104 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang pelaksanaan pengumpulan data, hasil analisis data dan pembahasannya. Dari uraian ini, peneliti berusaha untuk menjawab perumusan masalah penelitian.
A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji apakah ada perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa; (2) menguji apakah ada perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa; dan (3) menguji apakah ada interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
Waktu pelaksanaan penelitian pada tanggal 16 Mei 2016 untuk pra-eksperimen serta tanggal 20, 23 dan 25 untuk pra-eksperimen di dua kelas, siswa kelas VIII yang terdiri dari dari kelas VIII A dan VIII C di SMP Negeri 14 Yogyakarta, D.I Yogyakarta, Indonesia. Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, penelitian eksperimen ini menguji perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Eksperimen yang dilakukan menggunakan desain post-test-only-nonequivalent comparison-group. Setiap pertemuan
105
dilakukan post-test setelah proses pembelajaran. Alokasi waktu tiap pertemuan berlangsung lebih kurang selama 2 × 40 menit (2 jam pelajaran).
Kedua kelas eksperimen sama-sama berdasarkan Cognitive Load Theory akan tetapi menggunakan model pembelajaran yang berbeda, yaitu kelas VIII C menggunakan model TGT dan kelas VIII A menggunakan model individu. Jenis materi pembelajaran terdiri dari dua, yaitu panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.
Sebelum menguraikan hasil penelitian, berikut ini Tabel 4.1 yang menjabarkan jadwal pelaksanaan pembelajaran (pengumpulan data) di sekolah sebagai gambaran fase-fase penelitian di masing-masing kelas.
Tabel 4. 1 Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran
*alokasi waktu di RPP selama 80 menit (fase I: 5 menit, fase II: 10 menit, fase III: 30 menit dan fase IV: 35 menit)
** alokasi waktu di RPP selama 80 menit (fase I: 5 menit, fase II: 10 menit, fase III: 45 menit dan fase IV: 20 menit)
Kelas (model) Hari/Tgl Fase I (menit) Fase II (menit) Fase III (menit) Fase IV (menit) Total (menit) TGT pra- eksperi-men
Senin, 16 Mei 2016 Pegujian prior-knowledge 80
Materi I Senin, 23 Mei 2016 10 10 35 35 85*
Materi II Rabu, 25 Mei 2016 10 10 50 20 90**
Individu pra-
eksperi-men
Senin, 16 Mei 2016 Pegujian prior-knowledge 80 Materi I Jumat, 20 Mei 2016 10 10 25 30 85* Materi II Senin, 23 Mei 2016 10 10 30 25 75**
106
Pada rencana sebelum penelitian, jumlah sampel yang akan dijadikan objek penelitian adalah 67 siswa dari dua kelas VIII, yakni kelas VIII A sejumlah 34 siswa dan kelas VIII C sejumlah 33 siswa. Akan tetapi pada saat pelaksanaan penelitian berlangsung, beberapa siswa tidak dapat hadir ataupun memenuhi kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dikarenakan kegiatan sekolah seperti kegiatan OSIS, kegiatan pramuka serta karena urusan pribadi seperti izin dan sakit, sehingga jumlah sampel pada saat penelitan menjadi 55 siswa, diantaranya 30 siswa untuk kelas VIII A dan 25 siswa untuk kelas VIII C.
Pembelajaran dilaksanakan dalam empat fase, yaitu: (1) fase pengaktifan pengaktifan prior-knowledge; (2) fase pengenalan materi baru; (3) fase akuisisi akuisisi kemampuan pemecahan masalah; dan (4) fase tes pemecahan masalah. Berikut ini penjabaran setiap fase pembelajaran pada masing-masing kelas eksperimen.
1. Model TGT
a. Pra-eksperimen
Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman
prior-knowledge antarsiswa sama atau belum. Soal tes berkaitan dengan
materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental.
Kegiatan ini berlangsung cukup kondusif. Tes yang dilakukan selama 60 menit. Sedangkan 20 menit terakhir digunakan untuk membahas tes.
107
Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi
prior-knowledge. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan
bertanya dan ditanya. Pada saat ditanya, siswa cenderung pasif akan tetapi pada saat bertanya, siswa cenderung aktif.
b. Pertemuan Pertama
Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi
prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge
diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi secara heterogen (kemampuan akademik dan jenis kelamin) sebelum fase pengenalan materi baru dilakukan. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.
Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara berkelompok dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema
automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan
108
melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu. Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat
completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan
dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip
Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti
pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS ada dua macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.
Diskusi tidak diperbolehkan antarkelompok. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau
109
mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah).
Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.
Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.
Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
c. Pertemuan Kedua
Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi
110
diantaranya panjang diameter lingkaran dan panjang busur lingkaran. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen. Kemudian peneliti membagi siswa menjadi tujuh kelompok. Pengelompokan dibagi berdasarkan kelompok pada pertemuan sebelumnya. Setelah pembagian kelompok, siswa diberitahu aturan permainan dan pembelajaran.
Pada fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara berkelompok dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti.
Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut secara berkelompok agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip
111
Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti
pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Selama fase ini, siswa mengerjakan LKS yang dikemas dalam bentuk permainan (game) serta pemberian skor bagi setiap kelompok. Sub-materi LKS hanya satu macam, yaitu menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.
Diskusi tidak diperbolehkan antarkelompok. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah).
Siswa diinstruksikan untuk menulis jawaban pada LKS dan karton putih agar setiap siswa memiliki tugas, seperti berdiskusi memecahkan jawaban soal, menulis jawaban di LKS, menulis jawaban di karton putih dan mempresentasikan jawaban. Akan tetapi karena keterbatasan waktu, sesi presentasi jawaban tidak dapat dilakukan sehingga peneliti mengganti dengan memberi kesempatan pada beberapa siswa untuk bertanya dan menyimpulkan pembelajaran pada pertemuan tersebut. Kegiatan ini sekaligus memberi kunci jawaban LKS pada siswa.
