• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Sosial dan Kerabat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tanggung Jawab Sosial dan Kerabat"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB SOSIAL KERABAT

Kajian Terhadap Ayat-Ayat Kerabat Melalui Pendekatan Tafsir Mawdu‘i1

A. Pendahuluan

Penafsiran al-Qur’an secara mawdu‘i (tematik) akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian. Bukan saja karena syaratnya tidak seberat penafsiran secara tahlili (runtut), tetapi penafsiran secara mawdu‘i memberikan peluang kepada setiap orang yang menggeluti suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendekati al-Qur’an menurut disiplin ilmunya. Namun, ini tidak berarti bahwa tafsir mawdu‘i

lebih baik daripada tafsir-tafsir yang menggunakan metode lain. Bahkan suatu penafsiran mawdu‘i tanpa mengindahkan aturan mainnya dapat menimbulkan pemahaman yang parsial terhadap kandungan al-Qur’an.

Salah satu tema dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji melalui pendekatan tematis adalah persoalan kerabat. Tampaknya, ada dua alasan mengapa tema ini layak untuk ditela’ah lebih lanjut. Pertama, dari sisi al-Qur’an sendiri yang ditunjukkan dengan banyaknya ayat-ayat kerabat yang intinya berisi tentang kewajiban memelihara kekerabatan dan tanggung jawab sosial terhadap mereka.2 Kedua, dari sudut pandang kehidupan manusia secara luas.

Terkait dengan alasan kedua ini, kajian ilmu sosiologi dan antropologi menyatakan bahwa kerabat merupakan salah satu unsur sosial, dimana melalui

1Disampaikan dalam diskusi kelas Mata Kuliah Fiqh al-Qur’an pada Program Doktor PPs

IAIN Ar-Raniry Aceh, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Tgk. Daniel Djuned, MA.

2Sebagai informasi awal, terdapat 24 ayat dalam 20 surat al-Qur’an yang menyinggung

(2)

ikatan kekerabatan antar individu konsep “keluarga” terbentuk.3 Akan tetapi, nilai-nilai universal ini mulai luntur ketika sejarah manusia memasuki akhir abad ke-20. Tidak hanya di belahan Dunia Barat, bahkan di Dunia Timur (baca: Islam) mulai terjadi pergeseran makna keluarga yang ditandai dengan semakin menciutnya jumlah individu yang dapat dimasukkan dalam kategori “keluarga”.

Menurut analisis para sosiolog, hal ini diakibatkan oleh perkembangan industrialisasi yang menuntut adanya privatisasi keluarga sehingga berdampak pada kemandirian kehidupan masing-masing keluarga dan mengurangi hubungan antar keluarga itu sendiri.4 Agaknya, ini juga salah satu sebab mengapa pada masa sekarang kehidupan manusia semakin individualistik, tidak saling mengenal dan kehilangan nilai-nilai sosialnya.

Mencermati kondisi hubungan antar individu dan keluarga yang semakin lama semakin renggang, maka tidaklah bersifat apologis dan berlebihan jika dalam makalah ini akan dibahas salah satu konsep interaksi sosial (mu’amalah bayn al-nas) yang berangkat dari ajaran Islam sendiri, yaitu tentang Tanggung Jawab Sosial Kerabatdengan pendekatan tafsir tematik.

Sebagai gambaran awal, beberapa pertanyaan yang timbul berkenaan dengan topik ini adalah bagaimanakah bentuk tanggung jawab jawab sosial kerabat seperti yang digambarkan al-Qur’an; hal-hal apa saja yang menjadi kewajiban seseorang terhadap kerabatnya (atau hak kerabat), dan adakah titik persamaan ataupun titik perbedaan pada ayat-ayat kerabat yang turun sebelum Hijrah (Makkiyah) dengan ayat-ayat yang turun sesudahnya (Madaniyah). Untuk lebih terarah, bahasan berikut

3Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, terj., (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 338

(3)

ini akan menempuh tata kerja sebagai berikut: 1. pengertian kerabat, 2. ayat-ayat tentang kerabat, dan 3. penafsiran tematis ayat-ayat kerabat.

B. Pengertian Kerabat

Istilah kerabat adalah kata serapan dari Bahasa Arab; al-qarabah, yang merupakan salah satu bentuk masdar dari fi‘il

برق

. Secara bahasa, kata qaraba bermakna

ان د

(dekat atau di bawah). Lawannya adalah

دع ب

(jauh).5 Menurut al-Raghib al-Asfahani, lafal q-r-b dalam berbagai bentuknya digunakan untuk kedekatan tempat, waktu, dan hubungan; baik menyangkut kedudukan, pemeliharaan, maupun kekuasaan. Semua makna ini dapat dijumpai contoh-contohnya di dalam al-Qur’an, seperti yang menyangkut tempat QS. al-Tawbah: 28; waktu QS. al-Anbiya’: 97; kedudukan: QS. al-Nisa’: 172, pemeliharaan QS. al-Baqarah: 186, dan bermakna kekuasaan (pengetahuan) QS. Qaf: 16.6

