• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ISI NARATIF PERISTIWA PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER DALAM BUKU LAPORAN MENDALAM TEMPO SARWO EDHIE DAN MISTERI 1965 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS ISI NARATIF PERISTIWA PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER DALAM BUKU LAPORAN MENDALAM TEMPO SARWO EDHIE DAN MISTERI 1965 SKRIPSI"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ISI NARATIF PERISTIWA PENUMPASAN

GERAKAN 30 SEPTEMBER DALAM BUKU LAPORAN

MENDALAM TEMPO SARWO EDHIE DAN MISTERI 1965

SKRIPSI

Skripsi Ini Disampaikan sebagai Bagian dari Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)

Eldo Christoffel Rafael 11140110081

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

(2)

PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya ilmiah yang saya kerjakan sendiri bukan plagiat dari karya ilmiah yang pernah ditulis orang atau lembaga lain. Semua karya ilmiah orang atau lembaga lain dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan/ penyimpangan dalam pengerjaan skripsi ini, maka saya bersedia menerima konsekuensi dinyatakan TIDAK LULUS untuk mata kuliah Skripsi yang telah saya tempuh.

Tangerang, 25 Januari 2015

(3)

Skripsi dengan judul

Analisis Isi Naratif Peristiwa Penumpasan Gerakan 30 September Dalam Buku Laporan Mendalam Tempo Sarwo Edhie dan Misteri 1965

oleh

Eldo Christoffel Rafael

telah diujikan pada hari Rabu, tanggal 4 Februari 2015, pukul 08.30 s.d. 10.00 dan dinyatakan lulus

dengan susunan penguji sebagai berikut.

Ketua Sidang Penguji Ahli

Adi Wibowo Octavianto. S.Sos., M.si. F.X. Lilik Dwi Mardijanto. S.S.,M.A.

Dosen Pembimbing

Ambang Priyonggo, S.S., M.A.

Disahkan oleh

(4)

ANALISIS ISI NARATIF PERISTIWA PENUMPASAN GERAKAN

30 SEPTEMBER DALAM BUKU LAPORAN MENDALAM

TEMPO SARWO EDHIE DAN MISTERI 1965

ABSTRAK

Oleh: Eldo Christoffel Rafael

Hal yang diangkat dalam judul ini adalah bagaimana konstruksi narasi peristiwa penumpasan Gerakan 30 September pada buku laporan mendalam Tempo Sarwo Edhie dan Misteri 1965. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui konstruksi narasi peristiwa penumpasan Gerakan 30 September pada buku laporan mendalam Tempo Sarwo Edhie dan Misteri 1965.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan paradigma konstruktivis dan menggunakan analisis naratif Vladimir Propp guna mengungkap gambaran fungsi karakter pada narasi.

Hasil penelitian ditemukan bahwa struktur narasi yang disajikan oleh Tempo memuat tahap gangguan menuju upaya memperbaiki gangguan. Dari struktur narasi itu, terlihat dalam berita peristiwa Gerakan 30 September 1965, Tempo ingin menunjukkan bahwa tokoh Sarwo Edhie adalah orang yang melakukan perbuatan baik. Sebab, ia berhasil menemukan Jenderal Ahmad Yani yang hilang dan menumpas Gerakan 30 September dari Jakarta, Jawa Tengah dan Bali. Sedangkan, Letnan Kolonel Untung yang mengkomandoi Gerakan 30 September 1965 berperan sebagai penjahat yang menggangu keamanan.

(5)

Roma 5:4-5

karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu

menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan

tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

Bagi Orangtua Terkasih

Serta Mereka Yang Masih Memperjuangkan

Hak Asasi Manusia

(6)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur pada Tuhan atas berkat dan karunianya yang diberikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan tujuan untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi.

Dukungan semangat dan doa yang telah diberikan pada penulis dalam mengerjakan skripsi ini membuat penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada:

1. Rizet Benyamin Rafael dan Sofia Adelina Vera Mooy, orang tua dan kedua kakak, Elva Paulina Yustisia Rafael dan Yulia Wehelmina yang telah memberikan dukungan moril, materiil dan doa yang tidak ada hentinya untuk penulis.

2. Ambang Priyonggo, S.S., M.A. selaku dosen pembimbing yang selama satu semester penuh memberikan arahan dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Fx Lilik Dwi Mardijanto. S.S.,M.A. selaku penguji ahli yang telah memberikan banyak arahan agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

4. Adi Wibowo Octavianto. S.Sos., M.si selaku ketua sidang yang telah memberikan banyak arahan agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

5. Immanuel Widjaja, Yoan Helen Letsoin, Nindya Putri, Ivana Natasha, sahabat-sahabat penulis yang memberikan dukungan dan semangat dari awal pembuatan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan di UMN, khususnya Jurnalistik 2011, Joshua Gunadhi, Jason Leonardo, Reynaldo Oktavianus, dan semuanya yang membantu

(7)

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa persaudaraan kita.

7. Teman-teman di Majalah Ultimagz, Kevin Ivander, Sintia Astarina, Desy Hartini, Patric Rio Romualdo Batubara, yang telah mendukung semangat dan moral penulis agar tetap skeptis, kritis dan semangat dalam proses pembuatan skripsi. 8. Teman-teman seperjuangan skripsi, Gisela Niken, Nicko Purnomo, Didit

Abdillah, Aloysius Primasyah, Ignatius Fajar Santoso, Hana Krisviana yang telah bersama mengerjakan skripsi.

9. Teman-teman di Dormitory Universitas Multimedia Nusantara, Jeremy, Timothy, Yohanes yang menjadi sahabat dan membawa suasana rumah kedua bagi penulis. 10. Teman-teman pemuda di GKI Gading Serpong karena doa dan dukungannya,

penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix BAB I: PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Penelitian Terdahulu ... 6

2.2 Media dan Konstruksi Realitas ... 11

2.3 Konstruksi Sosial Media Massa ... 13

2.4 Narasi ... 15

2.5 Jurnalisme dan Naratif ... 17

2.6 Analisis Naratif ... 20

2.7 Kerangka Pemikiran ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25

3.1 Jenis dan Sifat Penelitian ... 25

3.2 Metode Penelitian... 28

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 28

(9)

3.5 Teknik Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Gambaran Umum Tentang Tempo... 38

4.2 Gambaran Umum Tentang Buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965 ... 40

4.3 Hasil Penelitian ... 42

4.3.1 Berita 1 ... 42

4.3.2 Berita 2 ... 69

4.3.3 Berita 3 ... 86

4.4. Pembahasan ... 96

4.4.1 Cerita dan Plot ... 96

4.4.2 Fungsi dan Karakter Narasi ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

5.1 Kesimpulan ... 106

5.2 Saran ... 108

Daftar Pustaka ... 109

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 9

Tabel 3.1 Fungsi Narasi Propp ... 32

Tabel 3.2 Karakter Dalam Narasi Propp ... 36

Tabel 4.1 Plot Dalam Narasi Berita Manuver Komandan Baret Merah ... 44

Tabel 4.2 Fungsi Narasi Propp Dalam Berita Manuver Komandan Baret Merah 58 Tabel 4.3.Karakter dalam Narasi Berita Manuver Komandan Baret Merah ... 68

Tabel 4.4 Plot Berita Menumpas Sampai ke Akarnya ... 71

Tabel 4.5.Fungsi Narasi Pada Berita Menumpas Sampai ke Akarnya ... 78

Tabel 4.6. Karakter dalam Narasi Menumpas Sampai ke Akarnya ... 85

Tabel 4.7 Plot Berita Tak Ada Tentara, Pemuda pun Jadi ... 87

Tabel 4.8 Fungsi Narasi Berita Tak Ada Tentara, Pemuda pun Jadi ... 90

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Berita adalah sesuatu yang nyata (Ishwara, 2005: 52). Dalam menuliskan berita yang kompleks, seorang wartawan tetap harus menyajikan suatu fakta yang nyata. Dalam menyajikan fakta berita yang kompleks, seorang wartawan mempunyai cara untuk menyajikan berita yang panjang secara mendalam.

Di dalam dunia jurnalistik ada beragam cara untuk menyajikan berita yang panjang secara mendalam. Salah satunya adalah dengan membuat laporan mendalam. Laporan mendalam biasanya disajikan panjang lebar yang berhenti pada pemetaan masalah. Menurut Laksono (2009: 18), laporan mendalam merupakan laporan yang menjelaskan bagaimana dan mengapa peristiwa terjadi.

Agar memudahkan pembaca untuk mengetahui bagaimana peristiwa terjadi, laporan mendalam dibuat secara naratif. Laporan mendalam yang naratif adalah reportase yang dikerjakan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca (Harsono, 2008:vii).

Menurut Tom Wolfe dan E.W Johnson dalam Harsono (2008: viii), reportase ini berbeda dengan gaya laporan mendalam biasa. Sebab reportase ini menggunakan gaya bertutur adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga

(12)

Gaya bertutur adegan berarti seorang reporter hadir dalam peristiwa yang dimaksud dan membangun sebuah peristiwa yang dilihatnya menjadikannya suatu bahan penulisan yang deskriptif. Peristiwa itu secara diliput secara menyeluruh; berarti melibatkan banyak wawancara, pengecekan tempat dan memuat latar belakang peristiwa tersebut. Dalam penulisannya, reporter menceritakan tulisannya dengan sudut pandang orang ketiga agar bisa mendudukan siapa yang menjadi orang–orang yang terlibat dalam reportase tersebut. Penulisan juga dibuat secara mendetail untuk mengungkapkan status sosial seseorang atau gaya hidupnya.

Salah satu media di Indonesia yang sering melakukan laporan mendalam dengan gaya naratif adalah Majalah Tempo. Salah satu laporan mendalamnya dengan gaya naratif ada dalam liputan khusus berjudul Sarwo Edhie dan Misteri

1965. Tempo sendiri menerbitkan edisi Sarwo Edhie dan Misteri 1965 pada 7-11

November 2011.

Dalam laporannya ini, Sarwo Edhie Purnomo digambarkan sebagai Komandan Resimen Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang berperan penting dalam rangkaian peristiwa sepanjang tahun 1965-1966. Dalam laporan mendalamnya, Tempo menceritakan bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan yang disiarkan oleh Letnal Kolonel Untung pada 1 Oktober 1965 di Radio Republik Indonesia. Selain itu, Untung juga mengabarkan dibentuknya Dewan Revolusi. Mengetahui kabar tersebut, Angkatan Darat termasuk Sarwo Edhie menyimpulkan adanya kudeta yang terjadi.

(13)

Ditemukannya jenazah para jenderal dan perwira pertama Angkatan Darat di Lubang Buaya termasuk Jenderal Ahmad Yani, sahabat Sarwo Edhie membuat asumsi bahwa dalang situasi ini adalah Untung dan para PKI yang dekat dengannya. Mengetahui sahabatnya mati, Sarwo kemudian dimanfaatkan oleh Soeharto untuk menumpas Gerakan 30 September yang dituduh didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sarwo yang menggenggam pasukan elit RPKAD punya kuasa untuk memerintah pasukannya menumpas PKI. Dari situasi tersebut, militer mulai melakukan gerakan perburuan dan penumpasan para oknum yang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu yang dicurigai adalah PKI. Dari penumpasan itulah yang menjadi titik awal namanya menjadi melambung

Laporan tentang Sarwo Edhie ini kemudian diterbitkan menjadi tokoh perdana dalam seri biografi para perwira militer yang dinilai mengubah perjalanan negara Indonesia. Ia dinilai oleh Tempo mempunyai peran sentral dalam pemberangusan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S). Tempo pertama kali menerbitkan buku tentang Sarwo Edhie ini pada bulan Juni 2012. Selanjutnya, di bulan April 2014, Tempo kembali menerbitkan buku mertua Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Pada dasarnya media mampu mengkonstruksi realitas. Gaye Tuchman menyatakan bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial (Severin & Tankard, 2009: 400). Di dalam laporan mendalam Sarwo Edhie dan Misteri 1695,

Tempo menggambarkan sosok Sarwo Edhie adalah tokoh yang berhasil

(14)

Narasi tidak hanya menggambarkan isi cerita tersebut tapi juga terdapat karakter. Dengan adanya karakter, pembuat cerita dapat leluasa menuangkan maksud gagasannya. Chatman (1978: 19) menyebutkan setiap narasi memiliki dua bagian: sebuah cerita, isi atau rangkaian peristiwa (tindakan, kejadian), ditambah dengan apa yang disebut sebagai eksisten (karakter) dan wacana. Narasi Tempo tentang Sarwo Edhie ini, mendudukkan karakter-karakter yang terlibat di lingkungan Sarwo Edhie, pada masa penumpasan anggota PKI di tahun 1965.

Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini akan berfokus untuk melihat konstruksi narasi peristiwa penumpasan Gerakan 30 September pada Tempo yang terdapat dalam buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965. Bagaimana Tempo mengkonstruksi realitas sosial dengan menggunakan laporan mendalam yang naratif. Untuk menganalisis fungsi karakter dalam struktur narasi tersebut maka peneliti menggunakan teknik analisis Vladimir Propp.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang akan diteliti dalam laporan mendalam Sarwo Edhie di Tempo Edisi Khusus: Sarwo Edhie dan Misteri 1965 sebagai berikut:

- Bagaimana konstruksi narasi peristiwa penumpasan Gerakan 30 September pada buku laporan mendalam Tempo Sarwo Edhie dan Misteri

(15)

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui konstruksi narasi peristiwa penumpasan Gerakan 30 September pada buku laporan mendalam Tempo Sarwo Edhie dan Misteri 1965.

1.4 KEGUNAAN PENELITIAN

Kegunaan penelitian sendiri terbagi atas dua jenis yakni:

a) Kegunaan Teoritis

Diharapkan dari penelitian ini dapat berguna untuk membantu keilmuan jurnalistik untuk dapat melihat mengenai konsep struktur narasi, fungsi dan karakter dalam sebuah teks berita laporan mendalam berbentuk narasi. Penelitian ini juga menjadi sumbangan pemikiran untuk menganalisis teks media khususnya yang naratif.

b) Kegunaan Praktis

Sedangkan untuk kegunaan praktisnya, penelitian diharapkan mampu membantu khalayak memahami bagaimana pengetahuan, makna, nilai diproduksi dan disebarkan dalam masyarakat melalui media massa. Selain itu, memungkinkan melihat media mampu mengkonstruksi suatu realitas lewat beritanya.

(16)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Dari hasil penelusuran, peneliti menemukan dua penelitian terdahulu yang menggunakan metode penelitian naratif. Penelitian tersebut berasal dari dua universitas berbeda yang menganalisis konstruksi narasi pada berita yang dilakukan oleh media. Kedua penelitian ini yang jadi landasan referensi bagi peneliti.

Penelitian pertama milik Sepdian Anindyajati, mahasiswa program studi ilmu komunikasi, jurusan jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Skripsi ini berjudul ―Analisis Naratif Pengungkapan Kasus Pembunuhan Sisca Yofie Dalam Majalah Tempo dan Detik‖.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah keseluruhan teks berita mengenai kasus Sisca Yofie yang ada dalam Majalah Tempo ―Setelah Rudi Siapa Terciprat‖ edisi 19 Agustus-25 Agustus 2013 dan Majalah Detik versi digital edisi 91 ―Tanda Tanya Pembunuhan Sisca‖ dengan berfokus pada struktur kisah atau narasi. Penelitian ini memiliki kesamaan teori yang digunakan dalam analisisnya yakni konsep fungsi dan karakter yang dikemukakan oleh Vladimir Propp. Dalam penelitian ini, fungsi dan karakter dilihat dari narasi dua media, yakni majalah Tempo dan Detik. Sedangkan

(17)

nantinya peneliti hanya akan membedah satu media, yakni buku Tempo untuk melihat fungsi dan karakter pada narasinya.

Tujuan dari penelitian ini sendiri untuk mengetahui bagaimana karakter Fransiesca Yofie dalam peristiwa pembunuhan Sisca Yofie di Majalah Tempo dan Majalah Detik yang disampaikan melalui narasi beritanya. Sisca Yofie sendiri adalah seorang perempuan yang ditemukan tewas terbunuh di Bandung. Meski pembunuh seorang manajer perusahan multifinance Sisca Yofie telah tertangkap, namun kasus tersebut masih mengundang tanda tanya besar bagi masyarakat. Terlebih adanya hubungan khusus antara Komisaris Polisi Albertus Eko Budiharto dengan Sisca Yofie. Majalah Tempo dan Majalah Detik kemudian yang menyajikan peristiwa ini dalam bentuk feature narasi.

Peneliti selanjutnya menggunakan teknik analisis naratif Vladimir Propp. Setelah diketahui struktur luar dalam sebuah narasi yang menggunakan teori Propp, berikutnya akan diketahui struktur dalam dengan menggunakan teori oposisi biner gagasan dari Levi-Strauss.

Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam Majalah Tempo, Sisca masuk dalam karakter putri yang berusaha diselamatkan oleh pahlawan, polisi. Dalam narasi majalah Tempo Sisca ditempatkan sebagai korban yang dalam terminologi Propp disebut sebagai putri. Karakter putri adalah orang yang mengalami perlakuan buruk secara langsung dari penjahat, Ade dan Wawan.

