• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Dalam Bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Dalam Bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Dalam Bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian. Uraian dalam deskripsi hasil penelitian ini disusun berdasarkan rumusan masalah, yang kemudian dibahas sebagai dasar untuk merumuskan kesimpulan dan rekomendasi penelitian.

A. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Profil Desa Campakamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat

Desa Campakamekar merupakan suatu desa yang lahir dari pemekaran desa lain yaitu Desa Tagog Apu, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Desa ini mulai memekarkan diri tepatnya pada tanggal 23 Februari 1979. Sebagai desa hasil pemekaran, Campakamekar memiliki luas wilayah yang relatif sempit yaitu sekitar 440.793 Ha, serta memiliki ketinggian sekitar 575 m dari permukaan laut. Dari hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintahan, Desa Campakamekar tercatat dihuni oleh sekitar 10.902 jiwa, dengan rasio jumlah penduduk laki-laki 5.413 jiwa, jumlah penduduk perempuan 5.489 jiwa, dan jumlah kepala keluarga (KK) 2.913, dimana sekitar 144 kepala keluarga (KK) perempuan yang menjadi kepala keluarga, serta kepadatan penduduk per km2 sebanyak 40 jiwa/km2. Status sosial masyarakat terdiri dari masyarakat menengah kebawah sebanyak 80% serta menengah keatas 20%.

(2)

Desa Campakamekar sejak tahun 1995 tercatat sebagai salah satu desa yang masuk kategori desa tertinggal (IDT). Salah satu aspek yang melatarbelakanginya adalah faktor kualitas sumber daya manusia (SDM) serta pendapatan per kapita (PCI) masyarakatnya sangat rendah. Data tersebut dapat digambarkan melalui tabel dibawah ini.

Tabel 4.1 Data Kuantitatif Jenis Pekerjaan dan Pendapatan Perkapita Masyarakat Desa Campakamekar Tahun 2006

Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Pendapatan Rata-rata Perbulan

Persentase (%)

Buruh tani 1078 Jiwa Rp 300.000 9,89 %

Petani 572 Jiwa Rp 600.000 5,25 % Pedagang/Wiraswasta/ Pengusaha 1361 Jiwa Rp 450.000 12,48 % Pengrajin 16 Jiwa Rp 300.000 0,15 % PNS 79 Jiwa Rp 1.200.000 0,72 % TNI/Polri 34 Jiwa Rp 1.200.000 0,31 % Penjahit 48 Jiwa Rp 600.000 0,44 % Montir 14 Jiwa Rp 450.000 0,13 % Sopir 240 Jiwa Rp 450.000 2,20 % Pramuwisma 42 Jiwa Rp 150.000 0,39 %

Karyawan Swasta 610 Jiwa Rp 600.000 5,60 %

Kontraktor 0 Jiwa - 0 %

Tukang kayu 120 Jiwa Rp 600.000 1,10 %

Tukang batu 25 Jiwa Rp 300.000 0,23 %

Guru Swasta 33 Jiwa Rp 450.000 0,30 %

Pensiunan 161 Jiwa Rp 800.000 1,48 %

Tidak bekerja 6469 Jiwa - 59,3 %

JUMLAH 10.902 Jiwa Rp 8.900.000 100 %

(Sumber: Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Campakamekar Tahun 2006) Secara umum, merujuk pada data kuantitatif di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Desa Campakamekar mayoritas miskin dan pendapatan

(3)

perkapitanya pun rendah. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan data hasil sensus tahun 2006 di bawah ini.

Tabel 4.2 Data Jumlah Warga Miskin dan Indikator Keluarga Miskin di Desa Campakamekar Tahun 2006

Jumlah Kepala Keluarga 2913 keluarga

Jumlah Keluarga Prasejahtera 649 keluarga

Jumlah Keluarga Sejahtera 1 937 keluarga

Jumlah Keluarga Sejahtera 2 863 keluarga

Jumlah Keluarga Sejahtera 3 354 keluarga

Jumlah Keluarga Sejahtera 3 plus 1 keluarga

(Sumber: Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Campakamekar Tahun 2006) Tabel 4.3 Data Indikator Keluarga Miskin Desa Campakamekar Tahun 2006

Jumlah keluarga 2913 kepala keluarga

Jumlah jiwa dalam keluarga 6 orang

Frekuensi anggota keluarga < 2 kali sehari 25 kepala keluarga

Paling kurang sekali seminggu keluarga tidak makan daging/telur/tahu

60 kepala keluarga

Setahun sekali keluarga tidak mampu membeli satu stel pakaian baru

120 kepala keluarga

Bagian terluas lantai rumah dari tanah 21 kepala keluarga

Jumlah anggota keluarga usia 7-15 tahun tidak sekolah karena alasan ekonomi

53 kepala keluarga

Anggota keluarga sakit tidak mampu berobat ke sarana pelayanan kesehatan dasar

35 kepala keluarga

PUS Ber-KB 1994 kepala keluarga

PUS tidak Ber-KB 790 kepala keluarga

(Sumber: Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Campakamekar Tahun 2006) Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Campakamekar relatif bagus, dimana tercatat jumlah penduduk buta huruf sekitar 86 jiwa, jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat sekitar 1871 jiwa, jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat sekitar 1310 jiwa, jumlah penduduk tamat Sarjana (S1) sekitar 43 jiwa, serta Master (S2) sekitar 23 orang. Sementara itu, program wajib belajar 9 tahun tercatat diikuti oleh sekitar 1554 jiwa penduduk usia 7-15 usia sekolah dasar (SD), 1497 jiwa penduduk usia 7-15 usia sekolah dasar (SD) yang masih sekolah, 57

(4)

jiwa penduduk usia 7-15 usia sekolah dasar (SD) yang tidak sekolah. Kesimpulan di atas diperkuat dengan tabel dibawah ini.

Tabel 4.4 Data Kuantitatif Tentang Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Campakamekar Tahun 2007

No Uraian Jumlah Persentase

(%)

1 Belum sekolah 525 jiwa 3,69 %

2 Jumlah penduduk buta huruf 32 jiwa 0,22 %

3 Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 16 jiwa 0,11 %

4 Pernah sekolah SD/sederajat tetapi tidak tamat 86 jiwa 0,60 %

5 Jumlah penduduk tamat SD/sederajat 6118 jiwa 43 %

6 Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat 1871 jiwa 13,10 %

7 Jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat 1017 jiwa 7,15 %

8 Jumlah penduduk tamat D-1 45 jiwa 0,31 %

9 Jumlah penduduk tamat D-2 29 jiwa 0,20 %

10 Jumlah penduduk tamat D-3 50 jiwa 0,35 %

11 Jumlah penduduk tamat S-1 43 jiwa 0,30 %

12 Jumlah penduduk tamat S-2 23 jiwa 0,16 %

13 Jumlah penduduk tamat S-3 - jiwa 0 %

14 Jumlah penduduk tamat SD/sederajat yang melanjutkan

ke SLTP/sederajat

86 jiwa 0,60 %

15 Jumlah penduduk tamat SD/sederajat yang bekerja 27 jiwa 0,18 %

16 Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat yang

melanjutkan ke SLTA/sederajat

63 jiwa 0,44 %

17 Jumlah penduduk tamat SLTP/sederajat yang

melanjutkan bekerja

60 jiwa 0,42 %

18 Jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat yang

melanjutkan ke Perguruan Tinggi

23 jiwa 0,16 %

19 Jumlah penduduk tamat SLTA/sederajat yang bekerja 47 jiwa 0,33 %

20 Jumlah penduduk usia 16-18 tahun yang tidak sekolah 394 jiwa 2,77 %

21 Jumlah penduduk usia 16-18 tahun yang masih sekolah 103 jiwa 0,72 %

22 Jumlah penduduk usia 16-18 tahun putus sekolah 114 jiwa 0,80 %

23 Wajib belajar 9 tahun 1106 jiwa 7,77 %

24 Jumlah penduduk usia 7-12 tahun 342 jiwa 2,40 %

25 Jumlah penduduk usia 7-12 tahun masih sekolah 1097 jiwa 7,71 %

26 Jumlah penduduk usia 7-12 tahun putus sekolah 9 jiwa 0,06 %

27 Jumlah penduduk usia 13-15 tahun 448 jiwa 3,15 %

28 Jumlah penduduk usia 13-15 tahun masih sekolah 391 jiwa 2,74 %

29 Jumlah penduduk usia 13-15 tahun putus sekolah 57 jiwa 0,40 %

JUMLAH 14.222 jiwa 100 %

(Sumber: Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Campakamekar Tahun 2007) Pemeluk agama di Desa Campakamekar mayoritas Muslim, dengan jumlah mencapai 10.847 jiwa, selanjutnya Kristen Protestan 53 jiwa, Katolik 4

(5)

jiwa, Hindu 2 jiwa, Budha 1 jiwa, serta Kepercayaan 20 jiwa. Sementara itu, jumlah prasarana peribadahan dapat dilihat dari di bawah ini.

