• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya potensial mencapai tujuan (Kantur, 2016). Secara umum kegiatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya potensial mencapai tujuan (Kantur, 2016). Secara umum kegiatan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Kewirausahaan yang diterapkan masyarakat nampak jelas kegiatannya

di berbagai sektor kehidupan ekonomi. Orientasi kewirausahaan mampu

menciptakan dan menemukan sesuatu yang baru dengan memanfaatkan

sumberdaya potensial mencapai tujuan (Kantur, 2016). Secara umum kegiatan

wirausaha ikut memberikan andil dalam pertumbuhan ekonomi sehingga

mampu menuntun masyarakat untuk mencapai kondisi lebih sejahtera.

Kewirausahaan dinyatakan mampu memberikan manfaat ekonomi, sosial,

lingkungan, dan keberlanjutan organisasi maupun suatu negara. Manfaat

ekonomi yang sudah jelas adalah mampu membantu perkembangan

perekonomian masyarakat suatu negara, manfaat sosial yang berdampak pada

kesejahteraan sosial masyarakat, manfaat pada lingkungan disekitar organisasi,

dan menjaga keberlangsungan kegiatan bisnis serta keberlangsungan

pertumbuhan suatu negara (Eiadat et al., 2008 dan Koe et al., 2014).

Wirausaha mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah sehingga

dilakukan berbagai upaya untuk mendukung perkembangannya guna

meningkatkan perekonomian suatu bangsa. Pada acara Pekan Sosialisasi dan

Program Pengembangan Wirausaha Muda, Asian Pasific Economic Coorporation(APEC) Unthinkable week 2013 di Bali, dilakukan upaya untuk mendorong wirausaha muda Indonesia bekerjasama dan bermitra dengan

wirausaha lokal maupun dengan wirausaha negara-negara APEC

(2)

Kegiatan wirausaha selain diakui mampu memberikan pengaruh positif

pada perkembangan perekonomian juga dianggap memiliki pengaruh negatif

yang menjadi kekhawatiran banyak pihak (Koe et al., 2014). Efek negatif yang

dimaksud adalah wirausaha memiliki peran terhadap terjadinya

kerusakan lingkungan alam di sekitar organisasi, dan bila dibiarkan akan

memiliki pengaruh yang lebih luas. Kondisi tersebut menandakan aktivitas

kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh wirausaha dianggap

menimbulkan kekhawatiran sebagai penyebab terjadinya perubahan

lingkungan alam seperti perubahan cuaca atau iklim yang tidak menentu,

pengaruh pada ketersediaan sumber daya alam di bumi, penyebab polusi,

menimbulkan kerusakan habitat, ataupun yang berkaitan dengan kerusakan

alam (Cohen dan Winn, 2007; Gnacadja, 2013). Apabila itu terus berlanjut,

akan berpengaruh pada kehidupan makhluk hidup ataupun bencana lain yang

timbul sebagai akibat dari kerusakan lingkungan (Organization for Economic

Corporate and Development, OECD, 2009).

Situasi ini mampu menarik perhatian masyarakat yang mulai ikut serta

peduli pada lingkungan. Mereka adalah para pemerhati lingkungan yang selalu

berupaya menjalankan misi penyelamatan lingkungan, para akademisi di

kalangan dunia pendidikan, pemerintah suatu negara, maupun para pebisnis

yang dianggap sangat berperan pada perkembangan ekonomi. Peran dan

keikutsertaan mereka sangat diperlukan untuk memerhatikan dampak terhadap

lingkungan sebagai akibat dari kegiatan ekonomi (Ewert dan Baker, 2001;

McEwen, 2013). Menghindari kerusakan lingkungan alam, perlu mendapat

(3)

diperlukan upaya wirausaha dengan penuh kesadaran, kepedulian,

memanfaatkan kemampuan inovatif menghasilkan barang dan jasa yang

memperhatikan unsur lingkungan (Schaper, 2010:29; Henard dan McFadyen

2012; dan Zhao et al., 2012). Oleh karena itu, diperlukan kepekaan pengusaha

pada lingkungan.

Beberapa negara telah mengimplementasikan hukum perlindungan

lingkungan untuk mengurangi dampak lingkungan akibat industri (Yang dan

Chen, 2011). Indonesia sudah memiliki peraturan tersebut, dicantumkan dalam

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH) dan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam

Pengelolaan Lingkungan (PROPER).

Berkaitan dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan

dalam berbisnis, Ferrel et al. (2009) menyebutkan beberapa argumen yang

menilai pentingnya perusahaan turut terlibat aktif, diantaranya adalah aktivitas

bisnis berperan menciptakan permasalahan sosial sehingga perusahaan

seharusnya juga mengambil bagian dalam penyelesaiannya, perusahaan dinilai

memiliki dana dan sumber daya yang berkompeten untuk turut

bertanggungjawab, para pengusaha juga adalah bagian dari masyarakat

sehingga sangat wajar turut serta membangun masyarakat. Melalui pelaksanaan

tanggung jawab sosial, perusahaan berkepentingan untuk menjamin

kelangsungan pertumbuhan ekonomi, sehingga secara tidak langsung

sebenarnya mempersiapkan calon konsumen dengan daya beli yang memadai

(4)

keuntungan komersial di pasar, tetapi juga menciptakan dunia yang lebih

lestari.