112
Kegiatan selajutnya adalah turnamen antarkelompok. Pada rencana awal, siswa dirangking berdasarkan skor individu untuk menempati meja turnamen secara berurut akan tetapi karena keadaan kelas dan kondisi siswa yang kurang kondusif, peneliti membagi meja turnamen berdasarkan kelompok game. Setiap kelompok dibari empat pertanyaan berkaitan materi pembelajaran pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang diambil dengan cara diundi. Kelompok yang sudah selesai memecahkan soal langsung mengumpulkan jawabannya. Kemudian peneliti menilai kelompok mana yang dapat memecahkan soal dengan cepat dan tepat untuk menentukan kelompok terbaik. Penilaian skor berdasarkan akumulasi skor game pada kedua pertemuan dan skor tournament. Penghargaan yang diberikan pada kelompok terbaik berupa sertifikat.
Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.
Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
113 2. Model individu
a. Pra-eksperimen
Peneliti melakukan tes untuk mengetahui apakah tingkat pemahaman
prior-knowledge siswa pada kedua kelas maupun antarsiswa sama atau belum.
Soal tes berkaitan dengan materi prior-knowledge untuk kedua pertemuan seperti yang telah dipaparkan pada Bab II. Kemudian soal tes tersebut dibahas secara bersama. Perlu diketahui bahwa kegiatan tes dan pembahasannya merupakan kegiatan bersifat pra-eksperimental.
Kegiatan ini berlangsung cukup kondusif. Tes yang dilakukan selama 40 menit. Sedangkan 40 menit terakhir digunakan untuk membahas tes. Karena keterbatasan waktu dan sebagian besar siswa masih belum paham atau lupa, peneliti mengajak siswa berdiskusi terkait kesulitan dari materi
prior-knowledge. Diskusi bersifat klasikal dan induktif. Siswa diberi kesempatan
bertanya dan ditanya. Pada saat bertanya dan ditanya, siswa cenderung aktif. b. Pertemuan Pertama
Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi
prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge
diantaranya Teorema Pythagoras dan prinsip kesejajaran garis pada bidang datar. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen.
Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa
114
mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.
Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip
Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti
pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Sub-materi LKS ada dua macam, yaitu menentukan panjang garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran dan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.
Siswa tidak diperbolehkan berdiskusi dengan siswa lainnya. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan
115
kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah). Pada akhir fase ini, siswa diberi kunci jawaban LKS.
Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.
Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
c. Pertemuan Kedua
Pada fase pengaktifan prior-knowledge, siswa mempelajari materi
prior-knowledge dengan tanya jawab klasikal. Materi prior-knowledge
diantaranya panjang diameter lingkaran dan panjang busur lingkaran. Peneliti memastikan setiap siswa memahami dan dapat mengingat kembali materi tersebut dengan baik dengan memberikan konfirmasi jawaban yang benar, tanya jawab dan refleksi hasil tes pada pertemuan pra-eksperimen.
116
Pada rencana awal fase pengenalan materi baru, pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mencoba untuk menemukan rumus dari materi baru menggunakan ringkasan materi secara mandiri dan induktif, kemudian siswa memecahkan masalah-masalah dengan mengotomatisasikan pengetahuan (schema automation) rumus-rumus yang baru dipelajari ini dengan sedikit bimbingan dari peneliti. Akan tetapi pada pelaksanaannya, peneliti membantu siswa melalui penyampaian ringkasan materi secara klasikal dan deduktif karena siswa mengalami kesulitan dan keterbatasan waktu.
Kemudian siswa dinstruksikan agar membaca dan memahami ringkasan materi tersebut agar dapat memecahkan masalah soal. Selain itu, terdapat completion problem yang memiliki representasi mirip dengan apa yang akan dipelajari selama fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah agar siswa dapat memahami instruksi dalam kegiatan pembelajaran berikutnya. Siswa juga mendapat kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami. Peneliti sebagai guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa.
Pada fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memecahkan soal pada LKS yang memiliki prinsip-prinsip
Cognitive Load Theory. Fase belajar ini merupakan aktivitas inti
pembelajaran dan juga tujuan utama pembelajaran. Sub-materi LKS hanya satu macam, yaitu menentukan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih.
117
Siswa tidak diperbolehkan berdiskusi dengan siswa lainnya. Sebelum siswa memulai mengerjakan instruksi pembelajaran, guru menjelaskan kembali tujuan pembelajaran, aturan pembelajaran dan memotivasi siswa. Apabila selama belajar siswa bertanya kepada guru mengenai isi kegiatan, siswa diminta untuk mencermati kembali instruksi yang diberikan di lembar kerja atau mengingat materi yang dipelajari pada fase sebelumnya. Guru tidak menjelaskan atau menjawab pertanyaan siswa, sehingga hanya memfasilitasi siswa dalam mengerjakan LKS (memecahkan masalah). Pada akhir fase ini, siswa diberi kunci jawaban LKS.
Setelah fase akuisisi kemampuan pemecahan masalah selesai, siswa kembali ke tempat duduk masing-masing untuk mengikuti fase tes pemecahan masalah. Siswa mengerjakan secara individu, tidak boleh bertanya kepada guru atau teman lain, tidak ditunjukkan kunci jawaban dan tidak boleh menggunakan alat bantu seperti buku dan kalkulator.
Pelaksanaan fase-fase eksperimen ini dapat dikatakan cukup rapi dan taat pada prosedur yang direncanakan meskipun ada siswa yang tidak berpartisipasi dengan baik sesuai instruksi yang diberikan. Terdapat perubahan alokasi waktu di setiap fasenya.
B. Hasil Analisis Data 1. Deskripsi Data
Sebelum dilakukan analisis uji Repeated-measures ANOVA, perlu dilakukan pengukuran atau penilaian keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah yang dinilai dari post-test pada fase tes pemecahan masalah siswa
118
untuk kedua kelas eksperimen sehingga diperoleh perhitungan analisis deskriptif yang meliputi N (jumlah siswa), 𝑋𝑚𝑎𝑥 (nilai maksimal), 𝑋𝑚𝑖𝑛 (nilai minimal), mean (rata-rata) dan standard deviation (simpangan baku) dan varians. Berikut ini beberapa tabel yang menjabarkan distribusi frekuensi serta data deskriptif keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa pada model TGT dan individu.