Tabel 4.5 Data Jumlah Prasarana Peribadahan Desa Campakamekar Jenis rumah

ibadah

Jumlah Kondisi

Baik Rusak

Masjid 24 Buah 17 Buah (70,83 %) 7 Buah (29,17 %)

Langgar 34 Buah 24 Buah (70,59 %) 10 Buah (29,41 %)

Gereja Protestan 2 Buah 1 Buah (50 %) 1 Buah (50 %)

Gereja Katholik - -

-Wihara - -

-Pura - -

-(Sumber: Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Campakamekar Tahun 2006) Dari data di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat Desa Campakamekar beragama Islam. Akan tetapi, rumah ibadah non Islam masih ada dan berdiri di Desa Campakamekar. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dan sikap menerima warga masyarakat Muslim terhadap keberadaan rumah ibadah non Islam di Desa Campakamekar serta longgarnya birokrasi dari aparatur Desa Campakamekar.

Desa Campakamekar memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara Desa Sadangmekar, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

2. Sebelah Selatan Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

3. Sebelah Barat Desa Nyalindung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

4. Sebelah Timur Desa Tagog Apu, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

Orbitrasi Desa Campakamekar dari berbagai pusat-pusat pemerintahan: a. Jarak Desa Campakamekar ke Pusat Pemerintahan Kecamatan Padalarang: 7

km.

b. Jarak Desa Campakamekar ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung Barat: 5 km.

c. Jarak Desa Campakamekar ke Ibu Kota Kabupaten Bandung Barat: 5 km. d. Jarak Desa Campakamekar ke Ibu Kota Provinsi Jawa Barat: 35 km.

(6)

e. Jarak Desa Campakamekar ke Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia: 125 km.

f. Jarak Desa Campakamekar ke Pusat Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia: 145 km.

Desa Campakamekar juga memiliki lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat sebagai mitra kerja pemerintahan desa. Lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut diantaranya:

1. PKK.

2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD). 3. Majelis Ulama Indonesia (MUI).

4. Perlindungan Masyarakat (LINMAS). 5. Karang Taruna.

6. Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Desa Campakamekar dalam perkembangannya sejak dimekarkan hingga saat ini telah mempunyai pembantu Kepala Desa sebanyak 24 RW dan 69 RT yang mengelola 4 dusun. Sementara itu, kepemimpinan Kepala Desa sudah mengalami 4 kali pergantian kepemimpinan diantaranya sebagai berikut:

1. Bapak Aning Kurna sebagai Kepala Desa ke 1

2. Bapak Momo Satyan Iskandar sebagai Kepala Desa ke 2 3. Bapak Ujang Sukanda sebagai Kepala Desa ke 3

4. Bapak Yudi Suhaedi sebagai Kepala Desa ke 4

Sementara itu, untuk mempermudah koordinasi dalam menjalankan tugasnya, Kepala Desa dan staf pemerintah Desa Campakamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat membuat struktur organisasi yang di patenkan dalam peraturan desa (Perdes) No 1 Tahun 2001 sebagai berikut:

(7)

Bagan 4.6 Struktur Organigram Pemerintahan Desa Campakamekar

(Sumber: Struktur Organigram Pemerintahan Desa Campakamekar Tahun 2001) b. Profil Gereja Kasih Kristus Indonesia (GKKI)

1. Visi dan Misi Gereja Kasih Kristus Indonesia (GKKI) Desa Campakamekar GKKI memiliki visi ingin mewujudkan, memperlihatkan serta memberikan kasih Tuhan melalui jalan menolong sesama manusia untuk membangun keimanan dan ketaqwaan seluruh pemeluk agama, dengan tidak membeda-bedakan agama di Desa Campakamekar.

Sedangkan misi GKKI adalah sebagai berikut:

1. Kasih perlihatkan melalui dana (materi), pikiran serta ilmu kepada masyarakat.

2. Menerangi yang gelap dan memberikan penerangan.

3. Perlindungan dan perdamaian yang maksimal dalam genggaman Yesus Kristus.

4. Membangun dan memperkuat keimanan masyarakat, tanpa membeda-bedakan agama yang dipeluknya.

5. Mengembangkan gereja yang baik, bersih dan efisien, agar menjadi contoh gereja-gereja otonom lainnya.

KEPALA DESA

SEKRETARIS

KAUR KAUR KAUR KAUR

(8)

6. Mengembangkan solidaritas sosial yang mantap, tanpa membeda-bedakan agama.

2. Struktur Organisasi (GKKI)

Sejak berdiri tahun 1984, GKKI adalah gereja yang otonom (mandiri) yang tidak menginduk kepada gereja induk manapun. Tetapi pada saat dilaksanakan penelitian, GKKI sedang mencari dan merubah statusnya menjadi legal formal dengan meminta bantuan Dewan Gereja Indonesia (DGI) untuk meminta status hukum gereja menjadi jelas dan legal. Secara yuridis, GKKI merupakan gereja yang ilegal status hukumnya. Itulah yang menjadi alasan mereka meminta bantuan kepada DGI, selain mencegah gejolak ormas-ormas Islam yang berasal dari luar Desa Campakamekar yang menuntut agar gereja ditutup.

Saat ini, GKKI memiliki staf/badan pelaksana harian sebanyak 14 orang dan anggota perhimpunan sebanyak 5 orang. Untuk melaksanakan aktivitasnya, GKKI “Persekutan Rasul” didukung oleh para badan pelaksana harian yang memiliki keahlian dan kompetensi yang memadai serta berdedikasi tinggi. Staf/badan tersebut bergerak dalam beberapa bidang atau wadah antara lain badan penyiaran agama, badan logistik, badan kesehatan masyarakat serta badan pendidikan orang tua asuh. Dalam melaksanakan tugasnya, staf/badan ini berada di bawah pengawasan dan harus bertangung jawab kepada ketua GKKI yaitu Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda.

GKKI dibidani dan akan dibesarkan dengan prinsip “Berdikari dan otonomi”. Oleh karena itu, GKKI tidak melakukan rekrutmen staf secara

(9)

kontinyu, yang justru dikembangkan adalah rekrutmen anggota atau staf kerja asli keluarga dan anak-anak angkat serta istri Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Hal ini didasari oleh faktor dedikasi dan tanggung jawab, guna menciptakan militansi kerja yang optimal hasil rekrutmen internal keluarga tadi. Adapun staf GKKI Desa Campakamekar adalah sebagai berikut:

Gembala Sidang : Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda Majelis Sidang : Adrianus

Badan Pembina

Ketua : Pendeta Martinus

Wakil Ketua : Adrianus

Sekertaris : Safrudin.M

Bendahara : Mamih Yusac Ahmad Supanda Badan Pengurus

Ketua : R. Simangunsong

Sekertaris : Bobby. R.Z

Bendahara : Mamih Yusac Ahmad Supanda Staf dan Badan Penyiaran Agama

Ketua : Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda

Sekertaris : Bobby. RZ

Bendahara : Mamih Yusac Ahmad Supanda Staf dan Badan Logistik

(10)

Sekertaris : Aldi.W

Bendahara : Mamih Yusac Ahmad Supanda Badan Kesehatan Masyarakat

Ketua : Ian Rafael

Sekertaris : Gheo Martulesy

Bendahara : Mamih Yusac Ahmad Supanda Badan Pendidikan Orang Tua Asuh

Ketua : Adrianus

Sekertaris : Sabrina. S.Pd

Bendahara : Mamih Yusac Ahmad Supanda

Bagan 4.7 Struktur Organisasi Gereja Kasih Kristus Indonesia Desa Campakamekar Gembala Sidang Badan Pembina Badan Pengurus Majelis Sidang Staf dan Badan Logistik Badan Kesehatan Masyarakat Badan Pendidikan Orang Tua Asuh Staf dan Badan Penyiaran Agama

(11)

2. Deskripsi Hasil Wawancara

Perolehan data untuk melengkapi hasil penelitian dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan oleh peneliti kepada beberapa subjek penelitian mengenai sikap dan perilaku mereka terhadap keberaadaan gereja di Desa Campakamekar, hasil wawancara tersebut digambarkan melalui tabel berikut:

Tabel 4.6 Deskripsi Hasil Wawancara

No. Responden Jabatan Pandangan Indikator sikap dan perilaku 1. H. Haryono

(HR).