Pengusaha sudah mulai memperhatikan lingkungan berkaitan dengan

masalah pembuangan limbah, polusi yang ditimbulkan, penghematan

penggunaan sumberdaya alam, penghematan penggunaan listrik maupun air,

serta berupaya untuk mengikuti peraturan pemerintah yang berkaitan dengan

menjaga lingkungan. Kondisi tersebut memberikan tanda bahwa mereka dalam

menjalankan kegiatan bisnisnya sudah memperhatikan isu-isu lingkungan yang

patut dipatuhi (Patters et al., 2013), sehingga mulailah bermunculan organisasi

yang lebih peduli lingkungan dengan inisiatif menjaga lingkungan (Dean dan

McMullen, 2007; York dan Venkataraman, 2010; Shepherd dan Patzelt, 2011).

Selain pengusaha, masyarakat sebagai individu sudah lebih sadar

terhadap lingkungan alam, sadar terhadap pentingnya hidup sehat, sehingga

timbul kesadaran terhadap kebutuhan produk berbahan alami, yang mampu

mendorong mereka menjadi konsumen yang peduli lingkungan (Kim dan

Chung, 2011). Kesadaran ini menimbulkan permintaan akan produk-produk

yang ramah lingkungan semakin meningkat (Marketing, 2010), sehingga

produsen produk (khususnya produk kosmetik) berlomba-lomba menciptakan

produk berkualitas dengan bahan tradisional yang berasal dari wilayah ataupun

negeri sendiri. Kesadaran konsumen pada lingkungan memfasilitasi perusahaan

untuk mendisain ulang produk yang sudah ada atau mengembangkan yang baru

yang memenuhi peraturan lingkungan (Nidomolu, 2009).

Perusahaan yang menerapkan kegiatan ramah lingkungan mendapat

(5)

dengan bisnis yang ramah lingkungan dilakukan oleh Shane dan

Venkataramann (2000), Taylor dan Walley (2003), serta Fuduric (2008).

Hasil penelitian menemukan bahwa keuntungan yang mungkin diperoleh

adalah manfaat sosial berupa manfaat yang bisa dirasakan oleh seluruh

masyarakat, manfaat ekonomi seperti kesejahteraan ekonomi, dan manfaat

keberlanjutan termasuk menjaga keselamatan hayati yang ada di bumi. Manfaat

tersebut mampu menarik perhatian wirausaha dan mulai disadari menjadi suatu

tuntutan dalam organisasi. Kesadaran tersebut muncul di kalangan pimpinan

perusahaan untuk menciptakan pendekatan hijau pada aktivitas organisasi dan

upaya keperdulian pada lingkungan.

Selain itu Werbach (2009) mengungkapkan bahwa kunci untuk

keberhasilan dan keberlanjutan perusahaan adalah mampu menghadapi

tantangan sosial, ekonomi dan budaya, serta perhatian pada lingkungan, saat ini

benar-benar sudah menjadi perhatian dunia. Pemerintah semakin tertarik dalam

kegiatan hijau untuk menciptakan peluang ekonomi baru dalam menanggapi

tantangan perubahan iklim dan kemerosotan ekonomi (Environment Victoria,

2009). Saat ini peraturan yang mengarah pada bisnis hijau mulai digunakan

oleh beberapa perusahaan, namun ada juga motivasi perusahaan mengadopsi

praktek ramah lingkungan hanya sekedar untuk mematuhi peraturan ( Schick et

al., 2002).

Berkaitan dengan kepedulian pada lingkungan, Provinsi Bali mendapat

penghargaan sebagai Green Province pada Februari 2010, dalam acara

pertemuan Forum Lingkungan Hidup se-Dunia (Global Environment Forum)

(6)

of Bali Clean and Green (Biro Humas Provinsi Bali, 2013). Selain itu, Bali sebagai ‘Island Destination of the Year’ dalam ajang China Travel & Meetings

Industry Awards 2013 yang diselenggarakan oleh majalah wisata Travel Weekly dan Events di Hotel Conrad Beijing pada 4 September 2013. Penghargaan lain adalah Bali dinobatkan sebagai ‘The Best Destination Spa in

The World’, oleh sebuah majalah kesehatan internasional ("Senses”) di Berlin pada acara tahunan International Tourism Bourse (ITB) pada Maret 2009

(compas.com, Rabu 18 Feb 2009 dan The Jakarta Post, 2009).

Bali meraih penghargaan tersebut karena mampu memelihara

kebudayaan asli leluhur termasuk warisan raja-raja kuno yaitu “boreh”.

Bahkan, terminologi khas Bali dalam kaitannya dengan Spa

seperti “boreh” dan “lulur” telah diakui secara internasional. Boreh sebagai

salah satu produk kearifan lokal (local genius) yang menjadi warisan nenek

moyang (Widyastuti et al., 2013). “Boreh” tersebut dikemas sedemikian rupa

oleh produsen produk Spa dalam bentuk aneka produk Spa Bali. Produk Spa

Bali cukup bervariasi, diantaranya minyak atsiri, lulur, sabun, scrub, dan aneka

lotion, yang kesemuanya berbahan alami. Produk yang dihasilkan tersebut sangat mendukung perkembangan penyedia jasa Spa yang ada di Bali.