Tabel 4. 2 Data Deskriptif Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Pada Model TGT
Deskriptif
Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Materi I Materi II Kedua materi Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4 Total Soal 1 Soal 2 Total N 25 25 25 25 25 25 25 25 25 𝑿𝒎𝒂𝒙 66,67 66,67 16,67 16,67 41,67 66,67 33,33 50 41,67 𝑿𝒎𝒊𝒏 16,67 0 0 0 4,16 0 0 0 4,16 Mean 43.33 46,00 2,67 02,00 23,5 54,67 29,33 42 32,75 S.Dev 18,63 30,91 6,23 5,52 12,08 14,84 11,05 11,90 9,61 Varians 347,22 955,56 38,89 30,56 145,94 220,37 122,22 141,67 92,41
Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model TGT
Interval Kategori 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Materi I Materi II Kedua materi Materi I Materi II Kedua materi 80,01 – 100 Sangat akurat 0 0 0 0 0 0 60,01 – 80,00 Akurat 0 0 0 0 0 0 40,01 – 60,00 Cukup akurat 3 22 4 12% 88% 16% 20,01 – 40,00 Tidak akurat 14 1 19 56% 4% 76% 0,00 – 20,00 Sangat tidak akurat 8 2 2 32% 8% 8%
119
Tabel 4. 4 Data Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada
Model TGT
Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Materi I Materi II Kedua materi
N 25 25 25
𝑿𝒎𝒂𝒙 0,0119 0,025 0,0172
𝑿𝒎𝒊𝒏 0,0011 0 0,0011
Mean 0,0067 0,0210 0,0138
S.Dev 0,0034 0,0059 0,0038
Varians 1,19154E-05 3,54147E-05 1,47639E-05
Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Pada Model TGT Interval (Materi I) 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Interval (Materi II) 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Kedua materi 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Kategori 0,0229 – 0,0285 0 0 0,041 – 0,050 0 0 0,0315 – 0,0392 0 0 Sangat cepat 0,0172 – 0,0228 0 0 0,031 – 0,040 0 0 0,0236 – 0,0314 0 0 Cepat 0,0115 – 0,0171 3 12% 0,021 – 0,030 22 88% 0,0158 – 0,0235 12 48% Cukup cepat 0,0058 – 0,0114 14 56% 0,011 – 0,020 1 4% 0,0079 – 0,0157 12 48% Tidak cepat 0,00 – 0,0057 8 32% 0,00 – 0,010 2 8% 0,00 – 0,0078 1 4% Sangat tidak cepat Tabel 4. 6 Data Deskriptif Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Pada Model Individu
Deskriptif
Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Materi I Materi II
Kedua materi Soal 1 Soal 2 Soal 3 Soal 4
Total Soal 1 Soal 2 Total N 30 30 30 30 30 30 30 30 30 𝑿𝒎𝒂𝒙 83,33 83,33 83,33 83,33 66,67 66,67 33,33 50 54,16 𝑿𝒎𝒊𝒏 16,67 16,67 0 0 8,33 50 0 25 25 Mean 61,11 55,00 15,00 2,77 33,47 58,89 31,67 45,27 39,37 S.Dev 15,98 14,61 28,81 15,21 10,91 8,45 6,70 6,06 6,12 Varians 255,42 213,60 830,45 231,48 119,11 71,51 45,01 36,79 37,52
120
Tabel 4. 7 Distribusi Frekuensi Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model Individu
Interval Kategori 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Materi I Materi II Kedua materi Materi I Materi II Kedua materi 80,01 – 100 Sangat akurat 0 0 0 0 0 0 60,01 – 80,00 Akurat 1 0 0 3,33% 0 0 40,01 – 60,00 Cukup akurat 4 25 13 13,33% 83,33% 43,33% 20,01 – 40,00 Tidak akurat 24 5 17 80,01% 16,67% 56,67% 0,00 – 20,00 Sangat tidak akurat 1 0 0 3,33 0 0
Tabel 4. 8 Data Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada
Model Individu
Deskriptif Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Materi I Materi II Kedua materi
N 30 30 30
𝑿𝒎𝒂𝒙 0,0222 0,02 0,0197
𝑿𝒎𝒊𝒏 0,0027 0,01 0,0097
Mean 0,0111 0,0181 0,0146
S.Dev 0,0036 0,0024 0,0021
Varians 1,32361E-05 5.88646E-06 4.58671E-06
Tabel 4. 9 Distribusi Frekuensi Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Pada Model Individu
Interval (Materi I) 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Interval (Materi II) 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Kedua materi 𝒇𝒊 %𝒇𝒊 Kategori 0,0268 – 0,0333 0 0 0,0321- 0,0400 0 0 0,0294 – 0,0367 0 0 Sangat cepat 0,0201 – 0,0267 1 3,33% 0,0241 – 0,0320 0 0 0,0223 – 0,0293 0 0 Cepat 0,0134 – 0,0200 5 16,67% 0,0161 – 0,0240 28 93,33% 0,0147 – 0,0222 16 53,33% Cukup cepat 0,0068 – 0,0133 23 76,67% 0,0081 – 0,0160 2 6,67% 0,0074 – 0,0146 14 46,67% Tidak cepat 0,00 – 0,0067 1 3,33% 0,00 – 0,0080 0 0 0,00 – 0,0073 0 0 Sangat tidak cepat
121
2. Uji Asumsi Repeated-measures ANOVA
Penelitian ini menggunakan analisis Repeated-measures ANOVA untuk menguji hipotesis. Asumsi dasar yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, yakni (1) normalitas; (2) homogenitas varians; dan (3) pengamatan sampel penelitian saling independen perlu dipenuhi sebelum melakukan analisis hipotesis data. Berikut ini penjelasan ketiga uji asumsi analisis Repeated-measures ANOVA tersebut.
a. Normalitas
Asumsi pertama adalah normalitas data yang dapat dilihat melalui nilai skewness dan kurtosis. Hasil uji skewness, kurtosis dan K-S Test penelitian ini terdapat pada Tabel 4.10 berikut.