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Campakamekar Tidak setuju, keberadaan gereja karena pendiriannya tidak memperhatikan peraturan hukum yang berlaku. Menggalakan program kerja yang bertujuan untuk membendung pengaruh negatif gereja. contoh membangun masjid mengelilingi gereja. 2. Ustadz H. Rahmat (RH), Ustadz Jejen (JJ), Ustadz Umuh (UM), Ustadz Dudu (DD). M, Ustadz Engkos (EK), Ustadz Dadang (DG) serta Ustadz Asep Yusuf (AY). Tokoh Masyarakat Muslim (ulama) Desa Campakamekar Setuju, karena dinilai menguntungkan masyarakat dari sisi ekonomi, Mendukung pendirianya bersama-sama dengan pembangunan Masjid serta ikut mendukung kegiatan-kegiatan kerohanian gereja. 3. Bapak Djuanda Suherman (DH), Bapak

Tokoh Masyarakat Tidak setuju, karena berdiri di tengah-tengah Melakukan kontol sosial terhadap pihak gereja agar

(12)

Asep Dedy (AD), Bapak Aep Safrudin (AS), Bapak Sahril (SH), Bapak Ujang Sukanda (US). masyarakat muslim dan pendirianya tidak mewakili keperluan nyata dimasyarakat. tidak memberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat. 4. Yudi Suhaedi (YS). Kepala Desa Campakamekar Setuju, karena posisi beliau harus netral sebagai seorang pemimpin dan bersikap toleran. Mengijinkan kegiatan-kegiatan sosial gereja diselenggarakan di balai desa. 5. Ibu Hj.Neni (NN), Bapak H. Dadi (DI), serta Bapak Djamal Kurnaedi (DJ). Perangkat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Padalarang. Tidak setuju, karena pendirianya melanggar hukum dan dapat menciptakan konflik dalam masyarakat. Melakukan inspeksi atau pemeriksaan surat-surat kelengkapan gereja dan menutup gereja untuk sementara, sebelum administarsinya lengkap.

6. H. Didi (DF). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Padalarang Tidak setuju, karena dinilai tidak “sehat” dalam konteks kehidupan umat beragama. Bersama-sama KUA kecamatan Padalarang melakukan pemeriksaan administrasi gereja. 7. Misbah (MB). Camat Kecamatan

Padalarang Tidak setuju karena dapat menciptakan konflik antar umat beragama dalam masyarakat. Bersama-sama KUA, MUI kecamatan Padalarang melakukan pemeriksaan administrasi gereja. 8. Ayi Sugandi (AS).

Kasitrantib Tidak setuju karena tidak

Bergabung dengan

(13)

tertib administratif pendirian gereja tersebut. Kapolsek membentuk tim investigasi dalam mengonntrol keberadaan gereja tersebut. 9. Evi Hendriyana. Perwakilan Gerakan Ormas Islam. Tidak setuju, pendirianya ditengah-tengah masyarakat muslim. Melakukan protes dan mencoba mengahncurkan gereja tersebut.

Peneliti mencoba mendeskripsikan hasil wawancara dengan para subjek penelitian tersebut, berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Sikap dan Perilaku Masyarakat Muslim (Ulama) terhadap Keberadaan Gereja GKKI di Desa Campakamekar

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan (AD, AS, YS, DI, SH, AY, JJ, UM, DD, EK, DG, dan AY, terungkap bahwa sikap dan perilaku tokoh masyarakat Muslim (ulama) terhadap keberadaan gereja di Desa Campakamekar adalah sebagai berikut:

1. Tokoh masyarakat Muslim (ulama) setempat tidak mempermasalahkan keberadaan gereja di lingkungan Desa Campakamekar, dengan alasan tidak merugikan dan mengganggu keamanan, kegiatan peribadahan umat Islam serta menguntungkan masyarakat dari sisi ekonomi.

2. Secara pribadi, seluruh ulama Desa Campakamekar bersikap membiarkan keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar dan membiarkan proses peribadahan umat Kristiani berlangsung. Akan tetapi, jika menyimpang atau

(14)

membahayakan masyarakat Muslim, mereka akan ditindak oleh para ulama Desa Campakamekar.

3. Para ulama setempat lebih memilih berceramah dan berdakwah kepada masyarakat Desa Campakamekar agar senantiasa menjaga kerukunan umat beragama serta menjaga kemurnian aqidah para umatnya daripada bersikap dan bertindak anarkis menghancurkan gereja tersebut.

4. Ketika Hari Natal dan Misa kebaktian di gereja, para ulama setempat datang ke gereja dan mereka ikut mendengarkan ceramah yang dilakukan oleh Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Para tokoh Islam datang dengan alasan menghormati undangan dari sang pendeta yang baik dan memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap mereka dan masyarakat dan mengembangkan prinsip toleransi antar umat beragama.

5. Ketika ada desakan dari gerakan ormas Islam antara lain: Gerakan Pemuda Persatuan Islam, Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah bahkan Front Pembela Islam (FPI) untuk menghancurkan dan menutup GKKI, tokoh Islam setempat berada dibarisan depan untuk menghalangi penghancuran, dengan alasan kondusifitas lingkungan dan keberadaan gerejapun tidak merugikan serta tidak berkembang apalagi membahayakan umat Islam setempat bahkan cenderung menguntungkan masyarakat dari segi ekonomi.

6. Sikap dan perilaku ulama setempat tidak berani menutup keberadaan GKKI, karena gereja sudah ada sebelum mereka membangun masjid dan sebelum para tokoh Islam tersebut datang untuk berdakwah di Desa Campakamekar.

(15)

7. Kelemahan yang menjadi dasar sikap dan perilaku diam para ulama setempat terhadap keberadaan gereja ilegal tersebut adalah masalah kepercayaan masyarakat setempat yang tidak simpatik terhadap para ulama setempat. Hal ini mengakibatkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap para ulama setempat. Puncak dari krisis kepercayaan tersebut, ulama menjadi acuh (apriori) terhadap keberadaan gereja di Desa Campakamekar.

8. Selain itu, ada perjanjian yang melibatkan antara keluarga besar pimpinan gereja dengan para pimpinan ormas Islam antara lain: Gerakan Pemuda Persatuan Islam, Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah bahkan Front Pembela Islam (FPI). Hasil perjanjian tersebut mencapai suatu kesepakatan bahwa apabila pimpinan gereja meninggal, maka gereja akan ditutup. Dengan hasil perjanjian tersebut, sikap para ulama Islam setempat menerima dengan lapang dada dan akan menunggu sampai beliau meninggal, untuk kemudian gereja akan ditutup.

9. Para ulama setempat sering datang ke gereja untuk menghadiri hari-hari besar umat Kristiani jika diundang oleh pimpinan gereja dengan alasan menghormati pemeluk agama lain serta mengembangkan toleransi umat beragama di Desa Campakamekar.

b. Bagaimanakah Latar Belakang Berdirinya GKKI Ditengah-tengah Masyarakat Muslim dan Mengapa Ulama Setempat Seolah-olah Melegalisasi Keberadaan Gereja Ilegal tersebut di Desa Campakamekar

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan (DD, US, SH, LN, dan AS), terungkap latar belakang berdirinya GKKI ditengah-tengah

(16)

masyarakat Muslim dan mengapa tokoh Islam setempat seolah-olah melegalisasi keberadaan gereja tersebut di Desa Campakamekar, sebagai berikut:

Secara faktual, GKKI didirikan pada tanggal 12 November 1984 oleh seorang mantan ustadz yang berpindah agama menjadi Kristen Protestan. Menyebut nama GKKI, tidak lepas dari seorang pendeta teologis yang bernama Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Beliau begitu gencar melakukan penyiaran agama Kristen Protestan di Desa Campakamekar dan menyiarkan semua ajaran cinta kasih Nashrani kepada seluruh masyarakat dengan tidak membeda-bedakan perbedaan agama.

Menurut pengakuan beliau, hal yang menjadi pendorong dirinya masuk agama Kristen Protestan adalah keinginan dari dalam dirinya untuk senantiasa menolong sesama manusia tanpa membeda-bedakan agama. Yang menjadi dasar beliau menolong masyarakat atau sesamanya dikarenakan perintah dari seorang maha gurunya yang bernama Pendeta Mathius Raweu, seorang Pendeta asal Papua. Beliau merupakan kawan lama Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda semasa berperang merebut kemerdekaan di daerah Semarang.

Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda merupakan seorang veteran perang revolusi kemerdekaan. Beliau dibesarkan di lingkungan militer dan sudah menjadi prajurit pejuang kemerdekaan sejak tahun 1938. Awal mula beliau menyenangi ajaran kasih Nashrani adalah ketika beliau mendapatkan wahyu melalui mimpi. Dalam mimpinya tersebut, beliau melihat sesosok kakek tua yang mendatanginya dan kemudian memberikan sebuah salib dengan bertuliskan namanya dalam salib tersebut.

