BAB II
KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA
A. Sejarah dan Teori Mengenai Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Kalau kita diteliti pasal-pasal KUHP dan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan pidana di luarnya, maka ternyata bahwa ada pasal dan ketentuan yang
mencantumkan kata melawan hukum, umumnya para sarjana hukum pidana
menyatakan, bahwa melawan hukum merupakan unsur tiap-tiap delik, dinyatakan
secara eksplisit atau tidak.
Apabila tidak dicantumkan hal ini dilakukan oleh pembuat
Undang-Undang, dalam beberapa hal:
1. Bilamana dari rumus Undang-Undang, Perbuatan yang dicantumkan sudah
sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu
dinyatakan secara eksplisit;
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar
atau bertentangan dengan kaidah materieel yang berlaku baginya, orang karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak
melakukan perbuatan pidana adalah onzinning, atau tidak masuk akal. Sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah syarat pemidanaan
Misalnya pasal 338 KUHP tidak mengandung kata melawan hukum,
lainadalah melawan hukum, bertentangan tidak saja dengan hukum, tetapi semua
kaidah-kaidah sosial dan agama.38
Sedangkan alasan apabila dicantumkan kata melawan hukum bisa dilihat
di dalam Memorie van Toelichting (memori penjelas Wetboek van Strafrecht Nederland ), yang menyatakan bahwa dicantumkannya unsur itu secara tegas dalam beberapa pasal tertentu, oleh karena dipidananya orang yang melaksanakan
haknya yang melakukan suatu “strafbaar feit” yang sesuai dengan rumus atau uraian Undang-Undang. Dengan kata lain, bahwa dalam hal seseorang
mengunakan haknya, maka unsur melawan hukum itu tidak ada. Namun perlu
diingatkan, bahwa uraian tersebut tidak berarti bahwa melawan hukum sama
dengan tanpa hak. Yang terakhir memang termasuk melawan hukum, tetapi
pengertiannya lebih sempit, yaitu yang bersangkutan tidak mempunyai hak, atau
hukum subyektif. Hukum meliputi baik norma maupun hak dan kalau pengertian
yang lebih luas karena meliputi juga hukum tidak tertulis39
Dari sejarahnya, pasal tersebut meminjam pasal 1382 code civil Prancis yang berbunyi: “Tout fait quelconque de i’homme, qui cause un dommage, oblige
.
Seperti telah dikemukakan bahwa arti melawan hukum di bidang hukum
pidana, menurut Van Bemmelen, tidak ada bedanya dengan arti melawan hukum
di bidang hukum perdata, seperti termuat dala pasal 1401 BW (pasal 1365
KUHP). Perkembangan dalam bidang hukum perdata ini sangat besar
pengaruhnya bagi hukum pidana.
38
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 239-240
39Ibid,
celui par la faute duguel il est arrive, a reparer”. Teks pasal 1401 BW Belanda berbunyi: “Eike onrechtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebrachtstelt dengene door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verplichting om dezelfde te goeden ”, atau dalam terjemahan Subekti, pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dengan membandingkan
kedua pasal tersebut, terlihat langsung bahwa teks bahasa Belanda berisikan
ketentuan onrechtmatige daad yang tidak ada dalam contoh Prancis”.40
Pendapat pertama, yang disebut berpandangan sempit mengatakan bahwa
yang dimaksud melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan
hak subjektif seseorang (hetzij met eens anders subjectief recht), atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut Undang-Undang (hetzij met desdaders eigen wettelijke plicht). Jadi, sebagai dasar adalah hak seseorang yang berdasarkan undang-undang atau kewajiban seseorang menurut
Undang-Undang.
Mengenai pengertian melawan hukum ini terdapat dua pendapat yang
saling bertentang mengenai hal ini:
41
Karena itu, menurut Hoffman menyimpulkan bahwa melawan hukum,
menurut pandangan ini, adalah bertentangan dengan Undang-Undang. Suatu
Perbuatan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, walaupun juga dapat
40
Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit., hal. 33-34.
41Ibid,
bertentangan dengan sesuatu yang menurut pergaulan kemasyarakatan adalah
tidak patut, tidak merupakan perbuatan melawan hukum.42
1. code civil Prancis, pasal 1382, memuat perkataan “tout fait quelconque de i’homme”. Pembuat Undang-Undang Belandalah yang dengan sengaja mengubah perkataan wederrechtelijk dengan perkataan onrechtmatig,
untuk menegaskan bahwa tidak setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada seseorang adalah melawan hukum
Baik Hoffaman maupun Wolfsbergen merujuk pada pendapat Land yang
mengatakan bahwa pandangan sempit ini didasarkan pada dua alasan yaitu
sebagai berikut:
2. Pasal 1401 NBW tersebut sama sekali meminjam pasal 1382 code civil
Prancis, yang menurut Domat mengingatkannya terutama kepada
Romeinshe actio Legis Aquillae uit dammun iniuria datum dimana perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas pergaulan masyarakat tidak termasuk di dalamnya.