Produsen produk Spa Bali merupakan ekonomi kreatif, dimana telah

memadukan warisan budaya dengan bisnis.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan kepada produsen produk Spa

dan penyedia jasa Spa, diketahui bahwa industri Spa di Bali saat ini cukup

berkembang. Jasa Spa tidak hanya ditemui pada hampir semua hotel-hotel di

(7)

pengguna jasa Spa menunjukkan bahwa ketertarikan mereka menyukai jasa

Spa Bali karena metode Spa yang unik, dan terpenting adalah bahan dasar produk Spa yang digunakan merupakan bahan herbal, alami, segar, tanpa zat

pewarna buatan, dan tanpa zat pengawet buatan. Fenomena ini menandakan

bahwa sukses Spa di Bali sangat didukung oleh produk Spa yang ditawarkan.

Produsen produk Spa terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan

konsumennya, namun tidak semua produk baru Spa yang dihasilkan oleh

anggota Persatuan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) mampu mencapai hasil

optimal. Tidak semua produk yang ditawarkan perusahaan diterima dengan

baik oleh konsumen, sehingga cukup mempengaruhi tingkat keuntungan yang

diperoleh. Munculnya produk pesaing sebagai produk pengganti cukup

meresahkan. Keadaan ini dirasakan oleh sebagain besar produsen produk Spa

Bali. Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka persaingan industri Spa menjadi

cukup mengkhawatirkan, begitu juga dengan kelanjutan predikat Bali sebagai

daerah kunjungan wisata Spa yang dipertimbangkan oleh wisatawan dunia.

(kemlu.go.id). Kondisi ini memotivasi untuk meneliti lebih lanjut berkaitan

dengan upaya tetap menjaga budaya Bali yang cukup terkenal, dengan

mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal dikemas dalam bentuk

produk Spa Bali. Produk Spa Bali dihasilkan langsung oleh produsen produk

Spa yang ada di Bali.

Produsen produk Spa Bali merupakan Usaha Kecil Menengah (UKM)

yang termasuk sektor industri pengolahan non migas. Kegiatan UKM dalam

menerapkan inovasi untuk menghasilkan produk alami dengan pendekatan

(8)

Iftikhar, 2012). Penelitian inovasi hijau di sektor UKM relatif masih sedikit.

Aktivitas strategi pendekatan hijau lebih banyak diterapkan oleh perusahaan

besar, sehingga penelitian pendekatan hijau juga hanya dilakukan pada

perusahaan besar (Wong, 2012). Hal ini menjadi gap atau kesenjangan yang

perlu diteliti lebih lanjut, mengenai penerapan pendekatan hijau pada UKM

produk Spa, dilengkapi dengan sejumlah isu lokal yang mendukung. Gap atau

kesenjangan yang dimaksud adalah bahwa inovasi hijau hanya mampu

diterapkan pada organisasi yang cukup besar dengan modal besar, dan masih

sedikit penelitian inovasi hijau dilakukan pada UKM, sehingga ini menjadi

celah penelitian lebih lanjut untuk menguatkan inovasi hijau pada UKM yang

memiliki modal relatif terbatas.

Ukuran sukses produk baru yang digunakan perusahaan dengan

menerapkan pendekatan hijau dinilai dari tiga perspektif. Pertama, produk baru

sesuai dengan upaya pemeliharaan lingkungan dan aturan untuk penyelamatan

lingkungan. Produk baru yang sukses adalah produk baru yang dihasilkan

sesuai dengan rambu-rambu menjaga lingkungan dan selalu berupaya untuk

mengikuti aturan penyelamatan lingkungan. Kedua, produk baru mampu

menghasilkan pendapatan yang lebih baik dari sebelumnya (Matsuno et al.,

2002; Calantone et al., 2006; Song et al., 2006; dan Paladino, 2007). Sukses

produk baru berhasil meningkatkan penjualan sebelumnya, sehingga

menghasilkan pendapatan lebih baik pula. Ketiga, pendapat umum

mengungkapkan bahwa keberhasilan produk baru, dapat diamati dari

(9)

organisasi. Penelitian tentang ketiga perspektif ini dilakukan oleh Song et al.

(2000), Baker dan Sinkula (2005), dan Paladino (2007).

Sukses produk baru merupakan suatu ukuran kinerja yang diperoleh

perusahaan. Sukses produk baru dapat dinyatakan berupa produk dapat

diterima dengan baik oleh konsumen karena mampu memenuhi kebutuhan

konsumen, produk baru mampu memberikan image positif pada perusahaan,

serta produk baru mampu meningkatkan pendapatan dan keuntungan. Studi

lain mengenai sukses produk baru dilakukan oleh Bsieler dan Gross (2003),

Pentina dan Strutton (2007), Kiewiet dan Achterkamp (2008), Lau (2011),

serta Chen dan Chang (2013).