Adapun kata al-qarabah, seperti dijelaskan Ibn Manzur bermakna kedekatan hubungan karena seketurunan (

بسنلا ىف وندلا

). Ia juga menjelaskan bahwa istilah lain yang semakna adalah qurb, qurba, maqrabah, maqrubah, qurbah, qurubah, dan aqrab.7 Sementara dalam Bahasa Inggris, agaknya istilah yang dapat dipadankan dengan kata kerabat adalah family. Boleh jadi, atas dasar ini pula kerabat terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna “keluarga” dan diartikan

5Abu Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid I,

(Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal. 662

6Al-Raghib al-Isfahani, Mu‘jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal.

414

(4)

dengan: 1) dekat (pertalian keluarga); sedarah daging, 2) keluarga; sanak saudara, 3) keturunan, dari induk yang sama.8

Berbeda dengan tinjauan ilmu-ilmu sosial modern (sosiologi, antropologi, dan ilmu hukum) yang memaknakan kerabat dengan hubungan yang terjadi karena faktor seketurunan (hubungan darah) dan perkawinan,9 dalam perspektif al-Qur’an pembicaraan tentang kerabat – agaknya - lebih mengacu kepada hubungan darah semata. Argumentasi ini dapat dirujuk pada istilah-istilah yang dipergunakan al-Qur’an ketika membicarakan persoalan tersebut. Menurut penelusuran penulis, ada dua istilah yang dipergunakan al-Qur’an yang bermakna kerabat, yaitu: Pertama, kata-kata yang merupakan bentukan (musytaq) dari fi‘il qaraba berupa lafal al-qurba, al-aqrab (dalam bentuk jama‘; al-aqrabun dan al-aqrabin), dan maqrabah. Kedua, kata ulu al-arham.10

Dalam memahami istilah yang pertama, tampaknya ada dua pemahaman yang diberikan mufassirun. Untuk penggunaan kata al-qurba, al-aqrabun, dan al-aqrabin, mereka sepakat mengartikannya dengan kerabat karena pertalian darah. Perbedaan baru terjadi dalam menafsirkan kata maqrabah, seperti dijumpai dalam QS. Al-Balad: 15. Tidak seperti umumnya ulama tafsir (klasik dan modern) yang memahaminya dengan kerabat (dekat) karena keturunan semata, disini Quraish Shihab cenderung memahami kata ini dalam pengertian yang tidak terbatas. Maksudnya, ia menafsirkan kata maqrabah yang hanya sekali terdapat dalam

al-8Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, t.th.), hal. 423

9Tidak hanya dalam kajian ilmu sosiologi, pemaknaan seperti ini juga menjadi asas dalam

ilmu hukum, terutama ketika membahas tentang hukum perorangan sub kajian hukum keluarga. Lihat: Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal. 93

10Rincian terhadap kedua kelompok ayat tersebut, dapat dilihat pada halaman 8–10 dari

(5)

Qur’an dengan segala macam “kedekatan”, yang dapat ditampung oleh makna kata “dekat” tersebut.11

Perbedaan penafsiran seperti di atas, tidak terjadi ketika ulama tafsir memaknai penggunaan kata ulu al-arham. Disini, seperti dijelaskan oleh Quraish Shihab, ulu al-arham pada ayat di atas bermakna hubungan kerabat (satu rumpun keluarga).12 Komentar yang sama diberikan oleh al-Tabatabai yang menyatakan makna kerabat di dalam al-Qur’an mengacu kepada orang-orang yang mempunyai kedekatan karena seketurunan (ماحرلا نم ةبارقلا بحاص وه ىبرقلاوذ ).13 Demikian halnya dengan beberapa mufassirun yang menjadi rujukan dalam penulisan makalah ini, seperti Ibn Kathir,14 al-Baghawi,15 dan Wahbah al-Zuhayli.16

Mencermati perbedaan penafsiran dalam memahami ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah yang bermakna kerabat, penulis sendiri beranggapan bahwa perbedaan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan analisis sosiologis masyarakat Arab pra Islam. Seperti diketahui, menjelang kedatangan Islam, Arabia merupakan wilayah terpencil dibandingkan wilayah-wilayah lainnya di Timur Tengah. Jika negara-negara ini umumnya terdiri atas masyarakat yang menetap dan

11M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), hal. 817-818

12Ibid., Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 455

13Muhammad Husayn al-Tabataba‘i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid XVI, (Beirut:

Mu’assasah al-A‘lami, 1991), hal. 190

14Abu al-Fida’ Isma‘il ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid IV, (Kairo: Maktabah

Misr, t.th.), hal. 514. Ia juga menjelaskan bahwa pendapat ini dipilih oleh Ibn ‘Abbas, ‘Ikrimah, Hasan, Dahhak, dan Sadi. Pendapat ini didasarkan atas sebuah hadis riwayat Ahmad, al-Turmudhi, dan al-Nasa’i yang berbunyi:

(6)

mengembangkan agrikultur, maka Arabia bertahan sebagai negeri yang hidup sebagai penggembala dan berpindah-pindah.(nomad). Untuk mempertahankan diri dari gangguan suku-suku lain yang kerap berakhir dengan peperangan, masyarakat Arab mengembangkan suatu model kehidupan yang didasarkan atas kesamaan klan yang terbentuk dari ratusan kabilah, dalam ikatan kelompok kekerabatan yang sangat kuat dan didasarkan atas sistem patriarkal. Seluruh kesetiaan terserap oleh kelompok yang bertindak sebagai sebuah kolektivitas untuk mempertahankan individu warganya dan untuk menghadapi tanggung jawab bersama. Sebagai konsekuensi solidaritas kelompok, yang disebut dengan ‘asabiyah, masyarakat Arab menganggap diri mereka merdeka tidak terikat dengan satu kekuatanpun yang berkuasa pada masa itu.17

Di samping perasaan bebas, konsekuensi lain yang timbul akibat prinsip kesetiaan ini adalah timbulnya rasa solidaritas yang tinggi terhadap kelompok dan penghormatan serta kebanggaan yang didasarkan atas senioritas. Akibat dari munculnya dua sifat ini, maka tanggung jawab (hak dan kewajiban) terhadap keluarga seringkali terabaikan. Prinsip kesetia-kawanan dan senioritas ini terlihat dari tidak dikenalnya nilai tanggung jawab (hak dan kewajiban) keluarga, seperti dalam masalah pewarisan. Menurut penelitian David S. Powers, sistem pewarisan Arab pra Islam tidak didasarkan atas hubungan darah (keturunan), tetapi lebih didasarkan pada prinsip penghormatan terhadap senioritas.18 Sistem pewarisan seperti ini bertahan dan tetap dipraktekkan oleh masyarakat Islam awal hingga Nabi

17Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II, terj. (Jakarta: Rajawali Press,

1999), hal. 15-19.

(7)

hijrah ke Madinah dan menerima wahyu (QS. Al-Ahzab: 6) yang merubah sistem tersebut menjadi atas dasar keturunan.19

Berdasarkan analisis sosiologis terhadap adat masyarakat Arab pra Islam, dapat ditegaskan bahwa turunnya ayat-ayat yang terkait dengan masalah kerabat (terutama masalah warisan) adalah untuk merubah nilai-nilai yang mereka anut sebelumnya. Atas dasar ini, maka lebih tepat apabila dikatakan bahwa pada dasarnya semua kata yang bermakna kerabat dalam setiap ayat al-Qur’an mengacu pada pemaknaan dalam arti seketurunan. Bukankah tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabat lebih pantas dialamtkan kepada orang-orang yang memiliki “sesuatu” yang menjadikan mereka dekat. Agaknya karena ingin merubah nilai-nilai jahiliyyah tersebut, maka pada ayat-ayat kewarisan yang umumnya turun di Madinah, Allah memberi rincian siapa saja dari kaum kerabat sedarah tersebut yang berhak mendapat warisan dari kerabatnya yang meninggal.

C. Penafsiran Tematis Ayat-Ayat Kerabat

1. Informasi Awal Ayat-Ayat Kerabat

Berdasarkan tela’ah terhadap Kitab Lisan al-‘Arab –seperti tampak pada halaman 3- diketahui bahwa terdapat banyak istilah yang dapat dipakai untuk pemaknaan kerabat. Setelah dilakukan penelusuran dengan berpedoman kepada al-Mu‘jam al-Mufahras, diperoleh informasi bahwa dari berbagai istilah tersebut, hanya ada empat kata yang dipergunakan al-Qur’an, yaitu: al-qurba, al-aqrab

19Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’i‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,

(Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), hal. 255-256. QS. al-Ahzab: 6 tersebut berbunyi:

(8)

(dalam bentuk jama‘; al-aqrabun dan al-aqrabin), maqrabah, dan ulu al-arham.

Jumlah: 26 kali, 24 ayat, 20 surat20

Berikut informasi tentang masing-masing ayat sesuai dengan pengelompok-kan yang didasarpengelompok-kan atas ayat Makkiyah dan Madaniyah dan disusun menurut tertib ayat dalam mushaf:

(9)
(10)

17 mempunyai korelasi dengan pemahaman terhadap ayat-ayat yang diteliti. Kata-kata ini menjadi penting karena disebutkan beriringan ketika Allah membicarakan persoalan kerabat di dalam al-Qur’an. Menurut hemat penulis, kata-kata yang terkait langsung dengan masalah tanggung jawab sosial terhadap mereka antara lain: al-birr (QS. al-Baqarah: 177), al-ihsan (QS. al-Baqarah: 83; al-Nisa’: 36), al-khayr (QS. al-Baqarah: 180 dan 215), al-ita’ (QS. al-Nahl: 90; al-Isra’: 26, dan al-Rum: 38), dan al-haqq (QS. al-Isra’: 26; al-Rum: 38).