Tabel 4. 10 Hasil Uji Skewness, Kurtosis dan K-S Test
Angka yang ditebalkan adalah yang digunakan sebagai pertimbangan normalitas Variabel Skew-ness
SE Skew-ness Kurtosis SE Kurtosis Statistik KS Sig. Keakuratan pemecahan masalah
Materi I TGT -0,401 0,464 -0,861 0,902 0,280 0,004 Individu 0,948 0,427 2,928 0,833 0,205 0,006 Materi II TGT -2,407 0,464 6,325 0,902 0,369 0,000 Individu -1,477 0,427 2,910 0,833 0,315 0,000 Kecepatan pemecahan masalah
Materi I TGT -0,347 0,464 -0,738 0,902 0,260 0,000 Individu 0,948 0,427 2,928 0,833 0,205 0,006 Materi II TGT -2,408 0,464 6,327 0,902 0,369 0,000 Individu -1,478 0,427 2,915 0,833 0,315 0,000
122
Data akan berdistribusi normal apabila nilai skewness dan kurtosis berada diantara -2 dan +2 (George & Mallery, 2010). Selain itu, Kolmogorov–
Smirnov test (K-S Test) juga dapat menjadi pertimbangan data berdistribusi
normal jika nilai signifikansi (p) lebih dari 0,05 (Field, 2009: 144). Histogram dan Q-Q Plot dari data penelitian juga dapat dilihat pada Lampiran 4.16.
Menurut Field (2009: 133), pertimbangan lain yang dapat mengindikasikan data penelitian dikatakan cenderung berdistribusi normal adalah karena jumlah sampel sudah lebih dari 30 dan populasi berjumlah tidak terbatas. Jumlah sampel dalam yang diteliti adalah 55 orang siswa. Sementara populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas VIII yang belum mempelajari materi panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabik lilitan minimal yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih akan tetapi telah mempelajari materi prior-knowledge yaitu materi Teorema pythagoras, prinsip kesejajaran bangun datar, panjang diameter dan busur lingkaran. Berdasarkan deskripsi tersebut, maka populasi dari penelitian ini dapat disebut sebagai populasi tidak terbatas.
Dari penjabaran analisis normalitas (skewness, kurtosis, K-S Test,
QQ-Plot dan asumsi sampel-populasi) tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
asumsi normalitas untuk penelitian ini telah terpenuhi (data cenderung berdistribusi normal).
b. Homogenitas Varians
Asumsi kedua adalah bahwa variansi antar kelompok sampel dapat dikatakan homogen. Pada analisis Repeated-measures, asumsi homogenitas varians skor akan terpenuhi jika sudah memenuhi assumption of sphericity
123
(circularity) atau compound symmetry. Apabila variabel terikat hanya dua (dalam hal ini menggunakan Repeated-measures ANOVA) maka tidak perlu menguji asumsi sphericity karena varians skor (variansi antar kelompok sampel) cenderung tidak memiliki perbedaan varians skor atau cenderung sama (Field, 2009: 459). Dengan kata lain, asumsi homogenitas varians sudah terpenuhi.
Asumsi homogenitas lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan uji levene’s. Hasil uji levene’s dijabarkan pada Tabel 4.11 berikut.
Tabel 4. 11 Hasil Uji Levene’s
Dari uji levene’s didapatkan nilai signifikansi untuk keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah lebih 0,05. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa variansi antar kelompok homogen. Oleh karena itu, agar asumsi homogenitas terpenuhi, uji F dapat tetap robust (kuat) apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (1) jumlah sampel pada tiap kelompok mendekati sama, (2) asumsi normalitas telah terpenuhi, (3) perbandingan antara varians terbesar dan varians terkecil tidak melebihi 3 (Kirk, 1995: 100). Berdasarkan uraian sebelumnya, maka syarat pertama dan kedua telah terpenuhi. Syarat yang ketiga dapat diketahui berdasarkan Tabel 4.12 berikut.
Variabel Sig.
Keakuratan pemecahan masalah
Materi I 0,138
Materi II 0,283
Kecepatan pemecahan masalah
Materi I 0,475
124 Tabel 4. 12 Hasil Rasio Varians
Warna biru adalah varians terbesar dan warna merah varians terkecil
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa rasio varians kurang dari 3 untuk variabel kecepatan pemecahan masalah sebaliknya untuk keakuratan pemecahan masalah. Hal ini berarti bahwa syarat ketiga agar uji F tetap robust cenderung telah terpenuhi. Uji F tetap dapat dilaksanakan walaupun asumsi homogenitas varians tidak terpenuhi karena telah memenuhi syarat agar tetap robust.
c. Pengamatan Sampel Penelitian Saling Independen
Asumsi yang ketiga dapat dikatakan sudah terpenuhi karena setiap subjek hanya dikenai pengukuran satu kali pelaksanaan dan masing-masing subjek ditempatkan secara acak ke dalam kelompok eksperimen (Myers, 1979). Pengamatan pada kelompok eksperimen (sampel) dilakukan secara independen dan acak satu sama lain. Saling independen dalam hal ini jika setiap pengukuran antarkelompok yang diteliti tidak saling mempengaruhi atau dipengaruhi. (Field, 2009: 603).
1. Uji Hipotesis a. Hipotesis pertama
Untuk menguji perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan
Variabel TGT Individu
Rasio Materi I Materi II Materi I Materi II
Keakuratan pemecahan masalah 145.963 141.658 119.124 36.790 3.967 Kecepatan pemecahan masalah 0.000019 6.26667E-05 1.33333E-05 6.43678E-06 2.951
125
kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Data penelitian yang didapat dianalisis dengan tingkat signifikansi 0,05. Effect size (
𝜂
𝑝2) juga ditampilkan untuk lebih mengetahui besarnya efek dari pembelajaran yang diberikan. Hasil analis data dirangkum pada Tabel 4.13 berikut.Tabel 4. 13Hasil Analisis Perbedaan Efektivitas Kedua Model Pembelajaran Ditinjau dari Keakuratan dan Kecepatan Pemecahan Masalah
Variabel MSE F Sig.
𝜼
𝒑𝟐Keakuratan pemecahan masalah 1197,017 9,594 0,000 0,153 Kecepatan pemecahan masalah 1,989E-005 1,083 0,303 0,020 MSE = Mean Squared Error
𝜂𝑝2 = Partial eta squared
1) Keakuratan pemecahan masalah
Hasil analisis data menunjukkan nilai signifikansi dari keakuratan pemecahan masalah kurang dari 0,05. Hasil ini menolak 𝐻0 dari
hipotesis pertama yang memiliki arti bahwa terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa.