Sukses produk baru yang dicapai organisasi ditentukan oleh

kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya. Penggunaan sumber daya dan

pemanfaatan maksimal dengan kemampuan mengelola yang baik, jika

diterapkan organisasi secara efektif mampu mencapai keunggulan bersaing

(Makadok, 2001 dan Nasution et al., 2011). Melalui kemampuan berinovasi

dengan memanfaatkan sumber daya dan berinovasi proses mampu

menghasilkan keunggulan bersaing. Keunggulan bersaing berupa kemampuan

menawarkan atribut yang unik, produk yang dihasilkan lebih unggul daripada

produk pesaing, memiliki manfaat yang tidak ditemukan pada produk pesaing,

memiliki kualitas lebih unggul, unggul dalam kinerja teknis dan efisiensi biaya

perusahaan. Produk-produk dengan pendekatan inovasi hijau juga mampu

meningkatkan profitabilitas perusahaan, mendatangkan pelanggan baru serta

meningkatkan pendapatan (Kash dan Rycoft, 2000; Nassimbeni, 2003; dan

(10)

Keunggulan bersaing menjadi harapan setiap wirausaha, sehingga

upaya itu terus dilakukan melalui perubahan atau inovasi-inovasi yang

memungkinkan, termasuk melakukan inovasi hijau. Chen et al. (2006)

berpendapat bahwa antara inovasi hijau dan keunggulan bersaing berhubungan

secara positif signifikan. Inovasi hijau dapat meningkatkan nilai produk,

sehingga dapat mengimbangi biaya investasi pada lingkungan. Akhirnya,

inovasi hijau dapat meningkatkan citra perusahaan melalui sukses produk baru

hijau yang dihasilkan. Hal itu membuat perusahaan menjadi lebih berkembang

dengan menerapkan pendekatan hijau dalam kegiatannya. Studi selanjutnya

menemukan bahwa inovasi produk menggunakan pendekatan inovasi hijau

berkontribusi terhadap keunggulan bersaing perusahaan (Chiou et al., 2011).

Jika perusahaan antusias melakukan pendekatan inovasi hijau, perusahaan

dapat melaksanakan strategi diferensiasi hijau dan membentuk aturan bersaing

memeroleh keunggulan bersaing (Chang 2012).

Keunggulan bersaing yang dicapai perusahaan memerlukan pendekatan

inovasi secara kontinyu. Inovasi tidak hanya menghasilkan keunggulan

bersaing, namun juga berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap

sukses produk baru. Tujuan inovasi produk baru adalah untuk

mengomersialkan produk baru sehingga berkontribusi terhadap perusahaan

(Veldhuizen et al., 2006). Produk baru yang sukses tidak hanya nampak dari

pengembangkan ide-ide inovatif ke dalam fitur produk, tetapi juga ditunjukkan

oleh kinerja produk pada tahap pascaproduksi (Wong dan Tong, 2012). Ide

inovatif yang dimiliki merupakan sesuatu yang mampu bersaing dengan

(11)

ditawarkan, di antaranya kualitas, fasilitas, manfaat, bentuk, ukuran, dan

lainnya berkaitan dengan atribut produk.

Strategi inovasi dilakukan oleh perusahaan memiliki peran dalam

mencapai kinerja bisnis (Yasa, 2016). Inovasi dilakukan dengan memanfaatkan

sumberdaya organisasi yang perlu dikembangan secara terus menerus dalam

mencapai kinerja. Meskipun ada banyak langkah untuk mengukur kinerja

produk baru, indikator keuangan seperti keuntungan produk dan pendapatan

masih lebih unggul di atas indikator lainnya sebagai hal paling umum untuk

kinerja produk (Paladino, 2007; Wong dan Tong, 2012). Keuntungan

perusahaan dan tingkat pendapatan secara umum masih merupakan indikator

untuk menilai kinerja atau sukses produk baru. Namun, ketika perhatian pada

pendekatan hijau diperhitungkan dalam pengembangan produk, daya saing

keuangan produk hijau dan tanggung jawab pada lingkungan dapat juga

digunakan untuk mengukur sukses produk.

Penelitian Huang dan Wu (2010) menjelaskan hubungan pendekatan

inovasi hijau yang dilakukan organisasi terhadap pencapaian sukses produk

baru, adalah terdapat hubungan tidak signifikan antara inovasi hijau terhadap

sukses produk baru. Artinya, inovasi hijau tidak berpengaruh pada sukses

produk baru. Inovasi hijau yang dimaksud termasuk upaya mencegah polusi

dan melakukan segala aktivitas perusahaan selalu berupaya dengan pendekatan

hijau. Sukses produk baru diukur dengan menggunakan indikator keberhasilan

kinerja keuangan, meminimalkan limbah, termasuk kemampuan memperoleh

International Organization for Standardization (ISO) 14001. Inovasi hijau

(12)

penjualan, sehingga tidak ada pengaruhnya pada kinerja keuangan. Kondisi

tersebut disebabkan karena pelaksanaaan inovasi hijau memerlukan biaya

relatif tidak kecil.

Penelitian lain memberikan hasil berbeda, yang menyatakan bahwa

inovasi dengan pendekatan hijau tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja

keuangan (Salvado, 2014). Oleh karena itu, upaya mengembangkan inovasi

hijau merupakan win-win solution bagi perusahaan yang menghadapi konflik

antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Organisasi yang

menerapkan strategi proaktif lingkungan harus benar-benar terlibat dengan

masalah lingkungan dan berupaya untuk berkomunikasi tambahan kepada

stakeholder.

Wong (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan tidak signifikan

antara inovasi hijau dengan sukses produk baru, yang memerlukan peran

variabel mediasi yaitu variabel keunggulan bersaing. Keunggulan bersaing

mampu memediasi secara signifikan antara inovasi hijau dengan sukses produk

baru. Inovasi hijau terdiri atas inovasi produk dan inovasi proses. Untuk

mencapai sukses produk baru, inovasi yang dilakukan paling tidak mampu

menghasilkan keunggulan bersaing untuk bersaing dengan pesaing.