Menurut Land selanjutnya, pembuat Undang-Undang menyimpang dari
apa yang dikatakan Domat, sejauh terhadap pasal-pasal yang berkenaan dengan
hal itu, tetapi tidak karenanya pembuat Undang-Undang bermaksud mengubah
arti onrechtmatige daad dengan in strijd met de wet, yang juga tidak dikatakannya secara jelas dalam teks Undang-Undang.43
Pendapat kedua, yang berpandangan luas, diperkenalkan pertama kali oleh
Molengraaff, yang menyatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan melawan
hukum: “Wie anders handelt, dat in het maatschappelijk verkeer den eenenmensch tegenover den ander betaamt, anders dan men met het oog op zijn
42Ibid,
hal. 36.
medeburgers behoort te behandelen”. (seseorang yang berbuat kepada orang lain, yang tidak patut menurut lalu lintas pergaulan masyarakat).
Menurut Hofmann pendapat Molengraaff tersebut menunjukan pada dua
hal yaitu:
1. Onrechtmatig adalah setara dengan tidak diperkenankan (ongeoorloofd), tidak dengan yang dilarang oleh Undang-Undang (niet van door de wet verboden), karena dalam teks pasal 1428 Kitab Undang-Undang Prancis tahun 1830 disebutkan: tout fait illicite de I’home.
2. Pasal 1402 tidak membicarakan onrechtmatige daad, bahkan jika mau menerangkan onrechtmatig sebagai onwetmatig, sesungguhnya apa yang bertentangan dengan moral dan lalu lintas pergaulan hukum masyarakat termasuk dalam pasal 1402 ini.44
Dalam praktek pradilan di Belanda dalam arrest Hoge
RaadNederlandtahun 1919, yang terkenal dengan nama lindenbeum Cohen Arrest
mengenai perkara Perdata. Di situ Hoge Raad Belanda mengatakan: “Perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”. Duduknya perkara sebagaimana diuraikan oleh Mr.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Perbuatan Melanggar Hukum adalah
sebagai berikut:
Ada dua kantor percetakan, yang satu kepunyaan Cohen dan yang lain kepunyaan Lindenbaum. Mereka bersaing hebat satu sama lain. Pada suatu hari seorang pegawai dari Lindenbaum dibujuk oleh Cohen dengan macam-macam pemberian hadiah dan kesanggupan supaya memberikan kepadanya (Cohen) turunan dari penawaran-penawaran yang dilakukan Lindenbaum dan memberikan pula nama-nama dari orang-orang yang mengadakan pesanan kepada kantor Lindenbaum atau yang minta keterangan tentang harga-harga cetak. Dengan tindakan ini Cohen tentunya bermaksud akan mempergunakan hal-hal yang dapat diketahui itu untuk menetapkan suatu siasat agar supaya khalayak ramai lebih suka datang kepadanya dari pada ke kantor Lindebaum. Tapi perbuatan Cohen ini
44Ibid,
diketahui oleh Lindebaum yang karena merasa dirugikan. Maka dari itu dia digugat di pengadilan Amsterdam, sebagai telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadapnya sehingga berdasar atas pasal 1401 (1365 KUHPerdata) BW minta ganti kerugian.