Dalam narasi Tempo, terlihat di paragraf dua dimana kejadian saat Wawan dan Ade mulai menganiaya Sisca dengan membekap kemudian membacok kepala Sisca. Setelah itu, Sisca diseret oleh kedua tersangka. Dalam

(18)

narasi Tempo juga digambarkan, di akhir, pahlawan berhasil menangkap penjahat dan kedoknya pun terbuka. Polisi menyatakan bahwa Wawan dan Ade merupakan penjahat.

Sedangkan dalam narasi berita majalah Detik, sosok Sisca ditempatkansebagai penjahat karena majalah Detik mengungkap lebih dalam faktor penyebab pembunuhan, yakni hubungan gelap antara Sisca dan Kompol Eko. Bagi majalah Detik, kematian Sisca akibat pembunuhan ini bisa saja disebabkan oleh tindakannya di masa lampau yang mengganggu rumah tangga Eko dan Dita. Dalam fungsi Propp, karakter penjahat adalah orang atau sosok yang membentuk komplikasi atau konflik dalam narasi.

Penelitian kedua adalah milik Raymundus Rikang Rinangga Widya. Mahasiswa dari ilmu komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta. Penelitian ini berjudul Drama Tragedi Trisakti 1998: Analisis Struktur Naratif Seymour Chatman Pada Laporan Utama Majalah Gatra 23 Mei 1998 ―Bau Mesiu dan Amis Darah di Trisakti‖.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyusupan unsur dramatis dalam pemberitaan Tragedi Trisakti 1998 Laporan Utama Gatra ―Bau Mesiu dan Amis Darah Di Trisakti‖ berdasarkan elemen cerita dan wacana kritis yang menyusun kerangka teks berita. Bahan penelitiannya berasal dari teks berita ‗Bau Mesiu dan Amis Darah di Trisakti‘yang dimuat di Majalah Gatra edisi 23 Mei 1998. Proses pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yakni pada tahapan cerita dan tahapan wacana kritis. Pada tahapan cerita, peneliti menggunakan pendekatan naratologi struktural Seymour

(19)

Chatman. Sedangkan pada tahap wacana kritis, mengacu pada pendekatan Teun van Dijk.

Peneliti memilih menggunakan teknik pembedahan karakter model Algirdas Greimas. Teknik ini dipilih oleh peneliti karena ada keuntungan yang diperoleh dengan memakai model ini yakni adanya keterhubungan antar aktan dan tidak mengharuskan posisi aktan diisi oleh karakter dalam wujud manusia atau fisik. Sedangkan penulis membedah karakter lewat analisis fungsi narasi Vladimir Propp karena analisanya pada karakter lebih mendetail.

Hasil penelitian pada tahapan cerita, elemen alur/plot, kontingensi, kernels (cerita inti) dan satellite (cerita pendamping), karakter, waktu penceritaan, dan latar cerita berkontribusi untuk memberikan sentuhan dramatis dalam teks berita. Pada bagian cerita, elemen alur/plot, kontingensi, kernels (cerita inti) dan satellite (cerita pendamping), karakter, waktu penceritaan, dan latar cerita berkontribusi untuk memberikan sentuhan dramatis dalam teks berita. Sedangkan pada penelitian ini, penulis fokus menganalisa bagian struktur narasi pada narasi berita. Dari struktur narasi tersebut, akan terlihat penggambaran fungsi narasi dan karakter pada berita.

Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu

Peneliti Sepdian Anindyajati, ilmu komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, 2014.

Raymundus Rikang Rinangga Widya, ilmu komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2013. Judul Analisis Naratif

Pengungkapan Kasus Pembunuhan Sisca Yofie Dalam Majalah Tempo dan

Drama Tragedi Trisakti 1998: Analisis Struktur Naratif

Seymour Chatman Pada Laporan Utama Majalah Gatra 23 Mei

(20)

Detik 1998 ―Bau Mesiu dan Amis Darah di Trisakti‖.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sendiri untuk mengetahui bagaimana karakter Fransiesca Yofie dalam peristiwa pembunuhan Sisca di Majalah Tempo dan Majalah Detik yang

disampaikan melalui narasi beritanya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyusupan unsur dramatis dalam

pemberitaan Tragedi Trisakti 1998 Laporan Utama Gatra ―Bau Mesiu dan Amis Darah Di Trisakti‖ berdasarkan elemen story dan discourse yang menyusun kerangka teks berita. Teori yang

digunakan

Analisa fungsi dan karakter pada narasi Vladimir Propp

Analisa Struktur Naratif

Seymour Chatman dan Analisis Wacana T. Van Dijk yang menggunakan teknik

pembedahan karakter dengan model teori Algirdas Greimas. Metode

Penelitian

Metode Penelitian Kualitatif Metode Penelitian Kualitatif Hasil

Penelitian

Majalah Tempo, Sisca masuk dalam karakter putri yang berusaha diselamatkan oleh pahlawan, polisi. Dalam narasi majalah Tempo Sisca ditempatkan sebagai korban yang dalam terminologi Propp disebut sebagai putri.

Sedangkan dalam narasi berita majalah Detik, sosok Sisca ditempatkan sebagai penjahat karena majalah Detik mengungkap lebih dalam faktor penyebab pembunuhan.

Hasil penelitian pada level story, elemen alur/plot, kontingensi, kernels (cerita inti) dan satellite (cerita pendamping), karakter, waktu penceritaan, dan setting cerita berkontribusi untuk memberikan sentuhan dramatis dalam teks berita.

Perbedaan Menganalisa dan membandingkan fungsi karakter di dua media yang berbeda yakni Tempo dan Detik. Sedangkan penulis meneliti satu media yaitu Tempo.

Menganalisa struktur story (cerita) pada narasi

menggunakan teori Seymour Chatman dan dalam menganalisa level discourse peneliti

menggunakan teori Van Dijk untuk membedahnya.

(21)

peneliti menggunakan model penelitian Algidar Greimass. Sedangkan penulis menganalisa struktur narasi Todorov dan membedah fungsi karakter pada narasi menggunakan analisa Vladimir Propp.

2.2 Media dan Konstruksi Realitas

Media texts tell stories; they have a narrative. Narratives are about story telling and storymeaning (Burton, 2005:54).

Teks dalam media bercerita yang mempunyai unsur narasi. Narasi disini bermaksud untuk memberitahukan cerita dan memberikan makna dalam cerita tersebut. Dari hal tersebut maka dalam sebuah teks media memiliki makna tertentu dan akhirnya makna yang dimasukkan oleh media itu masuk ke benak pikiran pembaca.

Helen Fulton dalam bukunya ―Narrative and Media‖ mengatakan bahwa tiap jenis media memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi minat pembaca pada narasi cerita yang dibangun oleh media itu sendiri (Fulton, 2005:4). Konstruksi yang dibangun oleh media itu bisa terjadi lewat bahasa yang digunakan oleh media.

Dalam media massa, keberadaan bahasa tidak hanya menggambarkan realitas, melainkan bisa menentukan gambaran yang akan muncul di benak orang (Sobur, 2001:90). Tulisan yang dibuat oleh wartawan akan dibuat oleh akan mampu mempengaruhi gambaran audiens akan suatu realitas peristiwa.

(22)

Pada hakitatnya pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas. Sobur (2001:87) menjelaskan bahwa isi media adalah hasil dari para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Oleh karena itu, isi media yang dikerjakan tersebut merupakan hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa menjadi alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut (Sobur, 2001:88). Akibatnya, media massa punya peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya. Realitas-realitas sosial yang dibangun oleh media itu akhirnya dianggap menjadi suatu kebenaran oleh masyarakat.

Paul Watson mengingatkan bahwa konsep kebenaran yang di media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran (Sobur, 2001:87). Literasi media wajib dimiliki oleh audiens agar melihat realitas sosial yang dimiliki media itu bukanlah kebenaran yang tunggal. Pesan yang dibangun oleh media tidak selalu nampak seperti apa adanya karena ada konstruksi yang dibangun oleh media agar masyarakat percaya. Sesuai dengan uraian diatas makin menjelaskan kuatnya pengaruh hasil tulisan di dalam media. Namun patut dicermati, hasil tulisan yang dibangun di dalam media itu semua hanyalah konstruksi realitas yang sengaja dibangun oleh media.