Keunggulan bersaing yang dimiliki tersebut diharapkan mampu mencapai

sukses produk baru. Adanya variasi hasil penelitian ini menjadi celah untuk

diteliti lebih lanjut. Untuk meningkatkan sukses produk baru maka

ditambahkan variabel keunggulan bersaing sebagai variabel mediasi.

Pendekatan inovasi hijau dapat berkaitan dengan inovasi produk dan

(13)

polusi, dan penggunaan sumber daya secara efisien. Upaya mencegah atau

mengurangi limbah dan polusi memerlukan pemanfaatan sumber daya yang

lebih baik, mengurangi dampak lingkungan, dan mampu memberikan nilai

yang lebih baik kepada pelanggan. Inovasi hijau yang diterapkan juga bisa

terjadi karena proaktif pada lingkungan dan reaktif pada lingkungan. Penelitian

ini membagi inovasi hijau menjadi dua dimensi, yaitu inovasi produk dan

inovasi proses. Hal ini dilakukan karena mengacu pada empiris sebelumnya

(Wong, 2012) menganalisis inovasi hijau dengan dua dimensi dan inovasi hijau

secara keseluruhan. Hasil penelitiannya mennyebutkan bahwa inovasi hijau

secara keseluruhan memberikan pengaruh positif signifikan dan dimensi

inovasi proses memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap keunggulan

bersaing.

Sukses produk baru hijau hanya dihasilkan oleh organisasi atau

perusahaan yang menerapkan pendekatan hijau (Wong, 2012). Sukses dapat

dicapai dengan pemanfaatan sumberdaya secara efektif dan efisien.

Pemanfaatan sumberdaya melalui serangkaian inovasi peduli lingkungan untuk

mampu memiliki keunggulan bersaing. Jadi, memiliki keunggulan bersaing

hijau jika melakukan inovasi hijau. Inovasi hijau bisa terwujud karena adanya

kepedulian yang tinggi pada lingkungan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka kegiatan produksi ramah

lingkungan perlu mendapat dukungan sepenuhnya dari semua pihak dan sangat

tergantung pada wirausaha itu sendiri. Wirausahawan (entrepreneur) pada

dasarnya adalah pengusaha yang menciptakan bisnis baru dalam lingkungan

(14)

keuntungan dan pertumbuhan dengan kemampuan mengidentifikasi peluang

dan menggabungkan sumber-sumber daya yang diperlukan menjadi kekuatan

bisnis (Nasution et al., 2011). Schaper (2010) menyarankan bahwa pada

kondisi kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan ini diperlukan peran

entrepreneur atau wirausaha dalam mengatasi masalah lingkungan. Aktivitas entrepreneur dituntut untuk ikut serta memperhatikan pengaruh kegiatan bisnis terhadap lingkungan hidup. Entrepreneur dianggap dapat berkontribusi dalam

memecahkan masalah kerusakan lingkungan melalui menciptakan barang dan

jasa baru yang memerhatikan lingkungan (Cohen dan Winn, 2007). Barang dan

jasa baru yang dihasilkan ketika melakukan pengembangan dan menggunakan

proses produksi dalam operasionalnya selalu diupayakan untuk peduli

lingkungan. Melalui kesadaran mengitegrasikan antara tujuan bisnis dan upaya

memperhatikan lingkungan, mulai berkembang istilah kewirausahaan hijau

(Environment Victoria, 2009).

Entrepreneurship mengacu pada lensa lingkungan terbentuk dari kepribadian pemimpin perusahaan dalam upaya menjaga lingkungan alam

(Shaltegger, 2002). Ecopreneurship ditentukan oleh sifat-sifat entrepreneur

dan perilaku perduli lingkungan. Selanjutnya Schaltegger (2002) menyebutkan

bahwa ecopreneurship terbentuk karena adanya hal mendasar dari aktivitas

wirausaha. Ecopreneurship terjadi semata-mata merupakan inisiatif individu

wirausaha dengan memanfaatkan ketrampilannya, menyadari bahwa

kesuksesan pasar bisa dilakukan dengan kreativitas yang memperhatikan

(15)

Pastakia (2002) menyebutkan ecopreneurship adalah suatu tipe ideal

namun tidak sempurna. Pendapat ini mengacu pada sifat individu yang kreatif

dan berupaya menemukan celah bisnis untuk mewujudkan keberlanjutan.

Keberlanjutan organisasi maupun keberlanjutan lingkungan dapat tercapai

dengan memulai bisnis menggunakan pendekatan hijau. Pendekatan hijau

memerlukan inovasi untuk setiap aktivitas, termasuk inovasi proses dan

memiliki komitmen jangka panjang terhadap segala hal yang dilakukan. Selain

itu juga terdapat upaya membuat kebijakan mendorong jumlah ecopreneur

menjadi ecopreneurship.

Ecopreneurship merupakan wirausahawan yang mencerminkan sifat keperdulian pada lingkungan alam dalam melakukan kegiatan bisnis.

Keperdulian muncul dari dalam diri wirausaha yang berupaya menjaga

lingkungan, tetap menjaga keberlangsungan perkembangan organisasi.

