Pandangan Ibnu Khaldun Mengenai Filsafat Sejarah
Tugas Filsafat Sejarah
Yunia Sarah
Bp. 1110712022
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
Pandangan Ibnu Khaldun Mengenai Filsafat Sejarah
A. Riwayat Hidup Ibnu Khaldun dan Karyanya
Abdurrahman bin Khaldun Al-Hadlrami atau lebih populer dikalangan intelektual
dengan sebutan Ibnu Khaldun lahir pada tanggal 27 mei 1332 di Tunisia dan berasal dari
suatu keluarga keturunan Hadratulmaut, turun temurun dari keluarga Ibnu Khaldun
merupakan pemeluk islam yang taat dan soleh dan silsilahnya sampai pada seorang
sahabatnya Nabi Muhammad SAW, yang bernama Wail bin Hujr dari Kabilah Kindah.
Dengan bentuk keluarga yang telah islami sejak turun temurun itulah yang mendukung ke
arah terbentuknya pribadi Ibnu Khaldun. Nilai-nilai keagamaan telah ditanamakan sejak kecil
pada diri Ibnu Khaldun oleh ayahnya. Bentuk pengenalan awal dari pelajaran agama seperti
bacaan-bacaan al-Quran, serta praktek-praktek keagaman seperti salat dan puasa. Sehingga
sewaktu kecil, Ibnu Khaldun telah dapat menghafal al-Quran dan mempelajari tajwid. Beliau
juga mempelajari ilmu-ilmu lain seperti Tafsir, Hadis, Ushul Fiqh, Tauhid, dan Fiqh Mazhab
Maliki. Selain itu beliau juga mempelajari ilmu-ilmu bahasa, fisiska, dan matematika.1
Meningkat dewasa, Ibnu Khaldun lebih mendalami pelajaran keagaman sampai
kemudian menjadi ahlinya. Berbagai bentuk ajaran Islam seperti hukum Islam, masyarakat
Islam, Hadist, dan pendalaman pembahasan al-Quran itu sendiri tidak luput dari perhatian
Ibnu Khaldun. Kesempatan belajar ini memungkinkan disebabkan masa kehidupan Ibnu
Khaldun ketika Islam sedang mengalami kekacauan politik sehingga banyak guru terbaik dari
Andalusia mengungsi ke Tunisia dan mengajar disana, hal ini membawa keuntungan bagi
Ibnu Khaldun.
1
Ibnu Khaldun secara tekun belajar berbagai persoalan keagamaan dan keilmuan di
Andalusia. Pelajaran sastra dan keagamaan merupakan pelajaran yang sangat disukai oleh
Ibnu Khaldun. Guru-guru utama dari Ibnu khaldun merupakan sastrawan dan pujangga besar
serta Ulama dari Andalusia. Secara langsung beliau pernah belajar sastra dan keagamaan ke
Andalusia. Namun ketika terjadi kekacauan politik di Andalusia, maka banyak Sastrawan dan
Ulama besar Andalusia yang melahirkan diri ke Tunisa. Mereka-mereka yang melarikan diri
inilah yang kemudian banyak membimbing Ibnu Khaldun dalam mengembangkan
pemikirannya. Secara tidak langsung kekacauan di Andalusia membawa keuntungan bagi
Ibnu Khaldun yaitu guru-guru terbaik di Andalusia menjadi guru langsung Ibnu Khaldun di
Tunisia.2
Masa kedua dari kehidupan Ibnu Khaldun adalah terjun dalam dunia poltik dan
pemerintahan di Maghribi dan Andalusia dari tahun 1352-1374. Dalam usia 21 tahun, beliau
diangkat menjadi Sekretaris Sultan dinasti Hafs. Karirnya di dunia politik dan pemerintahan
mengakibatkan beliau seringkali berpindah-pindah tempat bertugas. Diantara kota-kota yang
dihabiskannya selama terjun di dunia politik adalah Maghrib, Maghrib Tengah, Andalusia,
dan beberapa kota lainnya3.
Pengalaman beliau dalam bidang politik dan pemerintahan merupakan sebuah
perjalanan beliau dalam upaya memperkaya diri dan pengetahuannya saja. Andalusia sebagai
salah satu pusat pemerintahan islam di masa jaya, banyak mendapat perhatian beliau. Seluk
beluk pemerintahan, tingkah laku penguasa merupakan bagian yang tak dilupakannya. Dalam
perjalanannya di dunia politik dan pemerintahan Ibnu Khaldun merasa jenuh karena intrik
politik yang berkembang seringkali tidak sesuai dengan jiwa dan pikiran Ibnu Khaldun
sehingga mengakibatkan dia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia
2 Zaiyardam.Filsafat Sejarah: Dari Agama ke Atheisme. Diktat No.021/P/UNAND/1989.Padang:
Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas,1989. Hal.61
3
politik dan pemerintahan. Sejak saat itu beliau mulai menyepi ke daerah Qal‟at Ibnu Salamah
dan menetap disan sampai tahun 1387 M.4 Disinilah beliau kemudian beralih profesi pada
dunia karang mengarang.
Dunia karang mengarang akan memperlihatkan siapa diri Ibnu Khaldun yang
sebenarnya. Paling tidak dari sinilah kemudian melahirkan karya-karya yang monumental
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Kitab al-‘Ibrar wa Dimah al-Mubtada’wa
al-Khabar fi’Ibrar (sejarah umumu). Kitab setebal tujuh jilid ini berisi kajian sejarah, yang
didahului dengan Muqaddimah yang berisi pembahasan tentang problematika sosial manusia
(sosiologi). Pendapat yang dipertahankan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah nya adalah hasil
dari pengalaman pribadi dan bacaannya, yang merintis jalan bagi jiwa kritis, yang luar biasa
untuk zamannya. Franz Rosenthal menyatakan bahwa ini berhubungan dengan suatu
kontribusi kepada kepemikiran manusia yang dipusatkan pada soal-soal kemanusiaan. Kitab
Muqaddimah itu pada akhirnya berhasil menjadi pembuka jalan menuju pembahasan
ilmu-ilmu sosial manusia. Oleh karena itu, dalam ilmu-ilmu sejarah islam, Ibnu Khaldun dipandang
sebagai peletak dasar ilmu soisla dan politik islam5.
Pada tahun 1378 M, beliau kembali ke Tunisia untuk menelaah beberapa kitab
sebagai bahan untuk merevisi kitab Al-„Ibrar. Pada tahun 1382 M, Ibnu Khaldun berangkat
ke iskandariah (Mesir) untuk menghadiri kekkacauan politik negeri Maghrib. Setelah sebulan
disana, beliau pindah ke Kairo. Di kota ini, beliau memulai karier di bidang ilmu
pengetahuan dengan membuka halaqah di Al-Azhar untuk memberi kuliah. Pada tahun 1401
M, Ibnu khaldun diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan sampai akhir hayatnya. Selama
di Mesir, Ibnu Khaldun kembAli merevisi kitab Al-‘Ibar dan menambah pasal kitab
Muqaddimah. Ia memasukan peristiwa terbaru dan temuan-temuan ilmiahnya, seperti
4
Moeflin Hasbullah,dkk, Loc.cit
5
konsep-konsep sosiologis. Ibnu Khaldun wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H/
19 Maret 1406. Temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep
sosiologisnya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh ahli
sejarah dan sosiologi dunia.6
B. Pandangan Ibnu Khaldun Mengenai Filsafat Sejarah
Ibnu Khaldun merupakan tokoh pemikir sejarah yang dapat dianggap sebagai perintis
filsafat sejarah. Hal ini diakui oleh sejarawan-filosof Toynbee yang mengataka bahwa Ibnu
Khaldun bukan hanya dikenal sebagai seorang ahli sejarah yang terbesar di abad pertengahan,
tetapi juga seorang ahli filsafat sejarah yang pertama, pembuka jalan bagi pemikir Eropa
seperti Machiavelli, Bodin dan Comte7
Andil Ibnu Khaldun sebagai perintis pertama dalam meletakkan dasar-dasar
pemikiran filsafat sejarah penting untuk dicatat, terutama berkenaan dengan upayanya
mengajukan konsep makna tertinggi (ultimate meaning) dari perjalanan sejarah umat manusia
secara universal. Pengertian tentang makan ini menjadi hal yang sentral dalam setiap wacana
kefilsafatan umumnya, dan filsafat sejarah khususnya. Sebab istilah bermakna atau tidak
bermakna dalam pemikiran filosofis adalah persyaratan utama untuk mencari kebenaran,
suatu yang menjadi daya dorong dan sekaligus inti dari setiap kajian filsafat pada umumnya
dan filsafat sejarah pada khusunya. Ide-ide Ibnu Khaldun tentang makna tertinggi (ultimate
meaning) dari sejarah, pada dasarnya mengacu pada pemikiran tentang hakekat sejarah, salah
satu tema sentral dalam setiap filsafat sejarah..8
Bagian pertama dalam Muqaddimah mencoba melihat skitar persoalan berita sejarah
yang lemah. Berita sejarah yang lemah yang berawal dari sangkaan dan kesalahan. Sangkaan
tidak dapat mengungkapkan nilai kebenaran sejarah artinya kebenaran yangberangkat dari
nilai-nilai yang memag terjadi. Hal itu kan menjadikan subjektifitas saja kalau dijadikan
sumber dalam penulisan sejarah. Langkah yang diambil haruslahterlibat langsung dalam
peristiwa itu ataupun melihat secara nyata objek yang dijadikan tema penulisan atau yang
biasa disebut sekarang ini ialah observasi. Lebih lanjut dalam Muqaddimah juga disinggung
mengenai penjelasan perubahan negeri.
Berbagai sebab dapat sebagai alasan perubahan-perubahan terjadi suatu negeri.
Penyakit yag tidak bisa disembuhkan dan bencana dalam seperti perebutan kekuasaan bisa
jadi sebab perubahan yang membawa kerah kehancuran. Apabila telah berganti semua hal
keadaan secara keseluruhan, maka seakan-akan telah bergantilah makhluk asalnya dan
berubah alam seluruhnya. Seakan-akan ia mahluk baru, kejadian yang dimulai kembali dan
alam baru.9
Peradaban manusia bagian penting yang tidak dilupakan oleh Ibnu Khaldun. Ibnu
Khaldun menguraikannya dalam enam pasal yaitu: Pertama, mengenai peradaban manusia
secara keseluruhan, jenisnya, dan bagiannya di bumi mulai dari karakter, peradaban
(al’umran), sifat (fitrah), peraturan (faudla). Kedua, mengenai peradaban kedesaan,
penyebutan suku-suku dan bangsa liar. Dalam menggambarkan masyarakat desa, Beliau
mengemukakan sifat-sifat seperti ‘ashabiah atau solidaritas kesukuan, tolong menolong pada
penghasilan keperluan hidup Ketiga, mengenai negara-negara, kekhalifaan, kerajaan, dan
penyebutan tingkat pemerintahan. Pergumulan Ibnu Khaldun dalam berbagai jabatan
pemerintahan dan politik merupakan dasar dari pemikirannya melihat perjalanan dari suatu
dinasti. Banyak disaksikan oleh Ibnu Khaldun jatuh bangunnya suatu dinasti, baik ia sendiri
yang duduk didalam pemerintahan maupun pengamatannya. Keempat, mengenai peradaban
9
kota, negeri, dan kota-kota. Kelima, mengenai usaha-usaha, penghidupan, perusahaan.
Keenam, mengenai ilmu pengetahan, mengusakan dan mempelajarinya.10
Dalam karyanya Muqaddimah itu, Ibnu khaldun membandingkan sejumlah peradaban
tua di dunia dalam upayanya mencari dan menemukan hukum-hukum yang menguasai
sejarah asal mula, pertumbuhan dan keruntuhan lembaga-lembaga seperti negara atau
kerajaan dan kebudayaan. Beliau lalu mengajukan hakekat makna tertinggi dari sejarah.
Beliau juga mengumukakan pendapatnya tentang empat tahap dalam penelitian sejarah.
Menurut beliau dalam penelitian sejarah membutuhkan: pertama, sumber yang beragam,
kedua, pengetahuan yang bermacam-macam, ketiga, perhitungan yang tepat dan ketekunan
keempat memeriksa sumber-sumber yang dipakai secara teliti.11
Persyaratan-persyaratan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun tersebut sepadan
dengan tahap-tahap penelitian yang dikemukakan oleh para ahli sejarah yang datang
kemudian, yang disebut metode sejarah kritis, yang meliputi empat tahap, yaitu: heuristik,
kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Yves Lacoste menyadari dalam Muqaddimah,
adanya suatu sumbangan fundamental terhadap sejarah dari negara-negara yang sedang
berkembang. Muqaddimah itu menandai lahirnya Sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan
dan Muqaddimah ini membuka jalan bagi kita menuju suatu tahap penting di masa lampau,
yang disebut sekarang “Le Tiers-Monde” yang artinya, dunia yang berada diantara dua blok
yang terbesar.12
- Makna Sejarah bagi Ibnu Khaldun
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa, pada batinnya
sejarah itu adalaha penilikan dan pemastian. Pernyataan sebab-sebab yang mendalam tentang
10
Zaiyardam.Filsafat Sejarah: Dari Agama ke Atheisme. Diktat No.021/P/UNAND/1989.Padang: Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas,1989. hal.71-72
11
Ibnu Khaldun. Muqaddimah. terj.Ismail Yaqub. Op.cit, hal.33
12
semua kejadian dan pokok-pokoknya. Pengetahuan yang mendalam, bagaimana
peristiwa-peristiwa itu terjadi dan sebab-sebabnya13. Kata kunci konsepsi Beliau tentang sejarah adalah
“Ibrar”, yang berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna. Secara terminologis, ”Ibrar”
dalam pengertian seluruh bahasa semit, berarti melalui, melampaui, menyebrang atau
melanggar perbatasan. Kelompok Sufi menggunakan kata itu sebagai alat untuk
pengembangan dunia batin mereka. Dalam pengertian, untuk melukiskan fungsi spiritual dari
semua ungkapan mistik menuju dunia yang lebih jauh.14
Ibnu Khaldun melihat dua sisi daam bangunan sejarah, yaitu sisi luar dan sisi dalam.
Dari sisi luar, sejarah tak lebih dari rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau,
tetapi jika dilihat dari sisi dalam, sejarah merupakan penalaran krtitis (nadhar) dan usaha
cermat untuk mencari kebenaran. Sejarah merupakan penjelasan cerdas tentang sebab-sebab
dan asal-susul segala sesuatu, ia merupakan pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan
mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Definisi tentang sejarah itu berakar dalam filsafat
(hikmah)
Dengan pertautan sejarah pada filsafat, Ibnu Khaldun tampaknya ingin mengatakan
bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat. Pada pihak lain,
filsafat menawarkan kekuatan logis kepada sejarah. Dengan aset logika kritis, seorang
sejarawan akan mampu menyaring dan mengkritik sumber sejarah baik itu berupa tulisan
maupun itu berupa lisan, sebelum sampai pada proses penyajian final dari penyelidikannya
atau yang biasa kita sebut sebagai historiografi. Hal ini tergambar pada bagian pertama
Muqaddimah yang dimana ia melihat sekitar persoalan berita-berita sejarah yang lemah berita
sejarah yang lemah berawal dari sangkaan dan kesalahan. Sangkaan tidak dapat
13
Ibid,hal 26
mengungkapkan nilai kebenaran sejarah artinya kebenaran diangkat dari nilai-nilai yang
memang terjadi.
Pandangan inilah yang membawa Ibnu Khaldun untuk merumuskan tujuh kririk
dalam historiografi, sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang cermat.
Pertama, sikap memihak pada pendapat dan mahzab-mahzab tertentu.
Kedua, terlalu percaya kepada pihak yang menukilkan sejarah.
Ketiga, gagal menangkap maksud-maksud yang dilihat dan didengar serta
menurunkan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan.
Keempat, persangkaan benar yang tidak bedasar pada sumber berita.
Kelima, kelemhan dalam mencocokan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
Keenam, kecendurungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan figur-figur
yang berpengaruh,
Ketujuh, ketidaktahuan tentang metode-metode kebudayaan. Dengan menggunakan
kerangka tujuh kritik ini, Ibnu Khaldun mengkritik berbagai sarjana sejarah seperti
Al-Mas‟udi yang dianggap lengah dan mudah mempercayai berita-berita yang tidak
masuk akal.15
- Motor Penggerak Sejarah
Motor penggerak sejarah Ibnu Khaldun ialah Al-Quran dan rasional. Hal ini terlihat
dimana Ibnu Khaldun mengelompokkan ilmu atas dua bagian. Kelompok pertama ialah ilmu
hikmah, dan falsafah. Ilmu ini didapat manuisa karena alam berpikirnya, dan dengan
indra-indra kemanusiaannya ia dapat sampai pada objek-objeknya, persoalan-persoalan dan
aspek-aspek pengajarannya. Kelompok ini bersumber dari proses pemikiran manusia dalam mencari
nilai-nilai kebenaran yang diyakini berdasarkan akal pikirannya.
15
Kelompok kedua lebih bersifat tradisonal (naqli), yang didapat dari seseorang yang
merumuskannya. Sumber kelompok ini lebih ditekankan pada sumber ajaran agama. Sudah
tentu ajaran-ajaran agama Islamlah yang menjadi sumber dari kelompok ini. Dengan
memakai Al-Quran dan Hadist, Ibnu Khaldun menyatakan sumber ini yang menjadi patokan
dasar ilmu tradisional.16
Ibnu khaldun berpendapat, penyelidikan terhadap peristiwa sejarah harus
menggunakan berbagai ilmu bantu. Ilmu bantu diistilahkan sebagai ilmu kultur („Ilm
al-“Umran). Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian sebab-sebab mendorong
manusia untuk berbuat, melacak akibat-akibat dari perbuatan itu, sebagaimana tercermin
dalam peristiwa sejarah. Ketujuh teori kritik yang dikembangkan pada dasarnya beliau
kembangkan dari inspirasi yang didapatkan dalam al-Quran. Kenyataan ini selanjutnya,
pernah dikemukakan Iqbal yang mengatakan bahwa Muqaddimah Ibnu Khaldun penuh
dengan inspirasi Al-Quran.
Ibnu Khaldun kelihatannya lebih menekankan secara keseluruhan. Artinya patokan
akal digunakan dalam melihat persoalan ketradisionalan. Namun dalam melihat akal, maka
hal-hal yang menyangkut agama pun tidak boleh diabaikan.
- Pola Gerak Sejarah
Pola gerak sejarah yang dipakai Ibnu Khaldun yaitu pola gerak sejarah siklus atau
melingkar. Pola gerak ini berkisar bahwa gerak sejarah itu seperti poros, tumbuh kemudian
berkembang kemudian berunah dan akhirnya mati. Hal ini terlihat pada karyanya dalam
Muqaddimah yang menyatakan bahwa dalam suatu negara yang penguasanya hidup
bermewah–mewah, maka keruntuhan penguasa itu sudah diambang pintu. Hal ini
16
menandakan diantara penghalang-penghalang kewibawaan pemerintah, ialah berhasil
kemewahan dan tenggelamnya dalam kenikmatan17.
Dalam buku Muqaddimah kitab pertama pun juga disebutkan oleh Ibnu Khaldun
bahwa sejarah diawali dengan fase primitif atau sifat peradaban manuisa kemudian
berkembang menjadi sebuah peradaban desa, suku dan bangsa liar, yang dikemukakan oleh
Beliau mengenai sifat masyarakat desa yang suka tolon-menolong, kemudian berkembang
menjadi sebuah kekhalifaan atau kerajaan dan di dalam sebuah kerajaan itu berdirilah sebuah
kota-kota, perusahaan, hingga majunya ilmu pengetahuan atau disebut fase kemegahan. Dan
dari watak manusia yang semakin maju ilmu pengetahuan malah menjadikan adanya keliaran,
pemberontakkan suatu kelompok kepada kelompok lain yang bearkibat pada banyaknya
keinginan manusia membuat kerajaan-kerajaan dan negara-negara sendiri dengan tingkat
yang bermacam-macam, sehingga tidak adanya solidaritas ataupun keramah-tamahan antara
manusia hingga banyaknya peperangan yang akan haus kedudukan dan merasa
golongannyalah yang terbaik atau disebut fase kemunduran.
- Tujuan / Sasaran Akhir sejarah
Tujuan atau sasaran akhir dari sejarah menurut pandangan Ibnu Khaldun ialah agar
manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan peri
kehidupannya serta dapat mengambil hikmah untuk memperkuat pondasi masa depan
misalnya dengan membuat perbandingan masa lalu dengan masa kini.. karena bagi Beliau,
ilmu sejarah ialah suatu ilmu yang berharga jalannya, banyak faedahnya, mulia tujuannya
dan ilmu sejarah itu memberitahukan kepada kita peri hal orang-orang masa yang lampau,
dari hal bangsa-bangsa tentang budi pekerti mereka, dari hal Nabi-Nabi tentang perjalanan
hidup mereka, dari hal raja-raja tentang negara-negara dan siasat mereka. Sehingga
17
sempurnalah faedah mengikuti mereka pada yang demikian, bagi orang yang bermaksud akan
sesuatu, mengenai hal-ikhwal agama dan dunia. Maka ia memerlukan kepada tempat
pengambilan yang berbilang-bilang jumlahnya, pengetahuan yang brmacam-macam, bagus
penelitian dan ketekunan, yang membawa orang yang bersifat demikia kepada kebenaran dan
menjauhkan dari tergelincir pada kesalahan-kesalahan.18
18
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Khaldun. Muqaddimah. terj.Ismail Yaqub. Jakarta: CV faizan.1982.
Moeflin Hasbullah,dkk. Filsafat Sejarah. Bandung: Pustaka Setia. 2002.
Zaiyardam. Filsafat Sejarah: Dari Agama ke Atheisme. Diktat
No.021/P/UNAND/1989.Padang: Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas.1989.