(17)

Semua keluarga beliau beragama Islam, bahkan beliau dibesarkan dengan ajaran Islam yang betul-betul kuat di daerah asalnya, yaitu Tasikmalaya. Beliau merupakan jebolan Pesantren Darussalam yang berada di daerah Ciamis. Hampir sekitar 8 tahun beliau mempelajari Islam sampai menjadi seorang mubaligh yang betul-betul memahami ajaran Islam. Rekan-rekan militernya sering menjuluki beliau sebagai seorang “tentara pesantren”.

Setelah revolusi kemerdekaan berakhir tahun 1946, beliau mulai diangkat menjadi Kolonel dari kesatuannya, yaitu satuan brigade mobil (BRIMOB) sekitar tahun 1978. Di sela-sela kesibukannya sebagai petinggi BRIMOB, beliau masih terus berdakwah dengan menjadi narasumber atau khatib di masjid-masjid baik shalat Jum’at maupun ceramah-ceramah atau pengajian di masyarakat.

Tahun 1978, beliau pindah ke daerah Manokwari provinsi Papua untuk menjalankan tugas sebagai komando pasukan dalam mengamankan daerah Papua (Irian Barat) dari intervensi Australia. Hampir sekiatar 4 tahun beliau tinggal di Papua. Beliau merasa kagum dan simpatik ketika melihat ajaran Nashrani betul-betul dijalankan disana. Karena beliau seorang Muslim, ruang gerak beliau dalam menjalankan ibadah agak sedikit terhambat dan beliau merupakan kaum minoritas di sana. Akan tetapi, masyarakat Manokwari cukup toleran dan membiarkan beliau beribadah serta mendirikan langgar (masjid kecil) di sana.

Tahun 1982, beliau pindah dan menetap sampai sekarang di Desa Campakamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat sekarang. Seiring dengan prestasinya yang berhasil mengamankan Irian barat (Papua) dari intervensi Australia, oleh atasannya beliau diberikan sejumlah uang sebesar 18

(18)

juta rupiah dan paket naik haji ke Mekah. Beliau berniat berangkat haji beserta sang istri tercinta Mamih Yusac Ahmad Supanda. Akan tetapi, kakek tua di mimpi beliau terus-menerus datang dan kembali datang dalam mimpinya agar meminta beliau untuk mengambil salib yang bertuliskan namanya di salib tersebut.

Setelah kejadian tersebut, beliau memutuskan untuk tidak jadi pergi ke Mekah untuk naik haji dan memutuskan untuk menjadi seorang pendeta. Atasan beliau, Letjen Purnawirawan Santoso, marah dan berusaha menanyakan alasan mengapa beliau menjadi pendeta. Beliau memberikan alasan dan menjawab, “hati saya tenteram berada di bawah genggaman Yesus”. Atasannyapun mengerti dan menghormati keputusan beliau.

Tidak lama setelah keputusannya untuk pindah agama, beliau mendirikan gereja di Desa Campakamekar tahun 1984. Awal mula gereja tersebut berdiri cukup unik, yaitu bermula dari persengketaan dua orang ustadz yang diakibatkan oleh proses pendirian masjid yang tidak kunjung selesai. Kedua Ustadz tersebut saling memfitnah, bahkan menjurus pada bentrok fisik menuduh satu sama lainnya mengambil (korupsi) uang hasil infak untuk pembangunan masjid. Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda mencoba menengahi dan mencari solusi penyelesaian masalah tersebut. Setelah berdialog dengan kedua ustadz tersebut, yaitu Ustadz Jejen dan Ustadz Undang yang merupakan tokoh Islam di Desa Campakamekar, dialog tersebut sampai pada suatu kesepakatan bahwa pendirian masjid diambil alih oleh Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Tidak lama kemudian masjid berdiri dimana seluruh dana pembangunannya ditanggung oleh beliau.

(19)

Beliau mencoba menawarkan kepada masyarakat dan ulama setempat, bagaimana jika saya (Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda) mendirikan gereja juga di Desa Campakamekar. Masyarakat dan ulama menyetujui rencana beliau untuk membangun gereja. Pihak gereja membangun gereja dengan dana swadaya sendiri hasil menjual sawah dan tanah milik Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Beliau mempunyai keyakinan bahwa “untuk apa hidup kaya, banyak uang, serta rumah mewah apabila rumah ibadah (gereja) tidak dibangun. Orang-orang yang demikian adalah Orang-orang-Orang-orang yang merugi dan munafik yang akan mendapat kerugian di dunia dan di akhirat”.

Sampai saat ini, gereja tersebut berdiri tanpa ada protes dari masyarakat dan tokoh Islam setempat, walaupun status hukum gereja tersebut ilegal dan melanggar peraturan yang berlaku. Dengan latar belakang demikian, didirikanlah Gereja Kasih Kristus Indonesia (GKKI). Sampai saat ini, masyarakat Muslim dan Kristen di Desa Campakamekar tetap hidup berdampingan dengan damai tanpa ada gejolak, bentrok serta konflik diantara satu sama lainnya. Adapun yang melakukan gerakan menutup gereja itu berasal dari ormas Islam dari luar Desa Campakamekar.

Sejak berdiri tahun 1984, GKKI merupakan gereja yang otonom (mandiri) yang tidak menginduk kepada gereja induk manapun. Selain faktor dukungan masyarakat tersebut, berdirinya gereja juga dikarenakan oleh longgarnya kontrol dari para aparatur Desa Campakamekar pada masa kepemimimpinan Lurah Momo Satyan Iskandar mantan Kepala Desa ke-2 Desa Campakamekar. Selain itu, juga

(20)

dikarenakan oleh lemahnya mekanisme kontrol para tokoh Islam yang salah dalam menerapkan prinsip toleransi beragama di Desa Campakamekar.

c. Bagaimana Reaksi (Respon) Para Ulama di Luar Wilayah Desa Campakamekar terhadap Keberadaan Gereja Ilegal tersebut

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan (YS, DK, JS, LN, HR, dan US), terungkap reaksi (respon) ulama di luar wilayah Desa Campakamekar terhadap keberadaan Gereja GKKI tersebut, sebagai berikut:

Keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar mendapat desakan dari gerakan ormas Islam antara lain: Gerakan Pemuda Persatuan Islam (PERSIS), Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah bahkan Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Bandung, untuk menghancurkan dan menutup GKKI. Gerakan ormas Islam tersebut berasal dari luar Desa Campakamekar. Ada beberapa hal yang mendorong mereka untuk bertindak dan ingin menutup kegiatan gereja, antara lain:

1. Status gereja secara hukum tidak ada izin formal yang diharuskan oleh peraturan hukum yang berlaku dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 (Tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah serta Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah Dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama).

2. Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan

(21)

tingkat batas wilayah belum terpenuhi, apalagi izin lingkungan masih diragukan keabsahannya.

3. Kegiatan gereja dianggap mengganggu ketertiban dan kerukunan umat beragama.

4. Menurut ormas Islam, Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda telah melakukan pelecehan agama.

5. GKKI dianggap melakukan bujukan dan rayuan materi kepada masyarakat yang sudah beragama Islam untuk berpindah ke agama Nashrani. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan bakti sosial seperti:

a. Program pengobatan gratis pada masyarakat.

b. GKKI setahun sekali mengadakan program sunatan masal.

c. Program pemberian bea siswa kepada siswa yang kurang mampu.

d. Semua kebutuhan pemerintah Desa Campakamekar dibantu oleh pihak gereja, dari mulai pengadaan komputer di desa, dana untuk pengadaan baju Hansip dan linmas, serta proyek pengaspalan jalan dananya disuplai dari gereja.

e. Bagi masyarakat desa Campakamekar, pembuatan lapangan sepak bola seluas 1 hektar yang memakan dana sebesar 35 juta rupiah.

f. Bakti sosial gereja diadakan setiap bulan ke pelosok-pelosok desa Campakamekar.

g. Pembangunan Masjid Al-Amin Desa Campakamekar dengan menelan dana sebesar 48 juta rupiah.

(22)

Dari program-program yang dilakukan oleh GKKI, para ulama (ormas Islam) di luar Desa Campakamekar menyimpulkan bahwa pola penyiaran agama yang mereka lakukan tidak memperhatikan dan menjaga stabilitas nasional serta tegaknya kerukunan antar umat beragama. Selain itu, pengembangan dan penyiaran agama tidak dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo seliro, saling menghargai, serta hormat menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila. Maka, mereka bersikukuh untuk menutup keberadaan gereja tersebut di Desa Campakamekar.

