• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANTY ERNINGTYAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANTY ERNINGTYAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan

Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap

Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren

(Isoptera : Rhinotermitidae)

TANTY ERNINGTYAS

IN ST ITUT PERTAN IA N B O G O R

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan tesis berjudul Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini

Bogor, Juli 2006 Tanty Erningtyas NRP. E051040181

(3)

ABSTRACT

Tanty Erningtyas. Efficacy of Entomopathogenic Nematodes Heterorhabditis sp and Steinernema sp. Isolate Bogor as a Biological Control Agents against Subterranean Termite Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae), under supervision of Rudy C. Tarumingkeng and Teguh Santoso.

The subterranean termite, Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) is the most important wood destroying termites in many regions in Indonesia. Their infestation on buildings, agricultural crops, and forest trees has caused significant economic loses. Meanwhile termite control technology still depend on termiticide application, which cause negative effect to environment. On the other hand, entomopathogenic nematodes is one of agents potential bio-control in controlling subterranean termites without negative effect to environment.

A research was conducted to evaluate the effectiveness of the entomopathogenic nematodes Heterorhabditis sp and Steinernema sp as a biological control agents against subterranean termites Coptotermes curvignathus Holmgren in field test. Procedures of the research included the rearing of the entomopathogenic nematodes, both in-vivo and in-vitro, the

evaluation of the nematodes toxicity against subterranean termites (LC50 and

LT50) and field evaluation of entomopahogenic nematodes against

subterranean termite at field. The mortality of termites was analysis with Completed Randomized Design and Tukey's Test.

The effective deusity 600 IJ/ml of entomopathogenic nematodes Heterorhabditis sp and Steinernema sp caused 100% mortality of subterranean termites C. curvignathus. The LC50 value for the population of subterranean termites C. curvignathus for Steinernema sp was 322 IJ/ml and Heterorhabditis sp was 355 IJ/ml. The LT50 value for the population of subterranean termites C. curvignathus was 33,94 hours for Steinernema sp and was 34,90 hours Heterorhabditis sp. For the efficacy test, the mortality value of subterranean termites C. curvignathus caused by Steinernema sp and Heterorhabditis sp were 90,23 % and 85,65 % respectively. In field testing the mortality value of subterranean termites C. curvignathus caused by Steinernema sp and Heterorhabditis sp were 79,51 % and 94,40 % respectively. It is conclued that Steinernema sp and Heterorhabditis sp can be used as biological control against C. curvignathus.

Keywords --- entomopathogenic nematode, subterranean termite, Coptotermes curvignathus, Steinernema sp, Heterorhabditis sp, field test.

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya.

(5)

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan

Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap

Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren

(Isoptera : Rhinotermitidae)

TANTY ERNINGTYAS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(6)

Judul Penelitian : Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp.

dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai

Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae)

Nama Mahasiswa : Tanty Erningtyas

NRP. : E 051040181

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Ketua

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 27 Mei 1977 dari pasangan yang berbahagia Bapak H. Karino dan Ibu Sutiyem. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan Sekolah Dasar Swasta Mekar II Pontianak pada tahun 1989, kemudian menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 1 Pontianak. Selanjutnya menempuh pendidikan lanjutan atas di SMA Negeri 2 Pontianak sampai tahun 1995.

Pada tahun 1995 melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak yang kemudian pada tahun 2000 menjadi Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2001 penulis lulus dengan mendapat gelar Sarjana Kehutanan. Sejak tahun 1999 hingga sekarang Penulis aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat.

Pada September 2004 penulis melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana Magister Sains di IPB dengan bidang studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmman dan rahhim kepada penulis, serta salam dan salawat kepada Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul : “Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp dan Steinernema sp Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae)” ini disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian studi Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan berbagai pihak. Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA sebagai komisi pembimbing dengan segala kebaikan dan keikhlasannya memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis, semoga ilmu ini dapat berkembang, bermanfaat dan memberikan berkah kepada semua orang. Terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Surjokusumo, MF selaku Penguji Luar Komisi dan Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

Penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan finansial yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian oleh Hibah Pasca. Penelitian ini merupakan bagian dalam penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (Hibah Pasca) yang berjudul: Pengendalian Terpadu Koloni Rayap Tanah Genus Coptotermes Pada Lingkungan Permukiman di Pulau Jawa Berdasarkan Informasi Genetik dan Kelas Bahaya Rayap dengan ketua peneliti Prof. Dr. Rudy C Tarumingkeng, MF.

Terimakasih untuk Ibu dan Bapak tersayang yang senantiasa merestui dan percaya apapun jalan yang penulis pilih. Saudara-saudaraku Tuty Rahayu, Ambar Pratiwi, SE., Dyah Muharini, S.Stp dan Ir. Iwan F., MP yang senantiasa memberiku semangat. Terimakasih kepada Ir. Fahrizal, MP yang mendorongku untuk sekolah lagi dan Dr. Farah Diba, S.Hut, Msi yang menginspirasi dan senantiasa membantu penulis dari pertama kali ke Bogor hingga saat ini. Terimakasih atas kerjasama dan persahabatannya buat Margareta, S.Si, M.Si, Iin

(9)

Aryati, ST, M.Si, Ir. Desyanti, M.Si, Niken Subekti, S.Si, M.Si, Arinana, S.Hut, M.Si, Ir. Yudi Rismayadi, M.Si, Lia Herawati, SP, Pak Anhari dan teman-teman di CV. Protek. Terimakasih buat teman-teman Mapala Lawalata-IPB yang setia membantu penulis selama penelitian di lapangan. Serta terimakasih yang mendalam buat rekan-rekan di Borneo Center dan Mapala UNTAN yang membuat semua tantangan menjadi mudah dan menyenangkan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik perbaikan sangat diharapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2006 Tanty Erningtyas

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. x

DAFTAR GAMBAR………. xi

DAFTAR LAMPIRAN………. xii

PENDAHULUAN…….………... 1 Latar Belakang……… 1 Perumusan Masalah……… 3 Tujuan Penelitian………. 4 Manfaat Penelitian……….. 4 Hipotesis ………...……….. 4 TINJAUAN PUSTAKA………..……… 5 Rayap………. Morfologi, Persebaran dan Taksonomi Rayap…………...……… Biologi Rayap………. Pengendalian Rayap Tanah……… 5 5 9 13 Nematoda Entomopatogen……….………... Biologi dan Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen... Potensi Nematoda Sebagai Agens Pengendali Hayati ……... 16 16 18 BAHAN DAN METODE ………..……….……… 20

Waktu dan Tempat Penelitian.……….. 20

Bahan Penelitian ………... 20

Metode Penelitian……….. 24

HASIL DAN PEMBAHASAN……….……….. 29 Keefektifan Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. Curvignathus………. Uji Efikasi Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Dalam Termitarium………...………… Efikasi NEP terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Di Lapangan……

29 34 36

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 40 Kesimpulan………...… Saran……….….…………... 40 40 DAFTAR PUSTAKA……….. 41 LAMPIRAN ……… 46

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus 48 Jam setelah

Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan

Heterorhabditis sp. ... 29

2 Nilai LC50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. Terhadap

C. curvignathus... 31

3 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp.

dan Heterorhabditis sp... 32

4 Nilai LT50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap

C. curvignathus... 33

5 Mortalitas Rayap Tanah pada 48 Jam akibat perlakuan

Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadapC.

curvignathus ... 34

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : H. Kaya ,1993)... 17

2. Heterorhabditis sp. (a. Infektif juvenil; b. Dewasa)... 21

3. Steinernema sp. (a. Betina; b. Jantan)... 21

4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio Molitor... 22

5. Metode White trap... 22

6. Perbanyakan nematoda secara in vitro... 23

7. Termitarium yang digunakan pada Uji Potensi Nematoda…………... 26

8. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp... 30

9. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Taraf Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp………. 32 10. Tubuh rayap yang mengering akibat serangan nematoda... 35

11. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Uji Termitarium dan Uji Lapang……….. 37 12. (a) Heterorhabditis sp. yang bersifat cruising. (b) Steinernema sp.

yang bersifat ambushing...