Analisis lebih lanjut yang telah dilakukan adalah menentukan nilai rata-rata. Terdapat perbedaan nilai rata-rata model TGT (𝑥̅𝐴𝑇) dengan nilai rata-rata model individu (𝑥̅𝐴𝐼), dimana nilai rata-rata untuk model individu (𝑥̅𝐴𝐼 = 39,375), maka lebih tinggi dibanding model TGT (𝑥̅𝐴𝑇 = 32,750). Adapun nilai simpangan baku model TGT,
𝑆𝐴𝑇 = 15,10 dan model individu, 𝑆𝐴𝐼 = 10,58.
Sementara itu, besarnya efek dari model pembelajaran yang diberikan tergolong kecil karena nilai effect size-nya adalah 0,153.
126
2) Kecepatan pemecahan masalah
Hasil analisis data menunjukkan nilai signifikansi dari kecepatan pemecahan masalah lebih dari 0,05. Hasil ini mendukung 𝐻0dari
hipotesis pertama yang memiliki arti bahwa tidak terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
Analisis lebih lanjut yang telah dilakukan adalah menentukan nilai rata-rata. Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata model TGT (𝑥̅𝐶𝑇) dengan nilai rata-rata model individu (𝑥̅𝐴𝐼), dimana nilai rata-rata
untuk model TGT (𝑥̅𝐶𝑇≅ 0,015), dan model individu (𝑥̅𝐶𝐼 ≅ 0,015). Adapun nilai simpangan baku model TGT, 𝑆𝐶𝑇 = 0,005 dan model individu, 𝑆𝐴𝐼 = 0,009.
Sementara itu, besarnya efek dari model pembelajaran (perlakuan) yang diberikan tergolong kecil karena nilai effect size-nya adalah 0,02. b. Hipotesis kedua
Untuk menguji perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hasil analisis data dirangkum pada Tabel 4.14 berikut.
Tabel 4. 14 Hasil Analisis Perbedaan Pengaruh Jenis Materi Pembelajaran
pada Kedua Model Ditinjau dari Keakuratan dan kecepatan Pemecahan Masalah
MSE = Mean Squared Error 𝜂𝑝2 = Partial eta squared
Variabel MSE F Sig.
𝜼
𝒑𝟐Keakuratan pemecahan masalah 6262,00 68,972 0,00 0,565 Kecepatan pemecahan masalah 0,003 228,034 0,00 0,811
127
1) Keakuratan pemecahan masalah
Hasil analisis data menunjukkan nilai signifikansi dari keakuratan pemecahan masalah kurang dari 0,05. Hasil ini menolak 𝐻0dari hipotesis kedua yang memiliki arti bahwa terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa.
Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah menentukan materi manakah yang paling sulit bagi siswa sehingga mempengaruhi nilai keakuratan pemecahan masalah matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari total nilai rata-rata pada masing-masing materi. Berikut ini Tabel 4.15 perolehan nilai siswa pada masing-masing kelas.
Tabel 4. 15 Hasil Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Berdasarkan hasil nilai rata-rata pada masing-masing materi untuk kedua model, nilai keakuratan pemecahan masalah matematika siswa pada materi pertama lebih rendah dibanding materi kedua sehingga dapat dikatakan bahwa materi pertama (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran) lebih sulit dibanding materi kedua (panjang sabuk lilitan lingkaran yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih).
Keakuratan pemecahan masalah TGT Individu Total
Materi I 23,50 33,47 28,93
128
Analisis lanjut lainnya yang dilakukan adalah mengukur tingkat kesulitan soal yang dikembangkan menggunakan rating scale sembilan titik. Berdasarkan rating scale yan diisi oleh siswa, nilai rata-rata tingkat kesulitan soal adalah 5,281 untuk model TGT dan 5,151 untuk model individu yang berarti tingkat kesulitan soal tergolong tidak mudah atau tidak sulit.
Sementara itu, besarnya efek dari jenis materi pembelajaran yang diberikan tergolong sedang karena nilai effect size-nya adalah 0,565. 2) Kecepatan pemecahan masalah
Hasil analisis data menunjukkan nilai signifikansi dari kecepatan pemecahan masalah kurang dari 0,05. Hasil ini menolak 𝐻0 dari hipotesis kedua yang memiliki arti bahwa terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah menentukan materi manakah yang paling sulit bagi siswa sehingga mempengaruhi nilai kecepatan pemecahan masalah matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari total nilai rata-rata pada masing-masing materi. Berikut ini Tabel 4.16 perolehan nilai siswa pada masing-masing kelas.
Tabel 4. 16 Hasil Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Kecepatan pemecahan masalah TGT Individu Total
Materi I 0,0066 0,0112 0,0091
129
Berdasarkan hasil nilai rata-rata pada masing-masing materi untuk kedua model, nilai kecepatan pemecahan masalah matematika siswa pada materi pertama lebih rendah dibanding materi kedua sehingga dapat dikatakan bahwa materi pertama (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran) lebih sulit dibanding materi kedua (panjang sabuk lilitan lingkaran yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih).
Analisis lanjut lainnya yang dilakukan adalah mengukur tingkat kesulitan soal yang dikembangkan menggunakan rating scale sembilan titik. Berdasarkan rating scale yan diisi oleh siswa, nilai rata-rata tingkat kesulitan soal adalah 5.281 untuk model TGT dan 5.151 untuk model individu yang berarti tingkat kesulitan soal tergolong sedang.
Sementara itu, besarnya efek dari jenis materi pembelajaran yang diberikan tergolong besar karena nilai effect size adalah 0,811.
c. Hipotesis ketiga
Untuk menguji interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hasil analis data dirangkum pada Tabel 4.17 berikut.
Tabel 4. 17 Hasil Analisis Interaksi Jenis Materi Pembelajaran dengan
Model Pembelajaran pada Ditinjau dari Keakuratan dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
MSE = Mean Squared Error 𝜂𝑝2 = Partial eta squared
Variabel MSE F Sig.