Kata al-birr adalah pecahan dari kata al-barr (daratan) dan lawannya adalah al-bahr (lautan). Kata ini menggambarkan makna keluasan (al-tawassu‘) yang terdapat di dalamnya, karena itulah ia dipakai untuk segala isim jami‘ bagi setiap perbuatan-perbuatan baik.21 Menurut Ibn Manzur, secara bahasa al-birr bermakna kebenaran dan ketaatan (al-sidq wa al-ta‘at) dan dengan mengutip pendapat Abu

21Muhammad Sayyid al-Tantawi, al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, jilid I, (Beirut:

Dar al-Ma‘arif, t.th.), hal. 359. Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid II, hal. 93; al-Tabataba‘i,

(11)

Mansur, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah kebaikan di dunia dan di akhirat (ةرخلا و ايندلا ريخ ). Dimaksudkan dengan kebaikan di dunia adalah segala yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya berupa petunjuk, nikmat, dan kebaikan-kebaikan, sedangkan kebaikan di akhirat berupa kemenangan yang kekal di dalam surga.22

Penelusuran terhadap makna al-birr dalam konteks istilah syara‘ menunjukkan bahwa para ahli tafsir sepakat memaknakannya sebagai segala sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk ber-taqarrub kepada Allah, yakni berupa keimanan, amal saleh, dan akhlak mulia.23 Atau dalam bahasa yang lebih singkat, seperti dijelaskan oleh Nashir Makarim Syairazi, kata al-birr dipakai untuk menerangkan tentang macam-macam al-ihsan.24

Adapun Ihsan adalah antonim dari kata al-isa’ah dan diterjemahkan dengan makna kebajikan sebagai lawan dari kejahatan. Menurut al-Raghib al-Asfahani, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, kata ihsan digunakan untuk dua hal; pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu, kata ihsan lebih luas dari sekedar “memberi nikmat atau nafkah”. Makna kata ini juga lebih tinggi dan lebih dalam dari kandungan makna ‘adl, karena adil adalah “memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap anda”, sedang ihsan “memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap anda”.25

22 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid 4, hal. 51-52

23al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 2, terj. Hal. 91; al-Tantawi, al-Tafsir al-Wasit, jilid 1,

hal. 359; al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid 2, hal. 93

24Nashir Makarim Syairazi, Tafsir al-Amtsal, terj. (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, t.th.), hal.

470

(12)

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ihsan adalah puncak dari kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba, sifat perilaku ini tercapai saat seseorang memandang dirinya pada diri orang lain sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk dirinya sendiri, sedangkan ihsan terhadap Allah adalah berupa leburnya diri seorang hamba sehingga dia hanya “melihat” Allah. Atau dengan kata lain, seorang hamba disebut muhsin apabila mampu melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah.26

Kata al-khayr (kebaikan) merupakan kebalikan dari al-syarr (keburukan) dan secara bahasa bermaknaلضفلا (keutamaan).27 Tampaknya dari makna literal ini,

al-Tantawi mengartikan al-khayr sebagai hal-hal yang terdapat didalamnya kebaikan bagi manusia; baik yang berhubungan dengan agama ataupun dunia (حلص هيف ام

سان لل

)

ىوي ند وأ ىن يد .28 Salah satu makna yang dapat diberikan terhadap kata ini adalah harta (al-mal), seperti terdapat dalam QS. al-Baqarah: 180 dan 215.29 Kajian tematis terhadap ayat-ayat kerabat –khususnya yang berkenaan dengan masalah warisan dan wasiat, sangat mendukung pemaknaan lafal al-khayr dengan arti harta terutama jika dibandingkan dengan lafal-lafal yang terdapat pada ayat-ayat semakna, seperti lafal nasib pada QS. al-Nisa’: 7 dan al-qismah dalam QS. al-Nisa’: 8. Penggunaan kata ini – menurut Quraish Shihab - dalam kaitannya dengan harta yang

26Ibid.

27Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jilid 4, hal. 264-265

28Al-Tantawi, Tafsir al-Wasit, jilid 2, hal. 201

29Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 1, , hal. 251; al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, jilid I,

(13)

diberikan terhadap kerabat memberi isyarat bahwa harta yang dinafkahkan itu hendaklah sesuatu yang baik, yakni halal serta digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, yakni bermanfaat.30

Adapun kata ita’ yang umumnya diterjemahkan dengan arti “pemberian”, pada mulanya berarti kedatangan yang mudah. Selanjutnya, kata ini mengalami perluasan arti dan diterjemahkan dengan makna istiqamah (bersikap jujur dan konsisten), cepat, pelaksanaan secara amat sempurna, mengantar dan memudahkan jalan. Dari makna-makna tersebut, dapat dipahami apa sebenarnya yang dikandung oleh kata ita’ ; yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemberi dan bagaimana seyogyanya sikap kejiwaannya ketika memberi.31

