• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Indonesia sebagai negara hukum mengatur setiap perbuatan-perbuatan

warga negaranya dalam suatu bentuk regulasi yang bersifat positif. Demikian

halnya dengan masalah perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud regulasi tata tertib perkawinan

yang dimiliki oleh Negara Indonesia, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan. Pasal 1 UUP merumuskan perkawinan adalah :

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian

perkawinan memiliki 5 (lima) unsur, yaitu :

a. Ikatan lahir batin

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita

c. Sebagai suami isteri

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu M.Yahya Harahap merinci unsur-unsur definisi perkawinan

(2)

a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri.

b. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia yang kekal dan sejahtera.

c. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan

pada Ketuhanan Yang Maha Esa.85

Suatu “ikatan” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu

ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata ikatan itu harus ada, karena

tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir suatu perkawinan akan menjadi rapuh.

Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan

membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk

membentuk keluarga yang kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah

berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.86

Digunakan kata “seorang pria dan wanita” mengandung arti bahwa

perkawinan adalah antar jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan

sesama jenis yang saat ini sudah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.

Digunakan ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan

itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga,

dan bukan sekedar istilah “hidup bersama”.

Perkawinan memiliki hubungan erat terhadap agama/kerohanian, Sehingga

perkawinan bukan saja memiliki unsur lahir/jasmani tetapi juga karena unsur batin

85

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (CV Zahir Trading CO Medan, 1975), Hal 11

86

(3)

atau rohani dengan demikian tujuan87 perkawinan menurut perundangan untuk

kebahagiaan suami isteri serta keturunan.

2. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pengertian (ta’rif) perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

adalah :

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu aqad yang

sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan untuk mentaati perintah Allah

SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.”

Pengertian perkawinan menurut KHI pada dasarnya tidak mengurangi arti

perkawinan menurut UUP. Ungkapan kata aqad yang sangat kuat atau miitsaqan

ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat

dalam rumusan UUP yang mengandung arti bahwa aqad pernikahan itu bukanlah

semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah

Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari

ungkapan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUP. Hal ini lebih menjelaskan

bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena

itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.88

Dalam bahasa agama (Islam) ikatan antara pria dan wanita tersebut disebut

nikah artinya ‘menghimpun’ atau ‘menggumpulkan’, yaitu salah satu upaya

88

(4)

menyalurkan naluri seksual suami-isteri dalam sebuah rumah tangga, sekaligus

sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan

keberadaan manusia diatas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya

manusia pertama di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah

SWT, terhadap hamba-Nya.

Menurut pandangan Islam perkawinan mengandung 3 (tiga) aspek yaitu,

aspek hukum, aspek sosial dan aspek agama :

1. Dari aspek hukum

Perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam bahasa Al-Qur’an

perkawinan adalah yang sangat kuat disebut dengan kata-kata missaqaan

ghaliizaan

2. Dari aspek sosial

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui penilaian umum ialah bahwa

orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari

mereka yang tidak kawin.

3. Dari aspek agama

Perkawinan itu dianggap suatu lembaga suci dalam agama Islam.

Upacara perkawinan adalah upacara suci, yang kedua belah pihak

dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling minta menjadi

pasangan hidupnya dalam hidupnya dengan menggunakan nama Allah. 89

Menurut hukum asal perkawinan itu adalah mubah (boleh), namun hukum

tersebut dapat berubah dengan beberapa keadaan yaitu sebagai berikut :

89

(5)

1. Wajib yaitu bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan

untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, karena takut akan

terjerumus berbuat zina jika tidak kawin.90

2. Sunnah yaitu, apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya. Sudah

memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai maka

bagi orang yang demikian itu sunah baginya untuk kawin, kalau dia kawin

akan mendapat pahala sedang tidak kawin dia berdosa atau tidak mendapat

apa-apa.91

3. Makruh yaitu bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan

perkawinan namun merasa ia akan berbuat curang dalam perkawinan itu.92

4. Haram kepada orang yang berniat menyakiti atas perempuan yang

dinikahinya.93

3. Asas Hukum Perkawinan

Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip

hukum yang masih bersifat konkret. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum

merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit

dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan.

Menurut Theo Huijbers, asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap

dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga

90

Amir Syarifudin, Op.Cit Hal 46 91

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty), Hal 20.

92

Amir Syarifuddin, Op.Cit, Hal 46. 93

(6)

pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak juga bagi pembentukan

undang-undang dan interpretasi undang-undang-undang-undang tersebut (asas hukum berbeda dengan asal

atau sumber hukum).94

Asas hukum merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum yang

harus dipedomani. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan

dengan asas hukum. Demikian pula dengan implementasi atau pelaksanaan

hukum dalam kehidupan sehari-hari serta segala putusan hakim harus senantiasa

mengacu pada asas hukum tidak boleh bertentangan dengannya.

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-undang

Perkawinan Nasional Indonesia menurut M. Yahya Harahap sebagai berikut :

a. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat

bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini menampung

di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan Hukum Agama dan

kepercayaan masing-masing anggota masyarakat yang bersangkutan.

b. Juga asas hukum perkawinan ini sedemikian rupa telah disesuaikan dengan

tuntutan perkembangan zaman dalam hal ini dimaksud memenuhi aspirasi

emansipasi kaum wanita Indonesia di samping perkembangan sosial

ekonomis dan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di

segala lapangan hidup dan pemikiran.

c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal

1) Suami isteri saling bantu membantu serta saling lengkap melengkapi.

94

(7)

2) Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk

pengembangan kepribadian itu suami isteri harus saling bantu

membantu.