𝜼
𝒑𝟐Keakuratan pemecahan masalah 305,561 3,366 0,07 0,60 Kecepatan pemecahan masalah 0,000 27,919 0,00 0,345
130
1) Keakuratan pemecahan masalah
Hasil analisis data menunjukkan nilai signifikansi dari keakuratan pemecahan masalah lebih dari 0,05. Hasil ini mendukung 𝐻0dari hipotesis ketiga yang memiliki arti bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa.
Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah melihat Gambar 4.1 grafik interaksi “Materi*Model”.
Gambar 4. 1 Grafik Interaksi Antara Jenis Materi Pembelajaran dengan Model
131
Gambar grafik tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa karena tidak adanya perpotongan garis pada grafik “Materi*Model”.
Analisis berikutnya yang dilakukan adalah menguji apakah kedua model pembelajaran memiliki perbedaan pengaruh pada masing-masing materi. Analisis ini menggunakan uji t. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4.18 berikut.
Tabel 4. 18 Hasil Analisis Perbedaan Pengaruh Kedua Materi pada
Kedua Model Ditinjau dari Keakuratan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Keakuratan Sig. t df Keterangan
Materi I 0.002 -3.214 53 Terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model pada materi I
Materi II 0,193 -1.318 53 Tidak terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model pada materi II
Tabel 4.18 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model untuk materi pertama karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda. Sedangkan untuk materi kedua, tidak terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan tidak berbeda .
Sementara itu, besarnya efek dari interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran yang diberikan tergolong sedang karena nilai effect size-nya 0,60.
132
2) Kecepatan pemecahan masalah
Hasil analisis data menunjukkan nilai signifikansi dari kecepatan pemecahan masalah kurang dari 0,05. Hasil ini menolak 𝐻0 dari hipotesis ketiga yang memiliki arti bahwa terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
Analisis lebih lanjut yang harus dilakukan adalah melihat gambar 4.2 grafik interaksi “Materi*Model”.
Gambar 4. 2 Grafik Interaksi Antara Jenis Materi Pembelajaran dengan Model
133
Gambar grafik tersebut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan jenis materi pembelajaran ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa karena garis “Materi*Model” tidak saling berpotongan.
Analisis berikutnya yang dilakukan adalah menguji apakah kedua model pembelajaran yang diterapkan memiliki perbedaan pengaruh pada masing-masing materi tes. Analisis ini menggunakan uji t. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4.19 berikut.
Tabel 4. 19Hasil Analisis Perbedaan Pengaruh Kedua Materi pada Kedua Model Ditinjau dari Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Kecepatan Sig. t df Keterangan
Materi I 0.000 -3.214 53 Terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model pada materi I
Materi II 0.018 -1.318 53 Terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model pada materi II
Tabel 4.19 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model untuk materi pertama karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda. Begitu juga dengan materi kedua, terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda.
Sementara itu, besarnya efek dari interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran yang diberikan tergolong sedang karena nilai effect size-nya 0,345.
134 C. Pembahasan
Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimen dengan menggunakan
convenience sampling sebagai teknik pengambilan sampel dan Repeated-Measures
ANOVA sebagai teknik analisis data. Siswa dalam penelitian ini merupakan novice
learner atau pemula. Setiap siswa memiliki prior knowledge tentang dua materi
yang dieksperimenkan (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran dan panjang sabuk lilitan minimal yang menghubunhkan dua lingkaran atau lebih) terbatas karena siswa belum diberikan materi tersebut sebelum penelitian dilakukan. Keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa merupakan variabel terikat sedangkan model TGT dan model individu merupakan variabel bebas dalam eksperimen ini.
Untuk menguji perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa maka perlu beberapa analisis dari hipotesis yang telah dibuat. Hasil pengujian hipotesis tersebut perlu dikaji secara jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hipotesis analisis penelitian ini diantaranya.
1. Terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
2. Terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
135
3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan jenis materi pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
Hasil analisis data menunjukkan keputusan yang beragam untuk setiap hipotesis. Pembahasan lebih lanjut adalah sebagai berikut.
1. Hipotesis pertama
Pengujian hipotesis yang pertama dilakukan bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
a. Keakuratan pemecahan masalah
Hasil analisis uji hipotesis pertama menunjukkan terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa. Hal ini juga didukung dengan nilai rata-rata untuk model individu (𝑥̅𝐴𝐼 = 39,375) lebih tinggi dibanding model TGT (𝑥̅𝐴𝑇 = 32,750). Kedua model memiliki nilai rata-rata yang relatif kecil karena efek dari model pembelajaran yang diberikan tergolong kecil, dimana nilai effect size-nya adalah 0,153.
Kecilnya efek dari model pembelajaran yang diberikan juga dapat dilihat berdasarkan persentase jumlah siswa untuk setiap kategori keakuratan pemecahan masalah matematika pada kedua model pembelajaran yang dijabarkan dalam tabel berikut.
136 b. Kecepatan pemecahan masalah
Hasil analisis uji hipotesis pertama menunjukkan tidak terdapat perbedaan efektivitas antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hal ini juga didukung dengan nilai rata-rata untuk model TGT (𝑥̅𝐶𝑇 ≅ 0,015) sama dengan model individu (𝑥̅𝐶𝐼 ≅ 0,015). Kedua model memiliki nilai rata-rata yang relatif kecil karena efek dari model pembelajaran yang diberikan tergolong kecil, dimana nilai effect size-nya adalah 0,02.