Setelah mendapat reaksi dari ormas Islam, pihak GKKI dengan dimotori oleh Pimpinan GKKI Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda, melaporkan masalah ini ke Dewan Gereja Indonesia (DGI). Dengan bantuan DGI tersebut, masalah penutupan gereja dapat ditunda untuk sementara waktu. Hal ini dikarenakan DGI memberikan jaminan bahwa GKKI tidak akan membahayakan masyarakat Muslim Desa Campakamekar. Selain itu, DGI mengabulkan tuntutan yang diinginkan oleh ormas Islam dengan cara mengurus perizinan gereja, sehingga keberadaan gereja tersebut tidak menjadi sebuah kontroversi dan sumber konflik umat beragama di Desa Campakamekar maupun di wilayah Kecamatan Padalarang. Sejak penelitian ini dimulai, pihak GKKI masih belum mempunyai izin resmi perihal status hukum gereja.

Gerakan ormas Islam tersebut merupakan reaksi kekesalan akibat dari sikap dan perilaku ulama setempat yang seolah-olah melegalisasi keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar, bahkan mereka cenderung membela eksistensi gereja dengan alasan toleransi antar umat beragama dan keberadaan

(23)

gerejapun tidak membahayakan masyarakat sekitar. Selain itu, tindakan aparatur Desa Campakamekar yang tidak tegas dalam menyikapi keberadaan gereja tersebut juga menjadi faktor bergeraknya ormas Islam.

d. Bagaimana Bentuk Upaya yang Dilakukan oleh MUI Desa Campakamekar dan Pemerintah Desa Campakamekar untuk Mencegah Terjadinya Konflik Lebih Jauh di Desa Campakamekar yang Diakibatkan oleh Keberadaan Gereja Ilegal tersebut

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan (AD, LN, YS, NN, AS serta HR), terungkap bentuk upaya yang dilakukan oleh MUI Desa Campakamekar dan Pemerintah Desa Campakamekar untuk mencegah terjadinya konflik lebih jauh di Desa Campakamekar diakibatkan oleh keberadaan gereja, sebagai berikut:

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ketua MUI Desa Campakamekar (HR) sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ternyata Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda menjadi pendeta dan mendirikan gereja karena motif ekonomi dan kebutuhan. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak berkembangnya gereja, tidak bertambahnya umat Kristiani di Desa Campakamekar dan Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda lebih memilih untuk sibuk mengurusi hobinya seperti memancing, tenis serta berpergian dengan menggunakan motor besar.

Harapan beliau agar dana tetap mengalir dari pusat adalah dengan tetap mengadakan bakti sosial kepada masyarakat dengan cara mengotonomkan status gereja tersebut. Akan tetapi, dana yang turun dari gereja pusat tidak seluruhnya

(24)

dipakai untuk mengadakan bakti sosial, sebagian digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Selain itu, agar gereja pemberi dana (pusat) percaya proses pengkaderan Kristen berjalan, beliau menyetorkan para santri-santri pesantren setempat ke pusat GKKI dengan mengklaim mereka adalah kader-kader umat Kristiani di masa mendatang.

MUI Desa Campakamekar melakukan upaya dalam mengatasi masalah tersebut antara lain:

1. Membangun masjid sebanyak 3 (tiga) buah dan 1 (satu) buah pesantren, yang dananya dibiayai oleh Abudhabi Foundation, sebuah LSM dari kerajaan Saudi Arabia.

2. Mengadakan dakwah atau tabligh akbar dengan mendatangkan para mubaligh ke Desa Campakamekar dengan tema sentral yaitu “toleransi antar umat beragama yang sesuai dengan ajaran Islam dan sunah Rasul”.

3. Menghimpun dana Zakat Mal yang dihimpun dari seluruh MUI yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat serta Provinsi Jawa Barat, untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat Desa Campakamekar.

4. Menghimpun sebuah organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dibawah naungan MUI Desa Campakamekar.

5. Mendirikan koperasi MUI Desa Campakamekar, dimana pengelolaannya direkrut dan diserahkan kepada organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII). 6. Dalam waktu dekat akan membangun rumah yatim piatu dan panti jompo di

(25)

Program-program tersebut merupakan strategi MUI Desa Campakamekar yang bertujuan untuk mendidik masyarakat Desa Campakamekar agar lebih mandiri dan tidak tergantung kepada bantuan-bantuan sosial yang diberikan oleh pihak GKKI. Tidak ada maksud lain melaksanakan program tersebut, MUI Desa Campakamekar hanya ingin menjalankan program dan melaksanakan tugas sebagai MUI di wilayah Desa Campakamekar dan menjalankan perintah agama Islam yang diperintahkan oleh Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Kepala Desa dan stafnya yang baru terpilih kurang lebih 5 bulan belum mengetahui dan masih belajar dalam memelihara kerukunan umat beragama di Desa Campakamekar serta mengontrol keberadaan gereja. Mereka terkesan longgar dalam memberikan perizinan kegiatan kepada pihak GKKI. Menurut Kepala Desa (YS), saya harus berusaha menjadi seorang pemimpin yang adil dan harus bersikap dan bertindak secara obyektif tanpa membeda-bedakan agama.

Pada masa jabatannya, Kepala Desa sebelum yang sekarang sudah melakukan tindakan yang tegas dalam mengontrol keberadaan GKKI dan cenderung mengeluarkan kebijakan yang berani. Kebijakan yang dikeluarkannya antara lain:

1. Berani mengundang MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang, serta Pemerintah Kecamatan Padalarang untuk menengahi masalah keberadaan keberadaan gereja di Desa Campakamekar dan sama-sama berdialog untuk menyelesaikan masalah keberadaan GKKI di Desa Campakamekar.

(26)

2. Berani tidak memberikan izin kegiatan bakti sosial gereja, bahkan cenderung menghimbau kepada pimpinan gereja untuk menutup seluruh kegiatan bakti sosial dan keagamaan, sebelum menyelesaikan dan melengkapi perizinan kegiatan dan pendirian gereja.

3. Berani membubarkan pengajian pada tanggal 17 Agustus 1999. Ketika itu umat Islam dan Kristen berkumpul di masjid untuk sama-sama merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan dengan cara mengaji bersama-sama di masjid. 4. Mengeluarkan kebijakan membangun beberapa masjid mengelilingi gereja. 5. Mengeluarkan kebijakan bahwa pemakaman umat Kristiani dan Muslim harus

berbeda, tidak boleh dalam satu lokasi atau tempat yang sama.

6. Bahkan ada upaya penutupan gereja, walaupun pada akhirnya gagal karena kurangnya dukungan dari pihak masyarakat dan para tokoh Islam yang tetap bersikeras membela keberadaan gereja dengan alasan tidak membahayakan dan menguntungkan masyarakat sekitar.

Kepala Desa sebelum yang sekarang memang tidak bisa menutup secara langsung keberadaan GKKI di Desa Campakamekar. Salah satu kebijakan yang dijalankan ketika itu, Kepala Desa menugaskan Babinsa dan Babinkamtibmas untuk mengawasi kegiatan gereja agar tidak meresahkan dan mengganggu proses peribadahan agama lain. Selain itu, pembatasan-pembatasan lain juga dilakukan perihal kiriman bantuan dari gereja pusat yang disita oleh pihak pemerintah desa. Hal ini dilakukan untuk membatasi ruang gerak GKKI agar tidak berkembang. Pemerintah Desa, dalam hal ini Kepala Desa, tidak akan bertindak demikian jika perizinan gereja ada dan status hukum gereja legal atau sah.

(27)

e. Bagaimana Bentuk Upaya yang Dilakukan oleh MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang, serta Pemerintah Kecamatan Padalarang untuk Menengahi Masalah Keberadaan Gereja Ilegal di Desa Campakamekar

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan (AD, LN, HR, DD, NN, AS dan MB), terungkap bentuk upaya yang dilakukan oleh MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang serta Pemerintah Kecamatan Padalarang untuk menengahi masalah keberadaan GKKI di Desa Campakamekar, sebagai berikut:

MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang serta Pemerintah Kecamatan Padalarang diwakili oleh bagian Kesra Kecamatan, dengan mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja, Babinsa, Kasitrantib serta Babinkamtibmas, melakukan inisiatif untuk mengadakan semacam dialog antar umat beragama untuk menyelesaikan masalah keberadaan gereja di Desa Campakamekar yang melibatkan antara lain:

1. Kepala Desa Campakamekar 2. MUI Desa Campakamekar

(28)

4. Perwakilan Gerakan Pemuda Persatuan Islam (PERSIS), Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah serta Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Bandung.

5. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai pihak yang bewenang menengahi masalah tersebut.