Dalam putusan hakim tingkat pertama Cohen dikalahkan tapi dalam tingkat banding dimuka Gerechtshot Amsterdam Inden Baum dikalahkan yaitu berdasar Yurisprudensi yang dituruti pasal tersebut. Perbuatan Cohen tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena tidak ditunjukkan sesuatu pasal dari Undang-Undang yang dilanggar oleh Cohen
Lindenbaum mohon kasasi kepada Hoge Raad dengan alasan bahwa putusan tersebut melanggar pasal 1401 BW. Akhirnya H.R. dengan menyampingkan jurisprudensi sebagaimana diikuti dalam putusan Hof
Amsterdam memutuskan pada tanggal 31 Desember 1919, Bahwa Perbuatan Cohen adalah perbuatan melanggar hukum, seperti sebut di atas.45
Masalah persaingan tidak sehat antara dua perusahaan percetakan,
“Lindenbaum” dan “Cohen”, yang mempunyai pendapat formal antara lain adalah
Simons yang menyatakan “untuk dapat dipidananya sesuatu perbuatan haruslah
mencocoki rumusan delik, sebagaimana dilukiskan dari tindak pidana dalam
Undang-Undang. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk diselidiki,
apakah perbuatan itu melawan hukum atau tidak”. menurut pendapatnya itu,
tentang sifat melawan hukum materiil tidak dapat diterima, karena mereka yang
menganut ajaran ini, menempatkan kehendak pembentuk Undang-Undang yang
sudah dinyatakan dalam hukum positif, di bawah pengawasan keyakinan hukum
dari hakim pribadi. Memang betul, menurut pendapat formal ini, bahwa tidak
selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik (dalam Undang-Undang) adalah
bersifat melawan hukum, akan tetapi pengecualian itu, hanya boleh diterima,
apabila mempunyai dasarnya dalam hukum positif pula.46
45
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hal. 131-132
46
Sebelum tahun 1919, Hoge Raad tidak berpendapat demikian, yang
dinamakan onrechtmatig hanyalah apabila perbuatan bertentangan dengan wet
saja. Ini ternyata dari arrest (putusan mengenai Nona dari kota Zutfen). Hoge Raad dalam arrestnya itu menganggap, bahwa perbuatan Nona tersebut tidak
bersifat melawan hukum karena perbuatannya tidak melanggar ketentuan wet.
Dalam perkara ini duduk perkaranya adalah Nona tersebut tinggal di
bagian atas (loteng), sedangkan di bagian bawah ditempati orang lain. Ketika
musim dingin menghebat, maka pipa saluran air pecah dan air mengalir ke bagian
bawah. Kraan yang dapat memberhentikan mengalirnya air ada di bagian atas
dalam kamar Nona tadi. Meskipun sudah diminta oleh penghuni di bagian bawah
untuk menutup kraan, namun Nona tidak menghiraukannya, sehingga air
menggenangi bagian bawah. Nona lalu digugat untuk membayar kerugian yang
timbul karena genangan air. Tapi dalam tingkat kasasi gugatan tersebut ditolak
oleh Hoge Raad karena perbuatan Nona tidak melanggar suatu aturan wet.47
Dalam tahun 1911 disodorkan Rancangan Undang-Undang yang di
dalamnya memperhatikan keinginan masyarakat. Teks Rancangan Undang-Terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan kepada hakim
tertinggi belanda tersebut, apakah perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas
pergaulan hukum masyarakat adalah juga melawan hukum, sebelum arrest 1919 yang terkenal itu selalu dijawab “tidak” walaupun di dalam masyarakat sudah
diingatkan pendapat yang luas.
47Ibid,
Undang 1911 itu diubah dalam Rancangan Undang-Undang tahun 1913. Akan
tetapi, seperti juga rancangan-rancangan lain, Rancangan
Undang-Undang-Rancangan Undang-Uundang ini tidak pernah sampai disahkan sehingga dengan
arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 yang terkenal itu, Hoge Raad dianggap telah mengambil tugas pembuat Undang-Undang dengan menerapakan pendapat yang
luas tadi. Dengan demikian, menurut pendapat Hoffmann:48
(Land mengatakan dalam tinjauannya mengenai perbuatan melawan hukum tentang bahaya pandangan yang luas ini, bahwa penilaian moral akan mengantikan jawabanya terhadap pertanyaan sifat melawan hukum). Akan tetapi, kaidah yang ditarik dari arrest 31 Januari 1919 inilah sampai sekarang dipakai dan selalu dirujuk untuk menerangkan arti melawan hukum.
Volgens de ruime opvatting daartegen is onrechtmatige daad gelijkwaardig aan ongeoorlofd. Onrechtmatig is naar deze leer niet slecht wat in strijd is met eens anders wettelijk recht of des daders eigen wettelijken plicht, maar ook wat indruisch tegen de eischen van de moraal of het maatschappelijk verkeer.
(penyangkalan terhadap pendapat yang luas karena bersifat melawan hukum berarti sama dengan tidak diperkenankan. Melawan hukum menurut ajaran ini tidak hanya bertentangan dengan hak orang lain menurut Undang-Undang atau kewajiban hukum orang lain, tetapi juga bertentangan dengan tujuan moral dalam lalu lintas pergaulan masyarakat).