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Kerapatan

Nematoda Steinernema sp (LC50)... 46

2 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Kerapatan

Nematoda Heterorhabditis sp

(LC50)……...……….

46

3 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Waktu

Kontak dengan Nematoda Steinernema sp (LT50)... 46

4 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Waktu

Kontak dengan Nematoda Heterorhabditis sp (LT50)...

47

5 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp (LC50)... 47

6 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Kerapatan Nematoda Heterorhabditis sp (LC50)………….… 47

7 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp (LT50)…... 48

8 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Heterorhabditis sp (LT50)..

48

9 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus terhadap Nematoda

Steinernema sp. pada Uji Efikasi di Termitarium ……….. 49

10 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus terhadap Nematoda

Heterorhabditis sp. pada Uji Efikasi di Termitarium……….

49

11 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Uji Lapang Nematoda

Heterorhabditis sp ……… 50

12 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus terhadap Nematoda

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rayap merupakan serangga sosial pemakan selulosa yang termasuk ke dalam ordo Isoptera. Hampir di seluruh daerah tropika dan subtropika rayap dikenal sebagai hama yang banyak mengakibatkan kerusakan pada tanaman dan hasil hutan. Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sangat sesuai bagi organisme perusak kayu ini. Diperkirakan bahwa hampir 80 - 85 % dari luas daratan di Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika, 1999).

Di seluruh dunia kira-kira terdapat 2500 jenis rayap dan sekitar 120 jenis merupakan serangga hama (Harris, 1971). Di Indonesia sendiri telah ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap dan baru sekitar 20 jeniss yang diketahui berperan sebagai hama perusak kayu serta hama tanaman hutan dan pertanian (Tarumingkeng, 1971).

Dari sekian banyak rayap, ternyata yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah golongan rayap tanah (subteranean termites), yaitu dari famili Rhinotermitidae serta sebagian anggota famili Termitidae (Tambunan dan Nandika, 1989). Berdasarkan hasil penelitian di Thailand, kerusakan pada bangunan yang diakibatkan oleh serangan rayap tanah dari anggota genus Coptotermes (Famili Rhinotermitidae) menimbulkan kerugian ekonomis cukup besar mencapai $ 2,2 juta setiap tahun. Sementara di Amerika Serikat hampir 80 % dari biaya pengendalian rayap ditujukan untuk mengendalikan rayap tanah (Su, 1994).

Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae), merupakan jenis rayap perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Keadaan itu diperburuk dengan penggunaan jenis-jenis kayu yang keawetannya rendah. Kian tahun intensitas serangan rayap pada bangunan perumahan dan gedung-gedung semakin meningkat. Menurut Nandika dkk (2003) rata-rata persentase intensitas dan besarnya kerusakan pada

(16)

bangunan gedung akibat serangan rayap di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Batam mencapai lebih 70% dan menimbulkan kerugian ekonomis mencapai 1,67 trilyun rupiah. Bahan-bahan yang dapat dirusak oleh rayap sangatlah beraneka ragam, bukan hanya terjadi pada kayu tetapi juga kertas termasuk dokumen-dokumen dan hasil-hasil kesenian yang sangat berharga, karton, pakaian, jaringan-jaringan tanaman dan berbagai jenis bahan berselulosa lainnya.

Teknologi pengendalian rayap yang telah dilakukan sampai saat ini yaitu penggunaan termitisida kimiawi yang diaplikasikan melalui tanah atau dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), penggunaan penghalang fisik (physical barrier) guna mencegah penetrasi rayap pada bangunan dan teknologi pengumpanan (baiting) untuk mengeliminasi koloni rayap.

Penggunaan termitisida memang relatif lebih cepat terlihat hasilnya, akan tetapi kekhawatiran yang timbul akibat efek negatif penggunaan bahan kimia yang menyertai tak dapat diabaikan. Baik itu efek yang dirasakan saat ini maupun dimasa yang akan datang seperti pencemaran air dan tanah, resistensi serangga dan bahaya terhadap tubuh manusia sendiri. Untuk itu perlu dikembangkan suatu teknologi pengendalian rayap yang lebih ramah lingkungan.

Pengendalian rayap secara biologis menggunakan agens hayati nematoda entomopatogen merupakan alternatif lain pengendalian rayap tanah. Beberapa spesies nematoda yang telah digunakan untuk mengendalikan rayap adalah Heterorhabditis bacteriophora, Steinernema capocapsae dan Steinernema

riobrave (Pearce, 1997). Nematoda entomopatogen tersebut mampu

mengendalikan rayap yang sarangnya terdapat di permukaan tanah maupun di atas pohon (Logan et al., 1990). Pada tahun 1988, Epsky dan Capinera (1994) meneliti nematoda Steinernema sp. sebagai pengendali hayati pada rayap Reticulitermes sp. Steinernema ini juga dicobakan di Cina pada spesies rayap R. speratus dan C. formosus. Penelitian tersebut menunjukan bahwa nematoda entomopatogen mampu berperan baik sebagai agens pengendali rayap.

Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian tentang keefektifan bioinsektisida menggunakan nematoda entomopatogen isolat lokal, Steinernema

(17)

sp. dan Heterorhabditis sp. sebagai agens pengendali hayati rayap tanah C. curvignathus pada pengujian lapang perlu dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang teknologi alternatif pengendalian rayap perusak kayu yang ramah lingkungan.

Perumusan Masalah

Saat ini umumnya teknologi pengendalian rayap masih bertumpu pada penggunaan pestisida kimia anti rayap (termitisida). Penggunaan bahan kimia tersebut dapat menimbulkan masalah lingkungan dan berpotensi meracuni manusia, karena senyawa kimia yang digunakan sulit terurai. Untuk itu, perlu upaya pengendalian serangan rayap tanah secara terpadu. Pengendalian rayap secara terpadu memiliki dasar ekologis, biologi dan tingkah laku serangga dan hal ini berhubungan dengan faktor-faktor mortalitas alami, seperti dengan pengendalian hayati yang memiliki dampak negatif yang sangat minimal.

Pengendalian hayati untuk menekan populasi rayap tanah C. curvignathus saat ini lebih diarahkan untuk dikembangkan guna menghindari efek negatif penggunaan bahan-bahan kimiawi. Salah satu cara adalah dengan memanipulasi musuh alami sehingga dapat mengurangi populasi rayap sampai batas normal, yaitu batas yang dapat diterima secara ekonomi dan mengembalikan peran rayap sebagai dekomposer bukan sebagai hama perusak. Nematoda sebagai salah satu musuh alami rayap merupakan agens pengendali biologi yang cukup efektif dikarenakan habitat antara keduanya selalu berhubungan dengan tanah. Pengembangan pengendalian menggunakan nematoda saat ini hanya terbatas di laboratorium. Keberhasilan penggunaan nematoda tak lepas dari proses infeksi (penularan) nematoda terhadap rayap dalam koloninya. Kelebihan nematoda sebagai agens biokontrol adalah kemampuannya untuk bergerak mencari hama. Disamping itu karena nematoda cukup mampu bertahan di lingkungan, penularan dari saru individu rayap ke individu lain diharapkan memberikan dampak pengendalian yang lebih efisien.

Untuk meningkatkan mutu bangunan yang aman terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus tetapi lebih ramah lingkungan dapat diusahakan

(18)

pengendalian secara hayati dengan menggunakan nematoda entomopatogen Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. isolat lokal. Isolat lokal dipilih karena sudah dianggap beradaptasi dengan ekosistem setempat sehingga tidak akan mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan bioinsektisida nematoda entomopatogen Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan rayap tanah C. curvignathus pada pengujian laboratorium dan lapang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi teknologi alternatif pengendalian rayap perusak kayu dan yang ramah lingkungan guna mendukung peningkatan mutu bangunan gedung di Indonesia.

Hipotesis

Aplikasi nematoda entomopatogen ke dalam sarang rayap menghasilkan penularan nematoda patogen terhadap rayap dalam koloninya.

Penggunaan nematoda entomopatogen sebagai bioinsektisida hayati mampu mengeliminasi koloni rayap tanah C. curvignathus.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Rayap Morfologi, Persebaran dan Taksonomi Rayap

Rayap adalah serangga yang ukurannya kecil sampai sedang, hidup dalam kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Dalam koloni terdapat rayap bersayap dan tidak bersayap, juga ada yang bersayap pendek. Sayapnya berjumlah empat buah, berbentuk seperti selaput dengan pertulangan yang sederhana dan reticulate. Bentuk, ukuran dan tekstur sayap depan sama dengan sayap belakang dan oleh karena itu dimasukan dalam ordo Isoptera (iso = sama, ptera = sayap) (Borror dan De Long, 1954). Perbedaan utama antara rayap dengan serangga sosial seperti semut dan lebah adalah pada semut dan lebah memiliki tahap larva dan pupa yang tidak aktif di dalam koloninya sedangkan pada rayap, nimfa yang sering disebut rayap muda mempunyai aktifitas yang tinggi (Pearce, 1997). Perbedaan lainnya adalah pada rayap, raja atau rayap jantan dan ratu rayap atau rayap betina tetap hidup selama waktu hidupnya dan tidak mati setelah kawin.

Beberapa negara sub-tropik mengenal rayap sebagai semut putih (white ant) karena secara sepintas antar keduanya mempunyai penampilan yang hampir sama (Pearce, 1997). Namun sesungguhnya antara rayap dan semut tidak memiliki hubungan filogenetika yang dekat bahkan secara morfologi antara keduanya mudah dibedakan. Rayap memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik, sedangkan semut memiliki antena yang menyiku. Toraks dan abdomen rayap bergabung dalam ukuran yang hampir sama, sedangkan toraks dan dan abdomen semut bergabung dengan pinggang yang ramping. Sayap-sayap rayap memiliki bentuk, ukuran dan pola yang serupa disertai pertulangan sayap yang banyak dan berukuran kecil, sedangkan sayap semut memiliki bentuk, ukuran dan pola yang berlainan dengan pertulangan yang sedikit (Tambunan dan Nandika, 1989). Menurut Tarumingkeng (1971) dari segi filogenetika semut mendekati golongan lebah, sehingga keduanya dicakup dalam ordo yang sama Hymenoptera, sedangkan rayap termasuk ordo Isoptera.

(20)

Secara filogenetika rayap (Ordo Isoptera) dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu rayap tingkat rendah (lower termites) dan rayap tingkat tinggi (higher termites). Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada tingkat pengaturan organisasi di dalam koloninya dan simbion pada sistem pencernaan yang berperan dalam proses penguraian selulosa. Pada rayap tingkat rendah umumnya simbion yang hidup di dalam saluran pencernaannya adalah dari golongan protozoa sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri. Rayap tingkat rendah terdiri dari enam famili, yaitu: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Termopsidae, Rhinotermitidae, dan Serretermitidae (Krishna 1970).

Rayap tersebar tidak hanya di daerah tropik tapi juga mencakup sebagian besar daerah sub tropik. Sebarannya bahkan cenderung meluas ke daerah-daerah

beriklim sedang dengan batas-batas 50° LU dan LS (Pearce, 1997). Di daerah

tropik rayap dapat dijumpai mulai dari daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut. Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2500 jenis rayap yang terbagi ke dalam tujuh famili, 15 sub-famili, dan 200 genus. Di Indonesia sampai dengan tahun 1970 sudah ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap dari berbagai genus (Tarumingkeng, 1971).

Rayap termasuk kelompok serangga sosial yang hidup dalam koloni-koloni dengan pembagian kasta yang jelas. Menurut Kofoid (1946) dan Roonwal (1978) di dalam koloni setiap jenis rayap terdapat tiga kasta yang memiliki bentuk yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu: kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja.

Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (ratu) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri atas serangga-serangga dewasa yang bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996) kasta reproduktif suplementer muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang karena fragmentasi koloni. Kasta ini dapat terbentuk beberapa kali

(21)

dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, kasta ini menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.

Kasta prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya semut dan vertebrata pemangsa (Tambunan dan Nandika, 1989).

Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa (Richards dan Davies, 1996). Fungsi kasta pekerja adalah sebagai pencari makan, merawat telur, membuat dan memelihara sarang, serta membunuh dan memakan rayap-rayap yang tidak produktif). Sifat kanibalisme berfungsi untuk mempertahankan prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam mengatur keseimbangan koloni (Tarumingkeng 1971).

Menurut Harris (1971) dari tujuh famili rayap, famili Rhinotermitidae, Kalotermitidae dan Termitidae paling banyak menimbulkan masalah kerusakan. Jenis-jenis terpenting dari keluarga Rhinotermitidae adalah C. curvignathus dan C. travians. Tho (1992) menyatakan bahwa jenis rayap dalam famili Coptotermitidae masih sulit dibedakan secara teliti, terdapat beberapa jenis yang secara morfologi sangat mirip tetapi dapat dipisahkan berdasarkan perbedaan yang sangat kecil. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), C. curvignathus merupakan salah satu rayap tanah paling luas serangannya di Indonesia. Adapun klasifikasi jenis rayap ini adalah sebagai berikut:

(22)

Phylum Kelas Sub Kelas Ordo Famili Sub Famili Genus Species Nama Daerah : : : : : : : : : Arthropoda Insecta Pterigota Isoptera Rhinotermitidae Coptotermitidae Coptotermes C. curvignathus Holmgren Rengas atau anai-anai putih

Menurut Tarumingkeng (1971), ciri-ciri famili Rhinotermitidae adalah memiliki fontanel (ubun-ubun) yang merupakan sebuah tempat yang pucat, kecil dan cekung di bagian depan kepala antara dua mata, pronotum agak datar dan lebih lebih sempit dari kepalanya.

Kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat dengan ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya, memiliki fontanel yang lebar. Antena terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen keempat sama panjangnya (Thapa, 1981).

Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46 - 2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56 - 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 - 1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00 - 1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm (Thapa, 1981). Panjang badan 5,5 - 6 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan.

Kasta reproduktif mempunyai panjang badan 7,5 - 8,0 mm, sedang yang bersayap, panjang sayap direntangkan adalah 15 - 16 mm. Kasta pekerja panjangnya 4,5 - 5 mm, prajurit 5 - 5,3 mm dengan panjang mandibel ± 0,9 mm dan lebar kepala 1,4 - 1,5 mm (Suratmo, 1974). Prajurit C. curvignathus

(23)

berukuran lebih besar dari C. travians, dan dapat dikatakan C. curvignathus merupakan jenis yang berukuran paling besar dari pada rayap Coptotermes lainnya di Indonesia. Menurut Tarumingkeng (1971) ukuran prajurit C. curvignathus 3,2 – 3,8 mm, sedangkan ukuran prajurit C.travians lebih pendek.

Biologi Rayap

Harris (1971) menyatakan terdapat tiga cara yang berbeda di dalam pembentukan koloni rayap, yaitu; (1) melalui sepasang imago rayap yang bersayap atau rayap penerbang (laron); (2) melalui pemisahan koloni dari koloni utama dan membentuk kasta reproduksi suplementer; dan (3) melalui proses migrasi dari sebagian koloni rayap termasuk kasta reproduktif ke sebuah tempat baru, selanjutnya koloni yang tertinggal mengembangkan kasta reproduktif suplementer. Menurut Lee dan Wood (1971) koloni rayap dibentuk oleh sepasang kasta reproduktif bersayap dan melalui fragmentasi koloni. Demikian juga menurut Tarumingkeng (1971), satu koloni rayap terbentuk dari sepasang rayap bersayap (laron) betina dan jantan yang melakukan kopulasi dan menemukan habitat yang cocok. Koloni rayap terbentuk pula melalui fragmen koloni yang terpisah dari koloni utama karena suatu bencana yang menimpa koloni utama.

Kasta reproduktif bersayap akan muncul dari koloni pada musim-musim tertentu, dan berkumpul di dalam koloni sebelum bersialang (swarming) keluar sarang. Beberapa jenis rayap di daerah tropik bersialang pada awal musim hujan. Masa bersialang ini merupakan masa perkawinan sepasang imago yang bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu. Pemilihan sarang mungkin pula terjadi sebelum kasta reproduksi berpasangan (Lee dan Wood, 1971).

Famili Rinotermitidae dikenal sebagai rayap tanah. Jenis rayap ini bisa hidup meski tanpa berhubungan dengan tanah jika kayu yang diserang mendapat air yang cukup secara teratur, misalnya pada bagian-bagian rumah

(24)

yang memperoleh air hujan karena kebocoran atap dan bagian-bagian dekat kamar mandi.

Oganisasi dari anggota famili ini sudah sedikit lebih maju dari pada Kalotermitidae. Pembagian kerja sudah ada, jumlah anggota koloni lebih besar. Makanannya diperoleh dari kayu (baik yang masih hidup atau mati), bambu dan bahan-bahan berselulosa lainnya. Menurut Jonnes dan Trosset (1991) dalam satu koloni besar terdapat pembiak, pekerja dan prajurit dengan tubuh dan fungsi yang berbeda. Kasta reproduktif primer terdiri dari ratu dan raja sedangkan kasta reproduktif sekunder terdiri dari individu yang dapat menggantikan kedudukan ratu dan raja apabila diperlukan. Tugas kasta pekerja ialah mencari, memberi makan dan memelihara anggota koloni. Sedangkan kasta prajurit menjaga keamanan koloni terhadap gangguan dari luar sehingga bentuk kepala dan mandibelnya besar. Apabila diganggu, kasta prajurit akan mengeluarkan cairan (eksudat) seperti susu dari lubang fontanel yang terdapat di kepalanya (Soemarni, 1983). Ratu semasa hidupnya hanya menghasilkan telur sedangkan makannya dilayani pekerja. Seekor ratu dapat hidup selama 6 - 20 tahun, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun (Roonwall, 1978). Jika kasta reproduktif mati atau koloni membutuhkan pertambahan kasta reproduktif bagi perluasan koloni, akan dibentuk kasta reproduktif sekunder (neoten). Neoten terbentuk beberapa kali dalam jumlah besar sesuai dengan perkembangan koloni. Beberapa jenis rayap dapat membentuk kasta reproduktif dari pekerja, yaitu apabila kasta pekerja tersebut akan berfungsi sebagai ratu baru, sehingga terbentuk koloni baru yang lengkap (Su et al., 1997).

Koloni rayap dapat hidup pada kedalaman tanah hingga 5 - 6 meter untuk berlindung dari perubahan cuaca yang kurang menguntungkan. Koloni dapat mencapai jumlah maksimal 200.000 individu dan pada beberapa spesies tertentu dapat berjumlah lebih banyak lagi dalam waktu 4 - 5 tahun. Koloni akan muncul saat imago rayap reproduktif jantan dan betina bertemu. Ratu rayap dapat hidup lebih dari 25 tahun dan mampu meninggalkan telur hingga 60.000 butir selama hidupnya. Telur-telur tersebut berwarna putih kekuningan dan siap menetas setalah masa inkubasi selama 50 - 60 hari (Pearce, 1997).

(25)

Rayap pekerja dan rayap prajurit tidak dapat menghasilkan keturunan, berbeda dengan ratu rayap yang berfungsi sebagai penghasil keturunan. Keduanya mampu mencapai dewasa dalam waktu setahun dan mampu hidup hanya selama ± 5 tahun. Secara khusus apabila dibandingkan dengan rayap prajurit, rayap pekerja lebih membutuhkan kelembaban tertentu untuk dapat terus bertahan selama hidupnya (Tarumingkeng, 1992 dan Pearce, 1997).

Secara ekonomis rayap sangat merusak karena aktifitas makannya dan seringkali rayap merusak berbagai struktur atau bahan yang digunakan manusia. Sebaliknya bila rayap memerankan fungsinya sebagai perombak pohon-pohon yang mati dan produk tumbuhan lainnya hingga dapat dimanfaatkan menjadi zat yang dapat dipakai kembali oleh tanaman maka rayap menjadi sangat bermanfaat bagi manusia (Gao et al., 1990; Pearce, 1997; Nandika et al., 1999).

Pada prinsipnya makanan utama rayap adalah selulosa (Noirot, 1970), sehingga kayu dan jaringan tanaman lain serta bahan-bahan yang terbuat dari selulosa seperti kayu, kertas, kain, plastik dan lainnya merupakan sumber makanan utama. Sasaran dan daya jangkau rayap terhadap bahan-bahan tersebut diatas dapat mencapai jarak puluhan meter dari sarangnya. Secara ekonomis rayap sangat berperan dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah peranannya dalam memperpendek umur pakai bangunan (Surjokusumo, 1992; Tarumingkeng, 1992).

Dari seluruh kerugian yang diderita akibat aktifitas makan rayap hampir sebagian besar diakibatkan oleh rayap tanah (Pearce 1997). Salah satu rayap tanah yang paling merusak di Indonesia adalah C. curvignathus. Secara umum rayap dari spesies ini selalu membutuhkan kelembaban tinggi dalam kehidupannya dan tempat hidupnya akan dipenuhi dengan liang-liang kembara yang sekaligus berfungsi sebagai air conditioner. Liang kembara ini mampu dibuat rayap diatas permukaan beton, kayu, pipa dan sebagainya (Nandika et al., 1999).

Jenis rayap C. curvignathus, selain menyerang tanaman kelapa dan kelapa sawit juga dilaporkan menyerang beberapa perkebunan karet di

(26)

Sumatera. Nilai kerugian akibat serangan rayap pada tanaman karet belum diketahui, tetapi cukup banyak menyebabkan kematian pada tanaman karet terutama pada tanaman muda berumur satu sampai dua tahun. Menurut Roonwal (1978) C. curvignathus merupakan satu-satunya spesies rayap yang menyerang tanaman karet yang masih hidup di Indonesia dan Malaysia.

Rayap tanah adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan membangun liang kembara (tunnels) yang menghubungkan sarangnya dengan benda yang diserangnya, dan rayap jenis ini dapat hidup walau tanpa berhubungan dengan tanah jika kayu yang terserang mendapat air secara teratur, misalnya pada bagian-bagian rumah yang memperoleh air hujan karena kebocoran atap dan bagian-bagian dekat kamar mandi.

Lebih dari dua juta ekor rayap tanah dapat hidup dalam satu koloni. Ratu dari beberapa jenis rayap mampu meletakkan 86.000 telur setiap hari dan bertahan hidup hingga enam sampai dua puluh tahun (Nandika et al., 1999). Sebanyak kurang lebih 300 spesies rayap dari seluruh spesies rayap yang tersebar di dunia dikenal sebagai hama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai spesies tanaman perkebunan, kehutanan, dan pertanian. Di Indonesia sendiri diduga terdapat 20 spesies rayap yang dikenal sebagai hama penting pada tanaman perkebunan dan kehutanan. Rayap tanah C. curvignathus Holmgren merupakan spesies rayap yang penting sebagai hama pada tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan di Indonesia.

Menurut Nandika (1999) terjadinya serangan rayap pada bangunan gedung sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik tapak dan bangunan itu sendiri. Dalam hal-ini jelas terkait dengan keragaman jenis dan kerentanan bangunan, baik dari segi desain, tekhnik sipil maupun pemeliharaannya.

Terdapat tiga jalan utama, sehingga rayap dapat masuk ke dalam rumah (Dizon, 1983) yaitu; (1) menyerang langsung kayu yang berhubungan dengan tanah; (2) melalui retakan-retakan dan celah-celah plesteran, pondasi dinding tembok; dan (3) membangun pipa-pipa perlindungan di atas bahan-bahan yang tidak dapat ditembus untuk mencapai sasaran.

(27)

Menurut Pearce (1997) pada berbagai jenis tanaman, rayap tanah menyerang dengan cara; (1) masuk melalui akar dan pangkal batang tanaman : (2) masuk melalui polong di dalam tanah pada tanaman kacang-kacangan; dan (3) masuk melalui akar-akar pada tanaman ubi jalar.

Pengendalian Rayap Tanah

1. Pengendalian Fisik dan Mekanik

Teknologi pengendalian rayap dengan menggunakan bahan anti rayap non kimiawi sebagai penghalang fisik (physical barrier) telah banyak dikembangkan di beberapa negara khususnya di Australia, Amerika Serikat, dan Jepang, sebagian dari produknya telah mulai dipasarkan dan beberapa diantaranya masih dalam taraf penelitian. Di Australia standar pengendalian dengan teknologi ini sudah ada sejak tahun 1974 (AS-1974). Walau demikian penggunaannya secara luas baru populer beberapa tahun terakhir ini setelah penggunaan termitisida dikhawatirkan pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Di Indonesia, sampai saat ini, standar pengendalian rayap dengan menggunakan bahan anti rayap non kimiawi sebagai penghalang fisik belum populer.

2. Pengendalian Kimia

Menurut Nandika et al. (1999), sampai saat ini, pengendalian serangan rayap pada bangunan masih bertumpu pada penggunaan pestisida anti rayap (termitisida) yang diaplikasikan baik melalui perlakuan tanah (soil treatment ) maupun dengan cara impregnasi termitisida ke dalam kayu melalui pengawetan kayu. Dengan cara tersebut akan terbentuk suatu rintangan kimiawi (chemical barrier) di sekeliling bangunan yang mampu menghalangi penetrasi rayap ke dalam bangunan atau melindungi kayu dari serangan rayap.

Pengawetan kayu merupakan pemberian perlakuan kimia dan atau perlakuan fisik terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Dalam kenyataan sehari-hari, yang dimaksud dengan pengawetan kayu adalah proses pemasukan bahan kimia ke dalam kayu untuk meningkatkan keawetannya.

(28)

Bahan kimia yang digunakan dalam perlakuan tersebut disebut bahan pengawet kayu. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: metode pelaburan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin, rendaman panas dingin, vakum tekan dan injeksi.

Perlakuan tanah (soil treatment) adalah upaya memasukkan pestisida anti rayap (termitisida) kepada tanah di bawah dan di sekeliling bangunan agar terbentuk penghalang kimia yang memisahkan antara koloni rayap di dalam tanah dengan kayu di dalam bangunan. Menurut sifat aplikasinya, ada dua teknik perlakuan tanah, yaitu; (1) perlakuan pra konstruksi (pre construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan menjelang/sewaktu bangunan didirikan; dan (2) perlakuan pasca konstruksi (Post construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan pada bangunan yang sudah berdiri.

Teknologi lain yang dapat digunakan dalam pengendalian rayap adalah dengan menggunakan metode pengumpanan (baiting). French (1991) menyatakan bahwa teknik ini memiliki beberapa keuntungan di antaranya lebih ramah lingkungan karena bahan kimia yang digunakan tidak mencemari tanah, memiliki sasaran yang spesifik (rayap), mudah dalam penggunaannya, dan mempunyai kemampuan mengeliminasi koloni secara total. Dalam metode pengumpanan digunakan insektisida yang dikemas dalam bentuk yang disenangi rayap sehingga menarik untuk dimakan. Prinsip teknologi ini adalah memanfaatkan sifat trofalaksis rayap, yaitu racun yang dimakan disebarkan ke dalam koloni oleh rayap pekerja. Untuk itu racun yang digunakan harus bekerja secara lambat (slow action) sehingga rayap pemakan umpan masih sempat kembali ke sarangnya dan menyebarkan racun kepada anggota koloni lainnya.

3. Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati meliputi penggunaan musuh alami, yang biasanya berhubungan dengan rayap tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbahaya kecuali apabila berada pada jumlah yang besar. Pengendalian ini diarahkan untuk memanipulasi musuh-musuh alami tersebut sehingga dapat mengurangi populasi rayap sampai tingkat yang dapat diterima secara ekonomis.

(29)

Musuh-musuh alami rayap yang dikenal termasuk nematoda, jamur, dan virus, di samping organisme lain seperti semut dan predator pemakan laron. Nematoda merupakan agens pengendalian biologis yang efektif untuk rayap

yang hidup di dalam sarang bukit. Beberapa ratus nematoda mampu

ditularkan dari satu individu rayap ke individu yang lain setelah penularan oleh satu individu nematoda dewasa. Namun demikian, masalah utama penggunaan nematoda untuk pengendalian adalah dalam mentransfer rayap sehingga berhubungan secara langsung dengan nematoda dan daya tahan nematoda tersebut yang memerlukan air bebas. Rayap yang terinfeksi oleh nematoda cenderung diisolasi dari koloninya oleh rayap pekerja lainnya, oleh karena itu menghambat infeksi nematoda lebih lanjut. Pengaruh nematoda Steinernema pada Reticulitermes telah diuji coba oleh Empsky dan Capinera (1988). Penggunaan nematoda dari genus yang sama di Cina cukup efektif untuk pengendalian C. formosus dan R. speratus pada dosis 4000-8000 nematoda / 3 ml.

Penggunaan jamur pathogen Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap. Beberapa jenis jamur lain yang potensial untuk digunakan dalam pengendalian rayap adalah Aspergillus flavus, Serratia marcescens, Entomophtera virulenta dan Absidia coerulea.

Pada masa yang akan datang penggunaan virus untuk pengendalian rayap lebih memberikan harapan terutama karena cara penularannya kepada rayap lebih mudah dibandingkan penggunaan organisme lain seperti nematoda. Namun demikian beberapa hasil penelitian para ahli sampai saat ini menunjukkan bahwa keefektifan penggunaan musuh alami untuk pengendalian rayap di lapangan masih sangat rendah.

Nematoda Entomopatogen Biologi dan Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen

Nematoda entomopatogen (NEP) adalah nematoda yang hidup dalam tubuh serangga dan bersifat parasit terhadap inangnya. Sebagian besar NEP mempunyai

(30)

siklus hidup sederhana dan pada dasarnya mempunyai stadia utama dari perkembangan telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif (juvenil 3) teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di lingkungan dan di dalam tubuh serangga inangnya (Kaya dan Gaugler, 1993).

Menurut Kaya dan Gaugler (1993) pada saat nematoda entomopatogen mendapatkan inang yang cocok, akan melakukan penetrasi melalui lubang alami (mulut, anus, dan spirakel) atau penetrasi langsung melalui kutikula. Juvenil infektif Heterorhabditis sp memiliki tonjolan gigi pada ujung kepala sehingga dapat melakukan penetrasi pada integumen inang, meskipun penetrasi langsung melalui kutikula ini jarang terjadi. Setelah berhasil memenetrasi inang, nematoda entomopatogen akan melepaskan bakteri simbionnya ke dalam hemolimf, selanjutnya bakteri berkembang dan akan membunuh inang setelah 24 - 48 jam (Ehlers dan Peters, 1995).

Umumnya setiap nematoda entomopatogen mempunyai interaksi mutualistik dengan satu jenis bakteri, tetapi bakteri Xenorhabdus spp dapat berasosiasi dengan lebih dari satu jenis nematoda entomopatogen (Kaya dan Gaugler, 1993). Menurut Ehlers dan Peters (1995), tanpa adanya bakteri simbion nematoda entomopatogen tidak dapat berkembang biak dengan baik, di sisi lain bakteri simbion tidak dapat hidup tanpa nematoda entomopatogen. Siklus Hidup nematoda entomopatogen Steinernema spp (All strain) disajikan pada Gambar 1.

(31)

Gambar 1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : Kaya ,1993)

Hubungan mutualistik ini bagi nematoda patogen serangga menurut Kaya dan Gaugler (1993) adalah memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat membunuh inang dengan cepat secara septicemia, menyediakan nutrisi yang cocok, membuat lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi nematoda. Bakteri simbion juga mampu memproduksi senyawa antibiotik (bakteriosin) yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder yang ada dalam tubuh serangga inang. Sedangkan fungsi nematoda entomopatogen bagi bakteri adalah melindungi bakteri dari kondisi ekstrim dalam tanah dan melindungi bakteri dari kemungkinan adanya protein anti bakteri yang dikeluarkan oleh serangga inang.

Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya, esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya berkisar antara 221-676 µm dengan lebar 19-28 µm. Lubang eksretori dan nerve

(32)

ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculum

Heterorabditidae memiliki panjang tubuh 260-715 µm dengan lebar tubuh 16-27 µm. Nematoda dewasa Heterorhabtidae memiliki sistem reproduksi hermaprodit. Serangga yang serserang oleh Heterorhabditis, warna kutikulanya akan menjadi merah, merah bata atau oranye. Lubang ekskretori dan nerve ring larva infektif berada dibagian posterior (Bahari 2000)

Potensi Nematoda Sebagai Agens Pengendali Hayati

Glazer (1992) melaporkan bahwa S. carpocapsae memiliki patogenitas yang cukup tinggi terhadap Helicoverpa armigera, Earias insulata dan Galleria mellonella di laboratorium. Gejala serangan S. carpocapsae pada Spodoptera litura ditandai dengan perubahan warna larva menjadi coklat kekuningan dan tubuh larva menjadi lembek. Menurut Simoes dan Rosa (1996) hal ini dikarenakan adanya simbiose mutualisme antara S. carpocapsae dengan X. nematiphilus yang menghasilkan eksotoksin.

Terdapat hubungan antara mortalitas inang dengan nematoda yang masuk dalam tubuh inang, hal ini juga digunakan sebagai ukuran infektifitas nematoda (Caroli et.al,. 1996) dan efisiensi invasi (persentase nematode yang menyerang inang).

Epsky dan Capinera (1994) menguji infektifitas S. carpocapsae strain DD-136 terhadap S. litura pada media tanah pasir dalam cawan petri dengan kosentrasi 1000 IJ/serangga dapat menyebabkan mortalitas 100% dan efisiensi invasi 22 %. Menurut Caroli et.al.(1996) persentase nematoda yang masuk pada S. exigua telah diinokulasi dengan S.carpocapsae dengan kosentrasi 200 IJ/ml mencapai 20 %.

Patogenisitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain invasi, evasi dan toksikogenesis. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga dan melepaskan racun yang dapat menyebabkan kematian serangga. Masing-masing

(33)

tahapan tersebut sangat dipengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh serangga (Downes dan Griffin, 1996; Simoes dan Rosa, 1996; Sulistyanto, 1998), dan suhu lingkungan (Gauge et al, 1994; Grewal et al, 1994; Glazer et al. 1996; Griffin et al. 1996).

Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda mengalami kematian (Griffin, 1996). Demikian pula dengan pH dalam tubuh serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh serangga inang (Schiroki dan Hague, 1997). Perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat juga akan memperlambat kematian serangga inang (Strauch dan Ehlers, 1998).

Meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri simbion memiliki peranan penting dalam meracuni serangga inang namun simbiose antara bakteri dan nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat masuk ke dalam tubuh serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri simbion dan nematoda saling menguntungkan satu dengan lainnya (Sulistyanto, 1999).

(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus tahun 2005 sampai dengan Februari 2006 di Laboratorium Biologi Hasil Hutan - Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB-IPB) Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pengendalian Hayati - Departemen Proteksi Tanaman (DPT) Institut Pertanian Bogor. Untuk pengujian lapang dilaksanakan di Hutan Percobaan Yanlappa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor di Jasinga Kabupaten Bogor.

Bahan Penelitian Rayap tanah Coptotermes curvignathus

Rayap tanah C. curvignathus diperoleh dari Hutan Percobaan Yanlappa Jasinga Bogor dan dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan – PPSHB selama satu tahun. Pemeliharaan rayap tanah C. curvignathus dilakukan di dalam

bak-bak plastik berukuran 60 x 50 x 40 cm3 yang disimpan pada ruang gelap

dengan kelembaban udara berkisar antara 85-90%. Sebagai sumber makanan diberikan potongan kayu pinus (Pinus merkusii).

Nematoda Steinernema sp. (Rhabditida : Steinernematidae) dan

Heterorhabditis sp. (Rhabditida : Heterorhabditidae).

Isolat nematoda entomopatogen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah isolat lokal Bogor yang sudah tersedia di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PPSHB-IPB dan sudah diidentifikasikan sebagai Steinernema sp. (Gambar 2) dan Heterorhabditis sp. (Gambar 3) (Arinana, 2002).

(35)

Gambar 2. Heterorhabditis sp. (a. Infektif juvenil; b. Dewasa) b

a 400 x

Gambar 3 . Steinernema sp. (a. Betina; b. Jantan) a

400 x

b 400 x

Perbanyakan nematoda secara in vivo dilakukan dengan cara menginokulasi terhadap larva serangga Tenebrio molitor (Coleoptera : Tenebrionidae). Suspensi nematoda diteteskan pada ulat tersebut di atas kertas filter dalam cawan petri (Woodring dan Kaya, 1988) (Gambar 4).

(36)

Gambar 4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio molitor

Setelah 24 - 48 jam ulat mati akibat infeksi nematoda dipanen dengan metode White trap, yaitu dengan meletakan ulat tersebut pada kertas serap di atas cawan petri yang diletakkan terbalik. Cawan tersebut di letakkan didalam cawan lain yang lebih besar. Dalam cawan besar di isikan air sehingga kertas hisap selalu terendam air. Cawan besar ditutup dan di letakkan dalam suhu kamar (Gambar 5).

(37)

Hasil perbanyakan dapat diperoleh setelah 1 - 2 minggu berikutnya dan disaring dengan menggunakan saringan berukuran ± 23 µm untuk mendapatkan nematoda IJ3 (Infective Juvenile 3). Hasil tersebut kemudian disimpan dalam spon

berbentuk kubus berukuran 2 x 2 x 2 cm3. Spon yang mengandung nematoda

selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan disimpan dalam lemari pendingin.

Untuk perbanyakan nematoda secara massal diperbanyak lagi dengan teknik in vitro. Media yang digunakan dalam teknik in vitro ini menggunakan media agar yang dicampur dengan ampela ayam. Ampela ayam yang digunakan dimaksudkan sebagai suplai nutrisi bagi nematoda.

Media dibuat dengan cara mencampurkan agar sebanyak 5 gram dan ampela ayam sebanyak 100 gram. Sebelum dicampur, ampela ayam direbus terlebih dahulu selama ± 10 menit kemudian di haluskan dengan belender. Agar, ampela ayam dan air sebanyak 500 ml dicampurkan dan di autoklaf selama 20

menit dengan tekanan 1 atm 121oC.

Media agar yang telah di autoklaf kemudian dituang ke dalam cawan-cawan petri dan didinginkan minimal selama 2 hari sebelum digunakan. Sepasang nematoda dewasa dari perbanyakan in vivo kemudian di letakan pada media agar (Gambar 6).

(38)

Setelah 2 minggu berikutnya cawan petri berisi media in vitro kemudian di letakkan didalam cawan lain yang lebih besar. Antara cawan berisi media dengan cawan yang lebih besar di letakkan kertas hisap. Kedalam cawan besar di isikan air sehingga kertas hisap selalu terendam air. Cawan besar ditutup dan di letakkan dalam suhu kamar.

Setelah 2 hari nematoda infektif juvenil yang terkumpul pada air di cawan besar dapat dipanen. Pemanenan dapat dilakukan setiap dua hari sekali dengan tetap menambahkan air dalam cawan besar.

Metode Penelitian Keefektifan Nematoda terhadap rayap

1. Lethal Concentration50 (LC50)

Media pengujian yang digunakan adalah 30 gram pasir steril dalam botol gelas berdiameter 45 mm dan tinggi 115 mm (Gay et al., 1955 dan Lund, 1958). Selanjutnya suspensi nematoda sebanyak 6 ml dituangkan kedalam botol uji dengan perlakuan kerapatan 100 IJ/ml, 200 IJ/ml, 300 IJ/ml, 400 IJ/ml, 500 IJ/ml, dan 600 IJ/ml.

Rayap tanah C. curvignathus yang digunakan pada setiap pengujian berjumlah 22 ekor yang terdiri dari 20 ekor pekerja dan 2 ekor prajurit. Sebagai sumber makanan rayap, kedalam botol pengujian dimasukkan sepotong kayu

pinus dengan ukuran 1 x 1 x 2 cm3.

Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan pengamatan terhadap jumlah rayap yang mati dilakukan 48 jam setelah inokulasi. Selama pengujian botol uji diletakkan dalam ruang gelap dan dijaga dari gangguan binatang pengganggu (semut). Perlakuan kontrol (tanpa suspensi nematoda) juga disiapkan dengan jumlah ulangan yang sama.

Persentase mortalitas rayap dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan diuji lanjut dengan perbandingan nilai tengah menggunakan Uji Tukey. Analisis LC50 nematoda terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan Analisis Probit.

(39)

2. Lethal Time50(LT50)

Media pengujian yang digunakan adalah 30 gram pasir steril yang telah dibasahi dengan 6 ml suspensi nematoda yang mengandung 600 IJ/ml nematoda. Botol gelas yang digunakan berdiameter 45 mm dan tinggi 115 mm (Gay et al. 1955 dan Lund 1958).

Rayap tanah C. curvignathus yang digunakan pada setiap pengujian sejumlah 22 ekor yang terdiri dari 20 ekor pekerja dan 2 ekor prajurit. Sebagai sumber makanan rayap, kedalam botol pengujian dimasukkan sepotong kayu

pinus dengan ukuran 1 x 1 x 2 cm3. Kemudian botol uji disimpan dalam ruang

gelap.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah rayap yang mati akibat nematoda pada waktu 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan 48 jam. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali.

Persentase mortalitas rayap dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan diuji lanjut dengan perbandingan nilai tengah menggunakan Uji Tukey. Analisis LT50 nematoda terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan Analisis Probit.

Uji Efikasi Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Dalam Termitarium

Pengujian dilakukan di dalam termitarium yang terbuat dari gelas kaca berukuran diameter 25 cm dan tinggi 30 cm berisi media pasir dan diletakkan pada ruang kultur rayap (28 ± 1° C).

Termitarium diletakkan di atas nampan yang di atasnya telah diberi ganjal berupa kayu melintang kemudian di dalam nampan tersebut diberi air. Bagian bawah termitarium diberi lubang dengan diameter ±1 cm dan dimasukkan sumbu kompor sebagai penghubung antara air yang ada didalam nampan dengan media pasir diatasnya, sehingga kelembaban media selalu terjaga.

Media berupa campuran pasir steril sebanyak 1000 gram, aquadest steril 200 ml dan potongan kayu Pinus sp. sebanyak 100 gram. Pasir dan potongan kayu Pinus sp. sebelum digunakan harus dalam kondisi steril. Pada setiap termitarium

(40)

dituangkan suspensi nematoda dengan kerapatan 600 IJ/ml sebanyak 100 ml yang

merupakan kosentrasi terbaik dari Uji LC50. Untuk kontrol termitarium hanya

dituangkan air tanpa mengandung nematoda.

Dalam satu unit termitarium, dimasukkan sebanyak 2000 ekor rayap tanah (90% kasta pekerja dan 10% kasta prajurit) (Gambar 7).

Gambar 7. Termitarium yang digunakan pada Uji Potensi Nematoda

Lama waktu kontak rayap dengan nematoda adalah 48 jam (dua hari). Pada hari kedua dilakukan pembongkaran dan dilakukan perhitungan persentase mortalitas rayap. Besarnya persentase mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

% 100 N N -N (%) Mortalitas 1 2 1 × = dimana:

N1 = Jumlah rayap awal

(41)

Uji lapang terhadap sarang rayap

Pengujian lapang dilakukan di Hutan Percobaan Yanlappa Jasinga Bogor. Pemilihan sarang dilakukan secara acak. Sebelum aplikasi dilakukan, terlebih dahulu permukaan sarang rayap dibasahi dengan air agar lebih lembab. Pada sarang rayap yang berada di dalam tanah dilakukan penggalian dengan kedalaman ± 1 m sampai mencapai pusat sarang.

Selanjutnya dilakukan penuangan suspensi nematoda dengan kerapatan 600 IJ/ml sebanyak 500 ml. Setelah perlakuan, lubang tersebut segera ditutup dengan tanah. Aplikasi ini dilakukan pada pagi hari pukul 07.00-09.00 untuk menghindari tingginya temperatur pada tanah. Untuk kontrol sarang disemprot dengan air yang tidak mengandung nematoda. Percobaan diulang sebanyak tiga kali.

Dua puluh satu hari setelah perlakuan tersebut sarang perlakuan dan dibongkar dan dihitung kelimpahan populasinya, kemudian nilai rata-rata setiap perlakuan dibandingkan dengan kontrol.

Besarnya persentase mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

% 100 N N -N (%) Mortalitas 1 2 1 × = dimana:

N1 = Jumlah rayap awal

N2 = Jumlah rayap yang hidup pada saat pembongkaran sarang

Pendugaan Populasi Koloni

Pendugaan populasi koloni dengan cara menghitung terlebih dahulu berat satu ekor rayap. Dari suatu koloni rayap diambil 10 ekor rayap secara acak. 10 ekor rayap tersebut di timbang dan di hitung rata-ratanya. Perlakuan ini di ulang sebanyak 10 kali sehingga di dapatkan berat 1 ekor rayap (Su, 1997)

Untuk menghitung polulasi dari suatu sarang ditimbang berat seluruh rayap yang berada di dalam sarang. Berat koloni rayap dari satu sarang dikalikan dengan berat satu ekor rayap. Perlakuan ini di ulang sebanyak tiga kali sehingga didapatkan rata-rata populasi koloni.

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keefektifan Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus 1. Lethal Concentration (LC50)

Pemberian nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. dengan kerapatan terendah (100 IJ/ml) belum dapat menimbulkan kematian pada rayap tanah C. curvignathus akan tetapi mulai kerapatan 500 IJ/ml mengakibatkan mortalitas 100% pada rayap tanah uji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mortalitas rayap terus meningkat seiring dengan bertambahnya kerapatan nematoda (Tabel 1).

Tabel l. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus 48 Jam setelah Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp.

Mortalitas Rayap C. curvignathus (%) Kerapatan Nematoda

(IJ/ml) Steinernema s p. Heterorhabditis sp.

0 100 200 300 400 500 600 0,00d 0,00d 4,55d 37,88c 84,85b 100a 100a 1,52d 0,00d 3,03d 15,15c 74,24b 100a 100a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95% Mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat infeksi Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. pada berbagai taraf kerapatan nematoda disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 8.

(43)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 M o rt al it as ( % ) Steinernema sp Heterorhabdistis sp

Kerapatan Nematoda (IJ/ ml)

Kontrol 100 IJ/ml 200 IJ/ml 300 IJ/ml 400 IJ/ml 500 IJ/ml 600 IJ/ml

Gambar 8. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp.

Analisis keragaman menunjukkan bahwa kerapatan nematode memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap mortalitas rayap tanah C. curvignathus, baik karena Steinernema sp. maupun Heterorhabditis sp. (Lampiran 5 dan 6). Dari hasil uji Tukey didapatkan bahwa kerapatan nematoda Steinemema sp. dan Heterorhabditis sp. sebesar 500 IJ/ml dan 600 IJ/ml mampu memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas rayap. Hal ini berarti kerapatan nematoda sebesar 600 IJ/ml masih belum melebihi batas kompetisi nematoda pada suatu aplikasi. Menurut Kaya dan Koppenhofer (1996), pada jenis nematoda tertentu, kerapatan nematoda yang melebihi batas optimalnya akan menciptakan suatu kompetisi dalam hal ruang dan makanan antar nematoda itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan kontrol maka hanya perlakuan dengan kerapatan 100 IJ/ml dan 200 IJ/ml yang belum memberikan pengaruh nyata sedangkan untuk kerapatan 300 IJ/ml hingga kerapatan 600 IJ/ml memberikan pengaruh yang nyata.

Keefektifan NEP untuk mengendalikan rayap tanah C. curvignathus diketahui dari nilai LC50, yaitu kerapatan optimal yang diperlukan untuk membunuh 50 persen populasi C. curvignathus. Dari hasil perhitungan persentase

(44)

mortalitas, dilakukan analisis dengan menggunakan analisis probit (software

SPSS versi 10,01 tahun 1999) untuk mengetahui nilai LC50 dari masing-masing

jenis nematoda terhadap rayap tanah C. curvignathus (Tabel 2). Persamaan regresi antara log kerapatan dengan nilai probit nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap mortalitas C. curvignathus masing-masing adalah :

Y = -4,57 + 0,14 x dan Y = -5,43 + 0,01 x

Tabe1 2. Nilai LC50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. Terhadap C. curvignathus.

Jenis Nematoda Nilai LC50 IJ/ ml

Steinernema sp. Heterorhabditis sp.

322 355

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa untuk dapat membunuh 50% populasi rayap tanah C. curvignathus diperlukan nematoda Steinernema sp. dengan kerapatan 322 IJ/ml dan nematoda Heterorhabditis sp. dengan kerapatan 355 IJ/ml. Hal ini berarti bahwa untuk dapat membunuh 50% populasi C. curvignathus dibutuhkan kerapatan Steinernema sp. yang lebih sedikit dibanding menggunakan Heterorhabditis sp.

2. Lethal Time (LT50)

Kerapatan nematoda yang digunakan untuk uji LT50 adalah 600 IJ/ml, yang ditetapkan berdasarkan hasil uji LC5O . Rata-rata persentase mortalitas rayap tanah C. curvignathus pada perlakuan nematoda Steinernema sp. berkisar antara 0 % sampai dengan 96,97 %. Untuk perlakuan nematoda Heterorhabditis sp. rata-rata persentase mortalitas rayap tanah C. curvignathus 0 % sampai dengan 95,45 %. Mortalitas rayap tanah C. curvignathus terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu kontak antara nematoda dengan rayap tanah C. curvignathus (Tabel 3).

(45)

Tabel 3. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp.

Mortalitas Rayap C. curvignathus (%) Waktu Kontak

(Jam) Steinernema sp. Heterorhabditis sp.

0 12 24 36 48 0a 0a 6,06a 65,15b 96,97c 0a 0a 9,09a 54,55b 95,45c

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95% Mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat infeksi Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. pada berbagai taraf waktu kontak dengan nematoda disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 9.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 M o rt a lit a s ( % ) Steinernema sp Heterorhabdistis sp W aktu (Jam) Kontrol 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam

Gambar 9. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Taraf Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp.

(46)

Analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh waktu kontak antara kedua jenis nematoda dengan rayap tanah C. curvignathus memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap mortalitas (Lampiran 7 dan 8).

Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh masing-masing waktu kontak terhadap mortalitas rayap C. curvignathus dilakukan uji Tukey. Dari hasil uji Tukey dapat dilihat bahwa waktu kontak selama 36 jam dan 48 jam pada perlakuan Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. memberikan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas rayap tanah C. curvignathus. Tinggi rendahnya kematian rayap berdasarkan waktu kontak nematoda dengan rayap dipengaruhi oleh beberapa hal seperti mobilitas nematoda yang digunakan, ketahanan rayap, mobilitas rayap dan media yang digunakan untuk pengujian.

Berdasarkan hasil perhitungan persentase mortalitas di atas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis probit, untuk mengetahui nilai Lethal Time 50 dari masing-masing jenis nematoda terhadap rayap tanah C. curvignathus (Tabel 4). Persamaan regresi antara log waktu kontak dengan nilai probit nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap mortalitas C. curvignathus masing-masing adalah :

Y = -4,99 + 0,14 x dan Y = -4,44 + 0,12 x

Tabe1 4. Nilai LT50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap

C. curvignathus

Jenis Nematoda Nilai LT50 (jam)

Steinernema sp. Heterorhabditis sp.

33,94 34,90

Nilai LT50 tersebut berarti untuk dapat menyebabkan kematian 50% dari

seluruh populasi rayap dibutuhkan waktu kontak antara nematoda dengan rayap

tanah C. curvignathus sebesar nilai LT50 itu sendiri. Berdasarkan data di atas

(47)

curvignathus diperlukan waktu kontak dengan nematoda Steinernema sp. selama 33,94 jam sementara dengan nematoda Heterorhabditis sp. selama 34,90 jam.

Uji Efikasi Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Dalam Termitarium

Kerapatan yang digunakan adalah 600 IJ/ml, sesuai dengan kerapatan yang digunakan dalam uji LC5O . Lama pemaparan adalah 48 jam (dua hari). Hasil uji efikasi terhadap rayap seperti terlihat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata persentase mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat serangan nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. masing-masing 90,23 % dan 85,65 %.

Tabel 5. Mortalitas Rayap Tanah pada 48 Jam akibat perlakuan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadapC. curvignathus .

Mortalitas rayap tanah C. curvignathus (%) Kerapatan Nematoda

(IJ/ml) Steinernema sp. Heterorhabditis sp.

0 600 0,05 90,23 0,88 85,65

Jika dibandingkan dengan hasil uji LC50 pada kerapatan yang sama, mortalitas C. curvignathus hasil uji efikasi nematoda dengan menggunakan termitarium mengalami penurunan sebesar 9,77 % dan 14,13 %. Hal ini di duga nematoda lebih mengalami kesulitan untuk kontak dengan rayap dan mempenetrasinya. Ukuran termitarium yang lebih besar dari botol uji LC50 menyulitkan nematoda menemukan rayap. Menurut Pearce (1997) masalah utama penggunaan nematoda dalam mengendalikan rayap adalah membawa nematoda bisa kontak dengan rayap dan dalam hal ini nematoda memerlukan air bebas untuk kelangsungan hidupnya.

Tingginya mortalitas rayap C. curvignathus akibat infeksi Steinernema sp. dibandingkan dengan akibat infeksi Heterorhabditis sp. diduga dipengaruhi oleh virulensi Steinernema sp. yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian Kaya dan Koppenhfer (1996), diketahui Steinernema sp. mampu membunuh serangga inang

(48)

karena bakteri simbionnya memiliki senyawa racun yang sangat efektif. Senyawa ini berperan penting dalam proses infeksi dan evasi nematoda dalam tubuh inang. Meskipun dalam hal mencari dan mempenetrasi serangga Steinernema sp. kurang aktif dibandingkan Heterorhabditis sp., namun fenomena ini tampaknya tidak berlaku dalam lingkungan tertutup seperti dalam termitarium.

Dalam tubuh nematoda terdapat bakteri yang hidup bersimbiosis dan memiliki senyawa racun yang efektif sehingga mampu membunuh serangga inang (Kaya dan Koppenhfer,1996). Masing-masing spesies NEP memiliki hubungan yang khas dengan satu jenis bakteri (Steinernema spp berasosiasi dengan

Xenorhabdus spp sedangkan Heterorhabditis sp. berasosiasi dengan

Photorhabdus spp), walaupun Xenorhabdus spp dan Photorhabdus spp bisa berasosiasi dengan lebih dari satu jenis nematoda (Akhurst dan Boemare, 1990; Putz et al, 1990). Menurut Sulistyanto (1995), nematoda entomopatogen menyimpan sekitar 0 sampai 250 sel bakteri simbion dalam ususnya.

Gejala kematian rayap C. curvignathus yang terinfeksi nematoda adalah tubuhnya bergetar seperti hilang keseimbangan dan kemampuan mobilitasnya menurun. Setelah kematian, rayap yang semula tubuhnya berwarn putih berubah menjadi coklat muda dan mengempis selanjutnya akan mengering (Gambar 10).

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : Kaya ,1993)
Gambar 2. Heterorhabditis  sp. (a. Infektif juvenil; b. Dewasa) b
Gambar 4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio molitor
Gambar 6.  Perbanyakan nematoda secara in vitro
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Analisis Kebijakan Strategis PT Aneka Tambang Tbk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

1. Lokasi objek wisata bahari yang prioritas dikembangkan di Kabupaten Natuna dari delapan objek wisata bahari daerah adalah Pantai Teluk Selahang dengan nilai rata-rata

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain di Kabupaten Katingan; (2) Menganalisis

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 244/Kpts-II/1999 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Sesaot seluas ± 3.155 (tiga ribu seratus lima puluh