Dialog tersebut menghasilkan berbagai kesepakatan antara lain:

a. Masalah tersebut resmi menjadi tanggung jawab dan ditangani langsung oleh ketiga lembaga tersebut.

b. Para pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang menentang keberadaan gereja.

c. Ketiga lembaga tersebut sebagai lembaga yang berwenang dalam hal ini memberikan suatu kebijakan yang berisi tidak boleh ada kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh GKKI, yang meliputi kegiatan bakti sosial dan keagamaan sebelum menyelesaikan dan melengkapi perizinan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

d. GKKI juga harus melengkapi seluruh perizinan yang berlaku untuk pendirian rumah ibadah, seperti: surat perizinan pelaksanaan kegiatan gereja dari Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat, izin mendirikan bangunan (IMB) gereja, serta izin lingkungan dari masyarakat Muslim sesuai dengan peraturan yang berlaku.

e. Ketiga lembaga ini melaporkan masalah tersebut ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kabupaten Bandung Barat untuk kemudian FKUB

(29)

melakukan kontrol secara intensif terhadap keberadaan gereja tersebut melalui mekanisme ketiga lembaga tersebut.

f. Ketiga lembaga ini juga membentuk suatu tim investigasi yang beranggotakan beberapa instansi di daerah, seperti: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bandung, Koramil, Kapolsek, Satpol PP Kabupaten Bandung Barat serta Kasitrantib Kecamatan Padalarang maupun Kabupaten Bandung Barat, untuk mengontrol keberadaan gereja tersebut di Desa Campakamekar.

g. Selain tim investigasi tersebut, ketiga lembaga ini juga mengerahkan serta menempatkan para bawahannya untuk mengontrol keberadaan gereja yang berlokasi di Desa Campakamekar.

h. Melalui dialog antar umat beragama yang diadakan di Balai Desa Campakamekar pada tanggal 23 April 2008, dengan mengundang perwakilan dari MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang, Pemerintah Kecamatan Padalarang, Kapolsek Padalarang, pihak GKKI Desa Campakamekar serta Ormas Islam, memutuskan bahwa kegiatan keagamaan GKKI di bekukan untuk sementara waktu, sebelum semua persyaratan administratif gereja terpenuhi. Dan dengan keputusan tersebut semua pihak menyetujui.

B. Analisis Hasil Penelitian

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, maka data tersebut dapat dianalisiskan sebagai berikut:

(30)

1. Sikap dan Perilaku Masyarakat Muslim (Ulama) terhadap Keberadaan Gereja GKKI di Desa Campakamekar

Sikap merupakan cerminan hati dan refleksi jiwa. Sikap individu muncul diakibatkan oleh responnya terhadap lingkungan. Sikap muncul ketika individu lain, lingkungan, lembaga tertentu memberikan stimulus yang menimbulkan individu bersikap. Sikap dapat dimunculkan secara positif maupun negatif, tergantung dari stimulus yang merangsangnya.

Adapun sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh masyarakat Muslim dan tokoh Islam adalah Pertama, mereka tidak mempermasalahkan keberadaan gereja di lingkungannya, dengan alasan tidak merugikan dan mengganggu keamanan, kegiatan peribadahan umat Islam serta menguntungkan masyarakat serta pihak gereja sering memberikan bantuan materi kepada masyarakat.

Kedua, para ulama setempat lebih memilih berceramah dan berdakwah kepada masyarakat Desa Campakamekar agar senantiasa menjaga kerukunan umat beragama serta menjaga kemurnian aqidah para umatnya daripada bersikap dan bertindak anarkis menghancurkan gereja tersebut.

Ketiga, ketika ada desakan dari gerakan ormas Islam, antara lain: Gerakan Pemuda Persatuan Islam, Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah bahkan Front Pembela Islam (FPI) untuk menghancurkan dan menutup GKKI, tokoh Islam setempat berada di barisan depan untuk menghalangi penghancuran dengan alasan kondusifitas lingkungan dan keberadaan gerejapun tidak merugikan serta tidak berkembang apalagi membahayakan umat Islam setempat bahkan cenderung menguntungkan masyarakat dari segi ekonomi.

(31)

Keempat, ada perjanjian yang melibatkan antara keluarga besar pimpinan gereja dengan para pimpinan ormas Islam antara lain: Gerakan Pemuda Persatuan Islam, Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah bahkan Front Pembela Islam (FPI). Hasil perjanjian tersebut mencapai suatu kesepakatan bahwa apabila pimpinan gereja meninggal, maka gereja akan ditutup. Dengan hasil perjanjian tersebut, sikap para ulama Islam setempat menerima dengan lapang dada dan akan menunggu sampai beliau meninggal, untuk kemudian gereja akan ditutup.

Kelima, para tokoh Islam sering datang ke gereja untuk menghadiri hari-hari besar umat Kristiani jika diundang oleh pimpinan gereja dengan alasan menghormati pemeluk agama lain serta mengembangkan toleransi umat beragama di Desa Campakamekar.

Mengenai konsep toleransi, ajaran Islam tidak mengajarkan kita bertoleransi dengan pemeluk agama lain dalam hal keyakinan (aqidah). Islam membatasi penerapan toleransi antar umat beragama hanya dalam hal muamalah (kegiatan sosial sehari-hari). Islam melarang kita mencampuradukkan keyakinan kita dengan pemeluk agama lain. Sikap dan perilaku para tokoh Islam di Desa Campakamekar tersebut jelas tidak dibenarkan, karena salah dalam menerapkan prinsip toleransi beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan analisis sikap dan perilaku masyarakat Muslim (ulama) terhadap keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar yang seolah-olah melegalisasi keberadaan gereja ilegal di lingkungannya, maka dapat disimpulkan bahwa hal ini merupakan suatu tindakan yang saling mempengaruhi satu sama

(32)

lain. Sikap dan perilaku yang seolah-olah mendukung dan melegalisasi gereja tersebut muncul karena para ulama ingin mendapat pengakuan dari masyarakat setempat. Sikap dan perilaku ini didorong oleh beberapa faktor, yaitu faktor pendidikan formal dan pendidikan agama yang kurang dari para tokoh Islam. Selain itu, pengaruh lingkungan pun ikut mempengaruhi munculnya sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh para tokoh Islam setempat terhadap keberadan gereja di lingkungannya.

2. Latar Belakang Berdirinya Gereja GKKI Ditengah-tengah Masyarakat Muslim dan Mengapa Para ulama Setempat Seolah-olah Melegalisasi Keberadaan Gereja Ilegal tersebut di Desa Campakamekar

Berdirinya suatu bangunan atau tempat ibadah pasti ada latar belakang sejarah (historis) maupun latar belakang hukum (yuridis) yang melandasi suatu bangunan atau tempat ibadah berdiri. Latar belakang inilah yang memperkuat keberadaan suatu tempat ibadah dan membentuk pandangan masyarakat dan pengakuan masyarakat bahwa suatu tempat ibadah tersebut berdiri.

Awal mula gereja tersebut berdiri cukup unik, yaitu bermula dari persengketaan dua orang ustadz yang diakibatkan oleh proses pendirian masjid yang tidak kunjung selesai. Kedua ustadz tersebut saling memfitnah, bahkan menjurus pada bentrok fisik menuduh satu sama lainnya mengambil (korupsi) uang hasil infak untuk pembangunan masjid. Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda mencoba menengahi dan mencari solusi penyelesaian masalah tersebut. Setelah berdialog dengan kedua ustadz tersebut, yaitu Ustadz Jejen dan Ustadz Undang yang merupakan tokoh Islam di Desa Campakamekar, dialog tersebut

(33)

sampai pada suatu kesepakatan bahwa pendirian masjid diambil alih oleh Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Tidak lama kemudian, masjid berdiri dimana seluruh dana pembangunannya ditanggung oleh beliau.

Beliau mencoba menawarkan kepada masyarakat dan tokoh Islam bagaimana jika saya (Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda) mendirikan gereja juga di Desa Campakamekar. Masyarakat dan para ulama pun menyetujui rencana beliau untuk membangun gereja. Pihak gereja membangun gereja dengan dana swadaya sendiri hasil menjual sawah dan tanah milik Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda. Beliau mempunyai keyakinan bahwa “untuk apa hidup kaya, banyak uang, serta rumah mewah apabila rumah ibadah (gereja) tidak dibangun. Orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang merugi dan munafik yang akan mendapat kerugian di dunia dan di akhirat”.

Sampai saat ini, gereja tersebut berdiri tanpa ada protes dari masyarakat dan tokoh Islam setempat, walaupun status hukum gereja tersebut ilegal dan melanggar peraturan yang berlaku. Sampai saat ini, masyarakat Muslim dan Kristen di Desa campakamekar tetap hidup berdampingan dengan damai tanpa ada gejolak, bentrok serta konflik diantara satu sama lainnya. Adapun yang melakukan gerakan menutup gereja itu berasal dari ormas Islam dari luar Desa Campakamekar.