(23)

2.3 Konstruksi Sosial Media Massa

Teori konstruksi sosial Peter L Berger mengalami pergeseran ketika masyarakat Amerika berubah menjadi modern. Teori konstruksi sosial mengalami pergeseran setelah media massa masuk ke dalam proses dialetik. Sehingga teori tersebut biasa disebut konstruksi sosial di media massa. Hampir sama dengan proses subyektifikasi, objektifikasi dan internalisasi, teori ini juga memiliki tahapan. Prosesnya adalah sebagai berikut (Bungin: 2007: 184-189):

1) Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi

Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa,tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada disetiap media media massa. Ada hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial media massa. Pertama, keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Media massa dijadikan alat pemilik modal sebagai mesin pencari uang. Kedua, keberpihakan semu kepada msayarakt. Bnetunya adalah empati, simpati dan parisipasi kepada masyarakat yang ujugnnya untuk menjual berita dan menaikan rating untuk kepentingan kapitalis. Ketiga, keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuknya

2) Tahap Sebaran Konstruksi

Tahap ini memiliki konsep bahwa semua informasi harus sampai pada khalayak berdasarkan agenda media. Apa yang dianggap penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. Tahap ini

(24)

menggunakkan komunikasi satu arah, dimana media menyodorkan informasi kepada konsumen.

3) Tahap Pembentukan Konstruksi Dalam tahap ini berlangsung melalui

a) Konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa yang tersaji di media massa sebagai realitas kebenaran.

b) Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media masa yaitu sikap generik dari tahap pertama.

c) Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, di mana seseorang secara terbiasa tergantung pada media massa

Selain itu, media massa juga mampu mengkonstruksi citra. Bangunan konstruksi citra yang dibngun oleh media mssa terbentuk dalam dua model, good news dan model bad

news. Model good news adalah sebuhah konstruksi yang

cenderung mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Sedangkan model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehinga terkesan lebih buruk dan lebih jahat dari sesungguhnya sifat buruk dan jahat yang ada pada objek

(25)

pemberitaan itu sendiri 4) Tahap Konfirmasi

Konfirmasai adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi.

2.4 Narasi

“Stories are the connective tissue of the human race” (Kathrine Lanpher dalam Banaszynski, 2007:5) Turun temurun nenek moyang kita menyebarkan cerita masa lalu agar kaum penerusnya bisa melanjutkan hidup lebih baik. Cerita menjadi jalan penyambung bagi nenek moyang untuk mengisahkan kehidupan mereka di masa lalu kepada penerusnya.

Banaszynski (2007:5) kemudian kembali mengutip pernyataan Tomas Alex Tizon tentang mengapa manusia membutuhkan cerita. Menurutnya cerita membentuk pengalaman dan memungkinkan kita dapat menjalani kehidupan. Tanpanya, semua akan berjalan berbeda. Semua tak akan berarti apa-apa.

Cara bercerita manusia pun beragam jenis. Mulai dari novel, film, lagu, lukisan, iklan, esai, biografi dan berita. Cohan (1988:2) mengatakan bahwa setiap peristiwa yang dialami manusia akan diceritakan dengan berbagai sarana media. Tak hanya dari berbagai jenis media. Porter mengutip pernyataan Barthes, yang mengatakan bahwa narasi hadir dalam tiap waktu dan tempat

(26)

dalam sejarah manusia. Semua kelas dan kelompok sosial dalam manusia memiliki narasi sendiri (Abbot, 1981:2). Hal ini menguatkan bahwa dalam kehidupannya, manusia sangat dekat dengan bercerita. Tiap orang akan menceritakan pengalaman kehidupan mereka lewat narasi cerita.

Ryan (2007:23) mengutip beberapa pendapat para ahli naratif mengenai definisi narasi. Salah satunya, Genette menyebutnya narasi adalah representasi dari sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa). Sedangkan Porter Abbott mendefinisikan narasi adalah representasi dari peristiwa-peristiwa, memasukkan cerita dan wacana naratif. Cerita disini berarti peristiwa-peristiwa atau rangkaian peristiwa (tindakan). Oleh karena itu sebuah teks dapat disebut narasi bila terdapat peristiwa atau rangkaian peristiwa didalamnya.

Menurut Eriyanto terdapat empat unsur penting dalam narasi. Ada cerita, alur (plot), waktu dan ruang Sebuah narasi pada dasarnya adalah peristiwa yang utuh (dari awal hingga akhir) yang biasa disebut juga cerita (Eriyanto, 2013: 16). Alur (plot) sendiri merupakan bagian yang eksplisit dalam cerita. Cerita sendiri adalah peristiwa yang utuh, yang sesungguhnya, dari awal hingga akhir.

Sebuah narasi tidak mungkin juga memasukan seluruh waktu yang sesungguhnya ke dalam teks. Peristiwa yang terjadi belasan tahun biasa disajikan dalam beberapa halaman dalam teks berita. Ada tiga aspek penting dalam waktu, yakni durasi, urutan peristiwa dan frekuensi peristiwa ditampilkan. Durasi adalah waktu dari peristiwa. Urutan adalah rangkaian peristiwa satu dengan peristiwa yang lain sehingga membentuk suatu narasi. Frekuensi merupakan berapa kali suatu peristiwa yang sama ditampilkan.

(27)

Selain waktu, aspek terakhir dalam narasi adalah ruang. Ruang sendiri ada tiga perbedaan. Ada ruang cerita, ruang alur dan ruang teks. Ruang alur adalah ruang disajikan secara eksplisit dalam sebuah narasi. Ruang teks adalah ruang yang tidak hanya disajikan eksplit tetatapi juga ditampilakn keasliannya dalam narasi. Terakhir, ruang cerita adalah ruang yang tidak hanya disajikan secara eksplisit dalam narasi, tetapi khalayak juga bisa membayangkan tempat tersebut lewat hubungan sebab akibat atau kaitan antar satu tokoh dengan tokoh lain dalam narasi.

Karakter menjadi unsur yang tak kalah penting dalam narasi. Herman (2005:67) mengutip Rimmon-Kenan yang menyatakan bahwa ada tiga metode membedah karakter dalam teks narasi. Pertama, sebuah karakter dapat dilihat secara langsung. Hal ini dapat dilihat dari psikologis dan penampilan luar. Kedua, karakter dapat dilihat secara tidak langsung dalam teks. Caranya dapat dilihat dengan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan, penampilan fisik, dan lingkungan sekitar karakter tersebut. Ketiga, karakter dapat dideskripsikan secara analogi.

2.5 Jurnalisme dan Naratif

Bell menyatakan journalists do not write articles; journalists write

stories (Jurnalis tidak menulis artikel; jurnalis menulis cerita). Jika mengambil

intisari dari kutipan tersebut, maka tidak ada bentuk jurnalistik tanpa ada maksud untuk menceritakan sesuatu. Sebagai bentuk awal dalam komunikasi

(28)

sendiri itulah, seni untuk bercerita menjadi suatu hal yang penting dalam jurnalisme naratif (Berning, 2011: 15).

Salah satu cara untuk menjelaskan peristiwa yang kompleks adalah dengan gaya naratif. Maka dari itu peristiwa itu dituturkan dengan gaya bercerita. Jurnalisme naratif merupakan bentuk penulisan nonfiksi yang paling canggih, terutama dalam kontrol atas fakta, teknik pengisahan, penataan adegan, pelukisan karakter yang multi-dimensi dan dalam kemampuannya menghadirkan suara (Kurnia, 2001: 149). Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah dan akhir laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog seperti cerita pendek. Penyampaiannya yang naratif menuntut kemampuan untuk mengisahkan drama dan konflik. Tidak hanya menyampaikan apa yang terjadi.

Robert Vare oleh (Harsono, 2008: xiii) mengatakan ada tujuh hal penting dalam penulisan jurnalisme naratif. Penulis harus menulis dengan fakta yang benar, tulisannya harus mempunyai konflik, karakter, emosi, memilik perjalanan waktu, dan memiliki unsur kebaruan.

Menurut Sims (1995: 3), jurnalime naratif adalah laporan yang mendalam, menggunakan teknik naratif yang membebaskan maksud dari penulis, tetapi dengan standar akurasi yang tinggi. M.V Kamath oleh (Kurnia, 2009: 288) mengatakan bahwa laporan mendalam bertujuan untuk membuat pembaca tahu mengenai seluruh aspek yang terjadi pada sebuah subjek dari kepastian informasi yang diberikan, termasuk latar belakang dan atmosfernya. Reportasenya bisa mewawancarai orang banyak dan memakan waktu yang lama.

(29)

Tulisannya mampu memberikan sisi lain dari sebuah cerita yang sudah pernah ada dan bahkan ceritanya bisa berujung cerita yang ironis.

Jurnalisme naratif sendiri memang biasanya menceritakan orang terkemuka atau selebriti (Sims, 1995: 3). Tapi tak menutup kemungkinan bahwa cerita tersebut lahir dari pengalaman atau perasaan dari orang-orang biasa. Sebab cerita dari orang biasa itu jurnalis dapat memberikan unsur ketegangan yang sebenarnya dalam sebuah cerita yang dibangunnya. Di dalam narasi orang-orang itu dapat disebut dengan karakter.

Unsur karakter dalam narasi sangat berpengaruh bagi pembaca jurnalisme naratif. Jon Franklin mengatakan saat akan memasuki isi dalam cerita, pembaca pasti akan mendalaminya melalui karakter utama. Karakter tersebut bisa pahlawan atau sebaliknya (Kramer & Wendy Call, 2007: 126). Terlebih bila dalam penulisan profil karakter tersebut. Jacui Banszynski mengungkap bahwa dalam menulis profil, penulis harus memperhatikan orang dan tempat; bagamaimana menempatkan karakter, mendeskripsikan secara fisik (Kramer & Wendy Call, 2007: 66).

Jurnalisme ini menyediakan peluang kepada penulis untuk mengeksplorasi kemampuan menceritakan kisahnya (Kurnia, 2001:169). Dalam bentuk terbaiknya, naratif menjangkau pengisahan tentang ketakutan dan kekesalan orang di masa lalu, yang menjadi nyata ketika dikisahkan. Namun, sekaligus mengenalkan pembaca bahwa kisah itu sangat dekat dengan keseharian hidupnya sendiri.

(30)

2.6 Analisis Naratif

Stokes (2006:73) mengatakan analisis naratif adalah sebuah cara yang kuat untuk menjelajahi teks media. Khususnya untuk menganlisa teks media yang naratif. Dalam analisis naratif, kita mengambil keseluruhan teks sebagai objek analisis, berfokus pada struktur kisah atau narasi (Stokes, 2006:72). Analisis naratif pada dasarnya adalah analisis mengenai cara dan struktur berita dari suatu teks. Menggunakan analisis naratif untuk analisis teks berita media pada dasarnya meneempatkan teks berita layaknya cerita. Di dalam berita terdapat struktur bercerita, alur (plot), sudut penggambaran, hingga karakter atau penokohan.

Salah satu pendekatan kunci pada analisis naratif bersumber dari karya Vladimir Propp. Ia adalah antropolog yang mempelajari sejarah dongeng (folk tale) lokal di Rusia di akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh. Semua dongeng, menurut Propp memiliki unsur yang sama, yang dilabelinya sebagai "fungsi-fungsi". Masing-masing karakter menunjukan sebuah fungsi dalam narasi, dan dapat didefinisikan sesuai peranan ini. Penelitian Propp kemudian ditulis dalam buku yang diterbitkan tahun 1958 ke dalam bahasa Inggris dengan judul Morphology of the Folktale (Propp, 1968:1).

Karakter dan fungsi yang dikenalkan oleh Propp ternyata tidak hanya berlaku untuk cerita rakyat Rusia, tetapi juga semua cerita rakyat, baik klasik maupun modern di dunia (Eriyanto, 2013:66). Analisis Propp (1968:3) berguna

(31)

untuk menganalisis struktur tulisan (seperti novel dan drama). Dari sini analisis Propp berguna mengatakan untuk mengetahui cerita, sastra dan media massa.

Propp menemukan 31 fungsi narasi, dimulai dari ketidakhadiran, pelarangan, kekerasan, pengintaian,pengiriman, tipu daya, keterlibatan, kejahatan atau kekurangan, mediasi, tindakan balasan, keberangkatan, fungsi pertama seorang penolong, reaksi dari pahlawan, resep dari dukun/paranormal, pemindahan ruang, perjuangan, cap, kemenangan, pembubaran, kembali, pengejaran, pertolongan, kedatangan tidak dikenal, tidak bisa mengklaim, tugas berat, solusi, pengenalan, pemaparan, perubahan rupa, hukuman, dan berakhir dengan pernikahan (Eriyanto, 2013: 67).

Setelah ditemukan semua fungsi tersebut akan ditemukan tujuh karakter dalam suatu narasi. Karakter tersebut akan menjalankan fungsi tertentu dalam narasi. Pertama, penjahat yang merupakan sosok membentuk konflik dalam narasi. Kedua, penderma (donor) yang menolong pahlawan dengan memberikan sesuatu bisa berupa benda, informasi yang berdampak bagi pahlawan untuk menyeelsaikan masalah pada narasi. Ketiga, penolong (helper) yang membantu secara langsung pahlawan untuk mengalahkan penjahat untuk mengembalikan situasi normal. Keempat, putri (princess) dan ayah (father). Dalam narasi, karakter putri adalah orang yang mengalami hal buruk dari penjahat. Sedangkan ayah (father) umumnya adalah raja yang berduka atas nasib putri yang diperlakukan oleh penjahat. Kelima, pengirim (dispatcher) yang digambarkan dalam narasi sebagai orang yang mengirim pahlawan untuk menyelesaikan tugas dalam melawan penjahat. Keenam, pahlawan (hero) yang di dalam narasi adalah

(32)

orang yang mengembalikan situasi kacau akibat kehadiran penjahat menjadi normal. Ketujuh, pahlawan palsu (false hero), yang merupakan sosok yang pada awal narasi digambarkan membantu pahlawan, tetapi di akhir cerita terbongkar kedoknya adalah seorang penjahat.

Sedangkan menurut Algidar Greimass fungsi tersebut bisa disederhanakan menjadi enam peran yang disebutnya aktan (Eriyanto, 2013:97). Aktan tersebut berfungsi untuk mengarahkan jalannya cerita. Keenam peran tersebut digambarkan sebagai, subjek, objek, pengirim, penerima, pendukung, penghalang. Dari fungsi karakter dalam sebuah narasi, secara sederhana dapat dibagi dalam tiga relasi struktural. Pertama, relasi struktural antara subjek versus objek. Kedua, relasi antara pengirim versus penerima. Ketiga, relasi struktural antara pendukung versus penghambat.

Fungsi narasi serta karakter dalam narasi yang dikemukakan oleh kedua tokoh ini sama. Hanya fungsi narasi dan karakter Propp lebih mendetail dan Greimass dapat melihat hubungan antar karakter pada narasi tersebut. Penelitian ini menggunakan analisis fungsi dan karakter narasi Propp karena kompleksnya plot yang disajikan dalam teks. Dengan banyaknya karakter yang muncul, analisis fungsi narasi dan karakter yang diteliti akan lebih tajam.

Selain fungsi narasi dan karakter, ahli sastra dan budaya asal Bulgaria, Tzvetan Todorov mengajukan gagasan mengenai struktur narasi. Tanpa disadari atau tidak pembuat teks menyusun teks ke dalam susunan atau struktur tertentu. Pembaca pun otomatis akan membaca narasi berdasarkan struktur tersebut. Bagi Todorov, narasi adalah apa yang dikatakan, karenanya mempunyai urutan

(33)

kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa (Eriyanto, 2013: 46). Struktur narasi diawali dengan sebuah keseimbangan (ekuilibrium). Dalam keseimbangan itu tiba-tiba muncul sebuah gangguan yang dilakukan akibat dari tindakan tokoh tertentu. Setelah gangguan berhasil diselesaikan, narasi diakhiri oleh upaya menghentikan gangguan sehingga keseimbangan (ekuilibrium) tercipta kembali.

Eriyanto (2013: 10) mengungkapkan ada empat kelebihan dalam analisis naratif. Pertama, analisis naratif membantu kita memahami bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai diproduksi dan disebarkan dalam masyarakat. Kedua, memahami, bagaiaman dunia sosial dan poltik diceritakan dalam pandangan tertentu yang dapat membantu kita mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang dominan dalam masyarakat. Ketiga, analisis naratif memungkinan kita menyeldiiki hal-hal yang tersembunyi dan laten dari suatu teks media. Keempat, analisis naratif merefleksikan kontinuitas dan perubahan komunikasi.

(34)

2.7 Kerangka Pemikiran

Penumpasan Gerakan 30 September 1965

Tempo Sarwo Edhie dan Misteri 1965

Konstruksi narasi peristiwa penumpasan Gerakan 30 September

Analisis Fungsi Karakter pada narasi (Vladimir Propp) Plot pada struktur

narasi (Todorov) Analisis Naratif Tahap Keseimbangan Tahap Gangguan 31 Fungsi Narasi 7 Fungsi Karakter Tahap upaya memperbaiki gangguan menuju keseimbangan baru

(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini berjenis kualitatif dan bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010: 6).

Dalam penelitian kualitatif, periset ikut aktif ambil bagian dalam menentukan jenis data yang diinginkan (Kriyantono, 2006: 57). Periset menjadi instrumen riset yang terjun langsung ke lapangan. Desain penelitian dapat berubah atau disesuaikan dengan perkembangan riset. Oleh karena itu riset ini bersifat subjektif dan hasilnya kasuistik bukan untuk digeneralisasikan.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Tujuan penelitian yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2007:68). Oleh karena itu dalam penelitian

(36)

kualitatif, peneliti harus menjelaskan fenomena secara mendalam melalui pengumpulan data yang mendalam pula.