Ini juga yang merupakan keberatan Land terhadap pendapat yang luas,
seperti yang dikutip oleh Wolfsbergern:
“land noemt in zijn bekende beschouwing over onrechtmatige daad als gevaar voor de ruime opvatting juist, dat de morele beoordeling in de plaats zal komen van de beantwoording der onrechtmatigheidsvraag”
49
Rudolf Stamler dalam tahun 1902 dalam bukunya berjudul “Die Lehre von dem Richtigen Recht”, telah menyatakan pada penilaian tentang ketepatan suatu
48
Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit,. hal. 38.
49Ibid,
kaidah hukum selalu tergantung pada waktu dan tempat tertentu. Penganut
terkemuka Freirechtsbewegung, yaitu antara lain Gnaeus Flavius alias Herman Kantorowicz menyatakan juga bahwa Undang-Undang mengandung banyak
kekosongan dan merupakan tugas hakim untuk mengisinya. Penganut aliran ini
membela mati-matian pemakaian pergertian itikad baik, adat istiadat baik,
pendapat masyarakat.
Di bidang hukum pidana dianut asas legalitas yang tercantum di dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP, yang mensyaratkan bahwa disamping penilaian materiil
juga diwajibkan untuk menganut paham formeel.
Dikatakan formeel, karena Undang-Undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu disertai ancaman sanksi bagi barangsiapa yang
melanggar atau mengabaikannya. Disebut materieel, oleh karena sekalipun suatu perbuatan telah sesuai dengan uraian di dalam Undang-Undang, masih harusdi
teliti tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela, ataupun
dipandang sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak perlu
dijatuhi sanksi hukum pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi kaidah-kaidah
hukum lain atau kaidah sosial lain. Tinjauan demikian menurut Moeljatno sesuai
dengan asas Kemanusia Yang Adil dan Beradap yang merupakan sendi negara
dan bangsa50
Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simon yang
berpendapat, bahwa untuk dapat dipidana maka peristiwa yang dilakukan harus .
50
dicakup oleh uraian Undang-Undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan
ketentuan pidana di dalam Undang-Undang. Dalam hal terjadi demikian maka
pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
sifat melawan hukum. Bilamana suatu perbuatan memenuhi syarat uraian delik,
maka per definitionem telah ada perlawanan hukum.
Van Bemmelen tidak menyetujui pendapat Simon, oleh karena pemenuhan
uaraian delik tidaklah dengan sendirinya menimbulkan peristiwa pidana.
Undang-Undang mengenal beberapa dasar peniadaan pidana berupa dasar pembenar yang
mengakibatkan suatu perbuatan hilang sifat melawan hukumnnya. Misalnya pasal
41 lid 1 (pasal 49 ayat (1), pasal 42 dan pasal 50 KUHP). Ajaran Simons dapat diimplikasikan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi uraian strafbaar feit
semata-mata tanpa adanya dasar pembenar adalah pada umumnya telah melawan
hukum.51
Dalam pasal 82 Veetwet (Undang-Undang mengenai hewan) orang dilarang untuk menempatkan hewan dalam keadaan yang merugikan (in verdachte
Sedangkan pandangan materiil dianut oleh banyak sarjana hukum di
Nederland antara lain Van Bemmelen yang mengemukakan bahwa dasar
pembenaran diluar Undang-Undang pertama kali di Nederland dikemukan oleh
Hoge Raad dalam arrest yang paling terkenal yang dalam kepustakaan dikenal dan disebut vee-artsarrest tanggal 20 Februari 1933 yang biasanya atau dikenal dengan nama arrest dokter hewan dari kota Huizen. Duduk perkara sebagai berikut:
51Ibid,
toestand bregen) hal mana diancam dengan pidana penjara 1 tahun. Di sekita kota Huizen ketika itu di antara hewan terjangkit penyakit mulut dan kuku. Ada tujuh ekor sapi yang belum terkena penyakit tersebut. Karena menurut dokter hewan sapi-sapi yang sehat itu nantinya toh akan kena penyakit juga, maka lebih baik kalau dikenakan penyakit sekarang, mumpung belum mengeluarkan air susu dari pada di kemudian hari kalau sudah mengeluarkan. Karena itu sapi-sapi yang sehat tadi diperintahkan supaya dimasukan dalam kandang bersama-sama dengan sapi-sapi yang telah sakit. Rupanya yang punya hewan tadi tidak menerima tindakan tersebut sehingga dokter hewan dituntut karena melanggar pasal 82 veewet tadi. Oleh dokter hewan tindakan yang telah dilakukan itu adalah yang dianggap tepat menurut ilmu dokter hewan. Sebab kalau sapi-sapi diserang penyakit ketika mengeluarkan air susu, maka hal itu menyebabkan lebih sakit baginya dan juga lebih menularkan penyakitnya karena air susunya. Jadi untuk kepentingan pemiliknya dan hewan-hewan lainpada umumnya, maka dilakukan tindakan diatas.