Berdasarkan analisis mengenai latar belakang berdirinya gereja GKKI ditengah-tengah masyarakat Muslim dan mengapa para tokoh Islam setempat seolah-olah melegalisasi keberadaan gereja tersebut di Desa Campakamekar, dapat disimpulkan bahwa berdirinya GKKI di desa Campakamekar merupakan

(34)

hasil kompromi atau perjanjian antara para tokoh Islam, masyarakat Muslim dengan pimpinan gereja GKKI. Keberhasilan berdirinya gereja tersebut merupakan dampak (implikasi) dari tindakan atau jiwa sosial pimpinan gereja terhadap masyarakat, sehingga masyarakat merasa simpatik terhadap pimpinan gereja dan membiarkan berdirinya gereja tersebut. Pengawasan yang lemah dari pemerintah desa serta kurangnya pemahaman para tokoh Islam dan masyarakat Muslim sekitar tentang hakikat toleransi umat beragama menurut ajaran Islam yang benar juga turut melatarbelakangi berdirinya gereja ilegal tersebut.

3. Reaksi (Respon) Para Ulama di Luar Wilayah Desa Campakamekar terhadap Keberadaan Gereja Ilegal tersebut

Secara fenomenal, kebudayaan dalam era globalisasi mengarah pada nilai-nilai sekuler, yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan dikalangan masyarakat. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan pada masyarakat. Paling tidak ada dua kecenderungan yang tampak. Pertama, muncul sikap dan perilaku toleransi yang cukup tinggi terhadap perbedaan agama. Kedua, muncul sikap fanatik keagamaan. Sikap toleransi dijumpai di kalangan kelompok masyarakat yang disebut moderat sedangkan sikap dan perilaku fanatik sering diidentikkan dengan kelompok fundamental. Berikut ini adalah sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh tokoh Islam di luar wilayah Desa Campakamekar terhadap keberadaan gereja GKKI:

(35)

Keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar mendapat desakan dari gerakan ormas Islam, antara lain: Gerakan Pemuda Persatuan Islam (PERSIS), Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah bahkan Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Bandung untuk menghancurkan dan menutup GKKI. Gerakan ormas Islam tersebut berasal dari luar Desa Campakamekar. Ada beberapa hal yang mendorong mereka untuk bertindak dan ingin menutup kegiatan gereja, antara lain: Pertama, status gereja secara hukum tidak ada izin formal yang diharuskan oleh peraturan hukum yang berlaku. Kedua, daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah belum terpenuhi, apalagi izin lingkungan masih diragukan keabsahannya.

Ketiga, kegiatan gereja dianggap mengganggu ketertiban dan kerukunan umat beragama. Keempat, menurut ormas Islam, Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda telah melakukan pelecehan agama. Kelima, GKKI dianggap melakukan bujukan dan rayuan materi kepada masyarakat yang sudah beragama Islam untuk berpindah ke agama Nashrani.

Sikap kegamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut dipengaruhi oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif dan perasaan terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi, sikap keagamaan merupakan integrasi secara

(36)

kompleks antara pengetahuan agama, perasaan, agama serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang.

Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan. Oleh karena itu, dalam hal ini para tokoh Islam di luar Desa Campakamekar merasa perlu untuk melakukan gerakan penutupan gereja. Gerakan ormas Islam tersebut merupakan reaksi kekesalan akibat dari sikap dan perilaku para tokoh Islam setempat yang seolah-olah melegalisasi keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar. Bahkan mereka cenderung membela eksistensi gereja dengan alasan toleransi antar umat beragama dan keberadaan gereja pun tidak membahayakan masyarakat sekitar. Selain itu, tindakan aparatur Desa Campakamekar yang tidak tegas dalam menyikapi keberadaan gereja tersebut juga menjadi faktor bergeraknya ormas Islam.

Berdasarkan analisis mengenai reaksi (respon) masyarakat Muslim (ulama) di luar wilayah Desa Campakamekar terhadap keberadaan gereja GKKI tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan para tokoh Islam di luar wilayah Desa Campakamekar terhadap keberadaan gereja GKKI adalah dengan melakukan penutupan yang diakibatkan oleh kekesalan terhadap para ulama setempat yang seolah-olah membiarkan dan mendukung keberadaan gereja liar di lingkungannya. Selain itu, gereja tersebut yang tidak disertai dengan surat izin resmi, baik izin mendirikan bangunan (IMB), izin penyiaran agama, serta pendaftaran gereja di Departemen Agama yang tidak terpenuhi turut menjadi alasan tindakan para tokoh Islam diluar Desa Campakamekar tersebut.

(37)

4. Bentuk Upaya yang Dilakukan oleh MUI Desa Campakamekar dan Pemerintah Desa Campakamekar untuk Mencegah Terjadinya Konflik Lebih Jauh di Desa Campakamekar yang Diakibatkan oleh Keberadaan Gereja Ilegal tersebut

Sikap dan perilaku keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama. Selain sikap seperti itu dapat menimbulkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, juga tidak jarang ikut mempengaruhi politik suatu negara jika sikap menyimpang tersebut sudah mempengaruhi sikap sosial. Lebih-lebih jika penyimpangan tersebut sudah mencapai tingkat intensitas ekstern negatif, karena kualitas dan intensitas sikap yang menggambarkan konotasi komponen afeksi cenderung mengarah kepada tingkah laku yang berdasarkan kualitas nasional. Dengan demikian, sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasional.

Konflik agama sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang dapat terjadi karena adanya “pemasungan” nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Maksudnya, para penganut agama seakan “memaksakan” nilai-nilai ajaran agama sebagai “label” untuk membenarkan tindakan yang dilakukannya. Padahal apa yang ia atau mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri.

Adapun beberapa upaya yang dilakukan oleh MUI Desa Campakamekar dalam mengatasi konflik lebih jauh yang diakibatkan oleh berdirinya gereja ilegal di Desa Campakamekar tersebut antara lain: Pertama, membangun masjid

(38)

sebanyak 3 (tiga) buah dan 1 (satu) buah pesantren yang dananya dibiayai oleh Abudhabi Foundation, sebuah LSM dari kerajaan Saudi Arabia. Kedua, mengadakan dakwah atau tabligh akbar dengan mendatangkan para mubaligh ke Desa Campakamekar dengan tema sentral yaitu “toleransi antar umat beragama yang sesuai dengan ajaran Islam dan sunah Rasul”. Ketiga, menghimpun dana Zakat Mal yang dihimpun dari seluruh MUI yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat serta Provinsi Jawa Barat, untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat Desa Campakamekar. Keempat, menghimpun sebuah organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dibawah naungan MUI Desa Campakamekar. Kelima, mendirikan koperasi MUI Desa Campakamekar dimana pengelolaannya direkrut dan diserahkan kepada organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII). Keenam, dalam waktu dekat akan membangun rumah yatim piatu dan panti jompo di bawah naungan MUI Desa Campakamekar.

Program-program tersebut merupakan strategi MUI Desa Campakamekar yang bertujuan untuk mendidik masyarakat Desa Campakamekar agar lebih mandiri dan tidak tergantung kepada bantuan-bantuan sosial yang diberikan oleh pihak GKKI. Tidak ada maksud lain melaksanakan program tersebut, MUI Desa Campakamekar hanya ingin menjalankan program dan melaksanakan tugas sebagai MUI di wilayah Desa Campakamekar serta menjalankan perintah agama Islam yang diperintahkan oleh Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Kepala desa dan stafnya yang baru terpilih kurang lebih 5 bulan belum mengetahui dan masih belajar dalam memelihara kerukunan umat beragama di

(39)

Desa Campakamekar serta mengontrol keberadaan gereja. Mereka terkesan longgar dalam memberikan perizinan kegiatan kepada pihak GKKI.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama semestinya menjadi tugas para aparatur pemerintahan secara yuridis formal. Akan tetapi, dalam hal ini peran serta warga masyarakat pun sangat dibutuhkan dengan tidak membeda-bedakan status keagamaan seseorang.

Berdasarkan analisis mengenai bentuk upaya yang dilakukan oleh MUI Desa Campakamekar dan Pemerintah Desa Campakamekar untuk mencegah terjadinya konflik lebih jauh di Desa Campakamekar, maka dapat disimpulkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Campakamekar telah melakukan upaya nyata atau pengawasan terhadap terciptanya suatu kerukunan umat beragama dan mengawasi wilayahnya dari pendirian gereja atau bangunan tempat ibadah yang tidak mematuhi peraturan hukum yang berlaku. Hal ini dibuktikan dengan program-program yang diterapkan di wilayahnya terhadap masyarakat sekitar. Namun, hal ini belum didukung oleh peran serta aparatur Desa Campakamekar.