Kreativitas ecopreneurship memiliki potensi menghasilkan produk dan jasa

ramah lingkungan. Produk ramah lingkungan diharapkan menghasilkan

keunggulan bersaing dan memiliki peluang mencapai sukses produk baru.

Selanjutnya, ecopreneurship digunakan sebagai sebuah strategi yang mampu

memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk-produk ramah lingkungan.

Berdasarkan fenomena global, fenomena lokal, isu bisnis, dan

penelitian empiris, maka dipandang perlu melakukan pengembangan terhadap

penelitian Wong (2012) mengenai hubungan inovasi hijau terhadap keunggulan

bersaing dan sukses produk baru. Pengembangan dilakukan dengan

menambahkan variabel ecopreneurship. Alasan mendasar diperlukan

(16)

menunjukkan hubungan kurang kuat antara inovasi hijau terhadap keunggulan

bersaing dan terhadap sukses produk baru, yaitu ditunjukkan dengan nilai beta

yang kurang dari 0,50. Hal itu menandakan bahwa variabel-variabel penelitian

yang digunakan hanya mampu mempengaruhi mencapai sukses produk baru

masih dibawah 50 prosen, sehingga sangat memungkinkan terdapat variabel

lain yang mempengaruhi. Untuk lebih memperkuat hubungan tersebut

dipandang perlu menambah variabel baru dengan menambahkan variabel

ecopreneurship.

Beberapa alasan yang mendukung penambahan variabel

ecopreneurship adalah sebagai berikut: pertama, Isaak (2002) menyebutkan bahwa organisasi yang mengembangkan usaha ramah lingkungan sangat perlu

menerapkan ecopreneurship, karena ecopreneurship sebagai motivasi luar

biasa untuk menggerakkan organisasi. Orang-orang yang terlibat dalam

organisasi memiliki dedikasi tinggi sadar lingkungan, dedikasi pada proses

pengolahan menjaga lingkungan, dan dedikasi pada produk alamiah akan

memudahkan pekerja atau karyawan untuk bekerja keras melebihi waktu yang

sudah ditentukan. Sesungguhnya, ecopreneurship sudah ada dalam individu

masing-masing, hanya menunggu kesempatan untuk menerapkannya, terdapat

kesadaran dalam diri dan motivasi yang mendorongnya.

Kedua, Kirwood dan Walton (2010b) menyatakan mengenai pentingnya

pengusaha menerapkan ecopreneurship pada awal memulai bisnis apabila

perusahaan menerapkan pendekatan hijau. Ketiga, Schaper (2010:31)

(17)

baru ramah lingkungan. Untuk itulah diperlukan ecopreneurship jika akan

memproduksi produk ramah lingkungan.

Keempat, Ecopreneurship merupakan fenomena yang relatif baru,

mulai dikenal pada tahun 1970 (Quinn, 1971; Schaper, 2002; dan Shcaper,

2010). Pada Tahun 1970, Harvard Business Review merupakan pionir yang

memperkenalkan pertama kali istilah “ecopreneurship” dengan

memperdebatkan bahwa aktivitas ecology memberikan ekspansi bisnis sebagai

peluang pasar baru yang menguntungkan daripada hanya kegiatan ekonomi

semata tanpa memerhatikan lingkungan (Quinn, 1971). Kelima,

ecopreneurship dianggap penelitian yang masih langka dan dianggap penelitian yang masih berada pada masa kanak-kanak (Cohen dan Winn, 2007).

Keenam, awal tahun 1990-an, hanya terdapat beberapa penulis mulai

menulis lebih rinci berkaitan dengan kewirausahaan berorientasi lingkungan,

seperti Blue (1990); Bennett (1991); Anderson dan Leal (1997); Isaak 1998;

Keogh dan Polonsky (1998), Pastakia (1998); Larson (2000); Kyrö (2001);

Schaltegger dan Petersen (2001); Schaltegger (2002); Gibbs (2009); Mc Ewen

(2012); serta Palmas dan Linberg (2013) . Kajian penelitian mengenai

ecopreneurship dianggap masih sangat sedikit dan hanya sebatas penelitian literatur (Gibbs, 2009).

Alasan lainnya adalah terdapat anggapan bahwa ecopreneurship hanya

dapat dilakukan oleh industri besar yang memiliki sumber daya besar dan kuat.

Penerapan ecopreneurship membutuhkan investasi relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan tanpa ecopreneurship. Sebenarnya, peluang

(18)

saat ini penelitian strategi pendekatan hijau pada sektor UKM masih sangat

sedikit (Koe et al., 2014), karena yang ada lebih banyak penelitian pendekatan

hijau dilakukan pada perusahaan besar. Mengamati keadaan itu, maka

diupayakan mengisi kesenjangan (gap) dengan melakukan penelitian

ecopreneurship pada UKM

Penelitian implementasi mengenai ecopreneurship oleh Palmas dan

Linberg (2013), yang meneliti mengenai penerapan ecopreneurship dan

keberlanjutan sebagai mata pencaharian. Penelitian dilakukan pada petani di

Sri Lanka yang menerapkan pertanian organik. Hasil penelitian menyebutkan

bahwa ecopreneurship yang dimiliki dalam individu petani tersebut, diterapkan

dalam upaya menghasilkan produk pertanian organik, tidak dapat digunakan

sebagai mata pencaharian kehidupan sehari-hari sebagai petani.