Terkait dengan penggunaan kata ita’ (ءاتيإ) di dalam al-Qur’an adalah mengapa kata ini yang selalu disebutkan sebagai pengiring ungkapan ayat tentang pemberian hak-hak kerabat dan bukan kata i‘ta’ (ءاطعإ), padahal keduanya mempunyai makna yang sama yaitu memberikan. Menurut al-Zarkasyi –yang mengutip penjelasan al-Juwayni-, kedua kata ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Lafal ityan lebih kuat dari i‘ta’ dari segi tetapnya perbuatan (نايتلا نأ هلوعفم تابثإ يف ءاطعلا نم ىوقأ). Ini dikarenakan makna kata yang kedua menuntut adanya balasan dari pihak yang diberi karena adanya unsur mutawa‘ah di dalamnya, sedangkan kata pertama tidak demikian.32 Rahasia lain dari penggunaan kata ita adalah kata ini bermakan pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materi tetapi juga immateri, seperti

30M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 1, hal. 429

31Ibid., jilid 7, hal. 326

32Badr al-Din Muhammad ibn ‘Ubaydillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid

(14)

ditemukan pada ayat lain yang secara tegas menggunakan kata tersebut dalam konteks pemberian hikmah (QS. Al-Baqarah: 269).33 Pemahaman seperti ini juga ditemukan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang tanggung jawab sosial kerabat seperti akan diuraikan pada bahasan berikutnya.

Kata kunci terakhir yang berhubungan dengan persoalan tanggung jawab kerabat adalah al-haqq. Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa kata ini merupakan lawan kata al-batil,34 sedangkan pemakaiannya pada ayat-ayat kerabat diartikan sebagai kebaikan dan hubungan silaturrahmi.35

3. Pemahaman Ayat

Pertanyaan yang mungkin timbul di benak kita adalah mengapa al-Qur’an cukup intens membicarakan persoalan kerabat, yang ditunjukkan dengan banyaknya ayat-ayat yang menguraikan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial terhadapnya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, boleh jadi uraian yang diberikan Fazlur Rahman tentang konsep masyarakat Islam dapat menjawab pertanyaan di atas. Ketika menjelaskan hubungan manusia sebagai anggota masyarakat, ia menyatakan:

Tidak dapat diragukan lagi bahwa tujuan utama al-Qur’an adalah menegakkan sebuah tata masyarakat yang adil berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi ini. Apakah individu yang lebih penting sedang masyarakat adalah instrumen yang diperlukan di dalam penciptaannya atau sebaliknya, itu hanya merupakan sebuah masalah akademis karena tampaknya individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Tidak ada individu yang hidup tanpa masyarakat… Tujuan penegakan sebuah tata masyarakat yang etis dan egalitarian ini terlihat di dalam celaan al-Qur’an terhadap disekuilibrum ekonomi dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakat Mekkah pada waktu itu…. Pada level sosial politik, al-Qur’an ingin menguatkan unit kekeluargaan paling dasar

33M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 7, hal. 451

34Ibn Manzur, Lisan al’Arab, jilid X, hal. 49

35Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid III, hal. 449; al-Maraghi, Tafsir, terj., jilid XXI,

(15)

yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan kakek-nenek; dan masyarakat muslim yang lebih besar dengan meniadakan rasa kesukuan. Ikatan kemasyarakatan dapat kita temukan dalam semua halaman al-Qur’an, terutama sekali di dalam surah-surah madaniyah. Semua kaum muslimin dinyatakan “bersaudara” (49:10), dan bersama-sama mereka tak dapat digoyahkan “sebagai bangunan yang kokoh” (61:4). Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat muslim berdiri karena ideologi Islam.36

Senada dengan pendapat di atas, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah: 83 yang merupakan ayat pertama di dalam mushaf yang memuat kata kerabat (ىبرقلا ىذ (, al-Maraghi menjelaskan:

Suatu umat atau bangsa pada hakekatnya merupakan kumpulan dari berbagai rumah tangga-rumah tangga dan keluarga. Jadi kebaikan suatu bangsa bertumpu pada kebaikan rumah tangga-rumah tangga tersebut. Sebaliknya, rusaknya suatu bangsa adalah akibat rusaknya rumah tangga-rumah tangga tersebut. Barang siapa memutuskan hubungan kekeluargaan, maka ia tidak akan merasakan apa yang layaknya dirasakan oleh suatu bangsa. Secara fitri (naluriah) ikatan kekeluargaan adalah suatu ikatan yang paling kuat. Dan agama-pun menunjang ikatan ini dengan memerintahkan kepada manusia agar mempererat tali silaturrahmi dengan cara mendahulukan hak sesuai dengan jauh dekatnya pertalian kekeluargaan. Berbuat baik terhadap sanak famili akan mempererat tali persaudaraan dengan mereka.37

Dari dua argumentasi di atas, dapat dilihat mengapa al-Qur’an sangat memberikan perhatian terhadap persoalan kerabat. Hal ini tidak lain karena kerabat merupakan salah satu unsur pembentuk masyarakat, dimana hubungan yang baik akan memperkuat hubungan antar rumpun keluarga, dan pada akhirnya akan memperkuat struktur masyarakat Islam. Sebaliknya, hubungan yang buruk karena terputusnya tali silaturrahmi antar keluarga (kerabat) akan berdampak pada rusaknya tatanan masyarakat yang dicita-citakan Islam terwujudnya.