3) Dan tujuan akhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah

keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.

d. Prinsip yang ke-3 yang menjadi asas undang-undang ini sekaligus

menyangkut

1) Kesadaran hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara

bangsa Indonesia : yaitu perkawinan harus berdasarkan hukum agama

dan kepercayaan masing-masing

2) Juga menurut asas agar setiap perkawinan merupakan tindakan yang

harus memenuhi administratif pemerintahan dengan jalan pencatatan

pada catatan yang ditentukan undang-undang artinya sebagai akta resmi

yang termuat dalam daftar catatan resmi pemerintah.

e. Undang-undang Perkawinan ini menganut asas monogami, akan tetapi

sekalipun dimaksud menganut prinsip ini sama sekali tidak menutup

kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan

itu, tetapi harus melalui beberapa ketentuan sebagai

persyaratan-persyaratan yang diatur undang-undang ini.

f. Prinsip bahwa perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh

pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. Hal ini memang dapat

(8)

dalam rumah tangga yaitu perkawinan yang dilakukan dalam kehidupan

masyarakat yang terdiri dari pribadi yang masih muda

1) Asas ini bertujuan menghapus kebiasaan anak-anak atau perkawinan

dalam usia yang sangat muda yang belum matang memegang tanggung

jawab sebagai suami isteri. Sehingga sering tetap menjadi beban orang

tua yang berakibat ketidakmampuan untuk berdiri sendiri.

2) Untuk menjaga pertumbuhan populasi yang menjadi masalah nasional.

3) Memperkecil jumlah perceraian dan mempersukar perceraian.

g. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang baik

dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

Pokok prinsip ini dapat dirinci :

1) Dalam kehidupan rumah tangga suami isteri sederajat, dan segala

sesuatu harus dirundingkan bersama

2) Isteri berhak mencapai kedudukan sosial di luar lingkungan rumah

tangga dan suami tidak dapat melarang hal tersebut

3) Lebih jauh kalau diperhatikan asas yang disebut pada poin g tersirat

suatu penjurusan yang lambat laun akan menuju tendensi sistem

kekeluargaan yang bilateral atau parental.95

Selain alenia tersebut di atas, Sudarsono juga memberikan penjelasan

mengenai asas-asas yang tercantum dalam UUP secara sederhana yaitu :

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,

95

(9)

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya

membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil (Pasal

1 UUP).

b. Dalam undang-undang dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan

harus dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku

(Pasal 2 UUP)

c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karenan hukum dan agama

dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat

beristeri lebih dari seorang (Pasal 3 UUP).

d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-isteri

harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan

yang baik dan sehat. Untuk itu dicegah adanya perkawinan antara

calon suami isteri yang masih dibawah umur (Pasal 7 UUP).

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut

prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk

(10)

sesuai dengan pasal 19 PP Undnga-undang Perkawinan Nomor 19

Tahun 1975 serta harus dilakukan didepan pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam

pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu

dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh

suami isteri (Pasal 31 UUP).96

Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum

undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.

Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur dengan

sendirinya ketentuan yang ada.97

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas hukum

perkawinan merupakan prinsip-prinsip dasar yang dijadikan tumpuan untuk

membentuk suatu aturan hukum perkawinan yang bersifat konkrit. Prinsip yang

terkandung dalam UUP mencakup syarat sah perkawinan, tujuan dari perkawinan,

asas monogami terbuka (dibolehkan poligami bila ketentuan agama yang

bersangkutan mengizinkannya), ditentukannya usia perkawinan bagi calon suami

isteri dengan mempertimbangkan faktor psikologis, perceraian yang dipersulit dan

hak kewajiban suami isteri.

96

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Rineka Cipta, Jakarta, 2010) Hal 6 97

(11)

B. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

dan Kompilasi Hukum Islam

1. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan

Perkawinan dapat dilangsungkan bila seseorang memenuhi syarat baik

materil maupun syarat formil. Syarat materil yaitu, syarat mengenai diri pribadi

calon mempelai. Sedangkan syarat formil yaitu, syarat yang mencakup formalitas

atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat melangsungkan

perkawinan.

Syarat-syarat materil dalam UUP adalah sebagai berikut :

1. Persetujuan dari kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1))

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Jadi,

dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur

paksaan. Arti persetujuan dalam hal ini sudah terang yaitu, tidak

seorangpun dapat memaksa calon wanita maupun calon pria tanpa

persetujuan bebas dari mereka. Hal ini juga mencakup emansipasi wanita

bahwa seorang wanita dalam kehidupan masyarakat sekarang mempunyai

kebebasan penuh menentukan pilihannya dalam ikatan perkawinan.

2. Izin melangsungkan perkawinan (Pasal 6 ayat (2),(3),(4), dan (5))

a. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin

dari orang tuanya.

b. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu

menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang

(12)

c. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan

kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau

keluarga yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus

ke atas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan

kehendaknya.

d. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat di antara mereka atau jika

seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan kehendaknya,

maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat

memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang

disebutkan di atas

3. Usia calon mempelai laki-laki sudah 19 tahun dan wanita 16 tahun (Pasal

7 ayat (1), (2))

Undang-undang menentukan untuk pihak pria sudah mencapai

umur 19 tahun, dan untuk pihak perempuan sudah berumur 16 tahun.

Sedangkan menyimpang dari umur-umur disebutkan di atas, dapat

meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Tiap-tiap

negara dapat menentukan batas umur untuk kawin. Ketentuan itu

menegaskan bahwa mereka yang berumur 21 tahun ke atas tidak

memerlukan izin orang tuanya.

4. Perkawinan harus terbebas dari larangan Perkawinan (Pasal (8), (9) dan

(13)

Seseorang dilarang melangsungkan perkawinan dengan orang

tertentu. Hal ini karena menyangkut hubungan keluarga karena

perkawinan ataupun karena susuan. Perkawinan dilarang antara dua orang

yang :

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara

seorang dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan

ibu/bapak tiri;

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari

seorang;

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku, dilarang kawin.

Selanjutnya dalam Pasal 9 UUP disebutkan seorang yang masih terikat tali

perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal

pengadilan memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang

apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 10 UUP

(14)

dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.98

Syarat formil ini berkaitan dengan tata cara pelaksanaan perkawinan, yang

diatur dalam Pasal 12 UUP, yang menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan

perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Peraturan

perundang-undangan dimaksud adalah yang PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal 10

menyatakan :

“1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintahan ini. 2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum dan agama dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2 saksi.”

Pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan dilakukan dengan

cara menempelkan surat pengumuman sesuai dengan formulir yang ditetapkan

oleh kantor Pencatatan Perkawinan. Atau penempelan pada suatu tempat yang

sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Selanjutnya Pasal 11 PP Nomor 9 tahun 1975 menyatakan :

“1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menanda tangani akta perkawinan yang telah dipersiapkan Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

98

(15)

2. Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditanda tangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan, dan yang melangsungkan perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditanda tangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili.

3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan Ptelah tercatat secara resmi.

Ketentuan mengenai pencatatan di atas harus dipenuhi baik oleh pihak

calon mempelai maupun oleh pihak Pegawai Pencatat Perkawinan, sebagaimana

ketentuan yang berkaitan dengan aturan pencatatan perkawinan Pasal 2 ayat (2)

UUP. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian.

2. Syarat Sah Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia

yang wajar, karena itulah perkawinan yang sarat dengan nilai dan bertujuan untuk

mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, perlu diatur

dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan yang disyaratkan dalam perkawinan

dapat tercapai.

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat, atau

adanya calon laki-laki dan perempuan 99

Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu

melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat

99

(16)

perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka

perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Adapun rukun perkawinan menurut

Pasal 14 KHI adalah :

1. Calon suami

2. Calon Isteri

3. Wali nikah

4. Dua orang saksi

5. Ijab dan Kabul

Syarat yaitu adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu seperti menutup aurat untuk sholat.100Atau menurut Islam

calon pengantin laki-laki/perempuan harus beragama Islam. Sah yaitu suatu

perbuatan pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

Syarat-syarat perkawinan menurut hukum Islam antara lain adalah (1)

persetujuan kedua belah pihak, (2) adanya mahar atau pun mas kawin, (3) tidak

ada larangan-larangan perkawinan dan (4) pencatatan perkawinan101

Setelah rukun terpenuhi, maka masih ada syarat-syarat yang tentunya

harus dipenuhi juga, sebagai berikut :

1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan .

Ketentuan mengenai calon mempelai laki-laki dan perempuan diatur

dalam Pasal 15, 16, dan 39 KHI. Adanya calon mempelai yang akan melakukan

perkawinan, adapun syarat-syarat calon mempelai adalah : (1)Harus cukup umur

100Ibid

101

(17)

laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun (2) Harus ada persetujuan kedua belah

pihak (3) Tidak ada larangan perkawinan.

Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak,

absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada

perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya

tidak dipaksa oleh pihak lain.

2. Wali bagi calon mempelai perempuan

Wali dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya, yang diatur dalam Pasal

19 KHI. Dalam arti lain wali adalah seseorang yang kedudukannya berwenang

untuk bertindak atas nama perempuan dalam satu akad nikah. Aqad nikah

dilakukan oleh 2 pihak, yaitu pihak laki yang dilakukan oleh mempelai

laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.102 Adanya

keharusan wali nikah dari pihak perempuan diatur dalam Pasal 20 KHI seba gai

berikut :

a. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah laki-laki yang memenuhi

syarat-syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

b. Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab (b) wali hakim

Dalam Pasal 21 KHI terdapat 4 kelompok dalam urutan kedudukan, yaitu :

102

(18)

a. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek

dari pihak ayah dan seterusnya.

b. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki

seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

c. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung seayah

dan keturuan laki-laki mereka.

d. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki

seayah sekakek dan keturunan laki-laki mereka.

3. Saksi

Kesaksian untuk suatu perkawinan hendaknya diberikan kepada 2 (dua)

laki-laki dewasa dan adil serta dapat dipercaya. Harus ada saksi dalam

pelaksanaan akad. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang

menyaksikan akan nikah tersebut. Saksi merupakan rukun sehingga apabila tidak

ada saksi maka perkawinan itu tidaklah sah. Ketentuan mengenai saksi diatur

dalam Pasal 24 KHI yaitu :

a. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

b. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

Adapun syarat-syarat menjadi saksi adalah ditentukan dalam Pasal 25 KHI

yaitu :

a. Muslim

(19)

c. Harus Aqil baligh

d. Tidak terganggu ingatan

e. Tidak tuna rungu atau tuli

4. Ijab dan Kabul

Ijab Qobul, adalah bagian akhir dari rukun perkawinan. Ijab yang

diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya

disaksikan oleh dua orang saksi. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan

sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 28, 29 KHI adalah sebagai berikut :

a. Ijab dan qobul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun

dan tidak berselang waktu.

b. Akad nikah dilakukan secara pribadi oleh wali yang bersangkutan. Wali

nikah dapat diwakilkan kepada orang lain.

c. Yang mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.103

Di samping ijab qabul hal yang harus ada dalam pelaksanaan sebuah

perkawina adalah mahar. Pasal 1 KHI huruf d menyebutkan, mahar adalah

pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik

berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Isla m.

Mahar yang diberikan kepada calon mempelai wanita yang dinikahi akan menjadi

miliknya secara penuh. Dasar hukum memberi mahar adalah Al-quran, yang

menyebutkan “Berikan kepada isteri-isteri mahar mereka sebagai pemberian”

103

(20)

(Surat Annisa : 4) “Dan kawinilah wanita-wanita dengan izin keluarganya dan

berikan pada mereka maharnya” (Surat Annisa : 24).104

Mahar bukan merupakan rukun perkawinan tetapi kedudukan mahar

adalah hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan. Mahar dapat dibagi

menjadi 2 (dua), yaitu :

a. Mahar musamma, mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam

sighad akad nikah, mahar ini bisa dibayar secara tunai atau ditangguhkan

dengan persetujuan kedua pihak.

b. Mahar mitsil, mahar yang dipertimbangkan atas dasar kelayakan umum

yang dipertimbangkan di mana wanita tinggal.105

Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan yang

sah hanya dapat dilangsungkan dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah

ditetapkan hukum Islam.

C. Akibat Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

1. Akibat Hukum Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

Sebagai subjek hukum manusia tidak pernah lepas dari hak dan kewajiban.

Sama halnya dalam perkawinan. Perkawinan amat penting dalam kehidupan

104

Jafizham, Persentuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam,

(Medan, Cv. Percetakan Mestika, 1977) Hal 205 105

(21)

manusia, perorangan maupun kelompok. Perkawinan mewujudkan perdamaian

dan ketentraman hidup serta menumbuhkan kasih saying antara suami isteri,

kalangan keluarga yang lebih luas bahkan dalam kehidupan umat manusia

umumnya.106 Mereka adalah insan yang berasal dari pola kehidupan yang

berlainan, mereka datang dari dua tipe karakter, sifat, tabiat, perilaku, kebiasaan

dari dua keluarga yang berbeda. Kehidupan kedua insan yang berbeda itu

hakikatnya adalah saling berkorban demi tegaknya, utuhnya dan keharmonisan

rumah tangga.

Setelah menikah dan sah menjadi suami dan isteri, mereka mempunyai

beban yang tidak lain adalah kewajiban yang diberikan hukum kepada subjek

hukum. Mempunyai kewajiban yang sama dan seimbang dalam kehidupan rumah

tangga, juga dalam pergaulan dalam masyarakat. Tidak boleh saling mengekang

dan menghalangi satu sama lain karena masing-masing berhak melakukan

perbuatan hukum.

Namun undang-undang menetapkan suami adalah kepala rumah tangga.

Dia adalah kapten sebuah kapal yang sedang mengarungi samudra yang luas,

menuju ke pantai yang bahagia sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga.

Pelaksanaan sebuah perkawinan akan menimbulkan akibat hukum bagi suami dan

isteri tersebut, sehingga munculah hak dan kewajiban antara suami isteri itu. Hak

suami isteri berkedudukan seimbang dalam rumah tangga, demikian juga dalam

pergaulan sosial kemasyarakatan. Sebagai kepala rumah tangga, suami berhak

106Ibid

(22)

untuk menetapkan tempat tinggal bersama atau kediaman yang merupakan rumah

tinggal bersama dengan anak-anak.

Di dalam UUP terdapat akibat-akibat yang timbul dalam perkawinan

terhadap suami isteri yaitu :

a. Hak dan kewajiban suami isteri

1) Hak dan kewajiban suami isteri bersama-sama

Hak adalah apa yang diterima seseorang dari orang lain, sedangkan

yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang dilakukan

seseorang terhadap orang lain. Berkaitan dengan hubungan suami

isteri dalam rumah tangga suami mempunyai hak begitu juga isteri

memiliki hak, di sisi lain suami memiliki beberapa kewajiban dan

isteri juga memiliki kewajiban.

Hak suami isteri secara bersama-sama diatur didalam Pasal 31

UUP yaitu, hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak untuk

melakukan perbuatan hukum, dan suami adalah kepala keluarga dan

ibu rumah tangga. Suami isteri mempunyai hak untuk menentukan

kediaman bersama.

Sedangkan kewajiban suami isteri bersam-sama adalah suami isteri

memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang

menjadi sendi dasar dari susuanan masyarakat (Pasal 30 UUP).

(23)

harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, rumah tempat

kediaman yang ditentukan oleh suami isteri bersama.

Rumah tangga sebagai unit yang menjadi susunan masyarakat

adalah hal yang tak dapat dipungkiri baik hal itu ditinjau dari sosiologi

budaya keluarga rumah tangga. Serta rumah tangga itu pula yang

menjadi pelanjutan kehidupan bangsa dan masyarakat yang

melahirkan keturunan yang akan melanjutkan masyarakat yang baik di

masa yang akan datang. Dalam arti keluhuran tersebut adalah sesuatu

kaitan yang lebih bersifat human soul yang melekat pada kesadaran

spiritual dari pada seseorang dan pada suatu norma hukum yang dapat

dipaksakan.107

Yahya Harahap berpendapat dalam suatu titik pertautan dalam

mengartikan keluhuran terdapat persamaan di dalam kehidupan

manusia dari dulu sampai sekarang yaitu :

a) Setiap hak yang luhur menghendaki pengorbanan dalam

rumah tangga ditentukan oleh skala rumah tangganya. Yang

paling jelas dalam maksud tersebut perkawinan adalah

pembinaan penyatuan dua jenis manusia yang mempunyai

perbedaan, perbedaan tersebut seperti dalam status sosial,

ekonomis, dan perbedaan pendidikan, semua ini akan

membawa akibat yang tak dapat dipertemukan tanpa saling

adanya pengorbanan yang selaras dengan tujuan tersebut.

107

(24)

b) Keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral,

karena itu suami-isteri berkewajiban memiliki budi pekerti

yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga,

maka tujuan Pasal 30 UU Perkawinan tersebut bahwa

rumah tangga di Indonesia haruslah rumah tangga yang

berbudi dan bernurani luhur.108

Selanjutnya, kewajiban suami isteri bersama diatur juga dalam

Pasal 33 UUP yang berbunyi, suami isteri wajib saling cinta

mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir

batin yang satu kepada yang lain.

Tujuan diaturnya ketentuan ini adalah untuk mencapai tujuan

perkawinan. Sebab suatu perkawinan tanpa dilandasi kewajiban yang

bertimbal balik di antara suami dan isteri, perkawinannya akan bubar,

ibaratnya masing-masing pihak bertepuk sebelah tangan

2) Kewajiban suami

Dalam UUP Pasal 34 (1) disebutkan bahwa kewajiban suami

melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Melindungi isteri

dalam arti moral termasuk memperlakukan istri dengan kasih sayang

dan kelembutan serta menjamin keselamatan isteri dari segala macam

ancaman yang berupa apapun yang datangnya dari luar sesuai dengan

kemampuan suami, juga memperlindungi kehormatan isteri dalam

108

(25)

kehidupan masyarakat dan menjamin ketentraman isteri dalam keadaan

kedamaian jasmani dan rohani dengan jalan menghindarkan perlakuan

yang menyakiti, baik secara kekerasan dan tindakan yang bersifat

kasar.

Kewajiban suami memberi sesuatu keperluan hidup rumah tangga

sesuai dengan kemampuannya. Hal ini merupakan tugas utama,

pemenuhan kebutuhan yang meliputi pemberian nafkah dan tempat

kediaman serta pakaian yang wajar sesuai dengan kemampuan standar

sosial ekonomi oleh suami.109

3) Kewajiban Isteri

Selain dari kewajiban-kewajiban suami yang kata lain disebut

sebagai hak isteri, seorang isteri juga memiliki kewajiban-kewajiban

yang merupakan hak dari suami. 110 UUP hanya menyebutkan

kewajiban isteri sebatas mengatur rumah tangga dengan sebaik

-baiknya (Pasal 34 ayat 2). Dalam hal ini isteri melakukan kerjasama

dengan suami. Suami mencari nafkah dan isteri yang melakukan

pengaturan keuangan dalam rumah tangganya. Sebenarnya sepintas

lalu hal ini sudah disinggung sewaktu membicarakan Pasal 31 ayat (3)

yang telah menempatkan kedudukan isteri dalam perkawinan sebagai

ibu rumah tangga.

Di samping dalam pasal tersebut ada juga kewajiban istri dalam

rumah tangga sebagai berikut :

109Ibid.

Hal. 103 110

(26)

a) Menyiapkan makanan/hidangan keluarga sesuai dengan

cara dan kebiasaan waktu makan di mana mereka hidup.

b) Pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak.

c) Pemeliharaan dan pengaturan rumah tempat kediaman yang

sempurna, rapi dan bersih sebagaimana selayaknya sebagai

rumah tempat kediaman yang baik.

d) Kewajiban istri untuk menjaga hak milik kekayaan suami

secara jujur sewaktu suami tidak ada. Hal ini adalah

kewajiban bilateral, yang artinya suamipun harus dan wajib

memelihara harta istri.

e) Kewajiban istri untuk tinggal dan hidup bersama dalam

rumah yang telah ditetapkan bersama.111

Maka dalam segi hukum keluarga adalah kewajiban bagi istri untuk hidup

tinggal bersama suami, meninggalkan tempat tinggal bersama berarti istri telah

melanggar ketentuan hukum sebab akan membawa akibat tidak dapat

melaksanakan kewajibannya mengurus rumah tangga dalam arti yang luas

sebagaimana selayaknya

b. Harta bersama dalam perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan

111Ibid.

(27)

Berkaitan kedudukan harta benda dalam perkawinan pengaturan harta

tersebut diatur dalam Pasal 35 UUP. Berdasarkan pasal tersebut terdapat 2

penggolongan harta benda dalam perkawinan, yaitu :

1) Harta bersama (Pasal 35 ayat (1)).

2) Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing suami

dan isteri dan harta bawaan yang diperoleh dari hadiah atau warisan

(Pasal 35 ayat (2)).

Asas harta bersama ini pokok utamanya adalah harta pencarian bersama

dan dengan sendirinya menjadi harta bersama yang lazim disebut harta syarikat.

Dalam arti yang umum harta bersama itu ialah barang-barang yang diperoleh

selama perkawinan di mana suami isteri itu hidup berusaha untuk memenuhi

kepentingn kebutuhan hidup keluarga.

Menurut UUP, harta bersama perkawinan diurus oleh suami istri secara

bersama-sama, yaitu suami dengan isteri atau isteri dengan suaminya, artinya

bahwa dalam melakukan pengurusannya itu salah satu pihak dapat bertindak atas

persetujuan dari pihak lain.

Selain harta bersama dikenal juga harta bawaan yaitu harta yang dibawa

oleh suami isteri ke dalam perkawinan. Harta ini adalah milik pribadi suami atau

isteri. Menurut UUP terhadap harta bawaan ini ada dua kemungkinan:

Pertama : Harta bawaan dimaksudkan ke dalam harta bersama, sehingga

menjadi milik bersama suami isteri. Misalnya sebelumnya kawin si laki-laki telah

(28)

Kedua : Harta bawaan itu tetap menjadi milik pribadi, dan tidak dimasukkan

ke dalam harta bersama.112

c. Lahirnya anak dalam Undang-undang Perkawinan

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki

harkat dan martabat seutuhnya. Kehadiran anak adalah karunia terbesar bagi

keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

anak merupakan penerus keturunan juga penerus cita-cita bagi kemajuan suatu

bangsa. Anak dikategorikan sebagai keturunan kedua setelah ayah dan ibu (orang

tua).113 Dalam Perundang-undangan di Indonesia pengaturan mengenai anak

tepatnya terdapat dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

anak, dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan kedudukan anak diatur

secara otentik (resmi di dalam undang-undang) dan rinci. Pertama yang

ditegaskan adalah : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat

perkawinan yang sah (Pasal 42 UUP). Anak sah memiliki hubungan keperdatakan

dari kedua orang tuanya dan anak yang tidak memenuhi kriteria Pasal 42 UUP itu

disebut anak yang tidak sah. Pasal 43 ayat (2) UUP dikatakan bahwa Anak tidak

sah atau anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan bukan dari perkawinan yang

sah, sehingga memiliki konsekuensi, yaitu anak tersebut hanya mempunyai

112

M Yahya Harahap, Op.Cit Hal 117 113

(29)

hubungan perdata dengan ibunya dengan ibu dengan keluarga ibunya (Pasal 43

ayat 1).

Anak di luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya

sehingga tidak akan memiliki hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan

kepada bapaknya. Secara yuridis ayah tidak wajib memberi nafkah terhadap anak

itu walaupun secara biologis adalah anaknya sendiri. Selanjutnya untuk anak hasil

perzinahan oleh isteri seorang ayah diberikan hak oleh UUP untuk menggungat

keabsahan anak tersebut, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 44 UUP bahwa

seorang suami dapat menggugat sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya

bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu berasal

daripada perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1)), dengan demikian pengadilan

memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas pihak yang

berkepentingan.114

Namun pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan No. 46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak di luar

kawin. MK berpendapat bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP bertentangan dengan UUD

NRI 1945, yaitu Pasal 28b ayat (2) yang menyatakan setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan dikriminasi dan Pasal 28 d ayat (1) yang menyatakan setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta pengakuan yang sama dihadapan hukum. Keputusan tersebut menyatakan

anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata

114

(30)

dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan

ayahnya.

Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberikan perlindungan dan

kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan

hak-hak yang ada padanya, termasuk kepada anak yang dilahirkan meskipun

keabsahan perkawinan masih disengketakan.

Dengan adanya keputusan MK tersebut hubungan anak di luar kawin

dengan ayahnya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan

berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi

ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak di luar

kawin untuk bertindak sebagai bapaknya.

1) Hak dan kewajiban orang tua dan anak dalam Undang-undang Perkawinan

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Keluarga

merupakan kehidupan masyarakat terkecil yang memiliki tujuan bersama.

Di dalamnya terdapat orang-orang yang memiliki ikatan batin dan biologi.

Orang yang ada di dalam keluarga disebut anggota keluarga biasanya

terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kehidupan keluarga bagi umat manusia

adalah kehidupan mutlak. Oleh karena itu pasangan suami isteri atau orang

tua pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera rumah tangganya

(31)

juga hak dan kewajiban masing-masing. UUP telah mengatur hak dan

kewajiban orang tua sebagai berikut :

a) Hak dan kewajiban orang tua

Orang tua dan anak memiliki hak dan kewajiban timbal

balik, kewajiban orang tua merupakan hak anak begitu pula

sebaliknya kewajiban anak merupakan hak orang tua. Hak orang

tua menurut UUP diatur dalam Pasal 46 yang merupakan

kewajiban anak yaitu :

(1) Anak berkewajiban menghormati orang tua dan

mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) Setelah dewasa anak berkewajib memelihara orang tua

dan dan keluarga dalam garis lurus ke atas sesuai

dengan kemampuannya.

Sedangkan kewajiban orang tua menurut UUP Pasal 45

ayat (1) berbunyi :

“Kedua orang tua wajib mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.”

Ayat 2 disebutkan :

“Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal

ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri

kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara

(32)

Jadi secara rinci kewajiban orang tua terhadap anaknya

dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) Memberikan perlindungan.

(2) Memberikan pendidikan.

(3) Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum bagi

yang umurnya 18 tahun kebawah dan belum pernah

kawin.

(4) Memberikan biaya pemeliharaan anak walaupun

kekuasaan orang tua telah dicabut

Berdasarkan pasal di atas berarti orang tua memiliki

kewajiban memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya.

Bila orang tua tidak melaksanakannya atau orang tua berlalu buruk

terhadap anak, maka orang tua dapat dicabut kekuasaannya.

Alimentasi diatur dalam Pasal 45-49 UUP. Setiap anak

yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) atau belum pernah

melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang

tuanya selama orang tuanya tidak dicabut dari kekuasaannya.

Kekuasaan orang tua memberi wewenang kepada orang tua untuk

mewakili anaknya dalam melakukan perbuatan hukum di dalam

dan di luar pengadilan. Meskipun demikian dalam Pasal 48 UUP

menentukan orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

(33)

berada di bawah kekuasaannya tersebut kecuali apabila

kepentingan anak menghendaki.115

Pada dasarnya kekuasaan orang tua berada pada kedua

orang tua yaitu ayah dan ibu, kecuali jika kekuasaan tersebut

dicabut. UUP telah menjelaskan bahwa kekuasaan orang tua

terhadap anaknya adakalanya dapat dicabut apabila orangtua

sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau berkelakuan

buruk sekali. Pasal 49 UUP menentukan bahwa yang dapat

meminta pencabutan kekuasaan orangtua adalah :

(1) Orang tua yang lain.

(2) Keluarga anak dalam garis lurus ke atas.

(3) Saudara kandung yang telah dewasa.

(4) Pejabat yang berwenang

Meskipun telah diatur mengenai pencabutan kekuasaan

orangtua sebagaimana tersebut di atas, Pasal 49 ayat (2) UUP

menyatakan meskipun kekuasaan orang tua dicabut tetapi orang tua

masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anak

tersebut.

b) Hak dan kewajiban anak.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat,

keluarga minimal terdiri dari ayah ibu dan anak. Hak dan

115

(34)

kewajiban antar anggota keluarga berbeda-beda.116 Anak dalam

suatu keluarga mempunyai kedudukan sebagai anggota keluarga,

oleh karena itu anak memiliki kewajiban terhadap orang tua yang

harus dilaksanakan oleh anak meskipun kedua orang tua telah

bercerai. Hal ini sejalan dengan kewajiban orang tua yang tetap

harus dilaksanakan terhadap anak meskipun perkawinannya telah

putus (cerai). Anak sudah semestinya memberikan segala hal yang

dapat membahagiakan orang tua.

Seorang anak juga memiliki hak serta kewajiban terhadap

orang tuanya. Anak memiliki hak untuk dipelihara dan dididik oleh

kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Hak tersebut dimiliki oleh

anak sebelum anak mencapai usia dewasa, usia dewasa yang

dimaksud adalah belum mencapai 18 tahun dan selama anak belum

pernah melangsungkan perkawinan. Seorang anak berhak diwakili

orang tua mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun di

luar pengadilan. (Pasal 47 UUP).

Sedangkan kewajiban anak adalah anak wajib menghormati

orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik, jika anak telah

dewasa dia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua

dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan

bantuannya (Pasal 46 UUP).

116

(35)

Kehadiran anak dalam rumah tangga suami isteri

merupakan amanah yang besar yang dititipkan Tuhan Yang Maha

Esa, untuk membimbing anak ke jalan yang benar dan memiliki

perilaku yang terpuji. Maka sudah seharusnya anak membalas jasa

orang tua dengan berbakti kepada mereka. Seorang anak yang

menjalankan kewajibannya dengan baik terhadap orang tua

merupakan tolak ukur bahwa anak tersebut berbakti terhadap

orangtuanya.

2. Akibat hukum perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam

a. Hak dan kewajiban suami isteri dalam KHI

Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja

bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Allah SWT. Tetapi sekaligus

menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian,

karena tujuan perkawinan yang begitu luhur, yakni untuk membina keluarga yang

bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur

hak dan kewajiban antara Suami istri.

KHI mengatur hak dan kewajiban suami dan isteri dalam Pasal 77-84.

Seperti halnya dalam UUP, KHI juga mengatur mengenai hak dan kewajiban

suami isteri bersama-sama dan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

1) Hak dan kewajiban suami isteri bersama-sama

Suami isteri memiliki hak yang sama dalam menentukan tempat

(36)

seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah

tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing

pihak berhak melakukan perbuatan hukum (Pasal 79 KHI), adapun isi

kedua pasal ini mempertegas kembali ketentuan Pasal 31 dan 32 UUP.

Sedangkan kewajiban suami isteri bersama-sama diatur dalam

Pasal 77 KHI yaitu :

a) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.

b) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. c) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

d) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

e) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

2) Kewajiban suami

Tali perkawinan dalam Islam adalah sebuah ikatan yang kokoh

yang menjalin pasangan suami isteri dalam rangka mencapai jalinan rumah

tangga yang penuh cinta dan kasih. Allah menyifati hubungan perkawinan

itu dengan istlah mitsaqanghalizhan (ikatan yang kokoh). Untuk menjaga

perkawinan tersebut suami isteri memiliki tugas masing-masing, hak

suami merupakan kewajiban dari isteri begitu juga sebaliknya hak isteri

merupakan kewajiban suami. Kewajiban suami diatur dalam Pasal 80 KHI,

yaitu :

(37)

b) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. c) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan

member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : (1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

(2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

(3) Biaya pendididkan bagi anak.

e) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

f) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

g) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan

anak-anaknya atau bekas isteri. Tempat kediaman disediakan untuk

melindungi isteri dan anak-anak dari pihak lain sehingga mereka merasa

aman dan tentram. Tempat kediaman tersebut berfungsi sebagai tempat

menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat

rumah tangga. Kewajiban suami melengkapi tempat kediaman tersebut

sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Pasal 81 KHI.

3) Kewajiban isteri

Kewajiban isteri yang merupakan hak suami diatur dalam Pasal 83

KHI, yaitu :

a) Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.

(38)

Pembagian tanggung jawab antara suami dan isteri ini merupakan

urusan yang vital, untuk menegakkan kehidupan keluarga dan mengatur

urusan nya serta merealisasikan misinya, maka tolong menolong diantara

mereka merupakan sesuatu yang vital juga, untuk kesempurnaan

penunaian tanggung jawab tersebut dari satu sisi dan untuk memelihara

rasa cinta kasih dari segi lain.

b. Harta bersama dalam perkawinan dalam KHI

Dalam konteks konvensional beban ekonomi keluarga adalah hasil

pencarian suami, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga bertindak sebagai

menejer yang mengatur menejemen ekonomi keluarganya. Namun sejalan dengan

tuntutan perkembangan, isteri juga bisa melakukan pekerjaan yang dapat

mendatangkan kekayaan. Jika yang pertama digolongkan ke dalam syirkah

al-abdan, modal dari suami, isteri andil jasa dan tenaganya. Yang kedua di mana

masing-masing mendatangkan modal, dikelola bersama, disebut dengan syirkah

‘inan.117

Bab XIII KHI menyebutkan mengenai terjadinya harta bersama,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UUP. Akan tetapi dalam Pasal 1 huruf f

disebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang

diperoleh sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan

perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa

mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Ujung kalimat mempunyai makna

117

(39)

penting karena tidak hanya menyangkut hukum perkawinan akan tetapi juga

hukum benda tentang pendaftaran yang masih memerlukan perhatian lebih jauh.

Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI mengatur tentang harta kekayaan

dalam perkawinan. Pasal-pasal tersebut dari KHI memberi pengaturan cukup rinci

mengenai masalah harta bersama ini.

Sayuti Thalib memberikan pengertian harta bersama adalah, kekayaan

yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah

harta yang didapat atau usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan

perkawinan.118

KHI mengatur mengenai harta bersama secara berturut-turut dalam Pasal

85, 86 dan 87 yaitu Adanya harta bersama dalam perkawinan tersebut tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pada

dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan.

disebutkan bahwa harta isteri tetap menjadi harta isteri dan dikuasai penuh

olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh

olehnya. Sedangkan mengenai harta bawaan, masing-masing suami isteri dan

harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan. Oleh karena itu suami dan isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa

hadiah, hibah, sedekah atau lainnya.

118

(40)

Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak, suami atau isteri berhak membelanjakan harta bawaan

masing-masing seperti yang diatur di dalam Pasal 87 ayat 2 KHI. Pengeturan lebih rinci

masalah ini diatur dalam Pasal 88 , 89 dan 90, yaitu : Apabila terjadi perselisihan

antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu

diajukan kepada Pengadilan Agama. Suami mempunyai bertanggung jawab

menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, demikian pula Isteri

turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada

padanya.

c. Lahirnya keturunan anak dalam KHI

Anak-anak merupakan titipan dan amanah dari Allah Swt yang harus

dijaga, dipelihara, dibimbing, dan dididik oleh kedua orang tuanya. KHI

memberikan arti dari anak sah, dalam Pasal 99 KHI yang dimaksud dengan anak

sah adalah :

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan

oleh isteri tersebut (bayi tabung).

KHI juga mengenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau anak

tidak sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 KHI yang menyebutkan anak

yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarganya. Ini berarti jika anak yang lahir dari perkawinan atau anak sah

memiliki hubungan nasab dari kedua orang tuanya, berbeda dengan anak tidak sah

(41)

Pasal 101 KHI menyebutkan bahwa “seorang suami yang mengingkari

sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan

pengingkarannya dengan li’an”. Kata “li’an” diambil dari kata Al-la’nu, yang

artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami yang saling

berli’an berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul

sebagai suami isteri selama-lamanya.119 Permohonan yang diajukan seorang suami

untuk menceraikan istrinya dengan alasan karena istrinya telah melakukan zina.

Apabila terjadi pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang

dilahirkan isterinya, seorang ayah yang akan menyangkal sahnya anak yang

dikandung isterinya harus mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam

jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya

perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak

dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada

Pengadilan Agama. Namun pengingkaran itu tidak akan berlaku apabila sudah

lewat waktu, ini diatur dalam Pasal 102 KHI. Bilamana li’an terjadi maka

perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan

kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (Pasal

162 KHI).

Untuk membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan atau

dibuktikan dengan akta kelahiran namun bila akta kelahiran tidak ada maka

pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal asul anak tersebut,

hal ini diatur dalam Pasal 103 KHI.

119

(42)

Berdasarkan uraian di atas ketentuan mengenai pemeliharaan anak tidak

jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UUP dan batas usia anak yang

sama dengan batas usia yang ditentukan dalam hukum perdata. Seorang suami

juga diberikan hak untuk mengingkari anaknya sebagaimana diatur juga dalam

UUP. Hanya saja dalam KHI dikenal usia mummayiz yang ditentukan dalam batas

usia 12 tahun. Pasal 105 KHI huruf (b) menyatakan bahwa :

“Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak untuk

memilih di antara ayah dan ibunnya sebagai pemegang pemeliharaan

haknya.”

Hak ini disebut hak khiyar (hak memilih). Suami isteri memiliki hak yang

sama untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak akan tetapi lebih diutamakan

kepada pihak perempuan karena biasanya lebih mampu mencurahkan kelembutan

dan kasih sayang serta menjunjung anak, sedangkan laki-laki biasanya hanya

punya kemampuan dan kewajiban untuk menjaga, melindungi dan memberikan

yang terbaik kepada anak secara fisik.120

120

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yakni “ Kepemimpinan kepala desa cukup punya pengaruh terhadap perencanaan pembangunan desa Gulo

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

Di Provinsi Riau telah terjadi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di beberapa lokasi, selain pemadaman darat, juga telah dilakukan pemadaman dari udara menggunakan Helicopter

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Perangkat pembelajaran yang sesuai adalah perangkat pembelajaran yang bercirikan sebagai berikut : mengandung silabus, mengandung rencana pelaksanaan pembelajaran

Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan pada ikan salmon Coho transgenik yang mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dengan profil konsentrasi hormon pertumbuhan dan

Potensi dan Kontribusi Sektor Industri Sebagai Sektor Unggulan Terhadap Perekonomian.. Hal ini terkait dengan menentukan sektor-sektor riil yang

Klien menderita alergi sejak usia 10 bulan dengan keluhan batuk disertai dengan sesak kemudian berobat dan sembuh. Pada usia anak 2 tahun kambuh lagi kemudian klien periksa dan