Ecopreneurship hanya menguntungkan untuk jangka pendek. Ini berarti bahwa sifat ecopreneurship yang dimiliki dan diterapkan untuk menghasilkan produk

pertanian organik, cukup mampu memberikan pendapatan, namun tidak sesuai

dengan harapan digunakan sebagai mata pencaharian para petani. Keadaan ini

dianggap sebagai dilemma dalam penerapan ecopreneurship.

Koe et al. (2014) dalam penelitiannya pada 249 pemilik dan manajer

UKM di Malaysia menyatakan bahwa terdapat suatu kesepakatan diantara

mereka pemilik dan manajer UKM tentang bisnis yang berkelanjutan

mendapatkan manfaat yang positif. Kesepakatan juga tentang dukungan untuk

menjaga lingkungan. Penerapan bisnis yang berkelanjutan ini menarik sesuai

dengan norma yang ada dan memberikan banyak manfaat lainnya pada

(19)

asosiasi yang kuat bagi pengusaha yang menerapkan bisnis berkelanjutan.

Kamukama et al. (2011) menyebutkan bahwa keunggulan bersaing memediasi

hubungan model intelektual dengan kinerja keuangan perusahaan. Model

intelektual secara umum merupakan bagian yang dimiliki seorang wirausaha

dalam mengelola organisasi, termasuk mengelola dalam menerapkan

pendekatan hijau. Modal intelektual tidak berpengaruh langsung terhadap

kinerja perusahaan, memerlukan keunggulan bersaing sebagai pemediasi,

sehingga mampu mencapai kinerja yang baik bagi perusahaan.

Azorin (2015) menyatakan bahwa manajemen mutu dan manajemen

lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keunggulan bersaing

hotel. Manajemen mutu membutuhkan kerjasama para manajer, proses

produksi melakukan penghematan dalam penggunaan air, energi listrik dan

sumber daya alam lainnya, serta berupaya mengurangi pengaruh negatif

lainnya terhadap lingkungan. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Warnke

(2015) bahwa terdapat hubungan positif dan signfikan antara penerapan

berkelanjutan lingkungan terhadap peluang membangun keunggulan bersaing.

Upaya berkelanjutan lingkungan dilakukan dengan menyediakan kebutuhan

konsumen akan produk ramah lingkungan, merupakan peluang membangun

keunggulan bersaing jangka panjang. Mencapai berkelanjutan lingkungan

memerlukan keterlibatan banyak pihak seperti pemilik dan manajer

perusahaan, keterlibatan karyawan, transparansi penuh dalam menjalankan

etika bisnis yang peduli lingkungan. Adaptasi pada penggunaan teknologi

peduli lingkungan mencapai keunggulan bersaing serta meningkatkan kinerja

(20)

Mencermati kelima penelitian tersebut yaitu penelitian Palmas dan

Linberg (2013), Koe et al. (2014), Kamukama et al. (2011), Azorin (2015),

Warnke (2015, serta Rahman dan Ramli (2014). Hanya satu penelitian yaitu

Palmas dan Linberg (2013) yang secara langsung menggunakan istilah

ecopreneurship. Penelitiannya adalah mengenai ecopreneurship diterapkan oleh para petani sebagai mata pencaharian sehari-hari. Eksperimen dilakukan

pada agro-ekonomi di Hambantota Sri Lanka. Temuannya menyebutkan bahwa

ecopreneurship tidak dapat diandalkan meningkatkan hasil pertanian, apalagi digunakan sebagai sumber mata pencaharian utama para petani.

Ecopreneurship hanya berpengaruh untuk jangka pendek sehingga, tidak dapat digunakan sebagai sumber penghasilan utama sebagai kehidupan sehari-hari

petani organic. Empiris lainnya tidak secara eksplisit menyebut istilah

ecopreneurship, seperti menggunakan istilah inovasi hijau maupun keberalanjutan lingkungan, sedangkan istilah tersebut menunjukkan aktivitas

organisasi yang menerapkan pendekatan hijau merupakan ciri ecopreneurship,

namun tidak secara langsung merujuk pada istilah ecopreneurship.

Berdasarkan penelitian empiris, isu global, isu lokal, isu bisnis, dan

research gap yang terjadi berkaitan dengan ecopreneurship, inovasi hijau, keunggulan bersaing, dan sukses produk baru, maka penelitian ini merupakan

pengembangan dari penelitian Wong (2012) yang menggunakan tiga variabel

yaitu inovasi hijau, keunggulan bersaing, dan sukses produk baru.

Pengembangan selanjutnya dipandang perlu dengan menambahkan satu

variabel baru yaitu variabel ecopreneurship guna mendukung organisasi

(21)

keunggulan bersaing, dan sukses produk baru. Selanjutnya, dipandang perlu

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai ecopreneurship dan inovasi hijau

untuk menguatkan keunggulan bersaing dan sukses produk baru Spa di Bali.

Penelitian ini diharapkan dapat memperjelas ecopreneurship dan inovasi hijau

dalam menciptakan nilai pada perusahaan dan tetap menjaga lingkungan. Studi

ini juga diharapkan memberikan kontribusi dalam pengembangan manajemen

strategik, dan praktek-praktek bisnis mencapai sukses bisnis dengan

menggunakan pendekatan hijau.

1.2 Perumusan Masalah

Berpijak pada hasil penelitian empiris, fenomena global, fenomena

lokal, sedikitnya penelitian tentang ecopreneurship, dan research gap, maka

penelitian ini membahas ecopreneurship dan aktivitas pendekatan hijau yang

dilakukan oleh perusahaan, seperti inovasi hijau, keunggulan bersaing dan

sukses produk baru. Adapun rumusan masalah yang muncul adalah sebagai

berikut.

1) Bagaimanakah pengaruh ecopreneurship terhadap sukses produk baru Spa

di Bali?

2) Bagaimanakah pengaruh ecopreneurship terhadap keunggulan bersaing pada

produk Spa di Bali?

3) Bagaimanakah pengaruh inovasi hijau terhadap keunggulan bersaing pada

produk Spa di Bali?

4) Bagaimanakah pengaruh inovasi hijau terhadap sukses produk baru pada

(22)

5) Bagaimanakah pengaruh keunggulan bersaing terhadap sukses produk baru

Spa di Bali?

6) Bagaimanakah peran keunggulan bersaing memediasi pengaruh

ecopreneurship terhadap sukses produk baru Spa di Bali?

7) Bagaimanakah peran keunggulan bersaing memediasi pengaruh inovasi

hijau terhadap sukses produk baru Spa di Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara rinci tujuan penelitian ini dapat dikaitkan dengan upaya mencari

jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada rumusan

masalah. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk menjelaskan pengaruh ecopreneurship terhadap sukses produk baru

pada produsen produk Spa di Bali.

2) Untuk menjelaskan pengaruh ecopreneurship terhadap keunggulan bersaing

pada produsen produk Spa di Bali.

3) Untuk menjelaskan pengaruh inovasi hijau terhadap keunggulan bersaing

pada produsen produk Spa di Bali.

4) Untuk menjelaskan pengaruh inovasi hijau terhadap sukses produk baru

pada produsen produk Spa di Bali.

5) Untuk menjelaskan pengaruh keunggulan bersaing terhadap sukses produk

baru pada produsen produk Spa di Bali.

6) Untuk menjelaskan peran keunggulan bersaing dalam memediasi pengaruh

ecopreneurship terhadap sukses produk baru pada produsen produk Spa di Bali.

(23)

7) Untuk menjelaskan peran keunggulan bersaing dalam memediasi pengaruh

inovasi hijau terhadap sukses produk baru pada produsen produk Spa di

Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian

ini adalah sebagai tambahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan

bidang manajemen pemasaran, manajemen strategik, dan ecopreneur,

khususnya dalam konsep perusahaan dalam penerapan pendekatan hijau untuk

mencapai sukses produk baru hijau. Apabila dijabarkan secara terperinci

manfaat atau kegunaan tersebut adalah sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dalam

konsep ecopreneurship yang merupakan pengembangan dari konsep

entrepreneur dalam hubungannya dengan manajemen pemasaran dan

manajemen strategik, yaitu keunggulan bersaing dan sukses produk baru

(Schaltegger, 2002). Penelitian ini memandang ecopreneurship dan inovasi

hijau sebagai sumber daya utama untuk menguatkan pendekatan hijau yang

selanjutnya mampu menciptakan keunggulan bersaing dan mencapai sukses

produk baru yang memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.

Pengembangan ecopreneurship ini juga akan disertai dengan pengembangan

(24)

1.4.2 Manfaat praktis

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan

informasi, cara pandang alternatif, dan sebagai bahan pertimbangan kepada

para pebisnis mengenai upaya untuk tetap menjaga keberlangsungan organisasi

dan lingkungan. Khususnya tentang konsep perusahaan dalam penerapan

pendekatan hijau untuk melakukan inovasi guna mencapai keunggulan

bersaing dan sukses produk baru yang merupakan bagian dari kinerja

organisasi. Selain itu, juga diharapkan akan bermanfaat bagi pemerintah dalam

mengambil kebijakan berkaitan dengan penerapan binis yang ramah

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dari hasil uji F ini dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis pertama dari penelitian yakni diduga bahwa brand image yang terdiri dari corporate image,

PENDAPAT SISWA TENTANG PELAKSANAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA MATA PELAJARAN TATA HIDANG DI SMK NEGERI 2 BALEENDAH.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Negara 1994 LURAH BABAKAN SURABAYA 2005 KASI PEREKONOMIAN KEC. UJUNG

Pendeteksian tepi pada citra mikroskop optik dari serat PCS menggunakan metode Canny diperoleh citra pendeteksian tepi yang lebih baik dibandingkan dengan metode

Dalam kajian terhadap kenaikan muka laut, kenaikan per tahun untuk wilayah Bali adalah 3 mm sehingga kenaikan ini belum menjadi penyebab pemutihan pada karang, sedangkan dalam

Kedudukan dan fungsi Pancasila bila mana kita kaji secara ilmiah memiliki pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup

Kepala Seksi Evaluasi, Pengembangan dan Pelestarian Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Tasikmalaya Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah

- Kemenkes mendukung rekomendasi Bank Dunia dan meminta Kemenkeu untuk meningkatkan anggaran sektor minimal 5% dari APBN diluar gaji, serta mengarahkan peningkatan pada