Sementara itu, hubungan sosial yang baik antar kerabat hanya dapat terwujud apabila seseorang telah menunaikan hak-hak kerabat yang ada pada dirinya (atau

36Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj., (Bandung: Pustaka, 1996), hal. 54-55, 61-62

(16)

menjadi kewajiban bagi dirinya). Terkait dengan penunaian hak-hak ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa adanya hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan “paksaan” kepada yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dari lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya. Dalam konteks inilah, al-Qur’an menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota masyarakatnya.38 Dengan kata lain, setiap individu mempunyai tanggung jawab sosial terhadap kerabatnya dan bentuk tanggung jawab tersebut adalah memberikan bantuan ketika mereka membutuhkannya.

Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Sosial Kerabat

Untuk mengetahui secara utuh bagaimana bentuk tanggung jawab sosial terhadap kaum kerabat, menurut hemat penulis, agaknya ayat yang tepat dijadikan sebagai pijakan awal adalah QS. al-Rum: 38 (Makkiyah) dan QS. al-Isra’: 26 (Madaniyyah)yang berisi perintah untuk memberikan hak-hak kerabat.

Berangkat dari makna kata ’ata yang terdapat pada hampir semua ayat-ayat kerabat, dapat dikatakan bahwa secara garis besar bentuk tanggung jawab sosial yang digambarkan al-Qur’an terdiri atas tiga bentuk:

1. Tanggung jawab nafkah.

2. Tanggung jawab nasehat dan bimbingan. 3. Tanggung jawab pewarisan (dan atau wasiat).

(17)

Bentuk tanggung jawab yang pertama didasarkan pada QS. al-Baqarah: 215 yang menjelaskan adanya tanggung jawab nafkah terhadap kerabat. Ayat ini menerangkan bahwa seseorang harus menunjukkan kepeduliannya terhadap kerabatnya, terutama jika kerabatnya tersebut hidup dalam kekurangan. Adapun yang menjadi sabab nuzul dari ayat utama ini adalah sebagai jawaban dari pertanyaan ‘Amr ibn al-Jamuh - seorang sahabat Nabi yang memiliki kekayaan yang banyak. Inti dari pertanyaannya sendiri adalah apa yang harus disedekahkan dan kepada siapa sedekah tersebut harus diberikan.39 Menurut penulis, ayat ini dan ayat-ayat lain yang semakna (terutama ayat-ayat madaniyyah) merupakan penegasan dan rincian dari QS. al-Nahl: 90 yang diturunkan di Makkah, walaupun pada ayat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit bentuk pemberian kepada kerabat.

Tanggung jawab kedua diperoleh dari pemahaman terhadap QS. al-Syu‘ara’: 214 yang diturunkan di Makkah. Menurut Ibn Asyur - seperti dikutip oleh Quraish Shihab - pada prinsipnya diturunkan khusus kepada Rasulullah. Tetapi, lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan, secara umum ayat ini mengajarkan kepada Rasul dan umatnya agar tidak mengenal pilih kasih atau memberi kemudahan kepada keluarga (kerabat) dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti Nabi dan keluarga beliau tidak kenal hukum, tidak juga bebas dari kewajiban.40 Agaknya, makna nadhir yang terkandung pada ayat inilah yang kemudian ditegaskan Allah dalam ayat-ayat madaniyyah seperti QS. al-Nisa’: 135 yang juga menyinggung masalah tanggung jawab bimbingan ini, sebagai bentuk pemberian immateri terhadap kerabat.

39Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, t.th.), hal. 69

40M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid X, hal. 150, 152. Pemaknaan seperti ini juga

(18)

Adapun bantuk tanggung jawab yang ketiga, penulis pahami dari QS. al-Baqarah: 177, al-Nisa: 7-8, dan 33. Seperti telah dijelaskan ketika menganalisis pengertian kata kerabat secara sosiologis dan tinjauan terhadap makna lafal al-khayr, tujuan pelaksanaan warisan dan wasiat yang didasarkan atas kerabat nasab adalah untuk merubah adat Arab jahiliyyah. Di samping itu, adanya tanggung jawab ini juga untuk mengingatkan kepada setiap muslim agar dapat meninggalkan bekal yang cukup bagi keluarga dan kerabatnya sehingga tidak menjadikan mereka sebagai beban bagi masyarakat sepeninggal dirinya.