Gerechtshof di Amsterdam dalam tingkat banding menganggap bahwa alasan dokter hewan itu hanya memberikan penjelasan tentang apa yang mendorong dia untuk berbuat demikian, tetapi tidak merupakan perkecualian yang dapat menghapus pemidanaan, sehingga harus menjatuhkan pidana pada terdakwa. Dalam tingkat kasasi Hoge Raad berpendapat bahwa: menurut Hoge Raad dengan adanya wet mengenai pendidikan kedokteran hewan maka pemeliharaan kesehatan hewan dan siapa yang boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah diatur.
Dengan ini telah ada petunjuk bahwa dokter hewan tidak akan melanggar ketentuan Undang-Undang, jika dia bertindak sesuai dengan ilmu yang telah dicapainya. Keadaan ini tidak dapat dibantah dengan pernyataan, bahwa manakah orang yang telah melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana, dia pasti dipidana, kecuali jika wet itu sendiri dengan nyata-nyata mengadakan perkecualian. Sebab adalah mungkin sekali bahwa meskipun unsur melawan hukum tidak disebut tersendiri dalam rumusan delik, hakim toh tidak dapat menghukum terdakwa apabila ternyata perbuatan terdakwa tidak bersifat melawan hukum. Pancaran hewan misalnya juga dapat dipandang sebagai menempatkan hewan dalam keadaan yang mencurigakan. Tetapi hal itu juga tidak dapat dituntut karena melanggar pasal 82 veewet. Dan hal itu juga tidak karena dalam wet sendiri ada pengecualiannya, tetapi karena pencacaran hewan tak dapat dipandang sebagai perbuatan yang melawan hukum52
B. Macam-Macam Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
.
Seperti yang diuraikan di halaman-halaman sebelumnya bahwa ajaran sifat
melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di
52
samping asas Legalitas. Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat
objektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini tersirat dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP dalam menentukan perbuatan itu dapat di pidana atau tidak pembentuk
Undang-Undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur tertulis. Selain
itu sifat dapat dicela kadang-kadang dimasukan dalam rumusan delik, yaitu dalam
culpa.53
1. Sifat Melawan Hukum Formal.
Ajaran sifat melawan hukum ini dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu
ajaran sifat melawan hukum formal dan ajaran sifat melawan hukum materiil.
Sifat melwan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik
Undang-Undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat
dipidananya perbuatan. Menurut ajaran melawan hukum formal mengatakan
bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yan termuat dalam
rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada
alasan-alasan pembenaran maka alasan-alasan-alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas
dalam Undang-Undang54
Menurut ajaran sifat melawan hukum formil ini, dengan berpegangan pada
asas legalitas, apabila perbuatan diancam dengan pidana dan dirumuskan sebagai
suatu delik di dalam Undang-Undang yang tertulis misalnya KUHP, maka
perbuatan itu bersifat melawan hukum. Kalaupun ada hal-hal yang menghapuskan
53
Teguh Prasetyo, Op. Cit., hal. 65
54
sifat melawan hukumnya, sehingga pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana, hal-hal
yang menghapuskan itu harus pula berdasar ketentuan Undang-Undang tertulis.
Keberadaan formale wederrechtelijkheid atau sifat melawan hukum formil tidak menjadi persoalan karena ini secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal,
sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu melawan hukum atau tidak
cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua
unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak.
Ajaran ini diikuti oleh Simons yang mengatakan, suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum tidak mutlak bersifat melawan hukum, tetapi bila
terdapat pengecualian, alasan pengecualian itu harus diambil dari hukum positif
dan tidak boleh dari luar hukum postif.55
2. Sifat Melawan Hukum Materiil.
Dengan kata lain, sifat melawan hukum formil ini menghendaki suatu
perbuatan hanya dapat dipidana apabila perbuatannya tersebut bertentangan
dengan Hukum tertulis, sedangkan alasan-alasan pengecualiannya harus dicari
dalam hukum tertulis juga.
Pendukung ajaran ini menyatakan, melawan hukum atau tidaknya suatu
perbuatan tidak hanya terdapat di dalam Undang-Undang (yang tertulis), tetapi
harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan
hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan Undang-Undang maupun
atauran-aturan yang tidak tertulis
Ajaran sifat melawan hukum materiil juga menyatakan, disamping
memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur rumusan delik,
perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran sifat melawan hukum materiil
ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar Undang-Undang dengan kata lain,
alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.56
Dengan demikian dapat disimpulkan, Hoge Raad mengikuti dan mengakui
adanya ajaran sifat melawan hukum materiil. Dalam praktek pradilan di Indonesia
ajaran sifat melawan hukum formil telah mulai ditinggalkan. Akan tetapi ajaran
melawan hukum materiil itu sendiri belum sepenuhnya disepakati keberatannya
oleh karena:
Pendukung ajaran melawan hukum materiil ini antara lain Von Liszt,
Zudohna, Meyes, Zevenbergen, Van Hattum, Vos, juga moeljatno. Ajaran
melawan hukum materiil dalam tindak pidana mulai dikenal di Belanda melalui
arrest-arrest Hoge Raad dimulai pada tahun 1933 dalam putusan Hoge Raad 20 Februari 1933 yang terkenal dengan nama Vee-art arrest atau dikenal dengan nama arrest dokter hewan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, lalu diikuti kemudian dengan munculnya arrest rokok, arrest krakers, leidse MOB arrest, arrest sosjale joenit, heling arrest, arrest J.A.C, deep throat arrest,arrest
menganai euthanasia, kruisraketten arrest, arrest arubaanse zaak, kruisraketten arrest, dan spoorwegwerken arrest berdasarkan putusan Hoge Raad 20 September 1993.
56Ibid,
a. Kepastian hukum akan goyah atau dikorbankan;
b. Secara ekstream, hal ini akan memberikan kepada hakim untuk bertindak
sewenang-wenaang atau;
c. Hakim akan mempunyai tugas yang berat sekali untuk mempertimbangkan
rasa keadilan dan keyakinan masyarakat mengenai ketentuan hukum yang
tidak tertulis.
Sifat melawan hukum materiil ini dapat di bedakan lagi menjadi dua
macam berdasarkan fungsinya yaitu:
a. Sifat melawan hukum materill yang berfungsi negatif, yaitu suatu
perbuatan yang melihat norma-norma di luar Undang-Undang dapat
digunakan untuk menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan
yang memenuhi rumusan Undang-Undang sebagai alasan penghapusan
pidana.
b. Sifat melawan hukum materiil yang berfungsi positif, yaitu suatu
perbuatan yang melihat norma-norma tidak tertulis yang dapat digunakan
untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang digunakan
sebagai alasan penjatuhan pidana atau hukuman.
Vos, Utrecht, dan Sudarto mengemukan tentang ajaran sifat melawan
hukum materiil hanya diambil fungsinya yang negatif. Artinya mengakui
kemungkinan adanya hal-hal di luar Undang-Undang yang dapat menghapuskan
sifat melawan hukum perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang.
meskipun tidak nyata diancam dengan pidana di dalam Undang-Undang, dalam
hal perbuatan tersebut bertentangan dengan ukuran lain yang hidup dalam
msyarakat. Jika ini yang diambil artinya mengambil fungsi yang positif yang
justru akan bertentangan dengan asas legalitas. 57
C. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Diakui Oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
Dengan demikian, sifat melawan hukum materiil ini menghendaki suatu
perbuatan hanya dapat dipidana apabila perbuatannya tersebut bertentangan
dengan hukum tertulis atau hukum tidak tertulis, sedangkan alasan-alasan
pengecualiannya harus dicari dalam hukum tertulis atau hukum tidak tertulis. Sifat
melawan hukum materiil ini berpedoman kepada hukum tidak tertulis, kepatutan
dan rasa keadilan atau norma-norma moral yang hidup dalam masyarakat.
Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yang berwenang dalam bidang
yudikatif dalam beberapa Yurisprudensinya telah mengakui adanya sifat melawan
hukum baik dalam arti formil maupun materiil. Dalam hukum pidana, khususnya
terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana
perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau
setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan
melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil tersebut
dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan
57Ibid,
hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hukum fomal menjadi
perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui
Yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam
penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum
bersifat formal menjadi bersifat materiil yang meliputi setiap perbuatan yang
melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang
dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan, terobosan dan pergeseran
pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan
melawan hukum secara luas dari hukum perdata. 58
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung telah melakukan pergeseran dan juga
telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya
dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari
pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum
pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui Yurisprudensinya
melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif
melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak
58
memenuhi rumusan delik dipandang dari segikepentingan hukum yang lebih
tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi
masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang
tidak memenuhi rumusan delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang
menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan
menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas
nama terdakwa Machroes Effendi (kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977).59
Yurisprudensi ini mengenai kasus yang dinamakan kasus Penyalahgunaan
D.O Gula, Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966, Nomor: 42
K/Kr/1965 yang menyatakan bahwa suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang
sifat melawan hukumnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undang, melainkan juga berdasarkan asas-asas
keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.Dalam
perkara ini misalnya faktor-faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum
dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.60
59
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis dan Praktis, Op.Cit., hal 191
60
Kaidah tersebut diatas ditarik dari putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8
Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965, dalam perkara Machroes Effendi yang
dituduh oleh Pengadilan Negeri Singkawang, dan terbukti melakukan tindak
pidana: “sebagai pegawai negeri memakai kekuasaan yang diperoleh dari
jabatanya melakukan penggelapan berulang kali”. Seperti dirumuskan dalam pasal
372 jo pasal 52 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 372 berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena pengelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Sedangkan pasal 52 berbunyi:
“bilamana seorang pegawai negeri karena melakukan delik melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan delik memakai kekuasaan; kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
duduk perkaranya adalahTerdakwa sebagai Patih pada Kantor Bupati/
Kepala Daerah Tingkat II Sambas, pada kira-kira bulan Juni 1962, telah
mengeluarkan D.O gula insentif padi yang menyimpang dari tujuannya.
Sesungguhnya gula insentif tadi hanya boleh dikeluarkan dalam rangka pembelian
padi untuk pemerintah dari para petani dan menjual gula kepada mereka yang
menjual padi kepada pemerintah. Ternyata Terdakwa telah mengeluarkan D.O
gula intensif padi tersebut kepada seorang pemborong, P.K.P.N. Singkawang,
keperluan Hari Natal, para pegawai kabupaten, untuk Front Nasional, KODIM,
buruh, dan jasa-jasa lain. Kelebihan harga penjualannya oleh Terdakwa digunkan
untuk pembangunan-pembangunan daerah diantaranya untuk menyelesaikan
rumah milik Pemerintah Daerah.61
1. Pembelian padi untuk pemerintah tidak menjadi kurang oleh tindakan Terdakwa tersebut;
Pengadilan Negeri Singkawang, dalam putusannya tanggal 24 September
1964 nomor 6/1964/Tolakan, menghukum Terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6
bulan, tetapi Pengadilan Negeri Jakarta dalam putusannya tanggal 27 Januari 1965
nomor 146/1964 Pengadilan Tinggi pidana melepaskan Terdakwa dari segala
tuntutan hukum, dan Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan
Tinggi.
Dalam pertimbangannya Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa:
“pengeluaran-pengeluaran D.O. di atas sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan Terdakwa yang menyimpang dari tujuan yang ditentukan yang berwajib. Akan tetapi perbuatan-perbuatan Terdakwa tersebut, jika ditinjau dari sudut kemasyarakatan, yang dengan perbuatan Terdakwa tersebut mendapat pelayanan, menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang menguntungkan masyarakat daerah itu dan karenanya melayani kepentingaan umum, meskipun yang mendapat pelayanan bukan kepentingan yang dimaksud”
Kebijakan semacam itu, mengingat akan keadaan di sementara daerah yang dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, kadang-kadang terpaksa ditempuh demi kelancaran pembangunan daerah atau demi kepentingan masyarakat daerah, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan tersebut tidak menguntungkan Pemerintah Daerah. Tidak terbukti bahwa Terdakwa mengambil atau mendapatkan keuntungan dari perbuatannya itu. Tidak pula terbukti bahwa negara mendapat kerugian dari perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, yang dapat dibuktikan dari fakta:
2. Gula yang oleh Terdakwa diberikan kepada orang-orang yang tidak haknya, tidak dijual dengan melanggar harga resmi.”
Faktor-faktor kepentingan umum yang terlayani serta faktor-faktor tidak adanya keuntungan yang masuk ke dalam saku Terdakwa dan akhirnya faktor tidak dideritanya kerugian oleh negara, merupakan faktor-faktor yang mempunyai
61Ibid,
nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-perbuatan Terdakwa, yang terbukti formil masuk dalam rumusan tindak pidana.62
Berhubung dengan itu dengan tepat Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menyatakan perbuatan-perbuatan yang terbukti dilakukan oleh Terdakwa bukanlah merupakan suatu tindak pidana”.
Dalam putusan Mahkamah Agung yang menyetujui pertimbangan
Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut ditegaskan bahwa:
“bukanlah Pengadilan Tinggi dalam putusannya menganggap 3 faktor tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan adanya 3 faktor tadi dianggap, menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan Terdakwa.
Mahkamah Agung pada dasarnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor tersebut diatas yang oleh Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh Terdakwa itu
63
62Ibid,
hal. 138-139
63Ibid,
hal. 139
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan
kasusMachroes Effendi inilah timbul suatu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas
“perbuatan melawan hukum materiil” (materiele wederrechtelijkheid) dalam fungsi negatif. Sedangkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang
berpendirianperbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat
dalam perkara Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1982 tanggal 15
Desember 1983 atas nama terdakwa R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993,
Perkara ini mengenai korupsi di Bank Bumi Daya. Duduk perkaranya
adalah Terdakwa, selaku Direktur Bank Bumi Daya, telah berulang kali
memberikan prioritas kredit kepada PT. Jawa Building Indah, yang berusaha
dibidang real estate, padahal ia mengetahui bahwa ada larangan pemberian kredit untuk proyek real estate, menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: SE 6/22/UPK, tanggal 30 Juli 1973.
Dalam perkara ini, Mahkamah Agung secara jelas memberikan arti sifat
melawan hukum materil yaitu:
“menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu mengunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati msyarakat banyak”.64
Pendapat di atas timbul karena Mahkamah Agung menganggap Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dalam putusan tanggal 10 Februari 1982 Nomor:
33/1981/pidana biasa, telah salah menafsirkan sebutan melawan hukum65
Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:66
64Ibid,
hal. 162
65Ibid,
hal. 163
66Ibid,
hal. 163-164
Berdasarkan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri selaku judex facti
dalam perkara perkaranya Terdakwa Endang Widjaja alias Yap Eng Kui alias A Tjai (perkara no. 32/subv/1978/Pid/VOR), fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya yang diterima dari saksi Endang Widjaja alias Yap Eng Kui alias A Tjai sendiri oleh Mahkamah Agung dengan putusannya tanggal 19 November 1983 Nomor: 203 K/Pid/1983 telah dinyatakan bersalah melanggar pasal 1 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1971, yakni memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
Pengunaan kekuasaan serta wewenang secara menyimpang oleh Terdakwa, menurut pertimbangan Pengadilan Negeri selaku judex facti dalam perkara ini pun dianggap overdraf, adanya perpanjangan kredit dan sebagainya, yang merupakan tanggung jawab Terdakwa Raden Sonson Natalegawa selaku Direktur Bank Bumi Daya yang membidangi/membatahi perkreditan dengan tugas menganalisis atau memeriksa permohonan kredit yang diajukan oleh urusan atau bagian kredit kepada Terdakwa, perbuatan mana merupakan penyimpangan dari kebijakan tertulis dari Bank Indonesia yang menurut Mahkamah Agung dianggap sebagai suatu perbuatan yang dilakukan tanpa kewenangan yang melekat padanya ataupun tanda dia berhak melakukan demikian, dan perbuatan yang demikian itu dapat juga merupakan perbuatan melawan hukum.”
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang
dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan
keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa
sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi
positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas.67
Berdasarkan uraian di atas maka Putusan Mahkamah Agung RI dapat
dikatakan telah memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannyaperbuatan
melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif selain
perbuatan melawan hukum formil, khususnya dalam tindak pidana korupsi.
67
Yurisprudensi tersebut dapat dikatakan bertitik tolak kepada Undang-Undang
Nomor: 3 Tahun 1971.Dalam perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ajaran perbuatan
melawan hukum materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif,
teoretis dan praktik peradilan. Selanjutnya Yurisprudensi-Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI mengenai tindak pidana korupsi inilah yang menimbulkan
permasalahan dalam penegakan dan penerapan sifat melawan hukum pasca
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 tanggal 25
Juli 2006 yang telah meniadakan sifat melawan hukum dalam arti materiil yang
terdapat dalam penjelesan kalimat pertama Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana ternyata dalam prakteknya
Mahkamah Agung RI dalam beberapa Putusanya tetap mengakui eksistensi sifat
melawan hukum dalam arti materiil. Hal inilah yang menimbulkan suatu
permasalahan mengenai eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 dengan Yurisprudensi tetap yang diakui oleh
Mahkamah Agung RI mengenai sifat melawan hukum materiil dalam tindak