2. Hipotesis kedua
Pengujian hipotesis yang kedua dilakukan bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
a. Keakuratan pemecahan masalah
Hasil analisis uji hipotesis kedua menunjukkan terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa. Hal ini juga didukung dengan nilai keakuratan pemecahan masalah matematika siswa pada materi pertama lebih rendah dibanding materi kedua sehingga dapat dikatakan bahwa materi pertama (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran) lebih sulit dibanding materi kedua (panjang sabuk lilitan lingkaran yang menghubungkan dua lingkaran atau
137
lebih). Selain itu juga dikarenakan nilai rata-rata tingkat kesulitan soal yang tergolong tidak mudah atau tidak sulit (5,281 untuk model TGT dan 5,151 untuk model individu) serta efek dari jenis materi pembelajaran yang diberikan tergolong sedang, dimana nilai effect size-nya adalah 0,565. b. Kecepatan pemecahan masalah
Hasil analisis uji hipotesis kedua menunjukkan terdapat perbedaan pengaruh jenis materi antara model TGT berdasarkan CLT dengan model individu berdasarkan CLT ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hal ini juga didukung dengan nilai kecepatan pemecahan masalah matematika siswa pada materi pertama lebih rendah dibanding materi kedua sehingga dapat dikatakan bahwa materi pertama (panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran) lebih sulit dibanding materi kedua (panjang sabuk lilitan lingkaran yang menghubungkan dua lingkaran atau lebih). Selain itu juga dikarenakan nilai rata-rata tingkat kesulitan soal yang tergolong tidak mudah atau tidak sulit (5,281 untuk model TGT dan 5,151 untuk model individu) serta efek dari jenis materi pembelajaran yang diberikan tergolong besar, dimana nilai effect size-nya adalah 0,811.
3. Hipotesis ketiga
Pengujian hipotesis yang ketiga dilakukan bertujuan untuk mengetahui interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa.
138 a. Keakuratan pemecahan masalah
Hasil analisis uji hipotesis ketiga menunjukkan tidak terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari keakuratan pemecahan masalah matematika siswa. Hal ini juga didukung dengan tidak adanya perpotongan garis pada grafik interaksi “Materi*Model” karena nilai rata-rata model individu lebih tinggi pada kedua jenis materi dibanding nilai rata-rata model TGT.
Selain itu juga didukung oleh perbedaan pengaruh kedua model pada masing-masing materi. Untuk materi pertama, terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda. Kemudian untuk materi kedua, tidak terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan tidak berbeda.
Sementara itu, besarnya efek dari interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran yang diberikan tergolong sedang karena nilai effect size-nya 0,60.
b. Kecepatan pemecahan masalah
Hasil analisis uji hipotesis ketiga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran ditinjau dari kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Hal ini juga didukung dengan adanya perpotongan garis pada grafik interaksi “Materi*Model” karena nilai rata-rata model TGT lebih rendah dibanding model individu pada materi pertama sedangkan pada materi kedua kedua nilai rata-rata model TGT lebih tinggi dibanding model individu.
139
Selain itu juga didukung oleh perbedaan pengaruh kedua model pada masing-masing materi. Untuk materi pertama, terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan berbeda. Kemudian untuk materi kedua, tidak terdapat perbedaan pengaruh dari kedua model karena nilai rata-rata keakuratan pemecahan masalah pada kedua model secara signifikan tidak berbeda.
Sementara itu, besarnya efek dari interaksi antara jenis materi pembelajaran dengan model pembelajaran yang diberikan tergolong sedang karena nilai effect size-nya 0,345.
Hasil analisis data pada nilai keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa juga menentukan kategori keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Berikut ini tabel 4.20 dan 4.21 yang menjabarkan hasil kategori tersebut pada masing-masing model.
Tabel 4. 20 Kategori Keakuratan Dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model TGT
Kategori (Jml Siswa) Sangat akurat Akurat Cukup akurat Tidak akurat Sangat tidak akurat Sangat cepat - - - - - Cepat - - - - - Cukup cepat - - 16% 32% - Tidak cepat - - - 44% 4% Sangat tidak cepat - - - - 4%
140
Tabel 4. 21 Kategori Keakuratan Dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model Individu
Kategori (Jml Siswa) Sangat akurat Akurat Cukup akurat Tidak akurat Sangat tidak akurat Sangat cepat - - - - - Cepat - - - - - Cukup cepat - - 40,01% 13,33% - Tidak cepat - - 3,33% 43,33 - Sangat tidak cepat - - - - -
Berikut ini tabel 4.22 dan 4.23 yang menjabarkan hasil kategori tersebut pada masing-masing jenis materi.
Tabel 4. 22 Kategori Keakuratan Dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model TGT Untuk Materi Pertama
Kategori (Jml Siswa) Sangat akurat Akurat Cukup akurat Tidak akurat Sangat tidak akurat Sangat cepat - - - - - Cepat - - - - - Cukup cepat - - 12% - - Tidak cepat - - - 56% - Sangat tidak cepat - - - - 32%
141
Tabel 4. 23 Kategori Keakuratan Dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model Individu Untuk Materi Pertama
Kategori (Jml Siswa) Sangat akurat Akurat Cukup akurat Tidak akurat Sangat tidak akurat Sangat cepat - - - - - Cepat - 3,33% - - Cukup cepat - - 13,33% 3,33% - Tidak cepat - - - 76,68% - Sangat tidak cepat - - - - 3,33%
Berikut ini tabel 4.24 dan 4.25 yang menjabarkan hasil kategori tersebut pada masing-masing jenis materi.
Tabel 4. 24 Kategori Keakuratan Dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model TGT Untuk Materi Kedua
Kategori (Jml Siswa) Sangat akurat Akurat Cukup akurat Tidak akurat Sangat tidak akurat Sangat cepat - - - - - Cepat - - - - - Cukup cepat - - 88% - - Tidak cepat - - - 4% - Sangat tidak cepat - - - - 8%
142
Tabel 4. 25 Kategori Keakuratan Dan Kecepatan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa Pada Model Individu Untuk Materi Kedua
Kategori (Jml Siswa) Sangat akurat Akurat Cukup akurat Tidak akurat Sangat tidak akurat Sangat cepat - - - - - Cepat - - - - - Cukup cepat - - 83,33% 10% - Tidak cepat - - - 6,67% - Sangat tidak cepat - - - - -
Berikut ini contoh hasil pengerjaan siswa pada tes pemecahan masalah.
143
Skor keakuratan pada jawaban tersebut adalah 4 karena jawaban (solusi)/hasil yang diberikan benar, secara matematika dibenarkan dan didukung oleh hasil pengerjaan. Akan tetapi belum menjabarkan ulasan, keterkaitan, gagasan (simpulan) umum, dan/atau menanyakan pertanyaan baru yang menuju ke permasalahan baru.
Berdasarkan analisis data pada ketiga hipotesis, hasil yang diperoleh sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Retnowati (2012), yang menyimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan CLT (yang menggunakan worked
examples) melalui model individu lebih baik dalam memecahkan masalah (materi)
yang kompleks dibanding model berkelompok (dalam penelitian ini TGT).
Selain itu, hasil analisis data pada ketiga hipotesis dapat terjadi diduga karena faktor cognitive load theory, yaitu intrinsic cognitive load dan extraneous cognitive (Sweller, Ayres & Kalyuga, 2011: 57), serta faktor kausatif (causal factors) dan faktor penilaian (assessment factors) (Paas & Van Merriènboer, 1994: 353). Berikut ini penjabaran dari faktor-faktor tersebut:
1. Faktor unsur cognitive load theory
a. Intrinsic cognitive load (kompleksitas elemen-elemen bahan ajar) Dalam eksperimen ini, pada fase prior-knowledge siswa pada kedua model (terutama model TGT) belum sepenuhnya dapat mengaktifkan
prior-knowledge sehingga berimplikasi pada fase-fase selanjutnya serta keakuratan
dan kecepatan pemecahan masalah matematika siswa. Padahal menurut Retnowati, Sugiman dan Murdanu (2015:17), suatu materi mempunyai
prior-144
knowledge yang dimilikinya. Hal ini disebabkan karena menurut Kalyuga
(2011: 36) intrinsic cognitive load sangat penting dalam memahami materi dan mengontruksi pengetahuan siswa.
b. Extraneous cognitive load (penyajian bahan ajar)
Pembelajaran dalam penelitian ini telah didesain sedemikian rupa agar materi yang kompleks dapat dengan mudah dipahami siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Retnowati, Sugiman dan Murdanu (2015:17), materi yang kompleks apabila disajikan dengan mudah melalui contoh atau bimbingan yang sistematis, maka dapat menjadi mudah dipelajari karena telah menimimalkan extraneous cognitive load.
Akan tetapi dalam pelaksanaan pembelajaran, masih terdapat situasi
extraneous cognitive load. Siswa diduga mengalami situasi split-attention effect (siswa mengalami kesulitan karena tidak mudah memadukan informasi
yang ganda dan terpisah pada waktu yang bersamaan) pada fase pemecahan masalah terutama untuk model TGT karena siswa memadukan dan menuliskan informasi dari LKS serta karton kemudian tidak membagi tugas anggota kelompok sehingga keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah siswa kurang optimal. Padahal sebelumnya siswa telah diberi instruksi agar mengerjakan LKS terlebih dahulu kemudian menuliskan di karton dan setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing (ada yang menulis di LKS dan menulis di karton). Selain itu, siswa juga diduga mengalami situasi
Redundancy effect (siswa mengalami kesulitan karena memroses informasi
145
karena ringkasan materi digunakan kembali pada fase pemecahan masalah (mengerjakan LKS) maka siswa menggunakan sumber yang lebih dari satu sehingga keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah siswa kurang optimal. 2. Faktor kausatif (causal factors)
Menurut Paas dan Van Merriènboer (1994), faktor kausatif terdiri dari karakteristik siswa (usia dan kemampuan kognitif), soal yang akan dipecahkan (kompleksitas dan waktu) serta lingkungan (kegaduhan). Dalam penelitian ini, siswa rata-rata berusia 14,12 sehingga siswa terbilang muda (awam) dalam hal kemampuan kognitif. Gerven, Paas, Schimdt dan Van Merriènboer (2000: 519) menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan CLT bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan kognitif (terutama dalam pemecahan masalah) bagi semua usia baik muda ataupun tua.
Dalam hal kompleksitas soal, kedua model memiliki hasil rata-rata skala tingkat kesulitan yang relatif sama untuk skala 1 hingga 9, model TGT memiliki rata-rata skala sebesar 5,20 dan model individu memiliki rata-rata skala sebesar 5,24 dan (data lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.11 – 3.12). Sementara waktu yang diberikan untuk pembelajaran relatif mencukupi pada model individu karena siswa dapat dikondisikan (tidak gaduh), berbeda dengan model TGT yang relatif kurang mencukupi karena siswa agak sulit dikondisikan (gaduh). Apalagi pada pertemuan kedua pada model TGT siswa mengadakan turnamen yang cukup menyita waktu sehingga berdampak pada waktu pelaksanaan tes. Kedua model sama-sama
146
dituntut akurat dan cepat dalam fase tes pemecahan masalah meskipun terdapat perbedaan kecepatan pemecahan masalah.
3. Faktor penilaian (assessment factors)
Paas dan Van Merriènboer (1994) membagi faktor penilaian menjadi tiga bagian, yaitu mental load, mental effort dan performance. Mental load (muatan/komponen soal) yang diduga belum/kurang dipahami siswa. Sedangkan
Mental effort (kemampuan kognitif) siswa kurang terutama dalam hal mengolah
informasi (pengetahuan) sebelumnya untuk memecahkan masalah baru sehingga tidak optimal dalam memecahkan masalah (soal tes). Selanjutkan performance siswa dalam hal ini keakuratan dan kecepatan pemecahan masalah matematika masih kurang (dapat dilihat pada hasil analisis data) karena belum terbiasa/terlatih secara berkala atau rutin.
Berikut ini beberapa contoh hasil jawaban siswa D. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menghadapi beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi generalisasi dari hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini. Keterbatasan penelitian yaitu: (1) ruang lingkup materi sangat spesifik sehingga efektivitasnya belum dapat digeneralisasikan, (2) proses pembelajaran yang singkat yaitu hanya dua kali pertemuan (2 x 80 menit) untuk setiap model sehingga hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan apabila pembelajaran dilaksanakan dengan durasi yang lebih lama, (3) pengukuran kecepatan (waktu) pada tes belum optimal (hanya dilakukan secara klasikal bukan per individu) karena kekurangan kolaborator (pendamping) dan keterbatasan pengetahuaan peneliti, (4) penelitian ini hanya
147
menggunakan dan mengacu pada post-test untuk mengukur perbedaan efektivitas model dan jenis materi pembelajaran serta interaksi antara model dan jenis materi pembelajaran ditinjau dari keakuratan dan kecepatan pemecahan matematika siswa hanya berdasarkan post-test, dimana tidak menggunakan pre-test sebagai parameter sehingga masih perlu penelitian lebih lanjut yang menggunakan pre-test dan