Menarik untuk didiskusikan lebih lanjut dari bentuk ketiga tanggung jawab sosial kerabat ini adalah timbulnya pro – kontra dalam memandang apakah telah terjadi naskh pada QS. al-Baqarah: 180 yang mewajibkan adanya wasiat terhadap kerabat?

Mencermati pertentangan yang terjadi di seputar masalah ini, Wahbah al-Zuhayli menjelaskan adanya tiga pendapat yang berkembang. Pertama, Pandangan yang dikemukakan oleh Ibn ‘Abbas, al-Hasan al-Basri, Tawus, Masruq, dan

al-Tabari yang menyatakan bahwa yang di-naskholeh ayat-ayat mawarith adalah wasiat untuk orang tua dan kerabat yang mendapat warisan, sementara meninggalkan wasiat untuk para kerabat yang tidak termasuk dalam ahli waris masih tetap berlaku. Pandangan ini didasarkan atas keumuman ayat yang menjadikan wasiat wajibah diperuntukkan bagi para ahli waris dan non ahli waris. Atas dasar ini, dalam penilaian ulama muta’akhirin, apa yang dikemukakan oleh kelompok pertama tidak tepat dikatakan sebagai naskh tetapi berupa takhsis bagi keumuman ayat.

(19)

mawarith, tanpa memandang hak kerabat yang menjadi ahli waris ataupun bukan. Dalil lain yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini adalah hadis riwayat al-Syafi‘i:

" . .

ل لجرل اوناك نيكلمم ةتس ىف مكح م ص لا لوسر نأ هنع لا ىضر نيصح نب نارمع نع

.ةعبرأ قرأو نينثإ قتعأف ءازجأ ثلث م ص ىبنلا مهأزجف توملا دنع مهقتعأف مهريغ هل لام , . . , ,

Ketiga, pendapat yang dikemukakan oleh al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, dari Abu Muslim al-Asfahani bahwa semua kandungan ayat ini masih berlaku (muhkam) karena ayat-ayat mawarith yang diklaim sebagai nasikh, sebenarnya berfungsi sebagai mufassir (penjelas) semata bagi keumumannya. Wahbah al-Zuhayli sendiri tampaknya cenderung memilih pendapat pertama yang menyatakan bahwa ayat-ayat mawarith hanya berfungsi sebagai takhsis bagi ayat wasiat ini, bukan sebagai naskh seperti yang dikemukakan oleh pendapat kedua.41

Sehubungan dengan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial kerabat di atas, disini penulis mencoba membuat suatu ilustrasi terhadap pelaksanaannya jika dikaitkan dengan pemahaman secara utuh (tematis) dan integral pada ayat-ayat kerabat lainnya, seperti uraian berikut ini:

Para ulama tafsir menyebutkan bahwa hak kerabat yang disinggung dalam al-Qur’an adalah silaturrahmi dan berbuat baik. Jika makna berbuat baik terhadap kerabat ini dipertegas, maka bentuk kebaikan tersebut dapat berupa memberikan bantuan nafkah (QS. al-Baqarah: 215), bimbingan (QS. al-Syu‘ara’: 214) baik dalam bentuk nasehat, teguran ataupun menegakkan keadilan (al-qist dan al-‘adl)

terhadap mereka (QS. al-Nisa’: 135 dan QS. al-An‘am: 152), dan yang terakhir berupa warisan atau wasiat. Pemberian nafkah ini sendiri, seperti dijelaskan oleh

(20)

Quraish Shihab, mencakup sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi yang memerlukan), mengawinkan anak bila saatnya tiba, serta belanja istri dan siap saja yang menjadi tanggungannya.42 Tentu saja, nafkah tersebut harus berupa al-khayr (sesuatu yang baik), yaitu harta yang diperoleh dari usaha yang halal serta digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, yakni bermanfaat (QS. al-Baqarah: 215).

Penafsiran kata al-haqq seperti uraian di atas sejalan dengan makna kata ihsan yang juga terdapat dalam ayat-ayat kerabat. Disini, seolah-olah Allah hendak menegaskan bahwa penunaian hak-hak kerabat tersebut harus dilakukan secara ihsan (QS. al-Nahl: 90), tidak dilakukan karena terpaksa ataupun secara kasar yang dapat menyebabkan ketersinggungan pihak (kerabat) yang diberi, terutama ketika memberikan bantuan materiil terhadap mereka.

Sebagai penutup dari persoalan tanggung jawab sosial kerabat ini, Allah menjelaskan bahwa penunaian hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam kategori al-birr dan disejajarkan dengan berbagai asas-asas al-birr lainnya, seperti keimanan kepada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Ia juga dipandang setaraf dengan kewajiban shalat, membayar zakat, menepati janji, serta sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan (QS. al-Baqarah: 177).

Inilah bentuk-bentuk tanggung jawab sosial terhadap kerabat, seperti yang digambarkan oleh rangkaian ayat-ayat al-Qur’an yang memuat persoalan ini. Jika perhatian selanjutnya diarahkan kepada kelompok ayat-ayat Makkiyah dan kelompok ayat-ayat Madaniyah yang menyinggungnya, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang prinsipil antara keduanya. Ayat-ayat madaniyah

(21)

hanya mempertegas dan menguraikan lebih lanjut apa yang telah dinyatakan Allah dalam ayat-ayat Makkiyah.

D. Kesimpulan

Penelitian terhadap ayat-ayat kerabat dalam al-Qur’an memberikan suatu gambaran tegas bahwa yang dimaksudkan dengan kerabat adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah semata (nasab), bukan karena sebab perkawinan seperti yang dijumpai dalam teori ilmu-ilmu sosial modern. Pemaknaan seperti ini didukung oleh analisis sosiologis terhadap masyarakat Arab pra Islam yang menunjukkan turunnya jumlah ayat-ayat ini bertujuan untuk merubah adat Arab Jahiliyyah yang mengabaikan penunaian hak dan kewajiban tersebut karena lebih meletakkan prinsip kesetiaan dan senioritas terhadap anggota suku (solidaritas kelompok) daripada tanggung jawab sosial terhadap kerabat sedarah.

Sementara itu, pemahaman secara tematis yang dilakukan, terutama dengan meneliti penggunaan lafal ‘ata yang bermakna pemberian materi dan immateri, mengindikasikan adanya tiga bentuk tanggung jawab sosial kerabat, yaitu: Pertama, tanggung jawab nafkah, yang didasarkan atas QS al-Isra’: 26 dan al-Rum: 38. Kedua, tanggung jawab bimbingan dan nasehat (pengajaran), seperti dijumpai dalam QS. Al-Syu‘ara’: 214 dan dirinci lebih lanjut dalam beberapa ayat madaniyyah, dan Ketiga, tanggung jawab pewarisan, dimana ayat utama pada aspek ini adalah QS. Al-Baqarah: 180, 215 dan QS. Al-Nisa’: 7-8, 23

(22)

tidak heran apabila Allah menegaskan bahwa pelaksanaan nilai-nilai ini merupakan salah satu bentuk dari kebajikan yang utama (al-birr), dimana kebajikan tersebut adalah bahagian dari fondasi iman kepada-Nya.

Daftar Pustaka

Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas‘ud al-Farra’, Ma‘alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Ta’wil, jilid V, Beirut: Dar al-Fikr, 1985

Al-Baqi, Muhammad Fu‘ad ‘Abd, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1987

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, terj. Semarang: Toha Putra, 1992

Al-Tabataba’i, Muhammad Husayn, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasah al-A‘lami, 1991

Al-Tantawi, Muhammad Sayyid, al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ma‘arif, t.th

Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn ‘Ubaydillah, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1988

Al-Zuhayli, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991

David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance, California: UCLA Press, 1989

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, t.th.

Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj., Bandung: Pustaka, 1996

Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Isma‘il, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Kairo: Maktabah Misr, t.th.

Ibn Manzur, Abu Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram, Lisan al-‘Arab, jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II, terj. Jakarta: Rajawali Press, 1999 Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, terj., Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2000

Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’i‘ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997

(23)

Quraish Shihab, M., Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997

__________, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996

__________, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000

TANGGUNG JAWAB SOSIAL KERABAT

Kajian Terhadap Ayat-Ayat Kerabat Melalui Pendekatan Tafsir Mawdu‘I

Makalah (Revisi)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Fiqh Al-Qur’an Program Doktor (S3)

Konsentrasi Fiqh Modern

Oleh:

Hedhri Nadhiran

Nim. 15030575-3

Pengasuh:

(24)

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) AR-RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH

Referensi

Dokumen terkait

Berikut merupakan skenario use case Melihat Data Pertumbuhan Anak yang ditunjukan oleh tabel 3.12 Skenario Use Case Melihat Data Pertumbuhan Anak. Tabel 3.12

Untuk menjawab persoalan tersebut maka pembahasan diawali dengan pengertian dan ciri-ciri dari ilmu, sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan, ilmu dan masyarakat,

Amerika Serikat merupakan salah satu negara importir besar produk Refined Palm Oil (RPO) dan impornya terus mengalami peningkatan dengan laju sebesar 21,25%/tahun karena

Setelah diperoleh total lama computer menyala lalu dengan mengalikannya dengan jumlah karbon yang dilepaskan akan diperoleh total emisi CO 2 yang dihasilkan

Sosialisasi ke koalisi perempuan indonesia (KPI), Pada segmen pemilih perempuan, KIP bekerjasama melakukan sosialisasi ke KPI Aceh, sehingga dari pihak KPI

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahri (2018) [13] yang dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh

Minumn keras juga memiliki dampak terhadap keluarga dimana keutuhan keluarga bisa hancur akibat minuman keras hal ini di sebabkan oleh adanya keluarga yang

Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan