) semakin lama semakin banyak jenisnya serta semakin resisten terhadap pestisida. Melihat fenomena tersebut akhir-akhir ini mulai dicari dan dikembangkan biopestisida, yaitu suatu pestisida dengan bahan aktif organisme yang bertindak sebagai agens pengendali hayati.

Agens pengendali hayati adalah suatu organisme yang digunakan oleh manusia untuk mengendalikan OPT. Karena berupa organisme dan diisolasi dari alam, maka agens pengendali hayati ini mempunyai beberapa keunggulan diantaranya adalah ramah lingkungan, ramah hasil, dan dalam batas-batas tertentu dapat menyebar mencari sasarannya sendiri (self spreading) (Nuss, 2005).

Rhizoctonia solani Kuhn. merupakan jamur patogen penting pada tanaman pertanian

dengan kisaran inang yang luas. Hampir semua kelompok komoditas tanaman, yaitu padi-padian, hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman hias, dan lain-lain dapat diserangnya, dan menyebabkan kerugian yang besar. Sampai sekarang belum ditemukan metode pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan terhadap jamur tersebut (Semangun, 1988; Farr et al., 1989; Purwanti dkk., 1997; Suhara dan Yulianti, 2005). Oleh sebab itu, metode pengendalian hayati (pengendalian dengan antagonis, patogen, dan lain-lain) merupakan pilihan yang bijaksana.

Di alam, ada banyak strain di dalam spesies suatu jamur. Beberapa di antaranya ada yang virulen, sedangkan yang lainnya hipovirulen. Strain-strain jamur hipovirulen mempunyai dua kemungkinan, mereka memang hipovirulen secara genetik atau karena terinfeksi virus (mikovirus) (Agrios, 1997; Ghabrial, 2001; Nuss, 2005). Dari sudut pandang fitopatologi, kedua kelompok hipovirulen tersebut bermanfaat, karena dapat dikembangkan sebagai agens pengendali hayati (Milgroom, and Cortesi, 2004). Rhizoctonia binukleat merupakan salah

(4)

alam, strain jamur ini mengendalikan /membatasi invasi strain virulen, sehingga penyakit yang ditimbulkannya berkurang (Ogoshi, 1987). Di samping itu, pada spesies jamur yang sama akhir-akhir ini mulai dikembangkan agens pengendali hayati Rhizoctonia solani virus 717 berupa virus (Partitivirus) yang menginfeksi jamur tersebut, sehingga menurunkan virulensinya (Lakshman et al., 1998).

Karena sifatnya yang berinang luas dan terdapat di mana-mana, di alam diperkirakan terdapat banyak strain-strain hipovirulen dari jamur R. solani, yang nantinya dapat dikembangkan sebagai agens pengendali hayati.

Penelitian ini telah berhasil mengkoleksi isolat-isolat R. solani dari berbagai daerah di Karanganyar, Jawa Tengah. Dari sejumlah kurang lebih 400 isolat R. solani yang dikoleksi, terpilih sebanyak 31 isolat yang menunjukkan indikasi hipovirulen. Kemudian berdasarkan uji virulensi terpilih sedikitnya 5 isolat hipovirulen, yaitu isolat 11, 13, 15, 19, and 12. Pada penelitian selanjutnya akan dilakukan karakterisasi terhadap mikovirus yang kemungkinan menginfeksi isolat-isolat hipovirulen tersebut.

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat, dan Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dimulai Bulan Pebruari sampai Nopember 2009. Penelitian didesain sebagai penelitian ekslporatif di lapangan dan di laboratorium. Koleksi isolat-isolat R. solani dilakukan di pusat-pusat produksi tanaman padi di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, sedangkan identifikasi dan pengujian dari isolat-isolat R. solani dilakukan di laboratorium Ilmu Hama/Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian UNS.

Koleksi isolat-isolat R. solani

Isolat-isolat R. solani dikoleksi dari wilayah-wilayah endemi jamur R. solani pusat produksi tanaman padi di Karanganyar, Jawa Tengah. Koleksi dilakukan dengan mendatangi wilayah-wilayah tersebut. Tanaman yang menunjukkan gejala infeksi R. solani dipilih/ditandai. Bagian tanaman yang menunjukkan gejala ataupun tanda penyakit tersebut kemudian dipotong, dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, kemudian secepatnya dimasukkan ke dalam termos pendingin.

Kultur isolat-isolat R. solani pada media buatan

Kultur isolat-isolat R. solani dilakukan menurut cara Streets (1972). Permukaan jaringan yang mengandung becak-becak, luka, atau busuk disterilkan dengan 5% PURELOX. Bagian

(5)

kecil dari daerah perbatasan antara jaringan sakit dan sehat dipotong, diambil dan diletakkan di tengah petridis berdiameter 90 mm yang mengandung 20 ml PDA (potato dextrose agar). Preparasi diinkubasikan di rak percobaan pada suhu kamar selama 10 hari. Seluruh isolat diberi nomor identitas sesuai dengan identitas pada label saat isolasi dari lapang. Saat kultur berumur 1 minggu dilakukan pemotretan untuk dokumentasi.

Karakterisasi fenotip isolat-isolat R. solani

Karakterisasi morfologi dilakukan menurut cara Hillman, et al. (1990). Percobaan dimulai dengan menginokulasikan 3x3x3 mm kubik agar, diambil dari bagian tepi biakan stok berumur 1 minggu, pada bagian tengah petridis berdiameter 90 mm yang mengandung 20 ml PDA. Petridis lalu diinkubasikan di rak percobaan pada suhu kamar. Biakan diamati pada hari ke 3, 5, dan 7. Karakter yang diamati dan dicatat adalah: diameter koloni, warna koloni, dan kuantitas miselium udara. Apabila dari isolat-isolat yang damati ditemukan karakter-karakter yang unik, misalnya diameter koloni lebih kecil, warna lebih gelap/terang, permukaan koloni tidak halus, miselium udara lebih banyak/sedikit, maka isolat-isolat yang bersangkutan ditandai/dipilih dan didokumentasikan. Isolat-solat tersebut mengindikasikan hipovirulensi. Isolat-solat terpilih selanjutnya diuji dengan pengujian-pengujian berikutnya.

Uji virulensi

Uji Virulensi dilakukan menurut cara Elliston (1985). Buah apel yang sudah masak didesinfeksi dengan 5% PURELOX. Ditentukan 4 titik disekeliling buah dengan posisi menyebar seimbang. Pada masing-masing titik lalu diambil jaringan berukuran diameter 7 mm sedalam 3-4 mm dengan pelubang gabus. Buah apel lalu diinokulasi dengan isolat-isolat jamur pada bagian yang telah dilukai. Inokulum dimasukkan ke dalam masing-masing luka dengan posisi menghadap ke dalam, lalu ditekan dengan spatula steril sampai terjadi kontak yang sempurna dengan jaringan apel. Bagian yang diinokulasi lalu dibalut dengan parafilm untuk mencegah kering, lalu buah apel diinkubasi di baki plastik berukuran 35x25x7 cm di suhu ruang. Diameter lesio diukur pada hari ke 3, 5, dan 7. Dalam sekali pengujian, masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Dari hasil uji virulensi ini dapat ditentukan isolat-isolat jamur yang manakah yang virulensinya lebih rendah dibanding rata-rata (hipovirulen).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koleksi Isolat-isolat R. solani dari Lapang dan Kultur Isolat-isolat R. solani pada Media Buatan

(6)

laboratorium, dari 300 sampel tersebut diseleksi dan diisolasi sebanyak 600 isolat jamur. Setelah dilakukan karakterisasi diperoleh R. solani sebanyak 400 isolat.

Karakterisasi Fenotip Isolat-isolat R. solani

Keempat ratus isolat R. solani yang telah diperoleh dilakukan karakterisasi fenotip. Masing-masing isolat dikulturkan pada media PDA di dalam petridis berukuran 900 x 15 mm dan diinkubasikan di atas meja pada suhu ruang selama 1 minggu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ke-400 isolat tersebut menampakkan fenotip koloni yang beragam. Selanjutnya, dari 400 isolat tersebut dipilih sebanyak 31 isolat dengan karakter unik, diantaranya adalah: pertumbuhan koloni sangat cepat/lambat, warna koloni lebih gelap/terang, miselium udara banyak/sedikit, sklerotia mengumpul/menyebar.

Terhadap 31 isolat terpilih dilakukan pengujian pertumbuhan koloni yang diamati sebanyak tiga kali yaitu pada 3, 5, dan 7 HSI (hari setelah inokulasi). Dari pengamatan tersebut nampak bahwa laju pertumbuhan koloni antar isolat beragam. Pada pengamatan 5 HSI, diameter koloni terbesar ditemukan pada isolat 7 sebesar 83 mm. Sedangkan diameter koloni terkecil ditemukan pada isolat 11 sebesar 5 mm. Selain itu juga ditemukan 4 isolat lain dengan diameter koloni yang relatif kecil yaitu isolat 13, 15, 19, dan 12 dengan diameter koloni berturut-turut sebesar 32, 45, 65, dan 74 mm (Gambar 1 dan 2). Berdasarkan pengujian tersebut, isolat 7 dianggap virulen dan bebas virus, sedangkan isolat 11 maupun isolat-isolat yang lain diangap hipovirulen dan diduga terinfeksi virus yang akan dilakukan pengujian lebih lanjut.

Selain diamati pertumbuhan koloninya, ke-31 isolat terpilih juga diamati profil koloninya. Profil koloni isolat virulen dan ke-5 isolat hipovirulen terpilih disajikan pada gambar 1. Isolat virulen (isolat 7) menunjukkan laju pertumbuhan koloni yang relatif cepat, koloni berwarna putih kekuningan, membentuk cincin, dan sudah membentuk sklerotium pada 4 HSI. Sedangkan isolat-isolat hipovirulen menunjukkan fenotip koloni yang beragam. Isolat 11 koloni tumbuh sangat lambat, miselium halus seperti kapas berwarna putih kekuningan, serta sklerotium baru terbentuk setelah 14 HSI. Isolat 13 koloni tumbuh lambat, berwarna putih kekuningan, tidak membentuk cincin, belum membentuk sklerotium pada 4 HSI, bagian tengah koloni berwarna hijau kecoklatan, miselium udara banyak. Isolat 15koloni seperti isolat 13, tetapi tumbuh lebih cepat serta membentuk cincin. Isolat 19 koloni tumbuh cepat, berwarna putih transparan, tidak membentuk cincin, belum membentuk sklerotium pada 4 HSI, miselium kelihatan gemuk, bagian tengah koloni berwarna putih kecoklatan. Sedangkan isolat 12 koloni tumbuh cepat, berwarna putih transparan, tidak membentuk cincin, serta belum membentuk sklerotium pada 4 HSI.

(7)

Dari sudut pandang mikovirologi, salah satu indikasi penting adanya infeksi virus pada jamur adalah berupa penyimpangan fenotip koloni. Penyimpangan tersebut dapat terjadi pada laju pertumbuhan koloni, warna koloni, profil koloni, kuantitas miselium udara, maupun kemampuan sporulasi. Infeksi Cryphonectria hypovirus-1 (CHV1) pada jamur Cryphonectria

parasitica merubah fenotip koloni dari halus dan berwarna putih kekuningan menjadi kasar dan

berwarna putih, sedangkan infeksi Mycoreovirus-1 (MyRV1) pada jamur yang sama merubah fenotip koloni menjadi berwarna coklat dengan pertumbuhan yang terhambat (Hillman et al., 2004; Supyani et al, 2007). Isolat R. solani hipovirulen yang diisolasi dari tanaman kentang yang sakit di Amerika Utara belakangan diketahui terinfeksi virus. Infeksi virus ini menghambat laju pertumbuhan koloni dan menunda pembentukan sklerotia (Lakshman et al., 1998).

Kembali ke penelitian ini, beragamnya fenotip koloni dari isolat-isolat yang dikoleksi mengindikasikan adanya peluang terinfeksi virus. Perubahan koloni fenotip pada jamur yang terinfeksi virus biasanya berkorelasi dengan virulensinya. Berdasarkan data laju pertumbuhan koloni dan profil koloni yang telah diperoleh, ke-31 isolat terpilih kemudian dilakukan uji virulensi.

Uji virulensi

Uji virulensi dilakukan dengan cara menginokulasikan ke-31 isolat terpilih pada buah apel, masing-masing isolat diulang sebanyak tiga kali. Hasil uji menunjukkan bahwa ke-31 isolat tersebut mempunyai virulensi yang beragam. Pada pengamatan 5 HSI, tingkat virulensi tertinggi ditemukan pada isolat 7 yang mampu menimbulkan lesio dengan diameter sebesar 40 mm, sedangkan tingkat virulensi terendah ditemukan pada isolat 11 yang menimbulkan lesio dengan diameter sebesar 5 mm. Selain itu juga ditemukan 4 isolat lain dengan tingkat virulensi yang relatif rendah yaitu isolat 13, 15, 19, dan 12 dengan diameter lesio berturut-turut sebesar 8, 10, 12, dan 24 mm (Gambar 1 dan 3).

Salah satu indikasi penting adanya infeksi virus pada jamur adalah berupa penurunan tingkat virulensi (Ghabrial, 2001). Infeksi Cryphonectria hypovirus-1 (CHV1) pada jamur

Cryphonectria parasitica menurunkan tingkat virulensi sebesar 25%, sedangkan infeksi

Mycoreovirus-1 (MyRV1) pada jamur yang sama menurunkan tingkat virulensinya sebesar 80%

(Hillman et al., 2004; Supyani et al, 2007). Infeksi virus pada R. solani yang diisolasi dari wilayang di Amerika Utara juga dilaporkan menurunkan tingkat virulensi jamur inangnya (Lakshman et al., 1998).

Berdasarkan karakter fenotip dan virulensinya, isolat 7 pada penelitian ini merepresentasikan isolat R. solani virulen. Sedangkan isolat-isolat lain, terutama isolat 11, 13, 15, 19, dan 12 merepresentasikan isolat-isolat hipovirulen.

(8)

kemungkinan menginfeksi isolat-isolat hipovirulen tersebut.

7 11 13 15 19 12 Gambar 1. Karakter biologis isolat-isolat R. solani: virulen (7), hipovirulen (11, 13, 15, 19, dan 12). Atas: Profil koloni pada media PDA, Bawah: Virulensi pada buah apel.

Fig 1. Biological character of R. solani isolates: virulen (7), hypovirulen (11, 13, 15, 19, and 12). Upper: colony profile on PDA plate, Lower: virulence on apple fruit.

Gambar 2. Hasil quantitatif dari uji laju pertumbuhan koloni. Masing-masing isolat R. solani dikulturkan pada media PDA pada suhu ruang. Data diambil pada 5 hsi (hari setelah inokulasi) dari tiga ulangan.

Fig 2. Quantified results of colony growth rate assay. Each R. solani isolate was cultured on PDA plate under room temperature in triplicates. Data were collected at 5 dpi (day post inoculation) from triplicates.

(9)

Gambar 3. Hasil quantitatif dari uji virulensi. Masing-masing isolat R. solani diinokulasikan pada buah apel lalu diinkubasikan pada suhu ruang. Data diambil pada 5 hsi (hari setelah inokulasi) dari tiga ulangan.

Fig 3. Quantified results of virulence assay. Each R. solani isolate was inoculated on apple fruit and incubated under room temperature. Data were collected at 5 dpi (day post inoculation) from triplicates.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Isolat-isolat jamur R. solani yang dikoleksi dari pertanaman padi di lapangan mempunyai fenotip koloni maupun tingkat virulensi yang beragam.

2. Isolat R. solani virulen mempunyai laju pertumbuhan koloni yang relatif cepat, koloni berwarna putih kekuningan, membentuk cincin, dan sudah membentuk sklerotium pada 4 HSI. Berdasarkan uji virulensi dengan buah apel, isolat tersebut mempunyai daya viruensi yang tinggi. Isolat ini diwakili isolat 7.

3. Isolat R. solani hipovirulen mempunyai laju pertumbuhan koloni yang relatif lambat, fenotip koloni bervariasi antara lain berwarna putih transparan, tidak membentuk cincin, belum membentuk sklerotium pada 4 HSI, serta miselium kelihatan gemuk. Berdasarkan uji virulensi dengan buah apel, isolat tersebut mempunyai daya viruensi yang rendah. Isolat ini diwakili isolat 11, 13, 15, 19, dan 12.

4. Isolat-isolat R. solani hipovirulen tersebut kuat mengindikasikan terinfeksi virus.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini lewat proyek DIPA Universitas Sebelas Maret No. 0162.0/023-04.2/XIII/2009, tanggal 31 Desember 2009.

(10)

1. Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. 4th Ed., 606 pp. Academic Press, New York.

2. Elliston, J.E. 1985. Characteristics of dsRNA-free and dsRNA-containing strains of

Endothia parasitica in relation to hypovirulence. Phytopathology 82(2):151-157.

3. Farr, D. F., G. F. Bills, G. P. Chamuris, and A. Y. Rossman. 1989. Fungi on Plants and Plant Products in the United States. APS Press. St. Paul, Minnesota. 1252 pp.

4. Ghabrial, S. A. 2001. Fungal viruses. In O. Maloy and T. Murray, eds. Encyclopedia of

Plant Pathology . John Wiley & Sons, New York, Vol. 1: 478-483.

5. Hillman, B.I., R. Shapira, and D.L. Nuss. 1990. Hypovirulence-associated suppresion of host functions in Chryphonectria parasitica can be partially relieved by high light intensity.

Phytopathology 80: 950-956.

6. Hillman, B. I., S. Supyani, H. Kondo, and N. Suzuki. 2004. A reovirus of the fungus

Cryphonectria parasitica that is infectious as particles and related to the Coltivirus genus

of animal pathogens. J Virol 78, 892–898.

7. Lakshman, D.K., J. Jian, and Tavantzis. 1998. A double stranded RNA element from a hypovirulent strain of Rhizoctonia solani occurs in DNA form and is genetically related to the pentafunctional AROM protein of the shikimate pathway. Proc. Natl Acad. Sci. USA 95, 6425-6429.

8. Milgroom, , M. G. and P. Cortesi. 2004. Biological Control of Chestnut Blight with Hypovirulence: A Critical Analysis. Annual Review of Phytopathology Vol. 42: 311-338 9. Nuss, D.L. 2005. Hypovirulence: Mycoviruses at the fungal-plant interface. Nature 3:

632-642.

10. Ogoshi, A. 1987. Ecology and pathogenicity of anastomosis and intraspecific groups of

Rhizoctonia solani Kühn. Ann. Rev. Phytopathol. 25:125-143.

11. Purwanti, H.. M.K. Kardin, A. Nasution, dan Sutoyo 1997. Penyakit Hawar Pelepah Daun Padi (Rhizoctonia solani Kuhn): Permasalahan dan Prospek Pengendaliannya di Indonesia. Agrobio (1) 2.

12. Semangun, H. 1988. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 808 hal.

13. Streets, R.B. 1972. Diagnosis of Plant Diseases. The University of Arizona Press, USA. 14. Suhara, C. dan T. Yulianti, 2005. Mekanisme Ketahanan Varietas Kapas terhadap

Rhizoctonia solani Penyebab Penyakit Bibit. Prosiding Lokakarya Revitalisasi Agribisnis

Kapas Diintregrasikan Dengan Palawija di Lahan sawah Tadah Hujan. Lamongan 8 September 2005.p.125-129

15. Supyani, B.I. Hillman, and N. Suzuki. 2007. Baculovirus expression of all the

mycoreovirus 1 genome segments and identification of the guanylyltransferase-encoding

Gambar

Fig 1. Biological character of R. solani isolates: virulen (7), hypovirulen (11, 13, 15, 19, and 12)
Gambar  3.  Hasil  quantitatif  dari  uji  virulensi.  Masing-masing  isolat  R.  solani  diinokulasikan  pada  buah  apel  lalu  diinkubasikan  pada  suhu  ruang

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dari sisi kekuatan penawaran pemasok, pemasok memiliki kekutan penawaran yang rendah terhadap perusahaan, karena perusahaan dapat dengan mudah mendapatkan bahan

ngemukakan pendapatnya tentang dampak pensiun sebagai berikut : a. Dampak terhadap individu. Pekerjaan bagi seseorang tentunya memberikan perasaan identitas pribadi, tempat

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode belajar terhadap hasil belajar fisika siswa, Untuk mengetahui pengaruh tingkat penalaran formal siswa

Tahap berikutnya adalah menggabungkan model yang telah terbangun dengan sistem jaringan baru untuk merencanakan demensi yang optimal, sedangkan jika sistem distribusi

Sebagai jaminan mutu, registrasi, keberlangsungan produk, serta perluasan target pemasaran maka perlu dilakukan penelitian tentang kandungan produk minuman isotonik

(iv) Adakah terdapat perbezaan yang signifikan antara masalah penyesuaian akademik yang dihadapi dengan latar belakang negara asal dalam kalangan pelajar

Istilah lain yang berkaitan dengan lukisan ini adalah lukisan kaum Sudra karena pada mulanya lukisan khas Bali ini banyak dibuat oleh kaum Sudra (Forge dalam

bali materi yang dipelajari untuk meningkatkan hasil belajar. Menetapkan tujuan atau sub tujuan dan membuat perencanaan un- tuk urutan, waktu, dan aktifitas yang berhubun-