Pada penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma ini memiliki pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita. Menurut sosiolog Peter L. Berger, manusia dan masyarakat merupakan produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Mereka membentuk realitas dan menyusun institusi dan norma yang ada (Eriyanto, 2002:15).

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Dalam pandangan ini fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi dan realitas bersifat subjektif. Konsep subjektif wartawan menghadirkan suatu realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu. Pandangan kedua, media adalah agen kontruksi pesan . Lewat bahasa yang digunakan, media dapat berperan mendefinisikan aktor dan peristiwa.

Ada karateristik penting dari paradigma konstruktivis pada analisis teks berita (Eriyanto, 2002:47). Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna tidaklah absolut, melainkan aktif sesuai dengan apa yang ditafsirkan seseorang dalam pesannya. Kedua, pendekatan ini memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan menyusun citra tertentu dalam menggambarkan realitas.

(37)

Secara lebih mendetail, Kriyantono (2009: 51-52) menjelaskan bahwa paradigma konstruktivis dapat dijelaskan dalam empat dimensi :

1) Ontologis.

Realitas merupakan hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman, konteks, dan waktu. Realitas adalah adalah hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman, konteks, dan waktu.

2) Epistemologis:

Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Peneliti dan objek atau realitas yang diteliti merupakan kesatuan realitas yang tidak terpisahkan.

3) Aksiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitias pelaku sosial. Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

4) Metodologis: Reflective/Dialectial. Menekankan empati, dan interaksi dialektis antara peneliti-responden untuk merekonstruksi realtias yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti observasi partisipan.

(38)

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis isi teks media, khususnya teks media yang naratif. Peneliti menggunakan analisis teks naratif untuk dapat memahami bagaimana makna, nilai diproduksi serta disebarkan lewat media massa dalam narasi beritanya.

Analisis teks naratif juga digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis isi teks media. Dalam analisis naratif, kita mengambil keseluruhan teks sebagai objek analisis, berfokus pada struktur kisah atau narasi (Stokes, 2006:72). Analisis naratif pada dasarnya adalah analisis mengenai cara dan struktur berita dari suatu teks. Menggunakan analisis naratif untuk analisis teks berita media pada dasarnya meneempatkan teks berita layaknya cerita. Di dalam berita terdapat struktur bercerita, alur (plot), sudut penggambaran, hingga karakter atau penokohan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data, yaitu dengan teknik sampel. Dengan cara mengambil sebagian dari suatu populasi untuk diteliti, yang ciri-ciri dan keberadaannya diharapkan mampu mewakili atau menggambarkan ciri-ciri dan keberadaan populasi yang sebenarnya. Untuk menghasilkan sampel yang baik, maka data tersebut haruslah objektif (sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya), representatif (mewakili keadaan yang

(39)

sebenarnya), variasinya kecil, tepat waktu, dan relevan untuk menjawab persoalan yang sedang menjadi pokok bahasan (Sugiarto, dkk., 2001:2-7).

Peneliti menggunakan teknik sampling purposif (purposive sampling). Peneliti memakai teknik sampel bertujuan atau purposive sampling (Moleong, 2010:224) bukan sampel acak, karena dalam penelitian kualitatif tidak dikenal sampel acak. Maksud dari sampling ini ialah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.

Sampling yang dilaksanakan dengan cara ini berdasarkan keputusan

subjektif peneliti yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pada caranya, peneliti memilih teks yang akan dianalisis yang sesuai dengan tujuan penelitian, yakni narasi memuat tentang penumpasan Gerakan 30 September. Peneliti kemudian memilih sub-bab di dalam buku Tempo Sarwo Edhie dan

Misteri 1965 yang memuat narasi penumpasan gerakan 30 September 1965.

Peneliti kemudian fokus untuk meneliti gambaran narasi yang dibangun oleh Tempo tersebut. Teknik ini dipilih untuk riset yang lebih mengutamakan kedalaman data daripada untuk tujuan representatif yang dapat digeneralisasikan (Kriyantono, 2006:159).

3.4 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah tiga berita yang ada dalam buku Tempo

(40)

Berikut sub-bab pemberitaan yang dimuat pada buku Tempo Sarwo Edhie

dan Misteri 1965 mengenai penumpasan Gerakan 30 September:

1) Bab Jejak Darah Sang Pembasmi dengan judul Manuver Komandan Baret Merah pada halaman 1-10.

2) Bab Jejak Darah Sang Pembasmi dengan judul Menumpas Sampai ke Akarnya pada halaman 11-17.

3) Bab Jejak Darah Sang Pembasmi, dengan judul Tak Ada Tentara, Pemuda Pun Jadi pada halaman 18-21.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis naratif.Pertama peneliti membedah struktur narasinya terlebih dahulu. Seornag ahli sastra Tzevetan Todorov mempunyai gagasan mengenai struktur dari suatu narasi. Menurut Todorov, suatu narasi mempunyai struktur dari awal hingga akhir. Narasi dimulai dari dari sebuah keteraturan, kondisi masyarakat yang tertib. Keteraturan tersebut kemudian berubah menjadi kekacaauan akibat tindakan dari seorang tokoh. Narasi diakhiri dengan kembalinya keteraturan.

Setelah struktur narasi, fungsi narasi pada kakter akan dibedah oleh penulis. Salah satu pendekatan kunci untuk membedah karakter analisis naratif Vladimir Propp. Propp adalah seorang antropolog yang mempelajari sejarah cerita rakyat/dongeng di Rusia. Menurut Propp, semua dongeng memiliki unsur-unsur

(41)

yang sama, yang dilabelinya sebagai ―fungsi-fungsi‖. Masing-masing karakter menunjukkan sebuah fungsi dalam narasi dan dapat didefinisikan sesuai peranannya (Stokes, 2006: 73).

Fungsi dikonseptualisasikan oleh Propp lewat dua aspek. Pertama, tindakan dari karakter tersebut dalam narasi. Perbedaan antara tindakan dari satu karakter dengan karakter lain. Masing-masing tindakan itu nantinya akan membentuk makna tertentu yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Kedua, akibat dari tindakan dalam narasi. Tindakan dari karakter kakan mempengaruhi karakter lain dalam narasi.

Model analisis Propp dapat diterapkan pada kisah apa pun. Dengan syarat identifikasi karakter-karakter kunci dan klasifikasi karakter-karakter yang mengacu pada skema Propp. Analisis Propp berguna untuk menganalisis struktur sastra (seperti novel dan drama), komik, gambar gerak dan plot televisi, dan lain sebagainya. Dalam memahami keterkaitan antara cerita rakyat dan sastra, dan antara cerita rakyat dan media massa (Propp, 1968:4). Lewat analisis naratif, kita menempatkan berita tidak ubahnya seperti sebuah novel, puisi, cerpen atau cerita rakyat. Di dalamnya terdapat jalan cerita, plot, karakter, dan penokohan (Eriyanto, 2013:9).

Di dalam narasi terdapat karakter yaitu tokoh yang memiliki sifat tertentu. Dengan adanya karakter akan memudahkan pencerita mengungkapkan gagasannya (Eriyanto, 2013:65), Maka, seorang peneliti Vladimir Propp menyusun karakter yang hampir selalu ditemukan dalam setiap narasi. Propp menemukan bahwa dalam setiap narasi mempunyai masing-masing karakter yang

(42)

menempati fungsi masing-masing sehingganarasi menjadi utuh (Eriyanto, 2013:66). Fungsi ini dilihat dalam dua aspek yaitu tindakan dari karakter tersebut dalam narasi serta akibat dari tindakan dalam narasi. Menurut Propp setidaknya ada 31 fungsi yang terdapat dalam narasi sebagai berikut.

Tabel 3.1Fungsi Narasi-Propp

No Simbol Fungsi Deskripsi Fungsi

Α Situasi awal Anggota keluarga atau sosok pahlawan diperkenalkan. Pahlawan sering kali digambarkan sebagai orang biasa 1. Β Ketidakhadiran

(Absensi)

Salah seorang anggota keluarga tidak berada di rumah. Dalam banyak cerita, ini menjadi awal dari sebuah malapetaka. Dunia yang teratur tiba-tiba terlihat menjadi kacau

2. Γ Pelarangan (penghalangan)

Larangan yang ditujukan kepada

pahlawan. Pahlawan diperingatkan agar tidak melakukan suatu tindakan (Jangan ke sana, jangan melakukan ini itu dan

sebagainya)

3. Γ Kekerasan Larangan dilanggar. Pahlawan melanggar larangan. Ini umumnya menjadi pintu masuk hadirnya penjahat ke dalam cerita, meskipun tidak selalu menghadapi pahlawan. Mungkin mereka menyerang keluarga sementara pahlawan sedang pergi 4. E Pengintaian Penjahat melakukan usaha pengintaian.

Penjahat membuat sebuah upaya pengintaian (misalnya mencoba untuk menemukan anak-anak/permata,dll). Penjahat kerap kali menyamar, sebagai cara mencari informasi yang berharga atau mencoba untuk secara aktif menangkap seseorang. Mereka dapat berbicara dengan anggota keluarga yang lugu agar membuka rahasia

5. Ζ Pengiriman Penjahat menerima informasi mengenai korban. Para penjahat memperoleh beberapa bentuk informasi, misalnya mengenai pahlawan atau korban, informasi

(43)

lain juga diperoleh , misalnya tentang peta atau lokasi harta karun

6. Η Tipu Daya Penjahat berusaha menipu korbannya. Penjahat mencoba menipu korban untuk menguasai korban atau barang-barang korban (tipu daya; penjahat menyamar, mencoba untuk memenangkan

kepercayaan dari korban). Para penjahat menggunakkan berbagai cara untuk menipu pahlawan atau korban. Misalnya menyamar, penangkapan korban,

menculik, dan sebagainya

7. θ Keterlibatan Korban tertipu, tanpa disadari membantu musuhnya. Korban tertipu oleh penipuan, tanpa disadari membantu musuh. Tipu daya dari penjahat bekera dan pahlawan atau korban masuk dalam perangkat yang dibuat oleh penjahat. Dalam banyak cerita ini bisa berupa memberikan penjahat informasi yang penting (peta, tempat rahasia, gua persembunyian, senjata magis)

8. A Kejahatan Penjahat melukai anggota keluarga pahlawan. Tindakan penjahat

menyebabkan kerugian/ cedera pada anggota keluara (dengan penculikan, pencurian, menyebabkan hilangnya seseorang, melakukan pembunuhan, melemparkan mantra kepada seseorang, memenjarakan/menahan seseorang,

mengancam perkawinan paksa, melakukan siksaan). Atau seorang anggota keluarga tidak memiliki sesuatu atau menginginkan sesuatu. Ada dua pilihan untuk fungsi ini, salah satu atau kedua yang mungkin muncul dalam cerita. Pada pilihan

pertama, penjahat menyebabkan beberapa jenis bahaya, misalnya membawa pergi korban atau benda magis tertentu yang menjadi penyebab satu bencana besar. Pada pilihan kedua, keluarga berada dalam situasi bahaya atau kekurangan, yang apabila tidak ditolong bisa menyebabkan kematian

9. B Mediasi Terjadi keadaan yang malang, pahlawan dikirim untuk mengejar dan menumpas

(44)

penjahat. Pahlawan menemukan kondisi yang mengenaskan (misalnya menemui anggota keluarga yang dibawa lari penjahat, orang yang tidak berdosa terbunuh dsb)

10. C Tindakan Balasan Seseorang setuju untuk melakukan aksi balasan. Pahlawan bertekad untuk menghentikan penjahat. Pahlawan memutuskan bertindak untuk mengatasi kekacauan, misalnya menemukan benda magis, menyelamatkan mereka yang ditangkap atau mengalahkan penjahat. Ini adalah saat yang menentukan karena keputusan yang diambil akan menentukan masa depan. Biasanya dalam bagian ini kerap ada pertentangan apakah menyerah ataukah memutuskan untuk melakukan balasan kepada penjahat

11.  Keberangkatan Pahlawan meninggalkan rumah. Pahlawan memutuskan untuk mengejar penjahat dan menghentikan kekacauan

12. D Fungsi pertama seorang penolong

Pahlawan mendapat ujian dan menerima pertolongan dari orang pintar

(dukun/paranormal). Pahlawan pertama kali kalah (menerima serangan, terluka, tidak bisa menemukan kelemahan penjahat, terluka). Pahlawan bertemu dengan orang pintar yang memberi benda-benda magis agar bisa mengalahkan penjahat

13. E Reaksi dari pahlawan

Penolong bereaksi terhadap penolong masa depannya. Pahlawan berekasi terhadap bantuan dari penolong seperti membebaskan tawanan, mendamaikan pihak yang berselisih, menggunakkan kekuatan musuh terhadap dirinya dan sebagainya

14. F Resep dari

dukun/paranormal

Pahlawan belajar menggunakkan magis (kekuatan supra natural) yang bisa menghindari dari kesulitan besar.

Pahlawan mendapat kekuatan magis dari paranormal. Kekuatan itu bisa didapat dengan makan/minum ramuan tertentu, bertapa, menggunakkan alat tertentu (cincin, pedang dan sebagainya) 15. G Pemindahan Pahlawan mengarah pada objek yang

(45)

ruang diselidiki. Pahlawan dikirimkan ke lokasi di mana objek berada, tempat di mana tawanan ditahan

16. H Perjuangan Pahlawan dan penjahat bertarung secara langsung. Pahlawan bertemu dengan penjahat, bertarung secara langsung, hidup, dan mati

17. J Cap Pahlawan mulai dikenali kepahlawannya. Pahlawan menunjukkan kepahlawanannya, menggunakkan cincin atau pedan yang menentukan kemenangan. Atau naik naga/kuda, di mana hanya orang tertentu yang dapat mengendalikan binatang tersebut.

18. I Kemenangan Penjahat dikalahkan. Pahlawan berhasil mengalahkan penjahat. Penjahat terbunuh, menyerah.

19. K Pembubaran Kemalangan dan kesulitan berhasil

dihilangkan. Kemenangan membawa awal baru yang baik. Tawanan bisa dibebaskan, orang yang terbunuh bisa dihidupkan kembali

20.  Kembali Pahlawan kembali dari tugas. Pahlawan kembali dari peperangan, bersiap untuk kembali ke rumah

21. Pr Pengejaran Penjahat melakukan pembalasan,

pahlawan dikejar. Penjahat atau pengikut penjahat tidak terima dengan kekalahan. Melakukan pengejaran terhadap pahlawan, merusak nama baik pahlawan

22. Rs Pertolongan Pahlawan ditolong dari pengejaran. Pahlawan diselamatkan oleh seseorang dari pengejaran, disembunyikan, diselamatkan nyawanya

23. O Kedatangan tidak dikenal

Pahlawan tidak dikenal, pulang ke rumah atau ke negeri lain yang tidak dikenal. Pahlawan tidak dikenali kehadirannya, tiba di rumah atau di negara lain

24. L Tidak bisa mengklaim

Pahlawan palsu hadir tanpa mendapatkan kepahlawannya. Muncul pahlawan palsu, mengaku mengalahkan penjahat

25. M Tugas berat Tugas berat ditawarkan kepada pahlawan. Pahlawan diberikan ujian untuk

membuktikan dirinya asli, misalnya uji kekuatan, pertarungan hidup mati dengan

(46)

26. N Solusi Tugas diselesaikan. Pahlawan lolos dari ujian, bisa membuktikan dirinya adalah pahlawan asli

27. R Pengenalan Pahlawan dikenali. Pahlawan asli dikenali dengan tanda yang melekat pada dirinya (tanda-tanda tubuh, keterampilan khusu yang hanya dipunyai orang tertentu) 28. Ex Pemaparan Kedok terbuka: penjahat dan pahlawan

palsi. Kedok pahlawan palsu terbuka. Pahlawan palsu menampilkan dirinya sebagai sosok yang jahat

29. T Perubahan rupa Pahlawan mendapatkan penampilan baru. Pahlawan tampil dengan wajah baru, pakaian baru. Dibebaskan dari matra atau kutukan, menjadi pangeran tampan atau puteri cantik

30. U Hukuman Pahlawan dihukum. Penjahat dihukum. Penjahat mengalami depresi, gila, berubah menjadi jelek

31. W Pernikahan Pahlawan menikah dan memperoleh tahta. Pahlawan menikah dengan putrid raja. Naik tahta. (menjadi raja baru, mendapat posisi baru di kerajaan seperti panglima perang atau penasehat kerajaan)

Sumber : Eriyanto, 2013:66-71

Dari 31 fungsi tersebut, ada 7 karakter dalam suatu narasi. Masing-masing karakter menjalankan fungsi tertenu dalam narasi atau cerita. Berikut 7 karakter dalam narasi.

Tabel 3.2 Karakter Dalam Narasi Propp

Karakter Simbol Fungsi Deskripsi

Penjahat A, H, Pr Melawan pahlawan.

Donor D, F Menolong pahlawan dengan kekuatan magis

Penolong G, K, Rs, N, T Membantu pahlawan menyelesaikan tugas berat. Putri

Ayah sang

M, J, Ex, U, W Mencari calon suami Memberikan tugas berat

(47)

putri

Pengirim B Mengirim pahlawan menjalankan misi.

Pahlawan C, E, W Mencari sesuatu dan menjalankan misi.

Pahlawan palsu

C, E, L Mengklaim sebagai pahlawan, tetapi kedok terbuka.

Sumber : Eriyanto, 2013 :72

(48)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Tempo

Di Indonesia, majalah berita Tempo adalah yang pertama yang menggunakan gaya penyajian sastra dalam jurnalisme. Menurut situs resmi Tempo korporat.tempo.co, Goenawan Mohamad dan kawan-kawan pada tahun 1969 berangan-angan untuk membuat majalah mingguan. Di antara para pendiri dan pengelola awal, terdapat nama seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Alhasil, terbitlah majalah berita mingguan bernama Ekspres. Namun sayangnya majalah ini tidak bertahan lama. Terjadi perpecahan akibat perbedaan prinsip antara jaran redaksi dan pihak pemilik modal utama yang membuat Goenawan cs keluar dari Ekspres pada 1970.

Pada saat itu, Majalah Djaja milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta sedang mengalami masalah. Harjoko Trisnadi, pengelola majalah tersebut menghadapi masalah besar karena majalahnya macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, minta agar Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya--sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan tripartite antara Yayasan Jaya Raya-yang dipimpin Ir. Ciputra-orang-orang bekas majalah

(49)

Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.

Nama Tempo sendiri menurut Goenawan, Pemimpin Redaksi Tempo saat itu dipilih karena mudah diucapkan terutama oleh para pengecer. Dianggap cocok pula dengan sifat media berkala mingguan. Majalah ini juga dianggap mirip dengan majalah berita terbitan Amerika Serikat, Time. Tempo pun akhirnya terbit pada 6 Maret 1971.

Sejak berdiri, Tempo terus memegang prinsip kebebasan berpendapat. Pandangan Goenawan Mohammad tetap konsisten sampai sekarang. Meskipun isi kebijakan redaksi menjadi lebih kompromi agar tetap hidup dalam pemerintahan otoriter. Steele (2005:19) menguraikan ungkapan Goenawan Mohamad bahwa tugas seorang wartawan tempo ialah mencari kebenaran. Menurutnya dalam keberagaman bangsa Indonesia, kemarahan pembaca dapat mudah muncul bila informasi seperti opini dan data tidak lengkap. Goenawan juga mengungkapkan reporter Tempo diharapkan untuk terus mendapat berbagai pandangan dari beragam sumber dalam mencari kebenaran berita. Sebab menurutnya informasi yang sedikit dapat memicu perdebatan yang bisa menuai konflik di antara masyarakat yang multikultur seperti di Indonesia.

Dalam menjalankan praktik jurnalistiknya pada era Orde Baru, Tempo menggunakan strategi untuk tetap bisa bertahan di era pembredelan (Steele, 2005:87). Di beberapa kasus, wartawan Tempo menggunakan cara naratif untuk mempertanyakan kebijakan yang diungkapkan oleh pejabat. Semnetara itu mereka menggunakan norma jurnalistik yang menyatakan harus ―cover both sides‖ pada

(50)

setiap pemberitaannya. Dalam situsnya pula dijelaskan bahwa peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik serta jenaka. Walaupun sudah dua kali Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru. Sejak Soeharto lengser, orang-orang bekas Majalah Tempo yang tadinya tercerai berai akhirnya berkumpul kembali. Mereka kemudian memutuskan untuk menerbitkan majalah Tempo kembali. Hasilnya Majalah Tempo hadir kembali untuk mengusung nilai jurnalisme investigasi. Artinya, media ini berusaha untuk menyajikan kabar di balik berita dengan mengintip dan membongkar apa yang selama ini disembunyikan dari mata publik.

4.2 Gambaran tentang Buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965

Biografi tentang Sarwo Edhie ini sendiri diterbitkan pertama kali oleh Majalah Tempo pada 13 November 2011. Kemudian di bulan Juni 2012, Tempo menerbitkan kembali liputan khusus mengenai Sarwo Edhie dan Misteri 1965 dengan format buku pada bulan Juni 2012. April 2014, buku ini dicetak lagi oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Liputan Sarwo Edhie ini merupakan produk berita sejarah populer yang menarasikan tokoh Jenderal RPKAD saat pembantaian yang terjadi pasca Gerakan 30 September. Figur Jenderal Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo adalah figur kunci, posisi tentara sebagai mesin politik Orde Baru. Tempo berusaha membongkar sisi kehidupan mereka yang dibingkai dalam biografi tokoh militer.

(51)

Seri ini diterbitkan menggantikan seri ―Orang Kiri Indonesia‖ yang sudah terbit empat kali sejak 2007. Empat tokoh kiri sebelumnya yakni DN Aidit, Sjam Kamaruzaman, Njoto dan Musso cukup menggambarkan dinamika dan cerita di balik layar seputar peristiwaMadiun 1948 dan Gerakan 30 Septemberr 1965. Kini Tempo beralih pada babak berikutnya. Masa awal kemenangan TNI Angkatan Darat atas Partai Komunis Indonesia dan zaman ketika Orde Baru dimulai.

Sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie adalah dalang di balik gerak cepat pasukan khusus memukul basis-basis PKI di Jawa dan Bali. Dia ada di garis depan, melakukan dan menyaksikan sendiri pembantaian massal ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI.

Dia yang mengusulkan dan memimpin rekruitmen dan pelatihan pemuda sipil sebagai garda terdepan operasi penumpasan komunis. Operasi kilat yang melumpuhkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia kala itu. Pada masa itu Sarwo Edhie adalah musuh utama Partai Komunis. Dia menjadi tokoh sentral dalam peristiwa pemberangusan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan 30 September 1965. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut akan diteliti dalam narasi beritanya pada buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965 yang dibuat oleh Tempo ini.

(52)

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Berita 1

Bab : Jejak Berdarah Sang Pembasmi Sub Judul : Manuver Komandan Baret Merah

Plot

Dalam berita Manuver Komandan Baret Merah mempunyai tahapan struktur narasi yakni: gangguan  upaya memperbaiki gangguan. Tahap gangguan terjadi saat Sarwo Edhie diberitahu terjadi penculikan dan penembakan yang dialami oleh Ahmad Yani. Setelah mengetahui hal tersebut dari ajudannya Subardi, ia pun berusaha membantu mencari Jenderal Ahmad Yani lewat pasukan Resimen Para Komando Angkatan (RPKAD). Tahap gangguan terjadi lagi saat Letnan Kolonel Untung menyiarkan Gerakan 30 September di Radio Republik Indonesia (RRI) dan pembentukan Revolusi. Disimpulkan bahwa terjadi kudeta di tubuh angkatan darat yang diduga berkolaborasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Tahap upaya memperbaiki gangguan pun terjadi. Sarwo menghadap Soeharto untuk mencari bantuan. Soeharto akhirnya memerintahkan tentaranya untuk bergerak menyerbu RRI dan Kantor Telekomunikasi yang saat itu dikuasai oleh Pemuda Rakyat—organisasi kepemudaan Partai Komunis Indonesia. Kemenangan mudah berhasil diraih. Dua kantor komunikasi tersebut dapat diraih kembali di tangan Angkatan Darat Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto.

Gambar

Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu  Peneliti  Sepdian Anindyajati,  ilmu
Tabel 3.1Fungsi Narasi-Propp
Tabel 3.2 Karakter Dalam  Narasi Propp
Tabel 4.1 Plot Dalam Narasi Berita Manuver Komandan Baret Merah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Analisis dan Perancangan Sistem

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dapat disimpulkan bahwa penerapan metode Tebak Kata dapat meningkatkan keterampilan berbicara

Berdasarkan hasil pengujian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dapat tercapai akurasi sistem sebesar 100% memakai fungsi kernel Linear pada setiap situasi berdasarkan umur dengan

Pelaksanaan penelitian di kelas IV MI Salafiyah Kutukan Blora dengan siswa berjumlah 31, menggunakan angket motivasi yang telah divalidasi diperoleh hasil

Dari informasi di atas perlu dilakukan kembali penelitian pembanding tentang pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan benih ikan lele, tetapi dengan spesies yang berbeda

melaksanakan administrasi harta benda tetapi mempercayakannya kepada Bendahara. Administrasi harta benda Komunitas dilakukan oleh Bendahara Komunitas

Parameter keterhubungan (interrelationship) ranah sumber ‗kelapa yang sudak rusak‘ dengan ranah target ‗anak gadis yang sudah ternoda‘ dan parameter lingkungan

Hal ini sesuai dengan Soetrisno, 1997 dan Shiva, 1997 bahwa masyarakat miskin tidak akan mampu mengatasi kemiskinannya tanpa adanya kesadaran bahwa hanya dirinyalah yang