5. Bentuk Upaya yang Dilakukan oleh MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang, serta Pemerintah Kecamatan Padalarang untuk Menengahi Masalah Keberadaan Keberadaan Gereja Ilegal di Desa Campakamekar

Kerusuhan yang diisukan sebagai konflik agama bukan hanya terjadi di tanah air pada akhir-akhir ini saja. Sudah sejak lama masyarakat dunia dihebohkan oleh Perang Salib, Perang Sabi di Aceh, perlawanan orang-orang

(40)

Irlandia terhadap Inggris, Perang India dan Pakistan, maupun perlawanan orang Moro di Filipina. Semuanya dianggap memiliki latar belakang konflik antar agama. Sebab agama bagaimanapun masih “laris” untuk “diperdagangkan” sebagai alat pemicu konflik sosial hingga ke peperangan. Kondisi seperti ini akan lebih menjadi-jadi, bila kemudian agama dijadikan “alat politik”.

Akan tetapi, konflik tersebut bukan tanpa jalan keluar untuk bisa diredam dan diselesaikan secara damai. Dialog antar umat beragama merupakan solusi tepat untuk menyelesaikan masalah konflik agama, selama semua pihak berani mengesampingkan ego dan perasaan “agama saya yang paling benar dan baik”.

Adapun solusi atau jalan keluar yang diambil dalam mengatasi konflik agama yang diakibatkan oleh berdirinya gereja ilegal di Desa Campakamekar adalah MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang serta Pemerintah Kecamatan Padalarang diwakili oleh bagian Kesra Kecamatan, dengan mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja, Babinsa, Kasitrantib serta Babinkamtibmas melakukan inisiatif untuk mengadakan semacam dialog antar umat beragama untuk menyelesaikan masalah konflik agama yang diakibatkan oleh keberadaan gereja di Desa Campakamekar yang melibatkan antara lain: 1. Kepala Desa Campakamekar

2. MUI Desa Campakamekar

3. Pimpinan GKKI Pendeta Eyang Yusac Ahmad Supanda

4. Perwakilan Gerakan Pemuda Persatuan Islam (PERSIS), Gerakan Pemuda Nahdatul Ulama (NU) dan Gerakan Pemuda Muhammadiyah serta Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Bandung.

(41)

5. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai pihak yang bewenang menengahi masalah tersebut.

Dialog tersebut menghasilkan berbagai kesepakatan, antara lain: Pertama, masalah tersebut resmi menjadi tanggung jawab dan ditangani langsung oleh ketiga lembaga tersebut. Kedua, para pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang menentang keberadaan gereja hendaknya menahan diri dan tidak berperilaku anarkis. Ketiga, ketiga lembaga tersebut, sebagai lembaga yang berwenang dalam hal ini, memberikan suatu kebijakan yang berisi tidak boleh ada kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh GKKI, yang meliputi kegiatan bakti sosial dan keagamaan sebelum menyelesaikan dan melengkapi perizinan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Keempat, GKKI juga harus melengkapi seluruh perizinan yang berlaku untuk pendirian rumah ibadah, seperti: surat perizinan pelaksanaan kegiatan gereja dari Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat, izin mendirikan bangunan (IMB) gereja, serta izin lingkungan dari masyarakat Muslim sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kelima, ketiga lembaga ini melaporkan masalah tersebut ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kabupaten Bandung Barat untuk kemudian FKUB melakukan kontrol secara intensif terhadap keberadaan gereja tersebut, melalui mekanisme ketiga lembaga tersebut.

Kelima, ketiga lembaga ini juga membentuk suatu tim investigasi yang beranggotakan beberapa instansi di daerah, seperti: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bandung, Koramil, Kapolsek, Satpol PP Kabupaten Bandung Barat serta Kasitrantib Kecamatan Padalarang, maupun

(42)

Kabupaten Bandung Barat untuk mengontrol keberadaan gereja tersebut di Desa Campakamekar. Keenam, selain tim investigasi tersebut, ketiga lembaga ini juga mengerahkan serta menempatkan para bawahannya untuk mengontrol keberadaan gereja yang berlokasi di Desa Campakamekar.

Ketujuh, melalui dialog antar umat beragama yang diadakan di Balai Desa Campakamekar pada tanggal 23 april 2008 dengan mengundang perwakilan dari MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang, Pemerintah Kecamatan Padalarang, Kapolsek Padalarang, Pihak GKKI Desa Campakamekar, serta ormas Islam, memutuskan bahwa kegiatan keagamaan GKKI dibekukan untuk sementara waktu, sebelum semua persyaratan administratif gereja terpenuhi. Dan dengan keputusan tersebut semua pihak menyetujui.

Akhirnya melalui dialog tersebut, semua pihak yang terlibat konflik bisa saling menahan diri satu sama lain. Berdasarkan analisis mengenai upaya yang dilakukan oleh MUI Kecamatan Padalarang, KUA Kecamatan Padalarang, serta Pemerintah Kecamatan Padalarang untuk menengahi masalah keberadaan keberadaan gereja di Desa Campakamekar, dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga di atas tersebut telah berhasil menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemelihara kerukunan umat beragama di tingkat kecamatan, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya lembaga-lembaga tersebut dalam menyelenggarakan dialog antar umat beragama, bahkan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkonflik. Salah satu kesepakatannya adalah pembekuan kegiatan keagamaan gereja karena menyalahi peraturan hukum yang berlaku.

(43)

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Bagaimana Sikap dan Perilaku Masyarakat Muslim (Ulama) terhadap Keberadaan Gereja GKKI di Desa Campakamekar

Sebagaimana diuraikan dalam deskripsi hasil penelitian, sikap dan perilaku masyarakat Muslim (ulama) terhadap keberadaan gereja GKKI di Desa Campakamekar yaitu tokoh Islam tidak mempermasalahkan keberadaan gereja di lingkungan Desa Campakamekar, dengan alasan tidak merugikan dan mengganggu keamanan serta kegiatan peribadahan umat Islam serta menguntungkan masyarakat, karena pihak gereja sering memberikan bantuan materi kepada masyarakat.

Tindakan lembaga keagamaan tersebut jelas bertentangan dengan Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978 (Tentang Pedoman Penyiaran Agama) pada diktum kedua yang menyebutkan bahwa:

Kedua Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk:

a. Ditujukan terhadap orang atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain.

b. Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk suatu agama.

c. Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain.

d. Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah kerumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.

Peraturan tersebut didukung oleh peraturan lain yang tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 (Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar

(44)

Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia), tertanggal 2 Januari 1979 pasal 3 yang menyatakan bahwa:

Pasal 3

Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beagama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dan melakukan ibadah menurut agamanya.

Dengan demikian, pihak GKKI di Desa Campakamekar telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan di atas, karena melakukan penyiaran agama dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain supaya orang tertarik untuk memeluk suatu agama yang dikemas dalam bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Sikap dan perilaku ulama tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: rasa balas budi kepada pihak gereja karena telah banyak menolong masyarakat tanpa membeda-bedakan status agama, menghormati pimpinan gereja, karena tidak pernah berperilaku jahat dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Faktor-faktor ini menunjukkan adanya sikap dan perilaku toleran dalam kehidupan beragama di Desa Campakamekar. Faktor pengaruh perilaku tersebut senada dengan pendapat Sartain (Syamsu Yusuf, 2002:44) yang menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu: faktor pengalaman khusus (specific experience), faktor komunikasi dengan orang lain (communication with other people), faktor Model, faktor lembaga-lembaga sosial (institusional).

Gambar

Tabel 4.1 Data Kuantitatif Jenis Pekerjaan dan Pendapatan Perkapita  Masyarakat Desa Campakamekar Tahun 2006
Tabel 4.2 Data Jumlah Warga Miskin dan Indikator Keluarga Miskin di  Desa Campakamekar Tahun 2006
Tabel 4.4 Data Kuantitatif Tentang Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa  Campakamekar Tahun 2007
Tabel 4.5 Data Jumlah Prasarana Peribadahan Desa Campakamekar  Jenis rumah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Disamping harga yang mahal ini Joe pun harus menghadapi pandangan religious dan etik dari masyarakat terhadap transplantasi yang akan ia lakukan, karena kita sebagai makhluk

Page 15 bencana alam, dan

Hal ini menunjukkan bahwa disosiasi jaringan testikular baik dalam larutan A maupun larutan B dengan lama waktu inkubasi satu hingga tiga jam belum menunjukkan

Dari analisis katalog gempabumi di wilayah penelitian diperoleh variasi nilai-b berkisar antara 0,8-2,5, variasi nilai-a berkisar antara 6-12 sedangkan periode ulang gempabumi

Metode pengering daun Stevia yang terbaik adalah menggunakan food dehydrator, karena daun kering yang dihasilkan memerlukan waktu tersingkat 2 jam untuk

Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa menurut. ketentuan-ketentuan yang berlaku dan berdasarkan Surat Keputusan Panitia

Sifat fisik batang kayu sawit tidak terlalu begitu berpengaruh nyata oleh perlakuan perbedaan suhu panas tapi sangat berpengaruh nyata oleh perbedaan tekanan yang diberikan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya